• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni:

1. Dasar hukum yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan di luar pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum adalah melalui yurisprudensi. Terdapat beberapa putusan Mahkamah Agung yang dipedomani oleh judex factie, yang kemudian membuat putusan yang dipedomani tersebut menjadi yurisprudensi. Yurisprudensi tersebut antara lain seperti putusan Mahkamah Agung Nomor 818 K/Pid/1984, putusan Mahkamah Agung Nomor 42 K/Kr/1956, putusan Mahkamah Agung Nomor 693 K/Pid/1986, dan putusan Mahkamah Agung Nomor 675 K/Pid/1987. Putusan-putusan tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa

terdakwa dapat dijatuhi pidana dengan delik di luar isi surat dakwaan yang sejenis dengan delik yang didakwakan, karena dianggap delik tersebut termasuk di dalamnya. Di lain pihak, terdapat yurisprudensi yang menyatakan hakim tidak diperkenankan menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya, yaitu putusan Mahkamah Agung Nomor 321 K/Pid/1983, putusan Mahkamah Agung Nomor 47 K/Kr/1956, dan putusan Mahkamah Agung Nomor 68 K/Kr/1973. Sementara itu, bila dilihat pada Pasal 182 ayat (4) dan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, maka hukum acara pidana di Indonesia menyatakan bahwa putusan yang dijatuhkan hakim haruslah berdasarkan kepada surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum. Jika pasal-pasal yang didakwakan Penuntut Umum dalam suratdakwaannya tidak terbukti di persidangan, maka terdakwa diputus bebas. Hal ini tentu menimbulkan kegamangan di dalam memahami hukum acara pidana di Indonesia. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa yurisprudensi berkedudukan sebagai salah satu sumber hukum formil. Indonesia sendiri menganut sistem hukum Civil Law atau Eropa Kontinental, yang berarti hakim tidak terikat pada yurisprudensi. Jadi, hakim yang hendak memutuskan perkara tidak wajib mengikuti atau terikat pada putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang serupa dengan yang akan diputuskannya. Yurisprudensi tersebut hanyalah bersifat sebagai

persuasive precedent. Ia tidak mempunyai kekuatan yang mengikat, tetapi

2. Surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan di sidang pengadilan, dasar pembuktian, dasar tuntutan pidana, dan dasar putusan (litis contestatio) hakim. Bentuk pengesampingan surat dakwaan sebagai litis contestatio hakim di dalam perkara narkotika pada putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 merupakan juga bentuk penyimpangan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, karena judex factie dalam kedua perkara tersebut telah menjatuhkan putusan di luar pasal yang didakwakan Penuntut Umum. Namun, pada akhirnya, juga terdapat penilaian yang berbeda oleh Mahkamah Agung di kedua perkara tersebut. Saat hakim agung pada perkara putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 menyatakan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh hakim haruslah sesuai dengan surat dakwaan, justru hakim agung pada perkara putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 menolak kasasi yang dengan kata lain tidak mempermasalahkan soal putusan judex factie yang menjatuhkan putusan di luar pasal yang didakwakan Penuntut Umum. Padahal kedua perkara tersebut diputus oleh ketua majelis hakim agung yang sama, yaitu Prof. Komariah Emong Sapardjaja, yang juga dalam rentangwaktu yang relatif dekat. Pada dasarnya, putusan hakim menurut Gustav Radbruch harus memenuhi 3 (tiga) asas, yaitu asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Melalui kedua putusan dalam perkara narkotika tersebut, dapat dilihat bahwa banyak hal dari dalam dan luar diri hakim yang mempengaruhinya dalam menjatuhkan putusan. Dan kedua

putusan tersebut merupakan contoh konkrit yang memberitahukan bahwa di dalam sebuah putusan, sangatlah sulit untuk memenuhi sekaligus ketiga asas tersebut. Ketika lebih condong kepada keadilan, maka putusan hakim akan mengesampingkan kepastian hukum. Dalam hal jika mengikuti ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, maka hakim telah mengesampingkan keadilan dengan membebaskan terdakwa yang jelas telah bersalah walaupun kesalahannya tidak didakwakan.

B. Saran

1. Harus ada persamaan persepsi antara masing-masing sub-sistem di dalam proses peradilan pidana. Cara kerja sub-sistem harus terintegrasi (terpadu) dengan sub-sistem lainnya. Antara kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum seharusnya secara konsisten menjaga agar sistem tetap berjalan terpadu. Tujuan hukum acara pidana, selain untuk melaksanakan hukum pidana dan mencari kebenaran material, adalah juga untuk menjaga agar ketentuan dalam KUHAP dapat dilaksanakan dengan benar. Karena apa yang diatur melalui KUHAP merupakan sistem hukum yang berlaku serta batasan antara penegak hukum dengan tersangka/terdakwa. Apabila sejak awal telah terjadi ketidakterpaduan, maka kepercayaan masyarakat terhadap sub-sistem tersebut secara keseluruhan akan merosot. Bahkan, lebih parah lagi,

masyarakat tidak lagi mempercayai sub-sistem secara institutif dalam arti sempit dan sistem peradilan pidana dalam arti yang lebih luas.

2. Masih perlu dilakukan pelatihan terhadap jaksa-jaksa, terutama dalam hal pembuatan surat dakwaan. Masih perlu ditingkatkan kemampuan dalam merumuskan isi surat dakwaan yang cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. Dan dalam hal ditemukan keragu-raguan dalam pembuatan surat dakwaan, sebaiknya dapat dibicarakan dalam forum diskusi yang melibatkan jaksa-jaksa senior. Terkhusus dalam kedua perkara narkotika yang ada, yaitu pada putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan pada putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011, sebenarnya masalah kepastian hukum di dalam putusan tersebut dapat dicegah dengan pembuatan bentuk surat dakwaan non-tunggal, bisa bentuk dakwaan alternatif ataupun subsidair. Sehingga pada akhirnya hal ini dapat memberikan pilihan kepada hakim untuk memberikan putusannya.

3. Hakim mungkin saja dapat melakukan penemuan hukum yang bersifat progresif di dalam putusannya. Putusan yang bersifat progresif tersebut adalah putusan yang bersifat visioner dan berani dalam melakukan suatu terobosan (rule breaking) dengan melihat perkembangan masyarakat ke depan, tetapi tetap berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta memihak dan peka pada masyarakat. Dalam membaca suatu bunyi kalimat peraturan, hendaknya kita memahami kaidah yang terdapat di dalamnya.

Harus direnungkan terlebih dahulu apa makna di dalam kalimat tersebut, sehingga dengan demikian tujuan daripada hukum dapat tercapai.