• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Pemeriksaan Tajam Penglihatan

memburuk. Pekerjaan secara visual dan fisik yang melelahkan dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas, peningkatan kesalahan, dan kepuasan kerja berkurang, oleh karena itu, langkah-langkah harus diambil untuk mengurangi potensi pengembangan stres dan ketidaknyamanan fisik dan okular yang terkait di tempat kerja (American Optometric Association, 1997).

2.3. Pemeriksaan Tajam Penglihatan 2.3.1 Pemeriksaan Visus

Penglihatan dapat dibagi menjadi penglihatan sentral dan perifer. Ketajaman penglihatan sentral diukur dengan memperlihatkan objek dalam berbagai ukuran yang diletakkan pada jarak standar dari mata. Misalnya, “kartu Snellen” yang sudah dikenal, yang terdiri atas deretan huruf acak yang tersusun mengecil untuk menguji penglihatan jauh. Setiap baris diberi angka yang sesuai dengan suatu jarak (dalam kaki atau meter), yaitu jarak yang memungkinkan semua huruf dalam baris itu terbaca oleh mata normal. Misalnya, huruf-huruf pada baris “40” cukup besar untuk dapat dibaca mata normal dari jarak 40 kaki.

Sesuai konvensi, ketajaman penglihatan dapat diukur pada jarak jauh yaitu 20 kaki (6 meter), atau dekat yaitu 14 inci. Untuk keperluan diagnostik, ketajaman penglihatan yang diukur pada jarak jauh merupakan standar pembanding dan selalu diuji terpisah pada masing-masing mata. Ketajaman penglihatan diberi skor dengan dua angka (misalnya “20/40”). Angka pertama adalah jarak uji (dalam kaki) antara “kartu” dan pasien, dan angka kedua adalah jarak barisan huruf terkecil yang dapat dibaca oleh mata pasien. Penglihatan 20/20 adalah normal; penglihatan 20/60 berarti huruf yang cukup besar untuk dibaca dari jarak 60 kaki oleh mata-normal baru bisa dibaca oleh mata pasien dari jarak 20 kaki.

Kartu yang berisi angka-angka dapat digunakan pada pasien yang tidak terbiasa dengan abjad Inggris. Kartu “E- buta huruf” dipakai untuk menguji anak-anak kecil atau pasien dengan hambatan bahasa. Gambar “E” secara acak dirotasi dengan empat orientasi yang berbeda. Untuk setiap sasaran, pasien diminta

21

menunjuk arah yang sesuai dengan arah ketiga “batang” gambar E. Kebanyakan anak dapat diuji dengan cara ini sejak usia 3,5 tahun.

Ketajaman penglihatan yang belum dikoreksi diukur tanpa kacamata atau lensa kontak. Ketajaman terkoreksi berarti menggunakan alat-alat bantu tadi. Mengingat buruknya ketajaman penglihatan yang belum dikoreksi dapat disebabkan oleh kelainan refraksi semata, untuk menilai kesehatan mata secara lebih relevan, digunakan ketajaman penglihatan yang terkoreksi (Vanghan & Asbury, 2012).

2.3.2 Pemeriksaan Tajam Penglihat Dengan Hitung Jari

Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak tiga meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai dampai 1/60, yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.

Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan pasien yang lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 300 meter. Bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak satu meter berarti tajam penglihatannya adalah 1/300 (Ilyas, 2009).

2.3.3 Uji “Pinhole

Jika pasien memerlukan kacamata atau jika kacamatanya tidak tersedia, ketajaman penglihatan terkoreksi dapat diperkirakan dengan uji penglihatan melalui pinhole. Penglihatan kabur akibat refraksi (misalnya: miopia, hiperopia, astigmatisme) disebabkan oleh banyaknya berkas sinar tak terfokus yang masuk ke pupil dan mencapai retina. Ini mengakibatkan terbentuknya bayangan yang tidak terfokus tajam.

