42
Lampiran 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Riwayat Pribadi
Nama : Yeo Chee Pang
NIM : 110100481
Tempat/tgl lahir : Kuala Lumpur, 8 September 1987
Agama : Buddha
Nama Ayah : Yeo Kwi Seng Pekerjaan : Wiraswasta Nama Ibu : Lim Zhu Rong Pekerjaan : Suri Rumah Tangga
Alamat : Kuala Lumpur, Cheras, Malaysia.
B. Riwayat Pendidikan
- 1990 - 1993 : TK Happy Garden, Kuala Lumpur
- 1994 - 1999 : SD Swasta SMK Chin Wu, Kuala Lumpur - 2000 - 2007 : SMP dan SMAN Bukit Bintang, Petaling Jaya - 2008-2010 : A level & Law Degree: KDU College, ATC
1
Lampiran 2
Form Status Penelitian
NAMA : _______________________________________ JENIS KELAMIN: _______________________________ UMUR : ________________________________________ KELAS : ________________________________________ ALAMAT: _____________________________________
HASIL PEMERIKSAAN VISUS:
1. Tanpa Pinhole a. Kanan _______ / ______ b. Kiri: ________ / _________ 2. Dengan Pinhole a. Kanan: _______ / _______ b. Kiri: _______ / __________ CATATAN UNTUK RESPONDEN YANG TIDAK DAPAT MELIHAT KARTU SNELLEN ATAU KARTU E → LAKUKAN HITUNG JARI:
1. [ ] dapat melihat HITUNG JARI pada jarak 3 meter → TULIS 03/060 2. [ ] dapat melihat HITUNG JARI pada jarak 2 meter → TULIS 02/060 3. [ ] dapat melihat HITUNG JARI pada jarak 1 meter → TULIS 01/060
4. [ ] hanya dapat melihat GOYANGAN TANGAN pada jarak 1 meter → TULIS 01/300
5 . Kelainan refraksi : ________
1. Membaca buku ____ JAM _____ MENIT/ HARI
2. Menggunakan alat eletronik ____ JAM _____ MENIT/ HARI
3. Nonton televisi ____ JAM _____ MENIT/ HARI
2
Lampiran 3
Surat Kesediaan menjadi Responden
Dengan ini, saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama :
Kelas :
telah bersedia untuk menjadi responden dan dilakukan pemeriksaan Tajam dalam
rangka penyelesaian penulisan Karya Tulis Ilmiah oleh Yeo Chee Pang (NIM: 110100481) yang berjudul “Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kelainan Refraksi Pada Siswa Siswi SMP Negeri 1 Medan Tahun 2014” setelah diberikan penjelasan mengenai kelainan refraksi.
Demikianlah surat kesediaan menjadi responden ini dibuat dalam keadaan
sadar dan tanpa paksaan agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Medan, 2014
3
Lampiran 4
Lembar Penjelasan
Saya, Yeo Chee Pang (NIM: 110100481), mahasiswi stambuk 2011 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, ingin melakukan pemeriksaan pemeriksaan visus dan
pinhole kepada Saudara/i dalam rangka penyelesaian penulisan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “ Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kelainan Refraksi Pada Siswa Siswi SMP Negeri 1 Medan Tahun 2014 ”. Hal ini dikarenakan angka kejadian Masalah kebutaan masih menjadi masalah kesehatan di dunia maupun Indonesia. Sesuai hasil survei Nasional Kesehatan Indera di 8 provinsi tahun 1993 - 1996 prevalensi kebutaan di Indonesia sebesar 1,5%. Penyebab utama kebutaan adalah katarak 0,78%, glaukoma 0,20%, kelainan refraksi 0,14%, dan penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan lanjut usia 0,38%. Berdasarkan hal tersebut, saya tertarik untuk meneliti tentang kejadian kelainan refraksi pada siswa/i SMPN 1 Medan tahun 2014, dimana siswa/i SMP tersebut masih memiliki cukup waktu untuk menentukan jurusan yang akan dipilih pada jenjang berikutnya (SMA/SMK dan Perguruan Tinggi).
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelainan refraksi pada siswa/i SMPN 1 Medan tahun 2014 secara umumnya dan untuk mengetahui kejadian kelainan refraksi pada siswa/i SMPN 1 Medan tahun 2014 sesuai dengan lama baca buku ,menggunakan alat eletronik ,nonton televise dan menggunakan komputer secara khususnya.
4
Pemeriksaan kelainan refraksi akan dilakukan dengan menggunakan kartu sellen untuk uji Visus dimana Saudara/i nantinya akan diminta untuk membaca angka-angka dan menghubungkan garis-garis yang terdapat di dalam kartu snellen tersebut. Pemeriksaan kelainan refraksi ini akan memakan waktu sekitar 7 menit/orangnya. Jika Saudara/i bersedia untuk dilakukannya pemeriksaan tajam, maka hasil pemeriksaan hanya akan diketahui oleh Saudara/i dan saya selaku peneliti. Saudara/i juga akan diberitahu mengenai jurusan apa saja yang dapat Saudara/i pilih apabila setelah dilakukan pemeriksaan Saudara/i mengalami normal atau kelainan refraksi.
Demikianlah lembar penjelasan ini saya buat agar dapat dipahami oleh Saudara/i. Terima kasih atas perhatian dan waktu yang Saudara/i luangkan. Apabila terdapat kesalahan kata maupun ucapan, saya selaku peneliti mengucapkan mohon maaf.
Medan, 2 Agustus 2014 Peneliti,
Yeo Chee Pang NIM: 110100481
Lampiran 9
Hasil Analisis Data SPSS
Tests of Normality
Kel.Refraksi
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Buku Normal .189 98 .000 .781 98 .000
Kelainan Refraksi .204 133 .000 .784 133 .000
Alat_Eletronik Normal .145 98 .000 .899 98 .000
Kelainan Refraksi .170 133 .000 .871 133 .000
TV Normal .178 98 .000 .817 98 .000
Kelainan Refraksi .146 133 .000 .924 133 .000
Komputer Normal .199 98 .000 .799 98 .000
Kelainan Refraksi .182 133 .000 .817 133 .000
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptives
Kel.Refraksi Statistic Std. Error
Buku Normal Mean 2.697 .2668
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 2.167
Upper Bound 3.226
5% Trimmed Mean 2.367
Median 2.000
Variance 6.975
Std. Deviation 2.6411
Minimum .0
Maximum 14.3
Range 14.3
Interquartile Range 2.3
Kurtosis 5.159 .483
Kelainan Refraksi Mean 3.141 .2512
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 2.644
Upper Bound 3.638
5% Trimmed Mean 2.785
Median 2.100
Variance 8.394
Std. Deviation 2.8972
Minimum .0
Maximum 15.0
Range 15.0
Interquartile Range 2.9
Skewness 1.962 .210
Kurtosis 3.986 .417
Alat_Eletronik Normal Mean 5.905 .4304
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 5.050
Upper Bound 6.759
5% Trimmed Mean 5.591
Median 5.000
Variance 18.156
Std. Deviation 4.2610
Minimum .0
Maximum 20.0
Range 20.0
Interquartile Range 5.0
Skewness 1.142 .244
Kurtosis .929 .483
Kelainan Refraksi Mean 6.580 .4320
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 5.725
Upper Bound 7.434
Median 5.000
Variance 24.822
Std. Deviation 4.9822
Minimum .0
Maximum 20.0
Range 20.0
Interquartile Range 6.0
Skewness 1.116 .210
Kurtosis .325 .417
TV Normal Mean 3.401 .2442
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 2.916
Upper Bound 3.885
5% Trimmed Mean 3.165
Median 3.000
Variance 5.842
Std. Deviation 2.4170
Minimum .2
Maximum 17.2
Range 17.0
Interquartile Range 2.0
Skewness 2.417 .244
Kurtosis 10.500 .483
Kelainan Refraksi Mean 3.144 .1771
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 2.793
Upper Bound 3.494
5% Trimmed Mean 2.994
Median 3.000
Variance 4.171
Std. Deviation 2.0423
Minimum .0
Maximum 10.0
Interquartile Range 2.2
Skewness 1.019 .210
Kurtosis 1.001 .417
Komputer Normal Mean 1.555 .1721
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 1.214
Upper Bound 1.897
5% Trimmed Mean 1.349
Median 1.000
Variance 2.901
Std. Deviation 1.7034
Minimum .0
Maximum 9.0
Range 9.0
Interquartile Range 1.6
Skewness 1.902 .244
Kurtosis 4.354 .483
Kelainan Refraksi Mean 1.684 .1557
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 1.376
Upper Bound 1.992
5% Trimmed Mean 1.482
Median 1.000
Variance 3.226
Std. Deviation 1.7960
Minimum .0
Maximum 8.1
Range 8.1
Interquartile Range 1.6
Skewness 1.638 .210
Kurtosis 2.600 .417
J.kelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Laki-laki 107 46.3 46.3 46.3
Perempuan 124 53.7 53.7 100.0
Total 231 100.0 100.0
Kel.Refraksi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Normal 98 42.4 42.4 42.4
Kelainan Refraksi 133 57.6 57.6 100.0
Total 231 100.0 100.0
NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
Kel.Refraksi N Mean Rank Sum of Ranks
Buku Normal 98 108.04 10587.50
Kelainan Refraksi 133 121.87 16208.50
Total 231
Alat_Eletronik Normal 98 112.40 11015.00
Kelainan Refraksi 133 118.65 15781.00
Total 231
TV Normal 98 120.09 11768.50
Kelainan Refraksi 133 112.99 15027.50
Total 231
Kelainan Refraksi 133 117.84 15672.50
Total 231
NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
Kel.Refraksi N Mean Rank Sum of Ranks
Buku Normal 98 108.04 10587.50
Kelainan Refraksi 133 121.87 16208.50
Total 231
Alat_Eletronik Normal 98 112.40 11015.00
Kelainan Refraksi 133 118.65 15781.00
Total 231
TV Normal 98 120.09 11768.50
Kelainan Refraksi 133 112.99 15027.50
Total 231
Komputer Normal 98 113.51 11123.50
Kelainan Refraksi 133 117.84 15672.50
Total 231
Test Statisticsa
Buku Alat_Eletronik TV Komputer
Mann-Whitney U 5.736E3 6164.000 6.116E3 6272.500
Wilcoxon W 1.059E4 11015.000 1.503E4 1.112E4
Z -1.561 -.704 -.802 -.492
Asymp. Sig. (2-tailed) .119 .481 .422 .623
Crosstabs
J.kelamin * Kel.Refraksi Crosstabulation
Kel.Refraksi
Total Normal Kelainan Refraksi
J.kelamin Laki-laki Count 56 51 107
% within J.kelamin 52.3% 47.7% 100.0%
% of Total 24.2% 22.1% 46.3%
Perempuan Count 42 82 124
% within J.kelamin 33.9% 66.1% 100.0%
% of Total 18.2% 35.5% 53.7%
Total Count 98 133 231
% within J.kelamin 42.4% 57.6% 100.0%
% of Total 42.4% 57.6% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 8.018a 1 .005
Continuity Correctionb 7.280 1 .007
Likelihood Ratio 8.047 1 .005
Fisher's Exact Test .005 .003
Linear-by-Linear Association 7.983 1 .005
N of Valid Casesb 231
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 45.39.
