• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Responden penelitian di Posyandu Lansia Wilayah Puskesmas Padang Bulan sebagian besar berjenis kelamin perempuan.

2. Jumlah responden lansia di Posyandu Lansia Wilayah Padang Bulan yang memiliki riwayat hipertensi lebih dari lima tahun lebih banyak dibanding yang menderita hipertensi kurang dari lima tahun.

3. Terdapat adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara lamanya riwayat hipertensi dengan terjadinya penurunan fungsi kognitif pada lansia di Posyandu Lansia Wilayah Padang Bulan.

Saran

1. Bagi para lansia yang memiliki riwayat tekanan darah tinggi hendaknya tetap mengontrol tekanan darahnya agar stabil dengan cara mengubah pola gaya hidup dan mengkonsumsi obat hipertensi yang diberikan dokter secara teratur agar tekanan darah tetap terkontrol dengan baik. Hal ini karena berdasarkan penelitian bahwa ada kaitannya riwayat menderita hipertensi dengan terjadinya penurunan fungsi kognitif pada lansia di Posyandu Lansia Wilayah Puskesmas Padang Bulan.

2. Bagi para pembaca yang tidak atau belum memiliki riwayat hipertensi hendaknya tetap menjaga pola gaya hidup agar tidak menderita hipertensi dan tetap memiliki fungsi kognitif yang baik di kemudian hari.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Hipertensi

2.1.1 Definisi , Etiologi dan Klasifikasi

Definisi yang terkini dari hipertensi adalah tingkat tekanan darah sistolik pada atau di atas 140 mmHg (18,7 kPa), atau tingkat tekanan darah diastolik pada atau di atas 90 mmHg (12,0 kPa) (Brunner & Suddarth, 2001).

Hipertensi diklasifikasikan atas dua jenis, yaitu hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%). Hipertensi primer adalah hipertensitanpa ditemukan adanya etiologi dari keadaan tersebut, sedangkan hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh penyakit/keadaan tertentu seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat (Bakri, 2008 dalam Hanifa 2009).

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII

Kategori Tekanan darah sistol Tekanan darah diastole

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi derajat 1 140-159 90-99

Hipertensi derajat 2 ≥160 ≥100

(Sumber L Kaplan N.M et al, 2002) 2.1.2 Patofisiologi

Menurut Corwin (2000) tekanan darah bergantung pada kecepatan denyut jantung volume sekuncup atau curah jantung, heart ratedan total peripheral resistance (TPR).Kecepatan denyut jantung yang meningkat disebabkan oleh adanya rangsangan abnormal pada nodus sinoatrium (SA) oleh beberapa faktor tertentu. Peningkatan kecepatan denyut yang kronik biasanya menyertai keadaan

hipertiroidisme, karena adanya peningkatan kecepatan denyut biasanya akan dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau TPR.

Peningkatan total peripheral resistance (TPR) yang berlangsung lama, terjadi pada peningkatan rangsangan saraf atau hormone pada arteriol, atau responsivitas yang berlebihan dari arteriol terhadap rangsangan normal. Kedua hal tersebut menyebabkan penyempitan pembuluh. Pada peningkatan TPR, jantung harus memompa lebih kuat supaya menghasilkan tekanan yang lebih besar untuk mendorong darah melintasi pembuluh-pembuluh yang menyempit. Hal ini disebut afterload yang biasanya berkaitan dengan tekanan diastolik. Apabila afterload berlangsung lama, ventrikel kiri mungkin mulai mengalami hipertrofi (membesar). Dengan hipertrofi kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat sehingga harus memompa darah lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Serat-serat otot jantung juga mulai teregang melebihi panjang normal yang akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup atau curah jantung (Basha, 2008 dalam Shakir Ariff 2012)

2.1.3 Faktor Risiko

Sampai saat ini penyebab hipertensi primer tidak diketahui dengan pasti. Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus. Hipertensi ini disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan. Hipertensi sekunder disebabkan oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat tertentu, stres akut, kerusakanvaskuler dan lain-lain (Anggrainiet al, 2009). Berdasarkan dari faktor pemicunya, faktor resiko dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.