22

Melihat kartu Snellen melalui sebuah plakat dengan banyak lubang kecil mencegah sebagian besar berkas tak terfokus yang memasuki mata. Hanya sejumlah kecil berkas sejajar-sentral yang bisa mencapai retina sehingga dihasilkan bayangan yang lebih tajam. Dengan demikian, pasien dapat membaca huruf pada satu atau dua baris dari barisan huruf yang bisa terbaca saat memakai kacamata koreksi yang sesuai (Vanghan & Asbury, 2012).

2.3.4 Pemeriksaan Dengan Sinar

Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam penglihatan 1/~. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga. Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta nol (Ilyas, 2009).

2.4 Koreksi Kelainan Refraksi 2.4.1 Lensa Kacamata

Kacamata masih merupakan metode yang paling aman untuk memperbaiki refraksi. Untuk mengurangi aberasi nonkromatik, lensa dibuat dalam bentuk meniskus (kurva terkoreksi) dan dimiringkan ke depan (pantascopic tilt) (Vanghan & Asbury, 2012). Pengobatan hipermetropia adalah dengan koreksi kaca mata menggunakan lensa sferis positif (+) terbesar yang memberikan penglihatan jauh terjelas. Dikoreksi dengan lensa sferis negatif (-) terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal, agar tanpa akomodasi dapat melihat dengan baik. Untuk memperbaiki gangguan penglihatan astigmat dapat dikoreksi dengan kaca mata cilinder yang mempunyai kekuatan refraksi hanya pada bidang tertentu yang ditentukan oleh axisnya (Euis & Nur, 2008)

Table 2.4.1 Metode untuk memperbaiki refraksi (Ilyas, 2013).

23

kelainan

Miopia Lensa (-) Refraktif Aksial

Hipermetropia Lensa (+) Bias kuat Bola mata panjang

Bias lemah Bola mata pendek Astigmat regular Kacamata silinder Kurvatur 2 meridian tegak lurus Astigmat irregular Lensa kontak Kurvatur kornea iregular

2.4.2 Lensa Kontak

Lensa kontak pertama merupakan lensa sklera kaca berisi cairan. Lensa ini sulit dipakai untuk jangka panjang serta menyebabkan edema kornea dan rasa tidak enak pada mata. Lensa kornea keras, yang terbuat dari polimetil metakrilat, merupakan lensa kontak pertama yang benar-benar berhasil dan diterima secara luas sebagai pengganti kacamata. Pengembangan selanjutnya antara lain adalah lensa kaku yang permeabel-udara, yang terbuat dari asetat butirat selulosa, silikon, atau berbagai polimer plastik dan silikon; dan lensa kontak lunak, yang terbuat dari beragam plastik hidrogel; semuanya memberikan kenyamanan yang lebih baik, tetapi risiko terjadinya komplikasi serius lebih besar (Vanghan & Asbury, 2012).

2.3.3 Bedah Keratorefraktif

Bedah keratorefraktif mencakup serangkaian metode untuk mengubah kelengkungan permukaan anterior mata. Efek refraktif yang diinginkan secara umum diperoleh dari hasil empiris tindakan-tindakan serupa pada pasien lain dan bukan didasarkan pada perhitungan optis matematis (Vanghan & Asbury, 2012).

2.4.4 Lensa Intraokular

Penanaman lensa intraokular (IOL) telah menjadi metode pilihan untuk koreksi kelainan refraksi pada afakia. Tersedia sejumlah rancangan, termasuk lensa lipat, yang terbuat dari plastik hidrogel, yang dapat disisipkan ke dalam

24

mata melalui suatu insisi kecil; dan lensa kaku, yang paling sering terdiri atas suatu optic: terbuat dari polimetilmetakrilat dan lengkungan (haptik), terbuat dari bahan yang sama atau polipropilen. Posisi paling aman bagi lensa intraokular adalah di dalam kantung kapsul yang utuh setelah pembedahan ekstrakapsular (Vanghan & Asbury, 2012).

2.4.5 Ekstraksi Lensa Jernih Untuk Miopia

Ekstraksi lensa non-katarak telah dianjurkan untuk koreksi refraktif miopia sedang sampai tinggi; hasil tindakan ini tidak kalah memuaskan dengan yang dicapai oleh bedah keratorefraktif menggunakan laser. Namun, perlu dipikirkan komplikasi operasi dan pascaoperasi bedah intraokular, khususnya pada miopia tinggi (Vanghan & Asbury, 2012).

