• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan kajian mengenai identifikasi bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak di Kota Tanjungbalai dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut :

a. Dari 13 bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Keppres 59 Tahun 2002, terdapat 8 bentuk pekerjaan yang dianggap relevan yakni anak yang bekerja pada sektor perikanan lepas pantai, anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, anak yang bekerja sebagai pemulung, anak yang bekerja di jalanan dan anak yang bekerja di jermal. Sektor yang disebut terakhir tidak termasuk bentuk pekerjaan yang dikaji lebih lanjut.

b. Jumlah terbesar PA berumur di antara 15 – 17 tahun yakni 69 orang atau 62.7 % dan berumur 11 – 14 tahun sebanyak 40 orang atau 36.4 %. Dan hanya 1 orang yang berumur di bawah 11 tahun.

c. Sebahagian besar suku bangsa dari PA adalah Batak yakni 42,7 %. Kemudian diikuti oleh Melayu dan Jawa masing-masing 30.9 % dan 23.6 %. Sukubangsa Batak ini termasuk sub etnik Batak lainnya seperti Mandailing-Angkola, Simalungun, Pakpak, Karo.

d. Sebahagian besar PA sudah tidak bersekolah, hanya 40 % yang masih bersekolah. e. Sebahagian besar PA dengan kategori umur 11 – 14 tahun masih bersekolah. Dari

40 PA yang masuk kategori ini, 29 PA masih bersekolah. Sebaliknya pada PA dengan usia 15 – 17 tahun sebahagian besar tidak sekolah, yakni 55 PA dari 69 PA.

f. Faktor utama penyebab PA putus sekolah adalah faktor kemiskinan. Faktor kedua adalah tidak mau sekolah sebagai penyebab putus sekolah, yang disebabkan oleh telah menghasilkan uang, terpengaruh teman-teman sebaya yang sudah tidak bersekolah, maupun karena sistem pengajaran di sekolah yang tidak memotivasi siswa dan fasilitas yang tidak memadai. Faktor lainnya adalah disebabkan PA

tidak berani ke sekolah karena berkelahi dengan siswa yang berasal dari sekitar sekolah.

g. Bagi PA yang menyatakan masih berkeinginan untuk bersekolah kembali, sebahagian besar menyatakan untuk bisa bersekolah di SLTP (20 PA), dan SLTA (16 PA). Sementara bagi PA yang tidak ingin lagi bersekolah, alasan utama yang disampaikan bahwa mencari uang lebih enak dari sekolah dan sudah muak dengan rutinitas sekolah. Ada juga PA yang beralasan bahwa ukuran tubuhnya yang sudah terlihat dewasa, sehingga merasa malu untuk kembali bersekolah.

h. Umumnya responden menyatakan tidak memiliki keterampilan yang dikuasai yang dibayangkan bisa berguna untuk kehidupannya di masa akan datang. Hanya sebagian kecil yang menyatakan memiliki keterampilan dan berguna untuk kehidupannya kelak seperti menjahit dan menyulam, bengkel, menyanyi, sablon, membubul dan beberapa keterampilan yang masih terkait dengan pekerjaannya saat ini.

i. Cita-cita PA adalah menjadi TNI/POLRI, dokter, guru, tekong, toke (pengusaha), berjualan, anggota DPRD, teknisi, pengacara, pelaut, sisanya menyatakan tidak memiliki cita-cita.

j. Sebagian besar rumah keluarga PA terbuat dari papan, sisanya semi permanen, permanent. Sbahagian besar keluarga PA menempati rumah sewa, sisanya milik sendiri. Sebagian besar sudah menggunakan PLN, dan sisanya masih menggunakan lampu teplok. Sebagian besar MCK menggunakan air sungai/laut, sisanya menggunakan PAM, dan sumur.

k. Pekerjaan orangtua laki-laki PA sebagian besar adalah sebagai nelayan dan mocok-mocok (tidak memiliki pekerjaan tetap), sisanya adalah wiraswasta dan penarik beca dan RBT (ojek), pedagang, pegawai swasta, pemulung, supir, petani, tidak bekerja dan sudah meninggal dunia. Sementara ibu PA sebagian besar bekerja di sektor publik atau sebagai ibu rumah tangga, namun ada juga yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, upahan mencuci, industri rumah tangga pengupasan kerang dan udang serta pekerjaan lainnya yang tidak menetap (mocok-mocok), (TKW) yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.Lamanya anak bekerja diberbagai sektor pekerjaan yang di teliti sebagian besar kurang dari