a. Faktor Genetik

Dari berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa orang yang mempunyai riwayat atau silsilah dengan keluarga yang memiliki riwayat hipertensi ada kecendrungan untuk dapat juga terjadi hipertensi (Sudarmoko, 2010). Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio

antara potasium terhadap sodium. Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga (Anggraini et al, 2009).

b. Usia

Kepekaan terhadap hipertensi akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Individual yang berumur diatas 60 tahun, sekitar 50-60% mempunyai tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg. Hal itu merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang bertambah usianya (Susilo dan Wulandari, 2011).

c. Jenis Kelamin

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria dan wanita sama, hanya saja wanita terlindungi dari penyakit kardiovaskular sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang dapat meningkatkan jumlah High Density Lipoprotein (HDL). Kadar HDL yang tinggi mampu mencegah terjadinya arterosklerosis (Anggrainiet al, 2009). Namun dari hasil penelitian menyebutkan bahwa pria lebih mudah terserang hipertensi dibandingkan dengan wanita, mungkin dikarenakan gaya hidup pria yang kebanyakan lebih tidak terkontrol dibandingkan wanita, misalnya kebiasaan merokok, bergadang, stres kerja, hingga pola makan yang tidak teratur (Sudarmoko, 2010).

d. Etnis

Hipertensi banyak terjadi pada orang berkulit hitam daripada yang berkulit putih. Belum diketahui secara pasti penyebabnya, namun pada orang berkulit hitam ditemukan kadar renin yang lebih rendah dan sensitivitas terhadap vasopresin yang lebih basar (Susilo & Wulandari, 2011).

e. Obesitas

Menurut National Institutes for Health USA (NIH,1998), prevalensi tekanan darah tinggi pada orang dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 (obesitas) adalah 38% untuk pria dan 32% untuk wanita, dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria dan 17% untuk wanita bagi yang memiliki IMT <25 (status gizi normal menurut standar internasional).

f. Asupan garam

Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat.Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat.Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi (Anggraini et al, 2009).

g. Merokok

Merokok merupakan salah satu faktor penyebab dan faktor resiko yang dapat dimodifikasi untuk terjadinya hipertensi. Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari Brigmans and Women’s Hospital, Massachussetts (2007) terhadap 28.236 subyek yang awalnya tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok, 36% merupakan perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek yang merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek terus diteliti dan dalam median waktu 9,8 tahun.Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari (Anggraini et al, 2009).Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebiasaan merokok dapat menyebabkan terjadinya hipertensi.

g. Stres

Stres dapat meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Peningkatan simpatis akan meningkatkan kerja jantung dan meningkatkan tekanan darah (Susilo dan Wulandari, 2011).

h. Kafein

Konsumsi kafein dalam jumlah yang berlebihan juga dapat menjadi faktor resiko terjadi hipertensi. Kafein dapat menimbulkan perangsangan saraf simpatis, yang pada orang-orang tertentu dapat menimbulkan gejala jantung berdebar-debar, sesak nafas dan lain-lain (Susilo dan Wulandari, 2011).

i. Kolesterol tinggi

Kandungan lemak yang berlebihan dalam darah dapat menyebabkan penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah akan menyempit dan akibatnya tekanan darah akan meningkat (Susilo dan Wulandari).

2.1.4 Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai mata, ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan pada hipertensi berat selain kelainan pada miokard. Pada otak sering terjadi perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisma yang dapat mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic Attack/TIA) dikarenakan menurunnya aliran ke pembuluh darah yang menyempit (Anggreini et al, 2009).

Komplikasi hipertensi dapat bersifat akut maupun kronik. Komplikasi pada otak yang bersifat akut biasanya karena kenaikan tekanan darah yang cepat dan mendadak seperti ensefalopati hipertensi. Sedangkan komplikasi yang bersifat kronik berupa kelainan-kelainan pembuluh darah otak berupa: 1)Nodular atherosclerosis. 2) Charcot-Bouchard aneurysm. 3)Fibrinoid necrosis.