Nama Jenis Kelamin Buku (Jam/hr) A.Eletronik (Jam/hr) TV (Jam/hr) Komputer
(Jam/hr) K.Refraksi
AL CAVRIE SERE CALISTA 2 2 5 2 1 1
ALDILA AISYAH PUTRI 2 0 1 1.5 0.5 2
ALDYS RIZKY 2 1.3 2.5 3.1 1.1 1
ALFIOLASYAH RIFA
NASUTION 2 3.5 2 4 0 1
ALIF FIRZA RAYHAN 1 5.5 8 4.1 3 2
ALIF OUTA HARDENTA 1 2 12.7 3 2.5 1
ALLYSA AMEIDYA SEKARANI 2 3.5 2.1 5.1 2 1
ALLYSARAHMA ERISCA 2 2 2 2 1 2
ALYA ANANDA 2 0.5 3.9 10 0.5 2
AMALIA F. ALDREYN 2 3 2 4 0 2
AMALIA KHAIRUNNISA 2 3 5.5 1.5 0.5 1
AMANDA RIZKY S. 2 2.2 3.1 4.7 2.7 2
ANATHA THARIQ 1 3 10 5 1 1
ANDREAS SITORUS 1 3.5 3 4 0.8 1
ANGELA A AMANDA 2 5 19 0.5 5 2
ANGELINA VEDRIKA T. 2 5 10 1 0.5 2
ANGELMA SIREGAR 2 0.5 4 0.2 0.1 1
ANIRSA F. SALEH 2 0 0 9 0 2
ANNISA RAHMA LUBIS 2 4 4 5 0 1
ANNISA RAHMADHANI 2 1 16 2 3 2
ANNISA SEKAR 2 2 6 2 2 2
ANUGRAH SINEMA J.Z. 1 2.2 0.8 0.5 2 1
AQILA MURULIZA 2 3.5 9 2 0 2
ARGA ZULSILVA 1 0.7 1 0.5 0 1
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
Baca Buku Alat Elektronik
Nonton TV Komputer
Normal
ARIIQ HAFIZ 1 3 5 2 1 2
ASYA MAZAYA 2 2.7 1.5 1.5 1.5 2
ATIKA HAZMI 2 2 4 3 1 2
AULIA SABILI 1 2.5 3 2 0.5 1
AYUNI AFFINA H. 2 2 6.8 3.8 1.3 2
AZWIN AZWAR 1 4 5 6 2 2
BEBY OLIVIA 2 0.2 9 4 0.1 1
BERUCY HOSIARA 1 6 6 3 2 2
BIODYA DIGNA PHILOTHRA 2 2 4 4 0.5 2
BUNGA ANNISA FADILLAH 2 0.5 7 1 0.3 2
CATUR SATRIA 1 3.5 12 4 0 2
CAVIN DENIS T.S.DINA
YASMINA N. 1 1 5 3 6 1
CHAIRUNNISA ARIZA 2 3 4 2 0 2
CHARISHA AUDINA 2 12 16 2 0.5 2
CIKA RADEZKY 2 2.7 5 6.5 1 2
CUT HASRI NABILA 2 2 5 3 0 2
CUT ZATA ZAKIRAH 2 1 3.5 2 1 2
CYNTHIA VERONIKA
TARIGAN 2 1.1 4.3 0.6 0.3 2
DAFFA RAIHANTRA 1 4 6.5 2 0 2
DANIEL IVAN GUNAWAN 1 2 1.5 2.5 2 1
DARA NAZURA DARUS 2 3 8 4 2 1
DARA PEUSEUNANG HATE 2 10 16 2 0.5 1
DAUD JEISY 1 3 4 1.5 0.5 1
DELFI NICKY PUTRI 2 12.5 18.5 1.5 2.7 2
DEVI NAJLASARI 2 2 7 3.5 0.5 2
DEVINA SYAFIRA 2 2.5 4 1 1 2
DHIMAS AKBAR ADITYA 1 1.5 8.1 4.5 1.2 2
DHIYAUL MAGHFIRAH 2 1 2 0.5 0.5 1
DIANITA RAFIKA SARI 2 1.1 7 2.5 2 1
DIANTI LITA LESTARI 2 1 5.5 1 0 2
DIAZ LAKSANA MUTTAQIEN 1 6 12 3 1 1
DIMAR RUMEKSO PUTRA 1 0.5 4 2.5 1 1
DINA YASMINA 2 1 4 2 0 1
DINDA ERZA NABILA 2 3 5 5 0 2
DIQA ARIDANI KHOIRI 1 2.5 6.5 2.1 8.1 2
DWI RISKY ARMINA 2 0.5 10 10 6 1
EGA PUTRI 2 1.1 6 5 1.1 2
ETASA KARENISA 2 1.5 3 4 3 2
FABIAN ALFARIZI SIREGAN 1 5.7 3 5 2.5 2
FADNLAN ABDUL K. 1 1 3 1 0 1
FAISAL AHMAD FELDI 1 1 3 1.1 5.1 2
FAJRINA ISRAINI TANJUNG 2 0.5 9 3 1 2
FAKHRI AHMAD 1 2 6 3 2 1
FARANISA AMALIA 2 9 6 3 2 1
FARHAN ABDILLAH 1 5.5 2.5 2.5 2.5 1
FARHAN AKBAR 1 2 9 2 1 1
FARID HAIKAL 1 1.5 8 4.5 1.2 1
FARROS FAWWAZ MIRAZA 1 0.5 6 4 8 2
FASHHAN HANIF 1 2.5 3.7 4.5 1 2
FATHIA ZIA AMIEN 2 6.5 2.2 1 1.5 2
FATIA AULIA 2 4 14 4 1 2
FAUZI RAMADHANA SURYH 1 1 7 3 1 1
FAUZIAH SALSABILA 2 12 16 2 0.5 1
FEFLY DINO ADITYA 1 1 3.5 5.7 0 1
FEZILO RIVANSYAH S 1 10 3 5 0 2
FIERZA NIBATULLAH 1 1.7 2 1.7 2 2
FIRDAN TAUFIQUL AALAM 1 4 16 4 1 1
GERRY ILMI S. 1 3.5 2 2 0 2
GHIINA SALSABILA 2 3 3 2 3 2
HAFSYAH ASSILLAH M. 2 3 4 1 6 2
HANNA CHAIRUN AMANDA 2 1.3 3.3 2.2 4.5 1
HANNY SORAYA 2 2 9 5 0.5 2
HARIS FEBRIARTA 1 2 6 3 1 1
HARVIA MUGHNI VADWI 2 1 3 0.5 0 2
HERI IMMANUEL PRATAMA 1 2.5 1 4 0 1
HILDA SAFIRA 2 1 9 2 3 1
IBNU ALMUAFI 1 2.5 4 2 0.5 2
IBNU FADHIL 1 2.5 3 3 1 2
IFFAL ROYS 1 0.5 9 9 1.7 1
IHZA HAFIZ DRATMA 1 6.5 1 0.7 0.5 1
IKHWAN KHADAFI SIREGAR 1 1.7 2.5 2.5 1.5 2
INDIRA SALSABILLA 2 3 2 4 1 2
INDIRA ZUHRA NAPITUPULU 2 0.1 7 2 0 2
INESTYA FITRI DESIANI 2 5 5 4 2 1
IRFANDI ABDILLAH 1 1 9 8.5 4 1
IRHAM SYAH MAULANA 1 7 0.5 2 9 1
IZDIHAR TASYA 2 3 4 1 1 2
JANE CLARISSA 2 5 3.1 2 0 1
JEICO M.S. 1 7 3 0 2 2
JESSICA DORINDA
SIMANJUNTAK 1 4 5 6 2 1
JOYCE HANNAH R.H. 2 5 5 2 0.5 1
KARENINA PASARIBU 2 1.5 4.6 1.5 0 2
KARIN ADINDA 2 1 5.5 4 0.3 1
KHALID ARKAN 1 4 12 4 2 2
KHALIS AGAM P. 1 0.2 2 2 1 1
LAMDAHUR PAMUNGKAS 1 3 5 6 1 1
LIDYA SIDABUTAR 2 1 19 6 2 2