1 tahun, selebihnya bekerja selama 2 tahun lebih, telah bekerja selama 1 tahun, dan anak yang bekerja selama 3 tahun serta anak yang telah bekerja selama 4 tahun.

l. Informasi pekerjaan yang diperoleh responden lebih banyak di peroleh dari teman, selanjutnya dari saudaranya, orang tua, dari calo, dan yang di cari oleh responden sendiri .

m. Sebagian besar menyatakan tidak ada pelatihan yang diberikan secara khusus kepada PA sebelum dan diawal bekerja, selebihnya menyatakan berupa petunjuk yang diberikan oleh orang tua atau teman tentang cara bekerja sesuai dengan jenis pekerjaan PA.

n. Jarang terjadi berpindah-pindah pekerjaan bagi PA.

o. Hampir keseluruhan orang tua PA mengetahui bahwa anaknya bekerja.

p. Sebagian besar PA memandang pekerjaan yang sekarang ini, bukanlah pekerjaan yang diidamkan.

q. Sebahagian besar PA tidak mengetahui besarnya upah yang bakal diterima, selebihnya sudah mengetahui besarnya upah yang bakal diterima.

r. Periode pembayaran gaji/upah yang diterima responden anak setelah bekerja sangat bervariasi tergantung dengan periodesisasi kerja di sektor tersebut.

s. Upah yang diterima PA umumnya tidak ada perbedaan dengan pekerja dewasa untuk posisi dan tugas serta tanggung jawab yang sama. Selebihnya mengatakan bahwa ada perbedaan upah/gaji yang mereka peroleh dibandingkan dengan pekerja dewasa.

t. Upah yang diterima PA dialokasikan untuk berbagai kebutuhan seperti memberikannya kepada orang tua untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun sekedar untuk jajan seperti untuk beli rokok, untuk keperluan sekolah, main play station atau video game, pakaian dan lain-lain.

u. Sebagian besar PA menyatakan pernah sakit selama bekerja.

v. Terkait dengan hak anak, sebahagian besar PA tidak mengetahui haknya sebagai anak. Sebagian besar mengatakan pernah mengalami kekerasan, baik kekerasan fisik dan kekerasan non fisik. Kekerasan fisik yang dialami responden pekerja anak berupa pukulan dengan tangan kosong.

w. Pelaku tindakan kekerasan adalah pimpinan tempat bekerja, teman sekerja, penjaga gudang maupun orang tua sendiri.

4.2. Rekomendasi

Dalam upaya penghapusan bentuk-bentuk terburuk bagi pekerja anak di Kota Tanjungbalai perlu diupayakan tindakan yang komprehensif dan sistematis dalam konteks permasalahan pekerja anak yang kompleks. Upaya ini berupa satu rangkaian kegiatan untuk pencegahan masuknya anak ke bentuk-bentuk pekerjaan yang berbahaya dan penanggulangan terhadap pekerja anak yang saat ini sudah bekerja. Untuk itu, ada beberapa alternative tawaran yang disampaikan yakni :

1. Mengupayakan ruang permainan anak yang bersifat mendidik seperti lapangan bola dan taman bacaan. Ini dimaksudkan untuk mengurangi aktifitas anak bermain di gudang dan tempat permainan yang kurang mendidik dan berbiaya besar seperti playstation.

2. Sosialisasi kepada orang tua pekerja anak dan masyarakat lainnya untuk mengurangi kemandirian anak dalam pemanfaatan uang. Cepatnya anak memiliki uang sendiri dengan bekerja, dapat memotivasinya untuk tidak bersekolah dan menarik anak lainnya untuk bekerja.

3. Penting dilakukan upaya penyadaran terhadap orang tua pekerja anak dan masyarakat lainnya mengenai hak-hak anak dan bahayanya terhadap kesehatan dan masa depan anak yang bekerja di sektor-sektor berbahaya. 4. Mengefektifkan program wajib belajar 9 tahun dengan pendidikan gratis bagi

yang tidak mampu dan membangun proses belajar dan mengajar yang menyenangkan bagi siswa.

5. Perlu dilakukan fasilitasi penguatan kapasitas hingga membuka ruang akses pemasaran bagi pekerja anak dan orang tuanya yang memiliki keterampilan khusus seperti menyulam dan menjahit.