Hipertensi merupakan sebagai salah satu faktor risiko terpenting untuk terjadinya atheroma di pembuluh darah otak. Faktor risiko lainnya adalah diabetes mellitus, merokok, hiperkolesterolemia. Terjadinya atheroma pada pembuluh darah di otak akan menimbulkan terjadinya penyakit pembuluh darah di otak berupa stroke non haemoragik, dementia, dan penurunan fungsi kognitif (Sugiyanto E, 2007).

2.1.5 Sirkulasi Darah Otak

Sistem serebrovaskular sangat penting bagi otak karena berfungsi memberikan nutria yang berguna untuk kerja otak. Apabila aliran darah serebrum terganggu beberapa detik saja maka akan terjadi disfungsi dari serebrum, yang akan berlanjut menjadi iskemi. Kerusakan irreversible terjadi bila pasokan oksigen terhenti selama 4-6 menit.Aliran darah serebrum atau atau disingkat menjadi CBF normal adalah sekitar 50 ml/100g jaringan otak per menit. Pada keadaan istirahat otak menerima seperenam dari curah jantung , sedangkan 20% oksigen yang beredar dalam tubuh bersirkulasi dalam otak . Apabila pembuluh darah serebrum terhambat sirkulasi kolateral akan membantu mempertahankan CBF ke daerah iskemik, bagian otak yang berdekatan dengan daerah yang mendapat sirkulasi kolateral tersebut disebut penumbra iskemik. Cerebral perfusion pressure (CPP) merupakan suatu gradien tekanan yang menyebabkan darah serebral (CBF) dapat mengalir menuju otak, nilai CPP harus dipertahankan dalam batas yang sempit karena perubahan tekanan sedikit saja akan dapat menyebabkan jaringan otak menjadi iskemik, atau dapat juga menyebabkan kenaikan tekanan intra kranial (Ropper, 2009).

Pengaruh CPP terhadap CBF dapat dirumuskan sebagai berikut : CBF = CPP/ CVR (resistensi serebrovaskuler)

Sedangkan CPP sendiri dipengaruhi oleh mean arterial pressure (MAP) dan tekanan intra kranial (ICP) sehingga didapatkan :

CPP = MAP – ICP

MAP merupakan tekanan arteri rata-rata yang didapatkan dari tekanan sistol dan diastol dengan rumus :

MAP = (2 diastol + 1 sistol) : 3

Dan tekanan intrakranial dipengaruhi oleh hukum Monroe Kelly yaitu merupakan hasil penjumlahan dari volume LCS, dijumlah volume darah, dan dijumlahkan dengan volume otak. Autoregulasi otak adalah kemampuan otak normal mengendalikan volume aliran darahnya sendiri di bawah kondisi tekanan darah arteri yang selalu berubah-ubah, yang dilakukan dengan cara mengubah ukuran pembuluh-pembuluh darah di otak untuk mempertahankan tekanan aliran darah ke otak dalam rentang fisiologis yaitu sekitar 60-160 mmHg. Yang pada penderita hipertensi rentang ini dapat berubah menjadi 180-200 mmHg. Apabila MAP turun mendadak hingga angka dibawah rentang fisiologis maka arteriol akan berdilatasi sehingga menurunkan resistensi sehingga aliran darah ke otak tetap konstan, dan sebaliknya bila MAP meningkat di atas batas fisiologis arteriol akan berkonstriksi untuk mempertahankan aliran darah ke kapiler otak, walaupun terjadi peningkatan dorongan darah arteri (Ropper, 2009)

Autoregulasi merupakan suatu proses penting yang menjaga sirkulasi pada saat terjadinya kenaikan maupun penurunan mendadak tekanan arteri, yang tentunya penting bagi sirkulasi kapiler otak, tanpa adanya sistem autoregulasi maka otak akan rentan terjadi iskemik atau pada tekanan tinggi merusak kapiler otak. Namun batas autoregulasi otak ini memiliki rentang fisiologik pada 60-160

mmHg.Volume CBF dipengaruhi oleh volume dan kekentalan darah, tekanan perfusi, dan tekanan intra kranial. Sehingga dari rumus yang telah disebutkan di atas dapat menjelaskan efek peningkatan tekanan darah terhadap gangguan fungsi pada otak (Price S, 2002 dalam Taufik 2012).

