• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan data sekunder rekam medis di RSUP H. Adam Malik, Medan pada tahun 2014, diperoleh data mengenai karakteristik penderita tonsilitis kronis. Data-data tersebut akan digunakan sebagai dasar dari pembahasan hasil akhir penelitian ini dan dijabarkan sebagai berikut.

5.2.1. Distribusi Penderita Berdasarkan Umur

Kelompok umur tertinggi yang menderita dari tonslitis kronis adalah 16-30 tahun dengan angka sebanyak 28 orang (35,0%) dan diikuti dengan kelompok umur 0-15 tahun dengan jumlah 26 orang (32,5%). Zakwan (2013) mengemukakan bahawa anak-anak adalah kelompok umur yang paling rentan terhadap serangan tonsilitis. Tonsilitis kronis pada anak dapat disebabkan karena anak sering menderita ISPA atau tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat

(Novialdi dan Pulungan, 2003).

Penelitian G K Narayana et al (2011) pada 38 penderita penyakit THT di hospital R L Jalappa, India dari periode 1 November 2010 hingga 31 Desember 2010 menunjukkan insiden penyakit tonsilitis menduduki tempat tertinggi dengan sebanyak 14 orang (1,4%) penderita. Dari jumlah tersebut golongan penderita terbanyak berumur antara 10 -15 tahun (42,9%).

Penelitian retrospektif deskriptif Palendang, Tumbel dan Dehoop (2014) dengan jumlah sampel 138 orang yang dilakukan di poliklinik THT–KL BLU RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, bulan November – Desember 2012 ditemui kasus terbanyak pada kelompok umur 5-14 tahun yaitu 25,9% penderita. Jumlah terendah dijumpai pada kelompok umur > 65 tahun yaitu 1,44% penderita.

Penelitian cross sectional Hannaford et al (2004) pada terhadap 30 penderita tonsilitis kronis mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah antara 38-47 tahun yaitu sebanyak 36,6%.

5.2.2. Distribusi Penderita Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan distribusi data dapat dilihat bahawa proporsi penderita tonsilitis kronis lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 42 orang (52,5%) sedangkan perempuan adalah sebanyak 38 orang (47,5%). Hal ini karena antara faktor predisposisi tonsilitis kronis adalah merokok. Pada tahun 2001, 62,2% dari pria dewasa dijumpai merokok dibanding tahun 1995 yang berkisar 53,4% (Kusumawati, 2010). Tonsilitis kronis lebih sering dijumpai pada golongan perempuan muda namun masih dapat dijumpai pada kedua-dua golongan jenis kelamin dari setiap peringkat umur (Borden, 2000).

Penelitian cross sectional yang dilakukan oleh Farokah (2007) mendapatkan penderita tonsilitis kronis lebih banyak ditemui pada jenis kelamin perempuan yaitu dengan jumlah 156 orang (51,8%) dibanding dengan laki-laki yaitu sebanyak 145 orang (48,2%).

Penelitian cross sectional Akcay et al (2006) terhadap 1784 penderita tonsilitis kronis didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 803 orang (45%) penderita dan jenis kelamin perempuan sebanyak 981 orang (55%) penderita. Pada penelitian cross sectional Ugras (2008) hasil yang berbeda dilaporkan. Didapatkan dari 240 penderita tonsilitis kronis, jenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 132 orang (55%) penderita sedangkan perempuan sebanyak 108 orang (45%) penderita.

5.2.3. Distribusi Penderita Berdasarkan Pekerjaan

Dari distribusi data pekerjaan didapati kelompok pelajar/mahasiswa adalah terbanyak yang menderita dari tonsilitis kronis dengan jumlah 39 orang (48,8%) penderita diikuti dengan kelompok pekerjaan lain-lain sebanyak 26 orang (32,5%) penderita dan pegawai nasional sipil sebanyak 21 orang (26,3%). Hal ini karena terdapatnya hubungan antara stres psikologikal dan sistem pertahanan imun tubuh. Kebanyakan mahasiswa menderita dari brief naturalistic stress

terutamanya saat menduduki ujian menyebabkan terjadinya supresi imun (Segerstrom dan Miller, 2004).

Penelitian Palendang, Tumbel dan Dehoop (2014) pada 138 orang penderita tonsilitis kronis memperlihatkan kelompok siswa sebagai pekerjaan dengan paling banyak penderita yaitu sebanyak 32,37% orang penderita. Kelompok pekerjaan dengan penderita yang paling sedikit adalah guru dengan jumlah 0,72% orang penderita.

Penelitian Farokah (2007) yang dilakukan di Sekolah Dasar , Kota Semarang didapatkan dari hasil pemeriksaan 301 orang siswa serta data kuesioner orang tua menunjukkan 145 siswa (48,2%) menderita tonsilitis kronis.

Menurut De Martino dan Balloti (2007), tonsilitis merupakan penyebab paling sering ketidakhadiran pelajar ke sekolah karena tidak dapat fokus dan hal ini menyebabkan hasil yang kurang memuaskan dalam aktivitas sekolah.