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kelainan refraksi adalah kelainan optik intrinsik mata yang menghalangi cahaya untuk dibawa ke satu fokus pada retina, sehingga mengurangi penglihatan normal (CEH, 2000). Kelainan refraksi adalah penyebab utama gangguan penglihatan dan morbiditas pada anak-anak di seluruh dunia, sehingga anak biasanya mengeluhkan kesulitan dalam penglihatan (Bull World Health Organ, 2001). Deteksi dan pengobatan awal pada penyakit mata penting untuk mencegah masalah penglihatan dan morbiditas mata yang dapat mempengaruhi kemampuan belajar, kepribadian dan adaptasi anak di sekolah (Nigerian Journal of Surgical Science, 2005)

Pemeriksaan penglihatan, seperti tes atau prosedur lain, dilakukan untuk mendeteksi penyakit mata ataupun kelainan mata yang belum ditemukan secara dini, terutama pada individu yang sehat (Perks K., 2007). Tes skrinning hanya merupakan pemeriksaan awal dan tidak termasuk dalam tes diagnostik. Mereka yang memiliki hasil tes positif dirujuk ke dokter mata untuk dilakukan tes diagnostik dan perawatan lanjut (Perks K. 2007).

Sebuah penelitian mengenai kelainan refraksi antara anak-anak sekolah dilakukan di Bayelsa State, Nigeria-Selatan. Dalam penelitian tersebut, prevalensi kelainan refraksi adalah 7,4% pada anak-anak sekolah dasar di Enugu Nigeria (Nkanga DG, Dolin P. 1997). Faderin dalam studinya menyatakan bahwa prevalensi gejala refraktif yang ditemukan pada anak-anak sekolah dasar di Lagos, Nigeria adalah 7.3% (Faderin MA, Ajaiyeoba AI., 2001). Sebuah penelitan serupa pada survey penglihatan anak-anak sekolah pada masyarakat pedesaan di selatan-timur Nigeria didapati prevalensi gejala refraksi yang lebih rendah dari 4,2% (Ugochukwu CO., 2002) .Kawuma dan Mayeku di Uganda menemukan prevalensi gejala refraksi pada anak-anak SD adalah 11,6% (Kawuma M, Mayeku

2

R, 2002), sedangkan penelitian Kawuma dengan penelitian Wedner di Tanzania

menunjukkan prevalensi 1% untuk kelainan refraksi pada anak usia 7-19 tahun. Prevalensi yang lebih rendah dalam penelitian Wedner dikarenakan hanya murid dengan hasil pemeriksaan tajam penglihatan kurang dari 6/12 yang diikutkan dalam penelitian (Wedner SH, Ross DA, Balira R, Kaji L, Foster A, 2000)

Padhye et al meneliti prevalensi kelainan refraksi yang tidak diperbaiki pada anak-anak sekolah di daerah perkotaan dan pedesaan di Maharashtra, India. Hasil Penelitian tersebut menunjukkan bahwa prevalensi kelainan yang tidak diperbaiki pada anak-anak sekolah tersebut lebih tinggi di perkotaan dibandingakan dengan di pedesaan (Padhye AS, Khandekar R, Dharmadhikari S, Dole K, Gogate P, Deshpande M, 2009).

India merencanakan pelaksanaan vision 2020; The Right to Sight

document (2007–2011), dilaksanakan di sekolah-sekolah, berupa tes skrining

kesehatan mata di masing-masing daerah untuk mengidentifikasi semua kasus gangguan penglihatan (Vision 2020 Right to Sight Document, 2007).