LULU NADHIFA Q. DAUD 2 3 7 2 1 2
M. ADLIFURAAN 1 3.5 2 2 7 2
M. AFDHALUL IKHSAN 1 2 6 6.5 1 1
M. ALIF SYAFIQ 1 3 6 3 2 1
M. ATTHALLAH 1 2 8 3 5 1
M. AZHARI 1 7.6 4.5 3.8 0 2
M. BAGUS RAMADHAN 1 1 3 2 6 2
M. FADLI 1 5 4 2 2 2
M. FAHRURY 1 2 4 2 3 2
M. FARHAN SYAUQI 1 1 3 0.7 0.1 2
M. FARIDZ MAULANA 1 0.6 5 4 2 2
M. FARRAZ PRATAMA 1 1 3.5 1.5 0 1
M. HAFIZ FAZALIKA 1 2 6 3 1 2
M. JILMAN SETIAWAN 1 3 6 5.2 0 1
M. LUTHFI HASITOLAN 1 1.2 16.5 0.2 0.5 2
M. MIRZA H. 1 1.5 2.5 3.6 1.5 2
M. NADIF PASHA 1 3 10 2 0 1
M. RAFA AZHARI 1 10 12 3.6 1.5 2
M. RAFI Y. 1 3 15 7 2 1
M. RAIHANSYAH L. 1 3 16 5 2 2
M. RAKA ZAELANI 1 2.5 5.5 3.7 1.2 2
M. RIFQY ATHALLAH 1 2.1 10 2.1 0 2
M. RIOZI ANSYAH 1 1.5 10.2 6.5 2.2 2
M. RIZALDI MAULANA 1 0.1 3 3 0 1
M. ZULHAMDI 1 1.6 3.6 4 6.6 2
MAHVIRA RIYANI OCTAVIA 2 2 2 3 0 2
MARDHIKA DARMA P. 1 2 2 1.5 4.5 2
MARYA ANTONETTY 2 1 1.2 3.3 2 2
MIGA MARIA LVANA 2 6.5 20 8.5 0 2
MIRIDMO ATMOJO 1 1 2 1 0.5 2
MOCH VIKY ALTO 1 3.2 5.4 3 2.5 2
MORA YODHA SINAGA 1 2 7 4 1 1
MUFID ANAS RAFI S. 1 0 0 3 5 1
MUHAMMAD AGSHAL M. 1 0.5 3 6 2 1
MUHAMMAD RAIHAN 1 0.1 1 2 4 1
MUHAMMAD RIDHO ALIFA 1 1 6 0.5 2 1
MUHAMMAD SYAFWANALIF 1 0.5 2 2 3 1
MUTIAH ZAHRO 2 5 1 1 3 2
NABILA ALDRIANA 2 1.3 9 9 0 2
NABILA SYAFIRA FARUS 2 1.5 8 0.6 1 2
NABILAH NURJIHAN 2 4 7 2 7 1
NADHILAH S. 2 1 18 2 3 2
NADIA SHAFIRA 2 1 2 6 0 1
NADIA YUIISTYANINGSIH 2 2 15.1 5.1 1 1
NADYA 2 6 5 3 1 2
NANA RAHMADANI 2 8 6 1 1 2
NATASYA PUTRI HUMAIRA 2 1.2 2.2 2.2 1.5 2
NAUFAL HABIB 1 1.5 1.5 1.5 2.5 1
NAUFAL IHBDER N. 1 1 9 4 0 1
NIAKA ANNISA 2 2 8 3.5 1 2
NONA AZUSENA 2 7.5 6.5 5.6 0.5 1
NOVIA IRAYANA 1 2 15.2 2.1 1 1
NURUL SAKINAH 2 2 4 3 1 1
PARAMASATYA RAISSA 1 2.5 1 1.5 2 2
PUTU ASTIKA SURYA DEWI 2 4.2 5 4 0 1
RADZA SYAFI S. 1 2 3 4 2 1
RAFI SANJAYA 1 1.2 2.8 2.5 2.7 1
RAFLY HASIBUAN 1 0.5 2 1 1.3 1
RAFLY SALIM 1 3.1 2 5.5 0 1
RAIHAN SHAUILLE BUKIT 1 1.5 2.5 2 1 2
RAIHANITA MADIRA 2 1.3 7.1 0.5 1 2
RAIHANS SADDAM P.
BANGUN 1 1.2 1.3 2.1 0.2 1
RAJA ADRIEL 1 1 8 2 3 2
RANTI RAHMA SARI 2 1 2 0.5 4 2
RARA AMALIA ZAHRA 2 0.5 5 4 1 1
RASYID RIDHA 1 3 4 4 1 2
REIHAN ZAHRA 2 0.2 3.1 1.5 0.2 2
RICKY FERNANDO TARIGAN 1 3 3 2 2 1
RISHAN HARAFI 1 0.3 4 3 0.7 1
RIZKA SALSABILA 2 10.5 4.3 2.5 1 1
RYAN LAZUARDI 1 4 2 3 0 2
SAISABILA 2 12.5 16 8 2 2
SAKINAH AZZURA 2 8 6 2 1 2
SALSA PUTRI SADZWANA 2 15 5 3 0 2
SALSABILA YASMIN SABRINA 2 3.5 5.5 2.1 0.5 2
SARA NABILA S. 2 14.3 8 5 2 1
SARAH SAFERINA 2 1.5 5.5 1.5 1.5 2
SHAREN NOVIRA SALSABILLA 2 0.5 12 0.5 0 1
SHELLA HUSNA H. 2 2 8.5 3 2 1
SITI FANI 2 4 3 4 0.1 1
SITI HAWARINA SIMBOION 2 1 12 3 0.3 1
SITI SYARIFAH 2 0.5 9 1 2.5 2
SUCI DWI HARYAMA N 2 1 4 2 5 2
SURA SIONA D. 2 4 2 3 2.5 2
SYAHRA SAFITRI SIR 2 1 19 6 7 2
TALITHA ZHAFIRAH 2 12 12 5 0.5 2
TASYA MAULIDA SARI 2 7 16 0 0 2
TAZKIYATUN NISA 2 3.3 1.5 6.5 2.3 1
THORIQ 1 0.5 3 4 0 2
TRESSA ARABEL S. 2 5 0.5 6 3.5 2
TRI AYU FEBRIANI 2 1 16 3 1 2
TRISHA AYU ANJELIKA 2 4 8 3 2 2
TSA TSA ANINDYA 2 8 16 8 1 1
TSYANIYAH RAHMADANI 2 3 1 1 0 2
USWAH UTAMI 2 0.5 10 0.7 2.5 1
VANIA SALLY NABILA 2 1 7 4.2 1 1
VANIA SIAGRAN 2 1 14 4 2 2
WAHYUDI SURYA 1 2.1 2 4 1 2
WIDRGDO DIMAS PRATAMA 1 5 5 1 6 1
YAGUNG STIGANY 2 3.5 19 8 5 2
YAHANA VERONIKA S. 2 2 20 17.3 3 1
YASHIRA QONITA 2 7 10 3 0 2
YASMINSIREGAR 2 12.2 12.2 6 3 2
YESICA HELIASNI 2 1.5 0.5 1 1.5 2
YOGI M FAHROZI 1 1.5 3 2.5 2.5 1
ZIHANAYA FAHRIRA N. 2 1 8 3 0.5 1
AKHALAN FALIH 1 4.3 3 5.3 3.1 2
ADELINA P. IMAWAN 2 0.5 14 3 6 2
ADINIDA RAMADHANI 2 1.5 2.1 3.5 1.5 2
ADITYA MAHADIHARJA 1 2.2 4.2 6.2 0.3 2
AFDINI SALSABILAH 2 3.5 10.3 2.1 0 2
AFIQAH DIVA 2 3 14 4 4 2
AGREY REGITA 2 5.5 14 8 2 2
AGY SINGAIMBUN 1 3 5 1 3 1
AHMAD AKIF HARAHAP 1 2 2 3 0 2
38
DAFTAR PUSTAKA
Adegbehingbe, BO., Adeoye, AO., Onakpoya, OH., (2005). Refractive errors in children. Nigerian Journal of Surgical Science. 15, pp19–25.