5.2.4. Distribusi Penderita Berdasarkan Keluhan Utama

Dari distribusi data didapati keluhan utama yang paling banyak ditemui adalah rasa mengganjal di tenggorokan yaitu sebanyak 29 orang (36,3%) penderita dan diikuti dengan keluhan sangkut menelan yaitu sebanyak 28 orang (35,0%) penderita. Rasa mengganjal di tenggorokan terjadi saat kripta dipenuhi detritus, akibat dari proses ini terjadi pembengkakan atau pembesaran tonsil. Apabila kedua tonsil bertemu pada garis tengah yang disebut kissing tonsil dapat terjadi penyumbatan pengaliran udara dan makanan (Stephanie, 2011).

Penelitian case series Timbo (2008) mendapatkan dari 63 penderita tonsilitis kronis, sebanyak 41,3% diantaranya mengeluhkan sangkut menelan sebagai keluhan utama.

5.2.5. Distribusi Penderita Berdasarkan Ukuran Tonsil

Dari distribusi data didapati ukuran tonsil terbanyak adalah T2 yakni sebanyak 60 orang (37,5%), ukuran T3 sebanyak 56 orang (35,0%) dan T1

sebanyak 24 orang (15,0%). Didapatkan ukuran tonsil T4 hanya sebanyak 20 (12,5%). Ukuran tonsil membesar akibat hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis (Novialdi dan Pulungan, 2003).

Penelitian cross sectional Farokah (2007) dari 145 siswa yang menderita tonsilitis kronis, sebanyak 83 siswa mempunyai ukuran tonsil T1 dan T2 sementara 62 siswa mempunyai ukuran tonsil T3 dan tidak ditemukan ukuran tonsil T4.

Penelitian Akcay et al (2006) didapati dari 803 orang laki-laki dan 981 orang perempuan, jumlah ukuran tonsil T1 adalah sebanyak 62,7% dan T2 adalah sebanyak 28,4% sedangkan ukuran tonsil T3 adalah sebanyak 3,3% diikuti dengan T4 sebanyak 0,1%.

5.2.6. Distribusi Penderita Berdasarkan Penatalaksanaan

Berdasarkan distribusi data dapat dilihat bahawa proporsi penatalaksanaan penderita tonsilitis kronis terbanyak adalah dengan medikamentosa yaitu sebanyak 50 orang (62,5%), sedangkan penatalaksanaan tonsilitis kronis dengan operatif adalah sebanyak 30 orang (37,5%).Berdasarkan The American Academy Of Otolaryngology- Head and Neck Surgery (AA0-HNS) tahun 2011 indikasi klinis untuk melakukan tonsilektomi adalah: Indikasi absolut adalah pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner; abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase; tonsilitis yang menimbulkan kejang demam; tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi. Indikasi relatif adalah terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik yang adekuat; halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis; tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten.

Penelitian kuesioner yang dilakukan secara random oleh Mattila et al (2001) di Helsinki University Central Hospital, Finland pada 483 individu didapati bahawa sebanyak 39 orang yaitu 8% menjalani tonsilektomi sementara 116 orang yaitu 24% menjalani adenoidektomi dari jumlah individu yang mengembalikan kuesioner.

Penelitian Burton et al (2014) menyatakan terjadi penurunan pada episode tonsilitis dan insiden terjadi tonsilitis pada anak-anak pada tahun pertama setelah menjalankan tonsilektomi. Anak-anak yang menderita dari tonsilitis kronis mempunyai manfaat karena terjadi penurunan yang kecil dalam episode tonsilitis. Namun masih terdapat anak-anak yang sembuh tanpa melakukan tindakan operatif.

Menurut Knott (2010), tonsilektomi merupakan tindakan operatif yang dilakukan untuk menurunkan insiden terjadinya infeksi yang rekuren dan bukan untuk mengobati tonsilitis tipe akut.

5.2.7. Distribusi Penderita Berdasarkan Komplikasi

Berdasarkan distribusi data dapat dilihat bahawa proporsi komplikasi terbanyak yang ditemui dari tonsilitis kronis adalah tanpa komplikasi yakni sebanyak 61 orang (76,3%). Komplikasi seterusnya yang ditemui adalah rinitis yaitu sebanyak 7 orang (8,75%) sedangkan komplikasi sinusitis ditemui sebanyak 6 orang (7,5%). Infeksi sinus menyebabkan seseorang mengalami banyak gejala seperti sakit kepala , pilek ( rhinitis ) , hidung tersumbat , nyeri wajah , sakit tenggorokan dan post nasal drip. Post nasal drip adalah aliran lendir dari rongga sinus ke bagian belakang tenggorokan. Hal ini dapat menyebabkan tonsil serta jaringan glandular yang lain mengalami peradangan dan mengakibatkan rasa mengganjal di tenggorokan (The American Academy Of Otolaryngology - Head and Neck Surgery, 2011).

Pada penelitian Palendang, Tumbel dan Dehoop (2014), berdasarkan penderita tonsilitis dengan komplikasi, terbanyak didapatkan pada kelompok abses peritonsiler dan rinitis yaitu masing-masing (40%) dan paling sedikit pada

kelompok otitis media dan epitaksis yaitu masing-masing (10%) di Poliklinik THT–KL BLU RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado yang dilakukan pada periode bulan November – Desember 2012.

Penelitian Eunice (2014) pada 30 orang pelajar dari Thakgalang Primary School yang dijalankan selama 5 bulan yaitu dari periode September 2011 - Mei 2012, didapatkan sebanyak 23 orang penderita tonsilitis dengan komplikasi juga menderita dari rinitis.

Dokumen terkait