• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai pengaruh intervensi program tuberkulosis (TB) paru terhadap pengetahuan dan sikap masyarakat, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Terdapat pengaruh yang bermakna dari intervensi program tuberkulosis (TB) paru terhadap pengetahuan masyarakat dengan nilai p yang diperoleh berdasarkan uji statistik sebesar 0,021.

2. Tidak terdapat pengaruh yang bermakna dari intervensi program tuberkulosis (TB) paru terhadap sikap masyarakat dengan nilai p yang diperoleh berdasarkan uji statistik sebesar 0,307.

3. Pada masyarakat yang mendapat intervensi program TB, 38,3% memiliki pengetahuan baik, 40,4% memiliki pengetahuan cukup, dan 21,3% memiliki pengetahuan kurang.

4. Pada masyarakat yang tidak mendapat intervensi program TB, 14,9% memiliki pengetahuan baik, 44,7% memiliki pengetahuan cukup, dan 40,4% memiliki pengetahuan kurang.

5. Pada masyarakat yang mendapat intervensi program TB sebagian besar memiliki sikap positif terhadap TB yaitu sebesar 97,9% dan hanya 2,1% yang memiliki sikap negatif

6. Pada masyarakat yang tidak mendapat intervensi program TB sebagian besar memiliki sikap positif terhadap TB yaitu sebesar 93,6% dan hanya 6,4% yang memiliki sikap negatif

6.2.Saran

1. Bagi Dinas Kesehatan

Dinas Kesehatan diharapkan kedepannya lebih mendukung pogram- program lembaga non-pemerintah dalam rangka penanggulangan penyakit tuberkulosis (TB).

63

2. Bagi Program TB

Pihak yang terlibat dalam program TB dan para kader diharapkan lebih sering melakukan penyuluhan atau aktivitas-aktivitas lain untuk meluruskan beberapa pemahaman yang salah terkait TB yang masih ada pada sebagian masyarakat.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap TB. Apabila pada masyarakat suatu daerah akan dilaksanakan program TB, sebaiknya dilakukan penelitian dengan desain cohort prospektif untuk melihat pengaruh intervensi program TB terhadap pengetahuan dan sikap masyarakat tersebut.

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis (TB) Paru 2.1.1. Sejarah TB

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit kronis yang telah lama dikenal, dibuktikan dengan penemuan kerusakan tulang vertebra torak yang khas TB pada kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum. Hipokrates telah memperkenalkan terminologi phthisis yang diangkat dari bahasa Yunani yang menggambarkan tampilan TB paru. Bukti lain, pada mumi-mumi dari Mesir yang berasal dari tahun 3500 SM, Jordania (300 SM), Scandinavia (200 SM), Nesperehan (1000 SM), Peru (700 SM), United Kingdom (200-400 SM) masing-masing dengan fosil tulang manusia yang melukiskan adanya Pott’s Disease atau abses paru yang berasal dari tuberkulosis, atau terdapatnya lukisan orang-orang dengan bongkok tulang belakang karena sakit spondilitis TB (Amin dan Bahar, 2009).

Baru pada tahun 1882, Robert Koch menemukan kuman penyebab TB yang merupakan bakteri basil berbentuk batang. Hasil penemuannya dipresentasikan pada tanggal 24 Maret 1882 di Berlin, yang kemudian setiap tanggal 24 Maret diperingati sebagai hari TB sedunia (Putra, 2010).

2.1.2. Definisi dan Etiologi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang berkembang dari infeksi sistemik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis complex (Lobue, et al., 2008). Sementara tuberkulosis (TB) paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (PDPI, 2006). Yang tergolong Mycobacterium tuberculosis complex adalah M. tuberculosae, Varian Asian, Varian African I, Varian African II, dan M. bovis. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan secara epidemiologi. (Amin dan Bahar, 2009).