American Association of Certified Orthopists. (2003). Eye Examination in
Infants, Children, and Young Adults by Pediatricians. Official Journal of
The American Academy of Pediatrics. 111 (4), pp902-906.
American Optometric Association (1997) The Effects of Computer Use on Eye
Health and Vision, Available at:
http://www.aoa.org/Documents/optometrists/effects-of-computer-use.pdf
(Accessed: 15th April 2014).
Better Health Channel (2014) Eyes- Common Problems, Available at:
http://www.betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/bhcarticles.nsf/pages/Eyes_-_common_problems (Accessed: 15th April 2014).
David A, Goss., Theodore, P., Grosvenor, Jeffrey, T., Keller, Wendy
Marsh-Tootle, Thomas, T., Norton, Zadnik, K., (1997). Optometric Clinical
Practice Guideline. USA: American Optometric Association. pp3-16.
Elkington, AR., Khaw, PT., (1996). Petunjuk Penting Kelainan Mata (ABC Of
Eyes). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC). pp32.
Fachrian, D., Rahayu, A.R., Naseh, A.P., dkk. 2009. Prevalensi Kelainan Tajam Penglihatan Pada Pelajar SD “X” Jatinegara Jakarta Timur. Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 6.
Faderin, MA., Ajaiyeoba, AI., (2001). Refractive errors in primary school
children in Nigeria. Nig J Ophthal. 1 (1), pp10-14.
Fedrick, DR.,. (2001). Myopia: was mother right about reading in the dark?.
39
Fritz, H., (1993). Optik dan Refraksi (Oftalmologi). 2nd ed. Binarupa Aksara.
Gilbert, C., Foster. A., (2001). Childhood blindness in the context of VISION
2020- -the right to sight. Bull World Health Organ. 79 (3), pp227-231.
James, B., Chew, C., Bron,A., (2006). Lecture Notes Oftalmologi. 9th ed. Jakarta:
Penerbit Erlangga. pp35.
Kawuama, M., Mayeku, R., (2002). Prevalence of Refractive errors among
children in lower primary School in Kampala district. Africa Health Sci. 2
(2), pp69- 72.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Available:
http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=236. Last accessed 15th
April 2014.
Kertamuda, FE., Permanadi, R., (2009) 'Perbedaan Motivasi Berprestasi Antara
Siswa Pemain Video Game dengan Siswa Non Main Video Game', Forum
Pendidikan, 29(1), pp. 8-12.
Kirriemuir, J., McFarlane, A., (2006) Literature Review in Games and Learning.
United Kingdom: Future Lab.
Kumar, P., Pore, P., Dixit, A.K., Singh, N. (2014) Prevalence and demographic
distribution of refractory error in school children of Pune , India. Int J Res
Health Sci. [Online] 2(1).p. 58-67. Available from:
http://www.ijrhs.com/issues.php?val=Volume2&iss=Issue1 Last accessed
1st December 2014
Launardo, AV., Afifudin, A., Syamsu, N., Taufik, R., (2014) Kelainan Refraksi
Pada Anak Usia 3-6tahun Di Kecamatan Tallo Kota Makassar, Available
at:http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/af8b92fcf01bd15f027a70f7122e1ea
40
Nkanga,DG., Dolin, P.,. (1997). School vision screening program in Enugu,
Nigeria: Assessment of referral criteria for error of refraction. Nig J
Ophthal. 5 (1), pp34-40.
Padhye, AS., Khandekar, R., Dharmadhikari, S., Dole, K., Gogate, P., Deshpande,
M., (2011). Prevalence of uncorrected refractive error and other eye
problems among urban and rural school children. Middle East Afr J
Ophthalmol. 16 (2), pp69-74.
Rathod H K, Pankaja R R, Mittal S. Profile of School Going Children with Visual
Impairment in Pune. Indian Medical Gazette 2011 (Available from
www.medind.nic.in/ice/t11/i11/icet11i11p434.pdf. Last accessed 1st
December 2014
Riordan-Eva, P., Whitcher, JP., (2012). Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC). pp30-34.
Rosman M, Wong T.Y, Wong W, Wong M.L, Saw S.M. knowledge and beleifs
associated with refractive errors and under correction. Br J.opthalmol
[online] 2009; Jun 20[cited nov12 2011] 93(1): 4-10. Available from
URL:http://ncbi.nlm.nih.gov/18567651. Last accessed 1st December 2014
Perks, K., (2007). Textbook of preventive and social medicine.19th ed.
Barnasides: Bhuanot. pp115-116.
Perdami.(2014).KelainanRefraksi.Available:
http://perdami.or.id/new/?page_id=41. Last accessed 20th April 2014.
Pi, LH., Chen, L., Liu, Q., Ke, N., Fang, J., Zhang, S., Xiao, J., Ye, WJ., Xiong,
Y., Shi, H., Yin, ZQ., (2010). Refractive Status and Prevalence of Refractive
Errors in Suburban School-age Children. International Journal of Medical
41
Rini, A., (2014) Menanggulangi Kecanduan Game Online pada anak, Available
at: http://e-journal.uajy.ac.id/486/2/1HK09866.pdf (Accessed:15th April
2014).
Sidarta Ilyas, H., (2006). Kelainan Refraksi Dan Kacamata. 2nd ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. pp3.
Sidarta Ilyas, H., (2013). Ilmu Penyakit Mata. 4th ed. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI. pp64-88
Singapore National Eye Centre. (2014). Astigmatism. Available:
http://www.snec.com.sg/eye-
conditions-and-treatments/common-eye-conditions-and procedures/Pages/astigmatism.aspx. Last accessed 20th
April 2014.
Sidarta Ilyas, H., (2009). Ilmu Penyakit Mata. 3rd ed. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ugochukwu, CO., (2002). Survey of eye health status of primary school children
in Nkanu west local government area of Enugu State of Nigeria.
Dissertation for the award of a fellowship of the National Postgraduate
Medical College in Ophthalmology, pp39–42.
Vaughan, Daniel, G., (2000). Oftalmologi Umum. 14th ed. Jakarta: Widya
Medika.
Waddell, K., (2000). Spherical Refraction for General Eye Workers.Community
Eye Health.13 (33), pp6-7.
Wedner SH, Ross, DA., Balira, R., Kaji, L., Foster, A., (2000). Prevalence of eye
diseases in primary School children in rural area of Tanzania. Br J
25
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
3.2. Definisi Operasional
a) Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga
pembiasan sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, terjadi
ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga menghasilkan
bayangan yang kabur.
- Cara Ukur: Pemeriksaan Langsung
- Alat Ukur: Kartu Snellen, Hitung Jari dan uji “Pinhole”
- Hasil Ukur: Kelainan refraksi: (+)
: Kelainan refraksi: (-)
- Skala Ukur : Nominal
b) Lama membaca yang nyaman, yaitu lama antara mula membaca bahan
bacaan dengan tidak memakai kacamata sampai pelajar kelainan refraksi Kelainan Refraksi
- Baca buku - Menggunakan alat
eletronik - Nonton televisi
26
merasa tidak lagi nyaman membaca, ditandai dengan mata terasa pedih,
berair dan kepala terasa pusing.
- Cara ukur: Wawacara
- Alat ukur: Daftar pertanyaan.
- Hasil ukur: 0-24 jam / hari
- Skala Pengukuran : Numerik
c) Alat elektronik adalah alat yang mempunyai kemampuan tingkat tinggi dan
memiliki fitur canggih seperti kemampuan internet, membaca e-mail,
kemampuan membaca buku elektronik (e-book), chatting/instant
messaging serta mempunyai banyak aplikasi, contoh alat seperti iphone,
ipad, Samsung tab dan lain lain.
- Cara ukur: Wawacara
- Alat ukur: Daftar pertanyaan.
- Hasil ukur: 0-24 jam / hari
- Skala Pengukuran : Numerik
d) Televisi secara harfiah dapat berarti sebagai visualisasi dari sebuah objek
yang jauh. Televisi dan radio merupakan media massa elektronik. Televisi
lebih meminimalkan pantulan cahaya, karena cahaya dipantulkan merata
pada seluruh bidang, sehingga menghindarkan kelelahan mata yang jauh.