6. Membuka ruang untuk bentuk-bentuk pekerjaan yang tidak berbahaya bagi anak sebagai alternative pekerjaan. Ini dimaksudkan untuk membatasi anak masuk ke bentuk-bentuk pekerjaan yang berbahaya. Pelarangan anak bekerja di sektor-sektor berbahaya tanpa mencarikan alternative akan sia-sia karena banyak anak bekerja untuk mendukung ekonomi rumah tangga.

Daftar Pustaka

_____________, 2002. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, Jakarta.

_____________, 2002. SK GUBSU No. 463/1211/K/Tahun 2002 Tentang 2002 Tentang Pembentukan Komite Aksi Propinsi Sumatera Utara Tentang Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Medan

DK3N, 2000. Pedoman Praktis Ergonomik. Petunjuk Yang Mudah Diterapkan Dalam Meningkatkan Keselamatan dan Kondisi Kerja. Tim Penterjemah Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N), Jakarta : DK3N

Jensen, Robert T, 2001. Mainstreming Gender into IPEC. A Report to the Internasional Programme On The Elimination on Child Labour The International Labour Organization. USA.

ILO, 2002. Investigating Child Labour. Guideline for Rapid Assessment. A Field Manual. Draft

ILO, 2001. Eliminating The Worst Forms of Child Labour : An Integrated and Time Bound Approach. A Guide for Goverments, Employers, Workers, Donors, and Other Stakeholders.

Irwanto et al, 2002. Pekerja Anak di Tiga Kota Besar: Jakarta, Surabaya, Medan.

Putranto, Pandji. 2002. Gambaran Umum Mengenai Permasalahan Pekerja Anak di Indonesia dan Penanggulangannya. Makalah tidak diterbitkan.

Sofian, Ahmad, dkk, 2000. Laporan Penelitian Deskriptif Karakteristik Pekerja Anak Jermal di Propinsi Sumatera Utara Tahun 2000 (Wilayah Kabupaten Langkat dan Deli Serdang), Medan : PKPA dan ILO-IPEC.

Suwarto, 1997. Strategi dan Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Upaya Penanggulangan Pekerja Anak di Indonesia, makalah tidak diterbitkan.

Theis, Joachim. Eliminating the Worst Forms of Child Labour. Handbook for Action- Oriented Research. Regional Working Group on Child Labour

Tjandraningsih, Indrasari; Anarita, Popon, 2002. Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau,

LAMPIRAN I.LIFE STORY PEKERJA ANAK

Life Story 1. Pekerja Anak di Konstruksi

Rahmat (16) adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Ia putus sekolah ketika masih duduk di SD karena ketiadaan biaya. Tapi apa daya, ayahnya yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga sudah tak mampu membayar uang sekolahnya. Ia pun terpaksa melupakan cita-citanya menjadi polisi yang gagah seperti di film India yang sering ia tonton. Ketika itu, ia sangat sedih sekali dan tidak ingin kedua adik perempuannya bernasib sama. Sejauh ini Rahmat telah berhasil. Kedua adiknyapun masih tetap bersekolah atas bantuan biaya darinya yang bekerja sebagai buruh bangunan.

Hubungan Rahmat dengan ayahnya tidaklah baik. Sehingga sejak umur 12 tahun, ia sudah tidak tinggal bersama orang tuanya. Penyebabnya bukanlah karena Rahmat terpaksa berhenti sekolah. Tetapi, temperamen tinggi ayahnya yang suka memukuli ibunya, dirinya dan adik-adiknya. Pernah suatu waktu akibat pukulan ayahnya, kepala Rahmat berdarah. Perilaku buruk ayahnya ini hampir tiap hari berulang terutama ketika ayahnya yang hobi minum-minuman keras pulang dalam keadaan mabuk. Sehingga ayahnya dan ibunya hampir tiap hari bertengkar. Tidak tahan dengan perlakuan ayahnya, maka Rahmatpun minggat dari rumah dan tinggal bersama kerabat ibunya yang ia panggil dengan sebutan uwak. Rumah uwaknya hanya berjarak sekitar 500 M dari rumah orang tuanya.