Masalah kebutaan masih menjadi masalah kesehatan di dunia maupun Indonesia. Kejadian kesakitan akibat kelainan refraksi di Indonesia adalah 24.72 % dan menempati tempat pertama penyebab kebutaan di Indonesia (IIyas, 2006). Sesuai hasil survei Nasional Kesehatan Indera di 8 provinsi tahun 1993-1996, prevalensi kebutaan di Indonesia sebesar 1,5%. Penyebab utama kebutaan adalah katarak 0,78%, glaukoma 0,20%, kelainan refraksi 0,14%, dan penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan lanjut usia 0,38% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

Hasil penelitian Anatasia Vanny, menunjukkan prevalensi kelainan refraksi terbesar didapatkan pada kelompok usia 5-6 tahun. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti aktivitas dan kebiasaan anak, misalnya kebiasaan menonton televisi yang terlalu dekat. Penelitian yang dilakukan terhadap 185 anak, yaitu 90 anak laki-laki (48.6%) dan 95 anak perempuan (51.4%). Sampel dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan usia; kelompok I: usia 3-4 tahun

3

sebanyak 59 anak (31.9%), kelompok II: usia 4-5 tahun sebanyak 67 anak (36.2%), dan kelompok III: usia 5-6 tahun sebanyak 59 anak (31.9%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 5 anak (2.7%) mengalami visus tidak normal. Berdasarkan riwayat keturunan memakai kacamata, subyek dibagi atas 3 kelompok, yaitu kelompok dengan tanpa riwayat keturunan memakai kacamata sebanyak 174 (94.6%) anak, kelompok dengan riwayat ibu memakai kacamata sebanyak 7 (3.8%) anak, dan kelompok dengan riwayat bapak memakai kacamata sebanyak 3 (1.6%) anak (Anastasia Vanny Launardo & Achmad Afifudin, 2010).

Broto (2006) mengemukakan bahwa anak-anak pada usia sekitar tujuh tahun mulai tertarik pada video game dan sepertiga anak usia awal belasan tahun bermain video game setiap hari, serta 7% dari mereka bermain video game paling sedikit 30 jam per minggu, artinya, mereka dapat duduk bermain game di depan alat elektronik dengan mata terbuka lebih dari empat jam setiap hari

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kelainan refraksi pada siswa/I SMPN 1 Medan tahun 2014, dimana siswa/I SMP tersebut menambah pemahaman siswa-siswi terhadap pentingnya mata yang sehat.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah faktor-faktor yang mempengaruhi kelainan refraksi pada siswa-siswi SMP Negeri 1 Medan pada tahun 2014.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelainan refraksi pada siswa-siswi SMP Negeri 1 Medan pada tahun 2014.

4

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui rata-rata lama membaca buku pada siswa-siswi yang menderita kelainan refraksi dan tidak menderita kelainan refraksi di SMP Negeri 1 Medan tahun 2014.

2. Mengetahui rata-rata lama menonton pada siswa-siswi yang menderita kelainan refraksi dan tidak menderita kelainan refraksi di SMP Negeri 1 Medan tahun 2014.

3. Mengetahui rata-rata lama penggunaan alat elektronik pada siswa-siswi yang menderita kelainan refraksi dan tidak menderita kelainan refraksi di SMP Negeri 1 Medan tahun 2014.

4. Mengetahui rata-rata lama penggunaan komputer pada siswa-siswi yang menderita kelainan refraksi dan tidak menderita kelainan refraksi di SMP Negeri 1 Medan tahun 2014.

1.4. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk manajemen, pelaksana kebijakan pelayanan kesehatan di Sumatera Utara, dan para klinisi, yaitu:

1. Hasil penelitian ini dapat memberi tahu siswa-siswi untuk melakukan pengobatan terhadap kelainan refraksi mereka dengan lebih awal (miopia, hipermetropia, dan astigmatisma).

2. Diperoleh data jumlah siswa yang mengalami kelainan refraksi di SMP Negeri 1 Medan tahun 2014.

3. Penelitian ini dapat menambah pemahaman siswa-siswi terhadap pentingnya mata yang sehat.

4. Para orangtua diharapkan dapat mengawasi anak mereka saat membaca buku, memakai alat elektronik, menonton televisi dan menggunakan komputer.

ii

ABSTRAK

Kelainan refraksi merupakan kelainan pada mata yang paling umum. Tiga kelainan refraksi yang paling sering dijumpai yaitu miopia, hipermetropia, dan astigmatisme. Kelainan refraksi, terutama myopia, banyak terjadi pada anak usia sekolah, termasuk remaja. Kelainan refraksi seharusnya dikoreksi dengan tepat agar tidak menimbulkan komplikasi. Untuk itu, pengetahuan mengenai kelainan refraksi sangatlah penting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kelainan refraksi pada siswa-siswi SMP Negeri 1 Medan Tahun 2014.

Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional. Subjek penelitian ini adalah 231 orang siswa-siswi SMP Negeri 1 Medan. Subjek yang memenuhi syarat dan bersedia mengikuti penelitian ini serta telah menandatangani surat persetujuan penelitian akan diminta untuk melakukan pemeriksaan visus. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan analisis deskriptif menggunakan program SPSS ver.17.

Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara lamanya membaca buku, menggunakan alat elektronik, menonton televisi dan menggunakan komputer terhadap terjadinya kelainan refraksi.

iii

ABSTRACT

Refractive errors is the most common eye disorders. There are 3 types of refractive errors which includes myopia, hyperopia and astigmatism. Refractive errors mostly occurs in school aged children and it should be corrected well to avoid complications. Therefore it is important to understand the occurrence of refractive errors. The objective of this study is to know about factors that affect the cause of refractive errors at SMP Negeri 1 Medan.

This study uses a descriptive design approach. The total of subjects involved includes 231 students at SMP Negeri 1 Medan. Assessment on the visual acuity were performed on the subjects who qualified and have agreed to participate in the research and has signed the informed consent. The data collected were analyzed using SPSS ver.17 program.

The results showed that there were insignificant differences between the duration of reading books, frequent usage of computer, electronic devices and excessive screen time with the occurrence of refractive errors.

Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kelainan Refraksi pada Siswa-Siswi SMP Negeri 1 Medan Tahun 2014

Karya Tulis Ilmiah ini Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh : Yeo Chee Pang

110100481

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014

i

LEMBAR PENGESAHAN

Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kelainan Refraksi Pada Siswa Siswi SMP Negeri 1 Medan Tahun 2014

NAMA : Yeo Chee Pang NIM : 110100481

Pembimbing Penguji I

dr. Nurchaliza Hazaria Siregar, Sp.M dr. Dian Dwi Wahyuni, Sp.MK NIP.19700908 200003 2 001 NIP.19750620 200501 2002 Penguji II dr. Taufik Sungkar,Sp.PD NIP.19670515 200604 1 007 Medan, Januari 2015 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof.dr.Gontar Alamsyah Siregar,SpPD-KGEH NIP.19540220 198011 1 001

ii

ABSTRAK

Kelainan refraksi merupakan kelainan pada mata yang paling umum. Tiga kelainan refraksi yang paling sering dijumpai yaitu miopia, hipermetropia, dan astigmatisme. Kelainan refraksi, terutama myopia, banyak terjadi pada anak usia sekolah, termasuk remaja. Kelainan refraksi seharusnya dikoreksi dengan tepat agar tidak menimbulkan komplikasi. Untuk itu, pengetahuan mengenai kelainan refraksi sangatlah penting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kelainan refraksi pada siswa-siswi SMP Negeri 1 Medan Tahun 2014.

Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional. Subjek penelitian ini adalah 231 orang siswa-siswi SMP Negeri 1 Medan. Subjek yang memenuhi syarat dan bersedia mengikuti penelitian ini serta telah menandatangani surat persetujuan penelitian akan diminta untuk melakukan pemeriksaan visus. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan analisis deskriptif menggunakan program SPSS ver.17.

Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara lamanya membaca buku, menggunakan alat elektronik, menonton televisi dan menggunakan komputer terhadap terjadinya kelainan refraksi.

iii

ABSTRACT

Refractive errors is the most common eye disorders. There are 3 types of refractive errors which includes myopia, hyperopia and astigmatism. Refractive errors mostly occurs in school aged children and it should be corrected well to avoid complications. Therefore it is important to understand the occurrence of refractive errors. The objective of this study is to know about factors that affect the cause of refractive errors at SMP Negeri 1 Medan.

This study uses a descriptive design approach. The total of subjects involved includes 231 students at SMP Negeri 1 Medan. Assessment on the visual acuity were performed on the subjects who qualified and have agreed to participate in the research and has signed the informed consent. The data collected were analyzed using SPSS ver.17 program.