2.1.6 Mekanisme Penurunan Fungsi Kognitif Akibat Hipertensi

Hipertensi memberikan efek terhadap otak melalui banyak mekanisme yang pada akhirnya memberikan efek terhadap penurunan fungsi kognitif. Beberapa studi telah dilakukan dan didapatkan hasil bahwa hipertensi menyebabkan penurunan cerebral blood flow (CBF) dan metabolisme otak (penggunaan glukosa untuk menghasilkan energi) pada regio otak tertentu, seperti pada lobus frontal, temporal, dan area subkortikal.Penurunan CBF ini ditemukan lebih besar efek yang ditimbulkan pada pasien hipertensi tanpa terapi medikasi dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi obat. Beberapa penelitian selanjutnya juga menunjukkan bahwa pada subjek penderita hipertensi memiliki respon yang lebih buruk pada fungsi memorinya dibandingkan dengan yang memiliki tekanan darah normal ( Kalariaet al, 2002). Penemuan ini menunjukkan bahwa CBF memiliki peranan penting pada fungsi memori dan juga pada fungsi kognitif yang lain. Transmisi neurokimiawi pada otak dan pada fungsi basal sel juga terkena efek akibat dari hipertensi, selain itu berbagai macam karakteristik neurofisiologis hipertensi juga dapat memberikan andil terhadap gangguan fungsi kognitif. Beberapa karakteristik ini juga dapat menyebabkan perubahan patologis pada anatomi otak setelah melalui beberapa tahun (Kalaria et al, 2002)

Pembuluh darah besar yang memberikan suplainya ke otak (arteri carotis) serta pembuluh darah besar dan pembuluh darah kecil yang berada didalam otak juga terkena imbas dari hipertensi. Hipertensi menyebabkan kerusakan pada endotel dari arteri serebral. Kerusakan ini dapat menimbulkan gangguan pada blood brain barrier,sehingga substansi toksik dapat dengan mudah masuk menuju ke otak. Selain itu kerusakan pembuluh darah menurunkan suplai darah ke otak, atherosclerosis pada arteri besar dan blokade pada arteriol. Pada akhirnya proses

ini menyebabkan kerusakan pada substansia alba yang berperan dalam transmisi pesan dari satu regio otak menuju yang lainnya, selain itu juga menyebabkan mini stroke atau sering disebut silent infarction karena simptom yang muncul tidak terlihat dengan jelas. Pada penderita hipertensi yang mengkonsumsi obat ditemukan kerusakan pada substansia alba tidak sehebat pada penderita tanpa mengkonsumsi obat anti hipertensi, dan juga pada penderita yang tekanan darahnya tidak terkontrol terlihat kerusakan yang ekstensif. Pada tahap akhir penderita hipertensi ditemukan bahwa terjadi atropi atau penyusutan pada massa otaknya. Berbagai gangguan inilah yang secara bertahap menimbulkan vascular disease pada otak yang pada tahap akhir menimbulkan stroke ataupun demensia vaskuler (Kalaria et al, 2002)

Pada beberapa studi juga telah memeriksa mekanisme hubungan aliran darah otak yang telah dijelaskan di atas dengan kaitannya terhadap performa kognitif. Pada salah satu studi menunjukkan bahwa pada penderita hipertensi yang mengalami kerusakan substansia alba menunjukkan hasil kognitif yang lebih buruk dibandingkan dengan subjek yang memiliki tensi normal dan kerusakan substansia alba yang minimal ( Scimdt R, 1993 dalam Taufik 2012).

2.2 Kognitif

2.2.1 Definisi Kognitif

Kognitif merupakan suatu proses pekerjaan pikiran yang dengannya kita menjadi waspada akan objek pikiran atau persepsi, mencakup semua aspek pengamatan, pemikiran dan ingatan (Dorland, 2002).

2.2.2 Aspek-Aspek Kognitif

Fungsi kognitif seseorang meliputi berbagai fungsi berikut, antara lain : 1. Orientasi

Orientasi dinilai dengan pengacuan pada personal, tempat dan waktu. Orientasi terhadap personal (kemampuan menyebutkan namanya sendiri ketika

ditanya) menunjukkan informasi yang “overlearned”. Kegagalan dalam menyebutkan namanya sendiri sering merefleksikan negatifism, distraksi, gangguan pendengaran atau gangguan penerimaan bahasa.