- Cara ukur: Wawacara
- Alat ukur: Daftar pertanyaan.
- Hasil ukur: 0-24 jam / hari
- Skala Pengukuran : Numerik.
e) Komputer adalah alat yang mempunyai kemampuan menggali segudang
informasi dari internet tentang segala pengetahuan dan digunakan oleh
siswa untuk mencari tugas sekolah pada umumnya dan juga untuk belajar
27
- Cara Ukur: Wawancara
- Alat Ukur: Daftar pertanyaan.
- Hasil Ukur: 0-24 jam / hari
28
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, dengan
desain penelitian cross sectional (potong lintang).
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 1 Medan. Penelitian dilaksanakan
selama bulan Maret-November 2014, sedangkan pengambilan dan pengumpulan
data dilakukan selama bulan Juni-November 2014.
4.3. Populasi Sampel
4.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua siswa siswi SMP Negeri 1
Medan kelas IX, yang nantinya keseluruhan jumlahnya akan dijadikan sebagai
sampel penelitian.
4.3.2. Sampel
Metode pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan cara total
sampling, dimana seluruh populasi digunakan sebagai sampel penelitian Adapun
kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah :
Kriteria Inklusi
29
Kriteria Eksklusi
Siswa-siswi yang tidak bersedia menjadi sampel penelitian.
4.4. Metode Pengumpulan Data
4.41. Data Primer
Pengumpulan data dimulai dengan membawa surat pengantar dari Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara ke SMP Negeri 1 Medan, Kepala SMP
Negeri 1 medan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaanlangsung dan wawacara dengan metode pengisian Form Status
Penelitian untuk data oleh responden.
4.4.2. Data Sekunder
Data sekunder adalah jumlah populasi siswa siswi SMP Negeri 1 Medan
yang didapatkan peneliti melalui bagian Hubungan Masyarakat SMP Negeri 1
Medan.
4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Semua data yang telah dikumpulkan, dicatat, dikelompokkan kemudian
diolah dengan menggunakan komputer program SPSS (statistical product and
service solution) versi 17.0. untuk statistik yang sesuai dengan tujuan penelitian
yaitu faktor faktor yang pengaruhi terjadi kelainan refraksi pada siswa siswi SMP
30
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1
Medan yang terletak di jalan Bunga Asoka No. 6, Medan, Sumatera Utara.
Sekolah Menengah Pertama ini merupakan salah satu Sekolah Menengah Pertama
terfavorit di Medan dengan peringkat akreditasi A yang ditetapkan pada tanggal 1
Februari 2011. Sekolah Menengah Pertama ini memiliki 32 kelas, terdiri dari 11
kelas VII, 12 kelas VII dan 9 kelas IX. Selain itu, Sekolah Menengah Pertama ini
juga memiliki berbagai fasilitas untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar,
diantaranya laboratorium fisika, laboratorium komputer, laboratorium bahasa,
laboratorium IPA, laboratorium multimedia, ruang UKS, koperasi, dll.
5.1.2 Deskripsi Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah siswa/i SMPN 1 Medan kelas IX yang berjumlah
231 orang. Data diperoleh dengan cara mengumpulkan data primer dan data
sekunder. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data
demografi dan hasil pemeriksaan tajam penglihatan yang diperoleh langsung dari
subjek penelitian. Data sekunder yang digunakan adalah jumlah populasi
siswa-siswi SMPN 1 Medan yang didapatkan peneliti melalui bagian Hubungan
Masyarakat SMPN 1 Medan . Penelitian dilakukan mulai dari tanggal 27
September 2014 sampai 14 Oktober 2014.
5.1.2.1 Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin
Distribusi data penelitian berdasarkan jenis kelamin siswa/i SMPN 1 Medan
31
Tabel 5.1. Distribusi Siswa/i SMPN 1 Medan Kelas IX berdasarkan Jenis
Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-laki 107 46,3
Perempuan 124 53,7
Jumlah 231 100.0
Berdasarkan tabel 5.1., dari 242 subjek penelitian, didapatkan 113 anak
laki-laki (46,7%) dan 129 anak perempuan (53,3%).
5.1.2.2 Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Riwayat Kelainan Refraksi
Dan Jenis Kelamin.
Distribusi data penelitian berdasarkan riwayat kelainan refraksi dan jenis
kelamin siswa/i SMPN 1 Medan kelas IX dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden berdasarkan
Riwayat Kelainan Refraksi dan Jenis Kelamin
No Jenis
kelamin
Jumlah Normal Kelainan Refraksi
n % n % n %
1 Laki-laki 56 52,3 51 47,7 107 100
2 Perempuan 42 33,9 82 66,1 124 100
Jumlah 98 42,4 133 57,6 231 100
Berdasarkan tabel 5.2., dapat diketahui bahwa subjek yang tidak
mengalami kelainan refraksi adalah 98 orang yang terdiri dari 56 laki-laki dan 42
perempuan. Jumlah subjek yang mengalami kelainan refraksi adalah sebanyak
133 orang, terdiri dari 51 laki-laki dan 82 perempuan.
5.1.2.3 Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan Lama Membaca Buku
Distribusi data penelitian berdasarkan lama membaca buku siswa/i SMPN 1
[image:33.595.113.514.152.229.2] [image:33.595.109.499.444.543.2]32
Tabel 5.3. Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan Lama Membaca Buku
No Kelompok n Mean (Jam/Hari)
1 Normal 98 2,697
2 Kelainan Refraksi 133 3,141
Jumlah 231
Berdasarkan tabel 5.3., dapat diketahui bahwa subjek penelitian yang tidak
memiliki kelainan refraksi (normal) mempunyai kebiasaan lama membaca buku
rata-rata 2,697 jam/hari sedangkan subjek yang memiliki kelainan refraksi adalah
rata-rata 3,141 jam/hari.
5.1.2.4 Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan Lama Menggunakan Alat
Eletronik
Distribusi data penelitian berdasarkan lama menggunakan alat eletronik
siswa/i SMPN 1 Medan kelas IX dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.4. Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Lama Menggunakan
Alat Eletronik
No Kelompok n Mean (Jam/Hari)
1 Normal 98 5,905
2 Kelainan Refraksi 133 6,580
Jumlah 231
Berdasarkan tabel 5.4., dapat diketahui bahwa lamanya penggunaan alat
elektronik pada subjek yang tidak memiliki kelainan refraksi (normal) adalah
5,905 jam/hari, sedangkan pada subjek yang memiliki kelainan refraksi adalah
6,580 jam/hari.
5.1.2.5 Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Lama Menonton Televisi
Distribusi data penelitian berdasarkan lama menonton televisi siswa/i
33
Tabel 5.5. Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Lama Menonton
Televisi
No Kelompok n Mean (Jam/Hari)
1 Normal 98 3,401
2 Kelainan Refraksi 133 3,144
Jumlah 231
Berdasarkan tabel 5.5., dapat diketahui bahwa lamanya penggunaan alat
elektronik pada subjek yang tidak memiliki kelainan refraksi (normal) adalah
3,401 jam/hari, sedangkan pada subjek yang memiliki kelainan refraksi adalah
3,144 jam/hari.
5.1.2.6 Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Lama Menggunakan
Komputer
Distribusi data penelitian berdasarkan lama menggunakan komputer siswa/i
SMPN 1 Medan kelas IX dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.6. Distribusi Subjek Penelitian berdasarkan Lama Menggunakan
Komputer
No Kelompok n Mean (Jam/Hari)
1 Normal 98 1,555
2 Kelainan Refraksi 133 1,684
Jumlah 231
Berdasarkan tabel 5.6., dapat diketahui bahwa lamanya penggunaan alat
elektronik pada subjek yang tidak memiliki kelainan refraksi (normal) adalah
1,555 jam/hari, sedangkan pada subjek yang memiliki kelainan refraksi adalah
1,684 jam/hari.
5.2. Pembahasan
Pada tabel 5.1., terlihat bahwa frekuensi subyek kebanyakan adalah yang
berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 124 orang (53,7%) dan subyek yang
[image:35.595.108.518.155.216.2]34
Pada tabel 5.2., terlihat bahwa riwayat kelainan refraksi terbanyak dialami
oleh subyek berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 82 orang (66,1%) dari
seluruh subyek penelitian, sedangkan yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 51
orang (47,7%) dari seluruh subyek penelitian. Hasil penelitian ini memiliki
kesamaan dengan penelitian yang dilakukan Rosman M. (2009) dan Fachrian
(2009). Menurut penelitian Rosman M (2009), kelainan refraksi lebih sering
terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki (61,1% berbanding 49,3%).
Sedangkan hasil penelitian Fachrian (2009) menunjukkan bahwa jumlah
responden perempuan (53,2%) lebih banyak dari laki-laki (46,8%).