The results showed that there were insignificant differences between the duration of reading books, frequent usage of computer, electronic devices and excessive screen time with the occurrence of refractive errors.

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal penelitian ini. Sebagai salah satu area kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang dokter umum, proposal penelitian ini disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan di program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis serta kepada dosen pembimbing penulisan karya tulis ilmiah ini, dr. Nurchaliza Hazaria Siregar, Sp.M yang dengan sepenuh hati telah meluangkan waktu dan tenaga untuk mendukung, membimbing, dan mengarahkan penulisan mulai dari awal penyusunan proposal penelitianini hingga memberikan rekomendasi yang sangat berguna saat pelaksanaan penelitian ini di lapangan nantinya.

Konsep cakupan belajar sepanjang hayat dan pengembangan pengetahuan baru telah memotivasi penulis untuk melaksanakan penelitian yang berjudul “Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kelainan Refraksi Pada Siswa

Siswi SMP Negeri 1 Medan Tahun 2014”. Semoga penelitian ini dapat

memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat berguna bagi kita semua.

Medan, 31 desember 2014 Penulis,

v

(110100481)

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ... i ABSTRAK………... ii ABSTRACT……… iii KATA PENGANTAR……… iv DAFTAR ISI ... v DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR……….. x DAFTAR ISTILAH ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Kelainan Refraksi ... 5

vi

2.1.2. Hipermetropia ... 11

2.1.3. Astigmatisme ………

14 2.2. Faktor Risiko Kelainan Refraksi ………

16 2.2.1. Membaca Buku………

16 2.2.2. Pemakaian Alat Elektronik………

17 2.2.3. Menonton Televisi ……….

18 2.2.4. Penggunaan komputer ……… 18

2.3. Pemeriksaan Tajam Penglihatan ... 19

2.3.1. PemeriksaanVisus……… 19

2.3.2. Pemeriksaan Tajam Penglihatan Dengan Hitung Jari……….. 20

2.3.3. Uji“Pinhole”………. 21

2.3.4. Pemeriksaan Dengan Sinar………

21 2.4. Koreksi Kelainaan Refraksi ... 21

2.4.1. Lensa Kacamata ... 21

2.4.2. Lensa Kontak ... 22

2.4.3. Bedah Keratorefraktif………..

22 2.4.4. Lensa Intraokular……….

vii

2.4.5. Ekstraksi Lensa Jernih Untuk Miopia……….

23 BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL... 24

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 24

3.2. Definisi Operasional ... 24

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 27

4.1. Jenis Penelitian ... 27

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 27

4.3.1. Populasi ... 27

4.3.2. Sampel ... 27

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 28

4.4.1. Data Primer ……….

28 4.4.2. Data Sekunder ………

28 4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 28

Bab 5 Hasil Penelitian dan Pembahasan... 29

5.1. Hasil Penelitian……… 29

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 29

5.1.2. Deskripsi Subjek Penelitian. ... 29

viii

5.1.2.2 Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Riwayat Kelainan

Refraksi Dan Jenis Kelamin……… 30

5.1.2.3 Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Lama Membaca Buku.30 5.1.2.4 Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Lama Menggunakan Alat Eletronik ……….… 31

5.1.2.5 Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Lama Menonton Televisi……… 31

5.1.2.2 Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Lama Menggunakan Komputer……… 32 5.2. Pembahasan... 32

Bab 6 Kesimpulan dan Saran... 35

6.1. Kesimpulan... 35

6.2. Saran... 35

Daftar Pustaka... 37

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Classification Systems for Myopia... 10

2.4.1 Metode untuk memperbaiki refraksi……….….. 22

5.1. Distribusi Siswa/i SMPN 1 Medan Kelas IX berdasarkan Jenis Kelamin.. 30

5.2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden berdasarkan Riwayat

Kelainan Refraksi dam jenis kelamin………. 30

5.3. Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan Lama Membaca Buku…….. 31 5.4. Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Lama Mengunakan Alat Eletronik31

x

5.6. Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Lama Mengunakan Komputer… 32

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1 Pembiasan cahaya pada mata normal dan mata dengan kelainan

Refraksi……….. 7

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ...

Dokumen terkait