Orientasi tempat dinilai dengan menanyakan Negara, provinsi, kota, gedung dan lokasi dalam gedung. Sedangkan orientasi waktu dinilai dengan menanyakan tahun, musim, bulan, hari dan tanggal.Karena perubahan waktu lebih sering daripada tempat, maka waktu dijadikan indeks yang paling sensitif untuk disorientasi.

2. Bahasa

Fungsi bahasa merupakan kemampuan yang meliputi 4 parameter, yaitu :a) Kelancaran, merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan kalimat dengan panjang, ritme dan melodi yang normal. Suatu metode yang dapat membantu menilai kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien menulis atau berbicara secara spontan. b) Pemahaman, merujuk pada kemampuan untuk memahami suatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan mampunya seseorang untuk melakukan perintah tersebut. c) Pengulangan, adalah kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau kalimat yang diucapkan seseorang. d) Naming, merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai suatu objek beserta bagian-bagiannya.

3. Atensi

Atensi merujuk pada kemampuan seseorang untuk merespon stimulus spesifik dengan mengabaikan stimulus yang lain di luar lingkungannya. Fungsi Atensi memiliki dua aspek, yaitu : a) Mengingat segera, aspek ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk mengingat sejumlah informasi selama <30 detik dan mampu untuk mengeluarkannya kembali. b) Konsentrasi, aspek ini merujuk pada sejauh mana kemampuan seseorang untuk memusatkan perhatiannya pada satu hal. Fungsi ini dapat dinilai dengan meminta orang tersebut untuk mengurangkan

7 secara berturut-turut dimulai dari angka 100 atau memintanya mengeja kata secara terbalik.

4. Memori

a. Memori verbal, yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat kembali informasi yang diperolehnya. Memori verbal terbagi menjadi memori baru dan memori baru. Memori baru adalah kemampuan seseorang untuk mengingat informasi yang diperolehnya pada beberapa menit atau beberapa hari yang lalu. Memori lama adalah kemampuan seseorang untuk mengingat informasi yang diperolehnya pada beberapa minggu atau bertahun-tahun lalu.

b. Memori visual, yaitu kemampuan untuk mengingat kembali informasi berupa gambar.

5. Fungsi konstruksi

Kemampuan seseorang untuk membangun dengan sempurna.Fungsi ini dinilai dengan meminta orang tersebut untuk menyalin gambar, memanipulasi balok atau membangun kembali suatu bangunan balok yang telah dirusak sebelumnya.

6. Kalkulasi

Mengacu kepada kemampuan untuk menghitung angka 7. Penalaran

Kemampuan seseorang untuk membedakan baik buruknya suatu hal, serta berpikir abstrak (Goldman, 2000 dalam Dayamaes 2013)

2.2.3 Faktor yang berpengaruh pada fungsi kognitif

Ada beberapa faktor penting yang memiliki efek penting terhadap fungsi kognitif seperti usia, gangguan perfusi darah otak, stress, ansietas, latihan memori, genetik, hormonal, lingkungan, penyakit sistemik, infeksi, intoksikasi obat, diet.

a. Usia

Semakin tua usia seseorang maka secara alamiah akan terjadi apoptosis pada sel neuron yang berakibat terjadinya atropi pada otak yang dimulai dari atropi korteks, atropi sentral, hiperintensitas substantia alba dan paraventrikuler. Yang mengakibatkan penurunan fungsi kognitif pada seseorang, kerusakan sel neuron ini diakibatkan oleh radikal bebas, penurunan distribusi energi dan nutrisi otak(Carayannis G, 2001).