Pada tabel 5.3., dapat diketahui bahwa subjek penelitian yang tidak
memiliki kelainan refraksi (normal) mempunyai kebiasaan lama membaca buku
rata-rata 2,697 jam/hari sedangkan subjek yang memiliki kelainan refraksi adalah
rata-rata 3,141 jam/hari. Menurut penelitian Fachrian (2009) hasil menunjukkan
responden membaca buku lebih dari 2 jam sehari.
Pada tabel 5.4., dapat diketahui bahwa lamanya penggunaan alat
elektronik pada subjek yang tidak memiliki kelainan refraksi (normal) adalah
5,905 jam/hari, sedangkan pada subjek yang memiliki kelainan refraksi adalah
6,580 jam/hari. Menurut penelitian Fachrian (2009) hasil menunjukkan responden
bermain alat eletronik lebih dari 2 jam sehari.
Pada tabel 5.5., dapat diketahui bahwa lamanya penggunaan alat
elektronik pada subjek yang tidak memiliki kelainan refraksi (normal) adalah
3,401 jam/hari, sedangkan pada subjek yang memiliki kelainan refraksi adalah
3,144 jam/hari. Hasil penelitian Kumar (2014) responden yang mengalami
kelainan refraksi menonton televise lebih dari 3 jam sehari. Hasil penelitian
Rathod (2011) responden yang mengalami kelainan refraksi menonton 1 sampai 2
jam sehari banding sama responden yang tidak mengalami kelain refraksi
menonton ≤ 1 jam sehari.
Pada tabel 5.6., dapat diketahui bahwa lamanya penggunaan alat
35
1,555 jam/hari, sedangkan pada subjek yang memiliki kelainan refraksi adalah
1,684 jam/hari. Menurut penelitian Fachrian (2009) hasil menunjukkan responden
menggunakan komputer lebih dari 8 jam sehari. Hasil penelitian Kumar (2014)
responden yang mengalami kelainan refraksi menggunakan komputer lebih dari 3
36
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut.
1. Rata-rata lama membaca buku pada siswa-siswi yang tidak memiliki
kelainan refraksi (normal) mempunyai kebiasaan lama membaca buku
rata-rata 2,697 jam/hari sedangkan subjek yang memiliki kelainan refraksi
adalah rata-rata 3,141 jam/hari di SMP Negeri 1 Medan tahun 2014.
2. Rata-rata lama menonton pada siswa-siswi yang tidak memiliki kelainan
refraksi (normal) adalah 3,401 jam/hari, sedangkan pada subjek yang
memiliki kelainan refraksi adalah 3,144 jam/hari di SMP Negeri 1 Medan
tahun 2014.
3. Rata-rata lama menggunakan alat elektronik pada siswa-siswi yang tidak
memiliki kelainan refraksi (normal) adalah 5,905 jam/hari, sedangkan
pada subjek yang memiliki kelainan refraksi adalah 6,580 jam/hari di SMP
Negeri 1 Medan tahun 2014.
4. Rata-rata lama menggunakan komputer pada siswa-siswi yang yang tidak
memiliki kelainan refraksi (normal) adalah 1,555 jam/hari, sedangkan
pada subjek yang memiliki kelainan refraksi adalah 1,684 jam/hari di SMP
Negeri 1 Medan tahun 2014.
6.2. Saran
Adapun saran yang diberikan peneliti terkait dengan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Bagi peneliti selanjutnya, hendaknya sampel yang diambil lebih banyak
37
2. Untuk penelitian selanjutnya, mungkin dapat menggunakan faktor faktor
lain untuk diteliti dan dilihat apakah ada pengaruhnya terhadap kelainan
refraksi.
3. Harap pihak sekolah dan orangtua mengawasi siswa-siswi dalam kegiatan
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kelainan Refraksi
Kelainan refraksi mata adalah suatu keadaan dimana bayangan tidak
dibentuk tepat di retina, melainkan di bagian depan atau belakang bintik kuning
dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam
beberapa bentuk, yaitu: miopia, hipermetropia, dan astigmatisma (Ilyas, 2013).
Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata
sehingga pembiasan sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning. Sistem
optik diperlukan untuk memasukkan sinar atau bayangan benda ke dalam mata.
Diketahui bola mata mempunyai panjang kira - kira 2 cm, untuk memfokuskan
sinar ke dalam bintik kuning (bagian selaput jala yang menerima rangsangan)
diperlukan kekuatan 50.0 dioptri. Lensa berkekuatan 50.0 dioptri mempunyai titik
api pada titik 2.0 cm (Ilyas, 2006).
Penurunan visus biasanya disebabkan oleh kelainan refraksi. Biasanya
penderita telah mendapat kacamata dari seorang optometris. Penglihatan penderita
yang buruk dapat disebabkan oleh kelainan refraksi, hal ini dapat diketahui
dengan menggunakan pinhole. Pada mata tanpa kelainan refraksi (emetropia),
sinar dari kejauhan difokuskan pada retina oleh kornea dan lensa pada saat mata
dalam keadaan istirahat (relax). Peran kornea adalah dua per tiga dan lensa
berperan sepertiga dari daya refraksi mata. Kelainan kornea, misalnya
keratokonus, bisa menyebabkan kelainan refraksi yang berat (A R Elkington,
1996).
Pada mata yang tidak memerlukan kaca mata terdapat 2 sistem yang
membiaskan sinar yang menghasilkan kekuatan 50.0 dioptri. Kornea atau selaput
bening mempunyai kekuatan 80% atau 40 dioptri dan lensa mata berkekuatan
6
difokuskan lebih di depan selaput jala (seperti rabun jauh, miopia), dan dapat
dikoreksi dengan menggunakan kacamata negatif atau sinar difokuskan di
belakang selaput jala seperti pada rabun dekat (hipermetropia), yang dapat
dikoreksi dengan menggunakan lensa positif. Bila pembiasan sinar tidak pada satu
titik atau pada astigmat dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa silinder (Ilyas,
2006).
Refraksi adalah titik fokus jauh dasar (tanpa bantuan alat) yang bervariasi
di antara mata individu normal, tergantung bentuk bola mata dan korneanya. Mata
emetrop secara alami memiliki fokus yang optimal untuk penglihatan jauh. Mata
ametrop (yakni, mata miopia, hipermetropia, atau astigmatisma) memerlukan
lensa koreksi agar terfokus dengan baik untuk melihat jauh. Gangguan optik ini
disebut kelainan refraksi. Refraksi adalah prosedur untuk menentukan dan
mengukur setiap kelainan optik (Vanghan & Asbury, 2012).
Pada keadaan tidak terfokusnya sinar pada selaput jala, hal yang dapat
dilakukan adalah memperlemah pembiasan sinar seperti miopia (rabun jauh)
dengan mengunakan lensa negatif untuk memindahkan fokus sinar ke belakang
atau selaput jala. Bila sinar dibiaskan di belakang selaput jala seperti pada
hipermetropia (rabun dekat) maka diperlukan lensa positif untuk menggeser sinar
ke depan sehingga penglihatan semakin jelas. Lensa positif ataupun lensa negatif
dapat digunakan dalam bentuk kaca mata ataupun lensa kontak. Penggeseran
bayangan sinar dapat pula dilakukan dengan tindakan bedah yang dinamakan
bedah refraktif (Ilyas, 2006).
Daya refraksi mata ditentukan oleh daya refraksi media yang bening dan
panjang sumbu mata. Media yang bening adalah kornea, bilik mata depan, lensa,
dan badan kaca. Panjang sumbu mata normal kira-kira 24 mm. Jika panjang
sumbu mata bertambah l mm (menjadi 25 mm), maka terjadi miopia -3 dioptri.
Daya refraksi mata emetropia adalah 65 dioptri, 42 dioptri oleh kornea dan 23
dioptri oleh lensa, sehingga cairan mata dan badan kaca tidak memiliki daya
7
Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada
retina. Secara umum, terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata
sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada
retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan tidak terletak pada satu
titik fokus. Kelainan refraksi dapat mengakibatkan terjadinya kelainan
kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang
sumbu bola mata. Ametropia adalah suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi
sehingga pada mata yang dalam keadaan istirahat memberikan fokus yang tidak
terletak pada retina. Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk kelainan miopia
(rabun jauh), hipermetropia (rabun dekat), dan astigmatisma (Perdami, 2010).
8
[image:43.595.123.290.114.376.2]
Hipermetropia Miopia
Gambar 1 Pembiasan cahaya pada mata normal dan mata dengan kelainan
refraksi (Gerhard K. Lang, 2000) dan (A K Khurana, 2007).
Interpretasi yang tepat mengenai informasi visual bergantung pada
kemampuan mata memfokuskan berkas cahaya yang datang ke retina. Mata
emetrop (normal) secara alami berfokus optimal bagi penglihatan jauh. Sedangkan
mata ametrop (yakni, mata hipemetropia, miopia, atau astigmatisma) memerlukan
lensa koreksi agar terfokus dengan baik dan ganggguan optik ini disebut kelainan
refraksi. Kelainan refraksi bersifat herediter. Cara pewarisannya kompleks, karena
melibatkan banyak variabel. Walaupun diwariskan, kelainan refraksi tidak harus
ada sejak lahir (Vaughan DG, 2000).