Sejak itulah Rahmat mulai bekerja. Pekerjaan pertamanya adalah membantu pamannya berjualan di pasar. Dari membantu pamannya, ia memperoleh upah per harinya Rp. 3000 – 5000.-.Sebagian dari upah itu diberikan kepada uwaknya dan sisanya digunakan untuk keperluannya sendiri. Setahun bekerja berjualan, ia medapat tawaran bekerja di usaha pembuatan kursi dan lemari. Bekerja di tempat ini, Rahmat mengaku senang. Selain tokenya (pemilik) baik, gajinya juga lebih besar. Pekerjaannya pun tidak terlalu berat, karena hanya bertugas memotong papan, mengangkat triplek, mengampelas dan mengecat lemari. Hanya saja, Rahmat tidak lama bekerja di industri kecil ini. Omset penjualan yang terus menurun memaksa pemilik usaha mengurangi beberapa karyawan termasuk dirinya.

Rahmat pun akhirnya menganggur. Ia mencoba mencari pekerjaan tetapi belum ada yang menerima. Setelah beberapa waktu menganggur, akhirnya ia diajak teman- temannya untuk kerja sebagai buruh bangunan. Awalnya ia menolak karena tahu bahwa bekerja sebagai buruh bangunan sangat berat. Namun, lama menganggur membuatnya malu dengan uwaknya. Maka ia pun menerima tawaran pekerjaan sebagai buruh bangunan.

Hari pertama bekerja, Rahmat hanya mampu setengah hari. Penghasilannyapun hanya upah setengah hari kerja. Mengangkat pasir, mengaduk semen, dan mengangkut balok membuatnya sangat kelelahan dan tangannyapun melepuh. Akhirnya, ia kembali menganggur.

Beberapa hari menganggur membuatnya jadi gelisah dan malu. Akhirnya, muncul tekad di diri Rahmat untuk kembali bekerja. Ia pun mendatangi kepala bangunan (Tukang), dan menyatakan ingin kembali bekerja. Rahmat merasa beruntung, karena Tukang bisa menerimanya kembali bekerja. Rahmatpun dengan sekuat tenaga untuk

bertahan di pekerjaan ini, karena sadar bahwa ia tidak punya pilihan. Pernah suatu waktu, kakinya terkena paku ketika bekerja. Lukanya cukup dalam dan membuat Rahmat tidak bisa bekerja selama 4 hari. Ia berobat ke Puskesmas terdekat, dan diberi obat anti nyeri dan kompres.

Lama bekerja membuat Rahmat terbiasa. Pekerjaan buruh bangunan ia rasakan tidak lagi seberat ketika pertama kali bekerja. Penghasilannyapun lumayan besar menurutnya, karena bisa memperoleh Rp. 600.000 per bulannya. Sebagian besar upah dari hasil keringatnya ini diberika ke ibunya untuk biaya sekolah adik-adiknya. Sisanya dibuat untuk membeli pakaian dan biaya jalan-jalan keliling kota bersama pacarnya ketika sedang tidak bekerja.

Keinginan terbesar Rahmat saat ini adalah membeli handphone yang ada kameranya. Kamera yang bisa mengabadikan dirinya bersama pacarnya. Ia pun termotivasi untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya karena sadar bahwa handphone yang ada kameranya harganya cukup mahal. Saat ini Rahmat sedang sibuk mengurus KTP untuk persiapan berangkat kerja ke Aceh. Ia mendapat tawaran bekerja sebagai buruh bangunan di Aceh dengan upah yang lebih besar. Handphone berkamera telah memotivasinya untuk bekerja lebih keras.Tak peduli jika itu membuatnya harus merantau meninggalkan keluarga dan pacarnya. Rahmat yakin, dengan handphone berkamera, ia bisa selalu dekat dengan pacarnya, dan bisa membawanya kemanapun ia pergi.

Life Story 2. PA sebagai Pembantu Rumah Tangga

Melda, begitu gadis remaja ini disapa. Ia anak kedua dari lima bersaudara. Umurnya baru 14 tahun, tetapi sudah turut bertanggung jawab terhadap ekonomi rumah tangga. Ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada satu keluarga di Tanjungbalai. Melda yang masih duduk di kelas 3 di salah satu SMP di Kota Tanjungbalai ini harus menggantikan peran ibunya setiap pulang sekolah. Kesulitan ekonomi rumah tangga telah memaksanya untuk bekerja.

Hidup serba kekurangan dan harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga setiap pulang sekolah, tidak terbayang di benak Melda sebelumnya. Pasalnya, ketika itu kehidupan Melda dan keluarganya serba berkecukupan. Ayahnya adalah pemborong ikan yang cukup sukses di kota ini. Tetapi penyakit yang menyerang ibunya dan kemudian ayahnya telah membuat keluarga ini jatuh miskin.

