• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian mengenai karakteristik penderita tonsilitis kronis periode 1 Januari 2014 – 31 Desember 2014 didapatkan 80 orang penderita, dapat diambil kesimpulan seperti berikut:

1) Berdasarkan distribusi proporsi penderita tonsilitis kronis mengikut sosiodemografi yaitu umur terbanyak pada kelompok umur 16-30 tahun yaitu sebanyak 28 orang (35,0%); jenis kelamin terbanyak adalah jenis kelamin laki-laki yaitu 42 orang (52,5%); pekerjaan penderita yang paling banyak adalah pelajar/mahasiwa yaitu sebanyak 39 orang (48,8%).

2) Berdasarkan keluhan utama penderita tonsilitis kronis paling banyak mengalami rasa mengganjal di tenggorokan yaitu 29 orang (36,3%) diikuti dengan sangkut menelan 28 orang (35,0%).

3) Berdasarkan ukuran tonsil, ukuran tonsil penderita tonsilitis kronis terbanyak adalah ukuran T2 sebanyak 60 (37,5%) diikuti dengan ukuran T3 sebanyak 56 (35,0%).

4) Berdasarkan penatalaksanaan, penderita tonsilitis kronis paling banyak mendapatkan medikamentosa yaitu 50 orang (62,5%).

5) Berdasarkan komplikasi penderita tonsilitis kronis paling banyak tidak ditemui komplikasi yaitu 61 orang (76,3%).

6.2. Saran

1) Data rekam medis di RSUP Haji Adam Malik, Medan diharapkan dapat lebih lengkap dan rapi sehingga informasi yang ingin digali dapat dibaca dengan lebih mudah, lebih sistematik dan sempurna.

2) Diharapkan peningkatan pengetahuan masyarakat, tenaga paramedis dan medis mengenai gejala awal tonsilitis kronis sehingga lebih cepat terdeteksi dan diberi penatalaksanaan awal.

3) Dapat dilakukan penelitian lanjutan mengenai karakteristik pada penderita tonsilitis kronis dengan menggunakan data dari beberapa rumah sakit dan meneliti variabel-variabel yang lebih beragam.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Tonsilitis

Ada tiga jenis utama dari tonsilitis, yaitu:

• Tonsilitis akut - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh salah satu bakteri atau virus.Infeksi ini biasanya sembuh sendiri (Eunice, 2014).

• Subakut tonsilitis - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh Actinomyces bakteri - organisme anaerob yang bertanggungjawab untuk keadaan suppuratif pada tahap infeksi. Infeksi ini bisa bertahan antara tiga minggu dan tiga bulan (Eunice, 2014).

• Tonsilitis kronis - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh infeksi bakteri yang dapat bertahan jika tidak diobati (Eunice, 2014).

2.2. Definisi

Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut (Palandeng, Tumbel, Dehoop, 2014).Tonsilitis kronis timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat (Soepardi et al.,2007).

2.3. Etiologi

Virus herpes simplex, Group A beta-hemolyticus Streptococcus pyogenes (GABHS), Epstein-Barr virus (EBV),sitomegalovirus, adenovirus, dan virus campak merupakan penyebab sebagian besar kasus faringitis akut dan tonsilitis akut.Bakteri menyebabkan 15-30 persen kasus faringotonsilitis; GABHS adalah penyebab tonsilitis bakteri yang paling banyak (American Academy of Otolaryng ology — Head and Neck Surgery, 2011).

Tonsilitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang terdapat pada tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif namun terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan gram negatif. Pada hasil penelitian Suyitno S, Sadeli S, menemukan 9 jenis bakteri penyebab tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus alpha, Staphylococcus aureus, Streptokokus β hemolitikus grup A, Enterobakter, Streptokokus pneumonie, Pseudomonas aeroginosa, Klebsiela sp., Escherichea coli, Staphylococcus epidermidis (Suyitno S, Sadeli S, 1995 dalam Farokah, 2005).

2.4. Faktor Risiko

Yang merupakan faktor risiko:

• Eksposi kepada orang yang terinfeksi; • Eksposi kepada asap rokok;

• Paparan asap beracun, asap industri dan polusi udara lainnya; • Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat

• Kanak-kanak; remaja dan orang dewasa berusia 65 tahun ke atas; • Stres;

Traveler

• Mulut yang tidak higiene

• Kondisi ko-morbid yang mempengaruh sistem imun seperti hayfever,alergi,kemoterapi,infeksi Epstein-barr virus (EBV),infeksi herpes simplexvirus (HSV),infeksi sitomegalovirus (CMV) dan infeksi human immune virus (HIV) atau acquired immune deficiency syndrome (AIDS) (Sasaki, 2008; Jain et al., 2001; Lewy, 2008).