b. Stress, Depresi, Ansietas

Depresi, stress dan ansietas akan menyebabkan penurunan kecepatan aliran darah dan stress memicu pelepasan hormon glukokortikoid yang dapat menurunkan fungsi kognitif (Parkin A, 1999 dalam Taufik 2012)

c. Perfusi darah otak

Otak merupakan organ manusia yang hanya memiliki berat 2% dari tubuh namun menggunakan konsumsi oksigen 20% dari O2 total (45 mL O2/min), dan juga menggunakan konsumsi glukosa 25% dari glokosa tubuh, karena otak tidak memiliki cadangan glukosa. Aliran darah otak berkisar 50-60 ml/100g/menit dengan CBF istirahat 800 mL/min yang kira-kira 15% dari cardiac output. Otak tidak memiliki cadangan glukosa dan oksigen sehingga bila terjadi gangguan perfusi otak akan didapatkan gangguan pada sel neuron, makin lama gangguan perfusi darah ke hippokampus akan semakin berat derajat gangguan kognitif, yang dibuktikan oleh penelitian De Jong, dkk yang meligasi arteri carotis tikus wistar setelah 1 bulan didapatkan penurunan fungsi kognitif (De Jong G, 1999).

d. Lingkungan

Pada orang yang tinggal di daerah maju dengan sistem pendidikan yang cukup maka akan memiliki fungsi kognitif yang lebih baik dibandingkan pada orang dengan fasilitas pendidikan yang minimal, semakin kompleks stimulus yang

didapat maka akan semakin berkembang pula kemampuan otak seseorang ditunjukkan pada penelitian pada tikus yang berada pada lingkungan yang sering diberikan rangsang memiliki kadar asetilkolin lebih tinggi dari kelompok kontrol (Wood E, 2000 )

e. Infeksi dan penyakit sistemik

Penyakit sistemik seperti atherosklerosis, hipertensi, dislipidemia, obesitas, rokok akan menghambat aliran darah otak sehingga terjadi gangguan suplai nutrisi bagi otak yang berakibat pada penurunan fungsi kognitif. Selain itu infeksi akan merusak sel neuron yang menyebabkan kematian sel otak (Stinga E, 2000)

f. Latihan memori

Semakin sering seseorang menggunakan atau melatih memorinya maka sinaps antar neuron akan semakin banyak terbentuk sehingga kapasitas memori seseorang akan bertambah, berdasar penelitian Vancocellos pada tikus yang diberi latihan berenang selama 1 jam perhari selama 9 minggu terbukti memiliki fungsi memori jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik daripada kelompok control (Vasconcellos A, 2003 dalam Taufik)

g. Intoksikasi obat

Beberapa zat seperti toluene, alkohol, bersifat toksik bagi sel neuron, selain itu defisiensi vitamin B kompleks terbukti menyebabkan penurunan fungsi kognitif seseorang, obat golongan benzodiazepin, statin juga memiliki efek terhadap memori (Faust R, 1994).

2.3 Lansia

2.3.1 Definisi lansia

Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia, ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN 1998 dalam Zulsita). Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.

2.3.2 Klasifikasi lansia

WHO dalam menkes RI mempunyai batasan usia lanjut sebagai berikut:middle / young elderly usia antara 45-59 tahun, elderly usia antara 60-74 tahun, old usia antara 75-90 tahun dan dikatakan very old berusia di atas 90 tahun. Pada saat ini, ilmuwan sosial yang mengkhususkan diri mempelajari penuaan merujuk kepada kelompok lansia : “lansia muda” (young old), “lansia tua” (old old). Dan “lansia tertua” (oldest old). Secara kronologis, young old secara umum dinisbahkan kepada usia antara 65 sampai 74 tahun, yang biasanya aktif, vital dan bugar. Old-old berusia antara 75 sampai 84 tahun, dan oldest old berusia 85 tahun ke atas (Papalia, Olds & Feldman, 2005 dalam Zulsita 2010). 2.4 MMSE (Mini Mental State Examination)

2.4.1. Tujuan

MMSE awalnya dirancang sebagai media pemeriksaan status mental singkat serta terstandardisasi yang memungkinkan untuk membedakan antara gangguan organik dan fungsional pada pasien psikiatri. Sejalan dengan banyaknya

penggunaan tes ini selama bertahun-tahun, kegunaan utama MMSE berubah menjadi suatu media untuk mendeteksi dan mengikuti perkembangan gangguan kognitif yang berkaitan dengan kelainan neurodegeneratif, misalnya penyakit

Dokumen terkait