Refraksi dapat ditentukan secara subyektif, yaitu dengan menempatkan
lensa di depan masing-masing mata, ataupun secara obyektif yang dapat
ditentukan dengan menggunakan retinoskopi atau refrakstometer. Untuk
9
(sikloplegia) dengan menggunakan obat tetes mata (atropin, siklogil) (Fritz
Hollwich, 1993).
Sinar dari obyek dekat ialah divergen dan difokuskan ke retina oleh proses
akomodasi. Otot-otot siliar berkontraksi, memungkinkan bentuk lensa lebih
cembung yang memiliki kemampuan konvergensi lebih besar. Semakin tua lensa
makan akan semakin bertambah kaku dan walaupun otot-otot siliar berkontraksi,
lensa tidak bertambah cembung. Hal ini mulai terjadi pada usia 40 tahun ke atas,
dimana pekerjaan jarak dekat berangur-angsur sukar dikerjakan (presbiopia).
Obyek mesti diposisikan lebih jauh untuk mengurangi kebutuhan daya akomodasi.
Dalam keadaan seperti ini, detil-detil halus tidak lagi dapat terlihat (A R
Elkington, 1996).
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata.
Pada orang normal, susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya
bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media
penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut
sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di
retinanya, saat mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh.
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, yaitu Pungtum Proksimum, yang
merupakan titik terdekat yang masih dapat dilihat dengan jelas oleh seseorang.
Titik ini merupakan titik dalam ruang yang berhubungan dengan retina atau
foveola saat mata istirahat. Pada emetropia pungtum remotum terletak di depan
mata, sedangkan pada mata hipermetropia titik semu berada di belakang mata
(Ilyas, 2013).
2.1.1. Miopia
Miopia atau rabun jauh adalah suatu keadaan mata yang mempunyai
kekuatan pembiasan sinar yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang
10
jauh difokuskan di depan retina oleh mata yang tidak berakomodasi, mata tersebut
mengalami miopia, atau rabun jauh (Vanghan & Asbury, 2012).
Pada mata miopia, sinar sejajar yang masuk ke dalam mata difokuskan di
dalam badan kaca. Jika penderita miopia tanpa koreksi melihat ke obyek yang
jauh, maka sinar divergen yang akan mencapai retina sehingga bayangan menjadi
kabur. Hal ini disebabkan daya refraksi terlalu kuat atau sumbu mata terlalu
panjang (Fritz Hollwich, 1993).
Secara fisiologik sinar yang difokuskan pada retina terlalu kuat sehingga
membentuk bayangan kabur atau tidak tegas pada makula lutea. Titik fokus sinar
yang datang dari benda yang jauh terletak di depan retina. Titik jauh (pungtum
remotum) terletak lebih dekat atau sinar datang tidak sejajar (Ilyas, 2006).
Miopia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe yaitu myopia axial, miopia
kurvatura, miopia indeks refraksi dan perubahan posisi lensa (Perdami, 2014).
Type of Classification Classes of Myopia
Clinical Entity - Simple Myopia
- Nocturnal Myopia
- Pseudomyopia
- Degenerative myopia
11
Tabe
l 2.1.
Clas sifica tion Syste ms for Myo pia (Ame rican
Optometric Association, 2006)
Pada mata dengan simple myopia, status refraksinya disebabkan oleh
dimensi bola mata yang terlalu panjang, atau indeks bias kornea maupun lensa
kristalin yang terlalu tinggi (American Optometric Association, 2006). Mata
dengan Nokturnal myopia adalah miopia yang hanya terjadi pada saat kondisi di
sekitar kurang cahaya atau gelap. Hal ini dikarenakan fokus titik jauh mata
seseorang bervariasi terhadap level pencahayaan yang ada. Miopia ini disebabkan
oleh pupil yang membuka terlalu lebar untuk memasukkan lebih banyak cahaya,
sehingga menimbulkan aberasi dan menambah kondisi miopia (American
Optometric Association, 2006).
Pseudomyopia merupakan hasil dari peningkatan kekuatan refraksi okular
akibat overstimulasi terhadap mekanisme akomodasi mata atau spasme siliar.
Disebut pseudomyopia karena pasien hanya menderita miopia oleh karena respon
akomodasi yang tidak sesuai (American Optometric Association, 2006).
Degree - Low myopia (<3.00 D)
- Medium myopia (3.00 D-6.00 D)
High myopia (>6.00 D)
Age of Onset - Congenital myopia (present at birth and
persisting through infancy)
- Youth-onset myopia (<20 years of age)
- Early adult-onset myopia (20-40 years of
age)
- Late adult-onset myopia (>40 years of
12
Degenerative myopia disebut juga malignant, pathological, atau
progressive myopia. Perubahan malignant dapat terjadi karena gangguan fungsi
penglihatan, seperti perubahan lapangan pandang. Glaukoma dan Retinal
detachment adalah sekuele yang sering terjadi (American Optometric Association,
2006).
Induced myopia disebut juga acquired myopia, merupakan miopia yang
diakibatkan oleh pemakaian obat–obatan, kadar gula darah yang bervariasi
maupun terjadinya sklerosis pada nukleus lensa. Acquired myopia bersifat
sementara dan reversibel (American Optometric Association, 2006).
Gejala miopia terpenting yang timbul ialah buram saat melihat jauh, sakit
kepala dan cenderung menjadi juling saat melihat jauh. Pasien akan lebih jelas
melihat dalam posisi yang lebih dekat. Penatalaksanaan pasien dengan miopia
adalah dengan memberikan koreksi sferis negative terkecil yang memberikan
ketajaman pengelihatan maksimal (Perdami, 2014).
2.1.2. Hipermetropia
Hiperopia (hipermetropia, farsightedness) adalah keadaan mata tak
berakomodasi yang memfokuskan bayangan di belakang retina. Hal ini dapat
disebabkan oleh berkurangnya panjang sumbu (hiperopia aksial), seperti yang
terjadi pada kelainan kongenital tertentu, atau menurunnya indeks refraksi
(hiperopia refraktif), seperti pada afakia. Hiperopia adalah suatu konsep yang
lebih sulit dijelaskan daripada miopia. Istilah "farsighted" berperan dalam
menimbulkan kesulitan tersebut, selain juga seringnya terdapat kesalahpahaman
di kalangan awam bahwa presbiopia adalah farsightedness dan bahwa seseorang
yang melihat jauh dengan baik artinya farsighted (Vanghan & Asbury, 2012).
Berdasarkan akomodasi hipermetropia dibedakan secara klinis menjadi
hipermetropia manifest, hipermetropia manifest absolute, hipermetropia manifest
fakultatif, hipermetropia laten dan hipermetropia total (Perdami, 2014).
13
a) Biasanya pasien pada usia tua mengeluh pengelihatan jauh kabur.
b) Pengelihatan dekat lebih cepat buram. Akan lebih terasa pada keadaan
kelelahan atau penerangan yang kurang.
c) Sakit kepala pada daerah frontal dan dipacu oleh kegiatan melihat dekat
dalam jangka panjang. Jarang terjadi di pagi hari, cenderung terjadi setelah
siang hari dan membaik spontan bila kegiatan melihat dekat dihentikan.
d) Eyestrain / ketegangan pada mata.
e) Sensitif terhadap cahaya.
f) Spasme akomodasi, yaitu terjadinya cramp. Ciliaris diikuti pengelihatan
buram intermiten.
Hipermetropia dapat disebabkan oleh (Ilyas, 2013):
a) Hipermetropia sumbu atau hipermetropia aksial merupakan kelainan
refraksi akibat bola mata pendek, atau sumbu anteroposterior yang pendek.
b) Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang
sehingga bayangan difokuskan di belakang retina.
c) Hipermetropia refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada
sistem optik mata.
Secara klinis, hipermetropia terbagi dalam 3 kategori (American Optometric
Association, 2008):
a) Simple hyperopia, karena variasi normal biologis, bisa disebabkan oleh
panjang sumbu aksial mata ataupun karena refraksi.
b) Pathological hyperopia, disebabkan anatomi mata yang abnormal karena
gagal kembang, penyakit mata, atau trauma.
c) Functional hyperopia adalah akibat dari paralisis akomodasi.
Hipermetropia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat kelainan
14
a) Hipermetropia ringan (≤ +2,00 D)
b) Hipermetropia sedang (+2,25 - +5,00 D)
c) Hipermetropia berat (≥+5,00 D)
Hipertropia dikenal dalam bentuk (Ilyas, 2013):
- Hipermetropia manifes ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan
kaca mata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal.
Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut ditambah dengan
hipermetropia fakultatif. Hipermetropia manifes didapatkan tanpa
sikloplegik dan hipermetropia yang dapat dilihat dengan koreksi kacamata
maksimal.
- Hipermetropia absolut, adalah kelainan refraksi yang tidak diimbangi
dengan akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh.