2.5. Patofisiologi

Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa dengan submandibula (Soepardi, 2007). Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas. Akibat dari proses ini akan terjadi pembengkakan atau pembesaran tonsil ini, nyeri menelan, disfagia. Kadang apabila terjadi pembesaran melebihi uvula dapat menyebabkan kesulitan bernafas.Apabila kedua tonsil bertemu pada garis tengah yang disebut kissing tonsils dapat terjadi penyumbatan pengaliran udara dan makanan. Komplikasi yang sering terjadi akibat disfagia dan nyeri saat menelan, penderita akan mengalami malnutrisi yang ditandai dengan gangguan tumbuh kembang, malaise, mudah mengantuk (Stephanie, 2011). Pembesaran adenoid mungkin dapat menghambat ruang samping belakang hidung yang membuat kerusakan lewat udara dari hidung ke tenggorokan, sehingga akan bernafas melalui mulut.Bila bernafas terus lewat mulut maka mukosa membrane dari orofaring menjadi kering dan teriritasi, adenoid yang mendekati tuba eustachus dapat meyumbat saluran mengakibatkan berkembangnya otitis media (Reeves, Charlene, 2001 ).

2.6. Gejala Klinis

Menurut Effiaty Arsyad Soepardi, et al, (2007),yang merupakan gejala klinis: • Gejala lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit

tenggorok, sulit sampai sakit menelan.

• Gejala sistemis, seperti rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian.

• Gejala klinis, seperti tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis kronis), edema atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis),

tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis),plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaanyang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kriptus terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorokan, dirasakan kering di tenggorokan dan nafas berbau.

Menurut Adams ( 2001 ) yang merupakan gejala klinis:

Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang mungkin tampak, yakni:

• Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju.

• Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar dan ditutup eksudat yang purulen.

Menurut (Adam et al., 2000; Sasaki, 2008) yang merupakan gejala klinis: • Sakit kepala

• Malaise • Demam

• Sakit saat menelan (Disfagia) • Halitosis

• Kurangnya nafsu makan • Mual dan muntah

Pembesaran atau terjadinya tenderness pada kelenjar getah bening servikal serta sakit telinga disebabkan persarafan yang sama kepada kedua telinga serta tenggorokan

Gambar 2.1:Gambaran Gejala Klinis Tonsilitis Dikutip dari: http://tonsilspictures.com/tonsil-infection/ 2.7. Diagnosis

Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut: 1. Anamnesa

Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.

2. Pemeriksaan fisik pasien dengan tonsilitis dapat menemukan:

• Demam dan pembesaran pada tonsil yang inflamasi serta ditutupi pus. • Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau

material menyerupai keju.

Group A beta-hemolytic Streptococcus pyogenes (GABHS) dapat

menyebabkan tonsilitis yang berasosiasi dengan perjumpaan petechiae palatal.

• Pernapasan melalui mulut serta suara terendam disebabkan pembesaran tonsil yang obstruktif.

Tenderness pada kelenjar getah bening servikal.

• Tanda dehidrasi ( pada pemeriksaan kulit dan mukosa ).

• Pembesaran unilateral pada salah satu sisi tonsil disebabkan abses peritonsilar.

• Rahang kaku, kesulitan membuka mulut serta nyeri menjalar ke telinga mungkin didapati pada tingkat keparahan yang berbeda.

• Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring, tanda ini merupakan tanda penting untuk menegakkan diagnosa infeksi kronis pada tonsil. (American Academy of Otolaryngology - Head and Neck Surgery, 2014).

Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya membesar (hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi), terutama pada dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar limfe angulus mandibula (Aritomoyo D, 1980 dalam Farokah, 2005).Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1 – T4:

• T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior – uvula.

• T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior – uvula sampai ½ jarak anterior – uvula.

• T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾ jarak pilar anterior – uvula.

• T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula atau lebih.

Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale (Paradise JL, 2009).Gejala klinis sleep obstructive apnea lebih sering ditemui pada anak – anak (Akcay, 2006).

Gambar 2.2: Gambaran Pembesaran Tonsil Dikutip dari: Lalwani,2012.

2.8. Pemeriksaan penunjang

Rapid Antigen Display Test (RADT) dikembangkan untuk identifikasi streptokokus Grup A dengan melakukan apusan tenggorokan. Meskipun tes ini lebih mahal daripada kultur agar darah, tesnya memberikan hasil yang lebih cepat. RADT memiliki akurasi 93% dan spesifisitas > 95% dibandingkan dengan kultur darah. Hasil tes false positive jarang berlaku. Identifikasi yang cepat dan pengobatan pasien dapat mengurangi resiko penyebaran tonsilitis yang disebabkan oleh streptokokus grup A dan terapi yang tepat dapat diperkenalkan (Bisno et al., 2002).