Ketika itu, ibunya baru saja melahirkan adiknya yang bungsu. Tetapi, dokter mendiagnosa bahwa ibunya mengalami kanker ganas di perut yang jika tidak segera dioperasi akan membahayakan nyawa ibunya. Tanpa berpikir panjang, ayah Melda menyetujui untuk dilakukan operasi berapapun biayanya asalkan ibunya bisa sehat. Tapi apa daya, biaya operasi dan perawatan ibunya telah menguras tabungan orang tuanya. Setelah ibunya mulai sembuh, giliran ayahnya yang jatuh sakit. Maka modal usahapun ikut habis untuk biaya perobatan.

Saat itulah ibunya mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan buruh cuci. Padahal ketika itu, bekas operasi belum sembuh total tetapi ibunya memaksakan diri untuk bekerja. Jam 6.00 pagi ibunya mulai mencuci di rumah tetangga, dan setelah itu berangkat ke rumah lainnya dimana ibu sebagai pembantu. Karena ibunya pagi-pagi sekali sudah berangkat, maka pekerjaan di rumah seperti memasak dan membereskan rumah menjadi tanggung jawab Melda sebagai anak perempuan tertua. Setelah semuanya beres barulah dia berangkat ke sekolah.

Di sekolah Melda sering mendapat hukuman dari guru. Pasalnya seringkali pekerjaan rumah (PR) yang ditugaskan guru tidak bisa diselesaikannya. Melda bukan tidak mau mengerjakan PR, tetapi waktunya sangat terbatas untuk bisa mengulang pelajaran dan mengerjakan PR. Karena sepulang sekolah, setelah makan siang, ia buru- buru ke tempat ibunya bekerja untuk menggantikannya bekerja. Padahal, ia merasa sangat kelelahan sepulang dari sekolah dan ingin istirahat. Itu harus dilakukannya, agar ibunya bisa istirahat setengah hari..Setelah operasi akibat penyakit kankernya, dokter menyarankan ibunya untuk tidak terlalu lelah bekerja. Melda pun khawatir, jika ibunya jatuh sakit maka ia dan saudaranya akan putus sekolah.

Di rumah majikan, Melda menggantikannya ibunya mengasuh anak, mencuci piring, membersihkan rumah dan sesekali menyetrika pakaian. Kegiatan ini dilakukannya hingga sore hari. Di waktu libur sekolah, Melda juga menggantikan ibunya sebagai buruh cuci.

Sebagai pembantu rumah tangga, ibunya memperoleh upah sebesar Rp. 300.000,-. Ditambah upah sebagai buruh cuci, hanya mampu menutupi sebagian dari kebutuhan rumah tangga. Tambahan lainnya diperoleh dari abangnya yang bekerja sebagai buruh bangunan. Abangnya, yang umurnya 2 tahun lebih tua dari Melda, juga bekerja sepulang dari sekolah. Ayahnya pun sudah kembali bekerja walaupun tidak memiliki pekerjaan

tetap (mocok-mocok). Dengan pengerahan semua sumberdaya yang ada, Melda pun tetap nyakin cita-citanya menjadi guru akan tercapai.

Life Story 3. Pekerja Anak sebagai Pencatuk

Ayubi (15) belum lama putus sekolah. Ia memilih berhenti sekolah karena takut. Pasalnya, ia terlibat tawuran dengan teman sekolah dan siswa dari sekolah lain. Padahal, Ayubi ketika itu sudah duduk di kelas 3 SMP di Kota Tanjungbalai. Jika sebelumnya Ayubi bekerja sambil sekolah maka saat ini waktunya semakin banyak untuk bekerja.

Ayubi sudah bekerja sejak umur 12 tahun. Pekerjaan pertamanya adalah sebagai pencatuk. Ia mulai bekerja karena iri melihat teman-temannya telah menghasilkan uang sendiri tanpa meminta lagi kepada orang tua. Selama lebih kurang dua tahun bekerja sebagai pencatuk, Ayubi sempat beralih pekerjaan menjadi nelayan. Ia ikut ke laut sebanyak dua kali. Pertama kali ke laut, sebagai awak kapal pukat langgar. Menangkap ikan selama 4 hari di laut, ia memperoleh upah Rp.40.000,- di luar penjualan ikan yang dihasilkannya dari memancing di saat waktu luang.