Biasanya hipermetropia laten yang ada berakhir dengan hipermetropia
absolut ini. Hipermetropia manifes yang tidak memakai tenaga akomodasi
sama sekali disebut sebagai hipermetropia absolut, sehingga jumlah
hipermetropia fakultatif dengan hipermetropia absolut adalah
hipermetropia manifes.
- Hipermetropia fakultatif, adalah kelainan hipermetropia yang dapat
diimbangi dengan akomodasi ataupun dengan kaca mata positif. Pasien
yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif akan melihat normal
tanpa kaca mata dan bila diberikan kaca mata positif akan memberikan
penglihatan normal, sehingga otot akomodasinya akan beristirahat.
Hipermetropia manifes yang masih memakai tenaga akomodasi disebut
sebagai hipermetropia fakultatif.
- Hipermetropia laten, adalah kelainan hipermetropia tanpa sikloplegia (atau
dengan obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan
akomodasi. Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan
sikloplegia. Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten
15
sehingga hipermetropia laten menjadi hipermetropia fakultatif dan
kemudian akan menjadi hiper metropia absolut. Hipermetropia laten
sehari-hari diatasi pasien dengan akomodasi terus-menerus, terutama bila
pasien masih muda dan daya akomodasinya masih kuat.
- Hipermetropia total, hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah
diberikan sikloplegia.
2.1.3. Astigmatisme
Astigmatisma adalah keadaan dimana sinar sejajar tidak dibiaskan secara
seimbang pada seluruh meridian. Pada astigmatisma regular terdapat dua meridian
utama yang terletak saling tegak lurus. Gelaja astigmatisma biasanya dikenali
dengan penglihatan yang kabur, head tilting, mempersempit palpebra dan
mendekati objek untuk melihat lebih jelas. Penatalaksanaan astigmatisma
dilakukan dengan lensa silinder bersama sferis (Perdami, 2014).
Astigmatisma merupakan suatu kondisi dimana kornea memiliki
lengkungan yang abnormal, sehingga menyebabkan gangguan penglihatan.
Kornea yang normal berbentuk bulat, tetapi pada astigmatisma kornea berbentuk
oval, sehingga menyebabkan ketidakfokusan pada cahaya yang masuk ke mata.
Astigmatisma merupakan kondisi yang umum diderita dan sering terjadi
bersamaan dengan miopia (rabun jauh) atau hiperopia (rabun dekat). Penyebab
astigmatisma seringkali tidak diketahui. Astigmatisma biasanya ada sejak lahir.
Tahap astigmatisma yang kecil dianggap normal dan biasanya tidak memerlukan
koreksi apapun. Meskipun jarang, astigmatisma mungkin juga disebabkan oleh
seringnya menggosok mata dengan keras (seperti pada anak yang mengidap alergi
konjungtivitis) atau penyakit kornea mata seperti keratokonus. Astigmatisma
dapat dikoreksi dengan lensa korektif seperti kacamata atau lensa kontak. Alat
bantu penglihatan ini dapat membantu memfokuskan cahaya yang masuk ke retina
mata. Cara lain untuk mengkoreksi astigmatisma adalah operasi refraktif seperti
16
Astigmatisme adalah kekuatan optik kornea di bidang yang berbeda tidak
sama. Sinar cahaya paralel yang melewati bidang yang berbeda ini jatuh ke titik
fokus yang berbeda (Bruce James, 2006).
Bayi yang baru lahir biasanya mempunyai kornea yang bulat atau sferis
yang di dalam perkembangannya terjadi keadaan yang disebut sebagai
astigmatisme with the rule (astigmat lazim) yang berarti kelengkungan kornea
pada bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau jari-jarinya lebih pendek
dibanding jari-jari kelengkungan kornea di bidang horizontal. Pada keadaan
astigmat lazim ini diperlukan lensa silinder negatif dengan sumbu 180 derajat
untuk memperbaiki kelainan refraksi yang terjadi (Ilyas, 2013).
Pada usia pertengahan kornea menjadi lebih sferis kembali sehingga
astigmat menjadi againts the rule (astigmat tidak lazim).
- Astigmat tidak lazim (astigmatisme againts the rule): Suatu keadaan
kelainan refraksi astigmat dimana koreksi dengan silinder negatif
dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder
positif sumbu horizontal (30-150 derajat). Keadaan ini terjadi akibat
kelengkungan kornea pada meridian horizontal lebih kuat dibandingkan
kelengkungan kornea vertikal. Hal ini sering ditemukan pada usia lanjut.
- Astigmat regular: Astigmat yang memperlihatkan kekuatan pembiasan
bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian
ke meridian berikutnya. Bayangan yang terjadi pada astigmat regular
dengan bentuk yang teratur dapat berbentuk garis, lonjong atau lingkaran.
- Astigmat iregular: Astigmat yang terjadi tidak mempunyai 2 meridian
saling tegak lurus. Astigmat iregular dapat terjadi akibat kelengkungan
kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga bayangan menjadi
iregular. Astigmatisme iregular terjadi akibat infeksi kornea, trauma dan
17
2.2. Faktor Risiko Kelainan Refraksi
2.2.1. Membaca Buku
Survei epidemiologis menunjukkan bahwa miopia sering terjadi pada
orang yang menghabiskan lebih banyak waktu membaca atau melakukan
pekerjaan dengan jarak dekat daripada mereka yang menghabiskan lebih banyak
waktu tanpa menggunakan mata dalam jarak pandang dekat. Miopia berdampak
terhadap tugas sekolah dan hasil penilaian. Proses ini terus berlanjut hingga
dekade ketiga kehidupan, dimana mahasiswa pascasarjana, microscopists, dan
militer mendapat miopia akibat pekerjaan dengan jarak pandangan dekat yang
terlalu sering (Douglas R. Fredrick, 2001)
Faktor lingkungan berperan besar terhadap prevalensi kelainan refraksi
pada anak. Survei membuktikan bahwa anak-anak yang bersekolah di perkotaan
lebih banyak menderita mata rabun (32,68%) dibandingkan dengan anak yang
bersekolah di pedesaan (9,78%). Sejumlah penelitian dilakukan untuk
membuktikan hal tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang
bersekolah di perkotaan menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca dan
menulis daripada yang bersekolah di pedesaan. Pada anak kelas 1-3 SD,
perbedaan waktu belajarnya bisa mencapai 107 menit per hari, dan di kelas 4-6
SD serta kelas 7-9 SMP, perbedaan waktu belajarnya bisa sampai 160 dan 224
menit per hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat
antara intensitas belajar siswa dengan miopia. Hal ini membuktikan bahwa
aktivitas pekerjaan yang menggunakan jarak pandang dekat berpengaruh besar
terhadap kejadian myopia. Hasil yang sama diperoleh dari penelitian di Singapura,
Israel, daerah pedesaan di Cina Utara, HongKong dan Orinda. Perbandingan
prevalensi miopia pada anak sekolah di perkotaan dan di pedesaan menunjukkan
bagaimana faktor lingkungan dapat mengubah distribusi refraksi (Lian Hong Pi,
18
2.2.2. Pemakaian alat elektronik
Permainan anak yang dulu hanya dapat dilakukan secara tradisional dan
sederhana, seperti menyusun puzzle di atas papan sederhana, kini dapat dilakukan
dengan menggunakan komputer dengan pilihan permainan yang lebih variatif.
Pilihan pemainan yang lebih banyak inilah yang menyebabkan sebagian besar
anak-anak beralih dari permainan tradisional ke permainan dengan menggunakan
komputer, atau yang lebih dikenal dengan sebutan video game.
Kirriemuir and McFarlane (2006) mendefinisikan video game/digital game
sebagai suatu media yang menyediakan informasi digital dalam bentuk visual
kepada penggunanya; menerima masukan data dari penggunanya; memproses data
yang masuk sesuai peraturan yang telah diprogram; dan mengubah informasi
digital yang disesuaikan untuk penggunanya. Berkaitan dengan hal di atas, Rini
(2014) menyebutkan beberapa pengaruh buruk game bagi anak, antara lain
pengaruh terhadap kesehatan sendiri, kepribadian, pendidikan/prestasi, serta
terhadap keluarga dan masyarakat. Seorang anak yang memiliki kebiasaan main
game berisiko mengalami stres, kerusakan mata, maag, dan epilepsi. Pada
perkembangan kepribadiannya, anak bisa menjadi agresif hingga melakukan
tindakan kekerasan kepada keluarga atau masyarakat. Sedangkan dalam
pendidikan, anak yang suka main game berlama-lama memiliki masalah untuk
berkonsentrasi saat menerima pelajaran.
Walaupun kebiasaan main video game dapat memberi pengaruh positif,
namun tanpa pengawasan dapat memberi pengaruh negatif yang lebih banyak.
Broto (2006) mengemukakan bahwa anak-anak pada usia sekitar tujuh tahun
mulai tertarik pada video game dan sepertiga anak