Suatu penelitian dilakukan di Iraq untuk membandingkan antara swab tenggorokan dan kultur tonsil core pada tonsilitis kronis. Patogen terdeteksi sebanyak 41% pada swab dibandingkan 90,4% di tonsil core, sedangkan flora normal yang terdeteksi adalah sebanyak 58,9% pada swab dibandingkan 9,59% di tonsil core. [Hasil dari penelitian ini meyokong hasil dari penelitian Kurien, et al.,(2000)],yang menemukan patogen pada 55% dari swab tenggorokan dan 72,5% dari kultur core (Yousef et al.,2014 ).

2.9. Penatalaksanaan 2.9.1. Medikamentosa

Penatalaksanaan tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut yang baik, obat kumur, obat hisap dan tonsilektomi jika terapi konservatif tidak memberikan hasil.Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan antibiotik oral perlu diberikan selama sekurangnya 10 hari.Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan penisilin atau sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat diberikan eritromisin atau klindamisin (Soepardi et al., 2007). Penggunaan terapi antibiotika amat disarankan pada pasien tonsilitis kronis dengan penyakit kardiovaskular (Shishegar dan Ashraf, 2014). Obstruksi jalan nafas harus ditatalaksana dengan memasang nasal airway device, diberi kortikosteroid secara intravena dan diadministrasi humidified oxygen. Pasien harus diobservasi sehingga terbebas dari obstruksi jalan nafas (Udayan et al., 2014).

2.9.2. Operatif

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Soepardi et al., 2007). Pada penelitian Vivit Sapitri mengenai karakteristik penderita tonsilitis kronis yang diindikasi tonsilektomi di RSUD Raden Mattaher Jambi dari bulan Mei-Juli 2013 didapatkan data bahawa dari 30 orang, ditemukan penderita tonsilitis kronis yang diindikasikan tonsilektomi terbanyak pada rentang usia antara 5-14 tahun yaitu 15 orang (50%), jenis kelamin terbanyak adalah perempuan yaitu 17 orang (56,7%), semua keluhan utamanya adalah nyeri pada tenggorok/ sakit menelan sebanyak 30 orang (100%), indikasi tonsilektomi terbanyak adalah indikasi relatif sebanyak 22 orang (73,3%) yaitu terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi antibiotik adekuat (Sapitri, 2013). Tonsilektomi juga merupakan tatalaksana yang diaplikasikan untuk Sleep-Disordered Breathing (SDB) serta untuk tonsilitis rekuren yang lebih sering terjadi pada anak –anak (Shishegar dan Ashraf, 2014).

2.9.3. Indikasi tonsilektomi

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.Dulu diindikasikan untuk terapi utama adalah obstruksi saluran nafas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery (AAO-HNS) tahun 2011 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi:

1. Indikasi absolut

• Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas,disfagia berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal.

• Abses peritonsilar yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.

• Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi. 2. Indikasi relatif

• Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan medik yang adekuat.

• Halitosis akibat

medik.

• Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamase. 3. Kontra-indikasi

• Riwayat penyakit perdarahan

• Risiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak terkontrol • Anemia

2.9.4. Teknik Operasi Tonsilektomi (Dingar, 2008)

Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan.Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam.Jenis pemilihan iaitu jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri, perdarahan pre operatif dan pasca operatif serta durasi operasi.Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.

1. Guillotine

Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.

2. Teknik Diseksi

Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi.Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi.Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.

3. Teknik elektrokauter

Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.

4. Radio frekuensi

Pada teknik ini radiofrekuensi elektroda disisipkan langsung kejaringan. Densitas baru disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuka kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas.Selama periode 4- 6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.

5. Skapel harmonik

Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.

6. Teknik Coblation

Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unuk karena dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang akan membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok plasma tersebutakan mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang terionisasi yang akan memecah ikatan molekul jaringan tonsil. Selain memecah ikatan molekuler pada jaringan juga menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.

7. Intracapsular partial tonsillectomy

Intracapsular tonsilektomi merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Mikrodebrider endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.

8. Laser (CO2-KTP)

Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan recesses pada tonsil yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.

2.10. Komplikasi

Komplikasi tonsilitis akut dan kronik yaitu: • Abses peritonsil

Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptokokus grup A. Paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala adalah malaise yang bermakna, odinofagia yang berat dan trismus (Mansjoer, 2000).

• Otitis media akut

Infeksis dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustachi) dan mengakibatkan otitis media yang dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang telinga (Soepardi et al., 2007). • Mastoiditis akut

Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebar infeksi ke dalam sel-sel mastoid (Mansjoer, 2000).

• Laringitis

Merupakan proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx. Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus, bakteri, lingkungan, maupun karena alergi (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).