Keikutsertaannya untuk kedua kalinya ke laut, membuat Ayubi trauma. Pasalnya, ia bersama dengan 4 orang temannya se kapal mengalami kecelakaan. Ketika itu, malam hari dan mereka sedang tidur di kapal, tiba-tiba datang badai dengan ombak besar yang menghempas ke dinding kapal. Akibatnya ia dan empat temannya terlempar ke ke laut. Mereka berusaha menyelamatkan diri dengan sekuat tenaga untuk naik kembali ke kapal. Dibantu awak lainnya, Ayubi dan seorang temannya selamat, namun tiga teman lainnya tidak terselamatkan dan ditemukan sudah meninggal dunia. Beberapa bulan setelah kecelakaan itu, Ayubi mencoba untuk bekerja di laut namun ia merasa sangat ketakutan karena selalu terbayang kecelakaan yang pernah dialaminya. Trauma akibat kecelakaan itu, maka Ayubi berhenti bekerja di kapal dan kembali bekerja sebagai pencatuk.

Pertama kali mematuk, orang tuanya tidak mengetahui kalau ia bekerja. Namun, akhirnya orang tuanya mengetahuinya dan memperbolehkannya. Ayahnya hanya bertanya berapa dapat uang dan ayah tidak pernah meminta uang yang diperoleh anaknya tersebut.

Dari hasil mematuk, Ayubi bisa mendapatkan uang sebanyak 20.000 per harinya. Penghasilan yang paling rendah yang ia terima adalah sebanyak 5.000 per hari. Umumnya mulai bekerja yaitu pada pukul 7.30 pagi hingga pukul 12 siang. Dapat dikatakan bahwa jam kerja pematuk setiap hari juga tidak dapat ditentukan. Ayubi dan teman-teman lainnya bekerja ketika kapal pulang dari laut.

Sebagai pencatuk, Ayubi juga pernah mengalami kecelakaan. Ketika itu, ia terjatuh dan tergores potongan kayu di sungai. Kakinya berdarah dan berobat ke bidan yang ada di desa.

Bekerja sebagai pencatuk, ia pernah dimarahi oleh ABK karena mengambil ikan. Ia juga pernah dilempar pakai es oleh Brimob yang bertugas di gudang sebagai pengawas. Ia juga pernah dikejar Brimob atas perintah toke. Ayubi berlari ke belakang kapal dan kemudian masuk ke air. Responden dikejar oleh Brimob juga karena mencuri ikan. Ia juga pernah ditangkap dan dimarahi oleh Brimob di dalam gudang. Ayubi dan kawan-kawannya sesama pencatuk menyebut Brimob adalah sebagai anjingnya Cina.

Life Story 4. Pekerja Anak di Sektor Prostitusi

Tia (17), anak ketiga dari enam bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai supir truk pengangkut pasir dan ibunya mencari upahan mencuci pakaian tetangga. Ia putus sekolah ketika duduk kelas 2 di salah satu SMU swasta di Kota Tanjungbalai. Putus

sekolah karena ayahnya selalu marah jika ia meminta uang SPP dan biaya keperluan sekolah lainnya. Ayahnya yang pemarah membuatnya tidak betah tinggal di rumah dan memutuskan meninggalkan rumah tanpa permisi dan pergi ke rumah salah satu kerabatanya di Kota Sibolga.

Dua bulan di Kota Sibolga, Tia bekerja sebagai pelayan di sebuah rumah makan. Akhirnya Ayahnya menjemputnya karena ibunya sakit keras. Di saat itu, keluarganya sangat membutuhkan dana yang cukup besar untuk biaya pengobatan ibunya. Tia menyangyangkan sikap ayahnya yang dalam keadaan ibunya sakit keras bukannya membuat ayahnya semakin giat bekerja justru sebaliknya semakin malas. Dua orang Abang Tia pun tidak bisa banyak membantu biaya perobatan. Abangnya yang pertama bekerja sebagai buruh nelayan dengan penghasilan yang tidak memadai. Abangnya yang kedua masih menganggur.

Menghadapi situasi keuangan keluarga yang kacau, muncullah keinginan Tia bekerja untuk mencari biaya bagi perobatan ibunya serta biaya sekolah adik-adiknya. Ia

Dokumen terkait