• Sinusitis

Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satu atau lebih dari sinus paranasal.Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara dari dinding yang terdiri dari membran mukosa. (Reeves, Roux, Lockhart, 2001). • Rinitis

Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan nasopharynx (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).

Menurut American Academy of Otolaryngology, komplikasi dari tonsilitis adalah kesulitan bernapas, kesulitan menelan ,sleep apnea, sakit tenggorokan, sakit telinga, infeksi telinga, bau mulut, perubahan suara serta peritonsillar abses yang lebih sering terjadi pada orang dewasa dan jarang terjadi pada anak-anak.

2.11. Prognosis

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih nyaman.Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat.Gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus.Pada kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia (Edgren, 2002).

2.12. Pencegahan

Menurut Efiaty Arsyad Soepardi (2010), kemungkinan seseorang menderita penyakit itu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keturunan, lingkungan, dan pola makan individu tersebut. Dalam hal ini pola makan memiliki peran yang sangat besar terhadap kesehatan seseorang, tidak terkecuali dengan tonsilitis. Selain itu menjaga kebersihan makan dan minum, kebiasaan berkumur atau menggosok gigi minimal 2 kali sehari dan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan juga sangatlah penting untuk menghilangkan patogen dan kuman-kuman yang menempel ditangan yang tidak kita sadari selama beraktivitas sehari-hari. Orang – orang yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang ( Edgren, 2002 ).

2.13. Embriologi Tonsil (Sadler, 2004 )

Tonsil terbentuk dari lapisan endodermal pada minggu ketiga sampai dengan minggu kedelapan pada masa embriologi. Embrio manusia memiliki lima pasang kantong faring. Masing-masing kantong akan membentuk organ penting lainnya.

Gambar 2.3. Embriologi Tonsil Dikutip dari: Sadler, 2004

Lapisan epitel kedua dari kantong faring berproliferasi dan membentuk tunas yang akan menembus ke jaringan mesenkim di sekitarnya. Selanjutnya tunas-tunas tersebut akan dilapisi oleh jaringan mesodermal sehingga membentuk primordial dari tonsila palatina. Selama bulan ketiga dan kelima, tonsil akan dikelilingi oleh jaringan limfatik. Bagian kantong yang tertinggal akan ditemukan pada saat dewasa sebagai fosa tonsilaris.

2.14. Tipe Tonsil

Ada tiga jenis tonsil, yaitu (Matini,2005):

• Tonsil Palatina terdiri daripada tonsil palatina kiri dan kanan terletak di posterior, margin inferior dari rongga mulut, di sepanjang batas dengan faring. • Tonsil Faring yang juga sering disebut juga dengan adenoid, terletak pada

posterior, superior dinding nasofaring.

• Tonsil Lingual; terletak jauh pada epitel mukosa meliputi dasar (bagian faring) lidah. Karena lokasinya, biasanya tidak terlihat kecuali terinfeksi dan bengkak. 2.15. Anatomi

2.15.1. Tonsil Palatina

Tonsil palatina terdiri dari jaringan padat limfoid yang merupakan bagian dari cincin Weldayer (Viswanatha, 2011). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 1,75- 2,50 cm , dengan lebar 1,5- 2,0 cm. Pada anak-anak di bawah usia lapan lebih besar yaitu dari 2,5-3,0 cm panjang dan lebarnya adalah 1,5-2,5 cm. Masing – masing tonsil mempunyai 8 – 20 kripta yang terdiri dari jaringan connective tissue seperti jaringan limpoid dan berisi sel limpoid (Balasubramaniam, 2007).

Biasanya kripta adalah tubular dan hampir selalu memanjang dari dalam tonsil sampai ke kapsul tonsil pada permukaan luarnya. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan medial. Saluran kripta kearah luar biasanya bertambah luas.Secara klinis terlihat bahwa kripta merupakan sumber infeksi baik secara lokal maupun umum karena dapat berisi sisa makanan, epitel yang terlepas dan juga bakteri (Ballenger JJ, 2001).

2.15.2. Fosa Tonsilaris

Fosa tonsilaris atau sinus tonsilaris terletak diantara 2 buah plika yaitu plika anterior dan posterior.Plika anterior dibentuk oleh otot palatoglosus, sedangkan plika posterior di bentuk oleh otot palatofaringeus.Bagian luar tonsil dilindungi oleh kapsul yang dibentuk oleh fasia faringobasilaris dan dilateral oleh fasia bukofaringeal (Beasley, 1997 dan Balasubramanian, 2009).

Gambar 2.4:Tonsila Palatina dan struktur sekitarnya Dikutip dari: The University of Queensland 2.15.3. Perdarahan Tonsil

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris.

Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden.Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena

Dokumen terkait