7

Mycobacterium tuberculosis adalah salah satu mycobacteria bersifat patogen. Bakteri ini berbentuk batang, ramping, termasuk dalam ordo Actinomycetales, dan biasa ditemukan di tanah. Bakteri ini mempunyai dinding sel yang kompleks kaya akan lipid (lemak) dan lilin yang menyebabkannya memiliki beberapa keistimewaan diantaranya diwarnai dengan pewarnaan khusus (Ziehl-Neelsen) dan

pertumbuhannya sangat lambat. Mycobacteria diwarnai dengan carbol fuchsin yang kemudian dipanaskan. Sekali diwarnai, zat warna akan sulit dilunturkan bahkan dengan asam alkohol yang kuat. Hal ini menyebabkan bakteri ini disebut bakteri tahan asam (BTA) (Doherty dan Make,2006).

Mycobacterium tuberculosis memiliki lebar 0.4 µm dan panjang 3-4 µm, nonmotil, tidak berspora, dan bersifat obligat aerob. Bakteri ini tumbuh pada media kultur dengan kadar lipid yang tinggi. Waktu pembelahannya sekitar 12-18 jam dan harus diinkubasi selama 6-8 minggu pada suhu 37 derajat celcius (Kayser et al, 2005)

2.1.3. Cara Penularan (Transmisi) dan Patogenesis

Tuberkulosis (TB) ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui udara. Infeksi dapat terjadi setelah orang yang tidak terinfeksi menghirup droplet pernafasan yang mengandung M. tuberculosis, paling sering terjadi saat pasien dengan TB paru batuk (Lobue, et al., 2008).

Gambar 2.1. Jumlah Droplet yang Dihasilkan dari Beberapa Manuver (Gordon dan Mwandumba, 2008)

8

Menurut Lobue, et al., (2008), beberapa faktor yang menentukan probabilitas transmisi tuberkulosis adalah :

• Sumber penularan

Penderita dengan TB paru BTA positif atau adanya kavitas pada pemeriksaan radiografi dada lebih berisiko besar menularkan kuman TB

• Kerentanan host

• Lamanya pajanan/kontak dengan pasien TB

• Lingkungan dimana paparan terjadi

Lingkungan yang padat, ruangan dengan ventilasi buruk menyebabkan resiko tinggi penularan TB

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag, sementara limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunosupresif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya (Price dan Stanridge, 2005).

Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus yang tidak menimbulkan penyakit. Setelah berada di dalam alveolus, biasanya di bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah paru, basil tuberkel akan menimbulkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonukleat tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Berikutnya leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.

9

Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut kolagenosa yang akhirnya akan membentuk kapsul yang mengelilingi tuberkel. (Price dan Stanridge, 2005).

Amin dan Bahar (2009) menjelaskan bahwa lesi primer paru yang disebut fokus Ghon dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring dan kulit, terjadi limfadenopati regional, dan kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran keseluruh bagian paru dan menjadi TB milier. Dari lesi primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Gabungan terserangnya kelenjar getah bening (limfadenitis regional) dan lesi primer disebut kompleks primer atau kompleks Ghon. Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer selanjutnya akan menjadi:

• Sembuh tanpa meninggalkan cacat

• Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus. Keaadaan ini terdapat pada lesi yang luasnya >5mm dan ± 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman dormant.

• Berkomplikasi dan menyebar secara perkontinuitatum (menyebar ke sekitarnya) atau secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru disebelahnya, menyebar ke organ tubuh lainnya secara limfogen maupun hematogen. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus

10

2.1.4. Klasifikasi

Menurut Amin dan Bahar (2009), belum ada kesepakatan diantara para klinikus, ahli radiologi, ahli patologi, mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi tuberkuosis. Berdasarkan patologinya, TB diklasifikasikan atas:

1. Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis) 2. Tuberkulosis post-primer (adult tuberculosis)

Berdasarkan aktivitas radiologis dibagi atas TB paru (Koch Pulmonum) aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh).

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2006) membuat klasifikasi TB paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) dan tipe penderita.

1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) a. Tuberkulosis paru BTA (+) :

• Minimal 2 dari 3 pemeriksaan dahak menunjukkan BTA positif

• Atau, salah satu pemeriksaan dahak menunjukkan BTA positif dengan kelainan radiologi tuberkulosis aktif

• Atau, salah satu pemeriksaan dahak menunjukkan BTA positif dengan biakan positif

b. Tuberkulosis paru BTA (-) :

• Pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif meskipun gambaran klinis dan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif

• Atau, hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis

2. Berdasarkan tipe pasien

Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya ada beberapa tipe pasien yaitu:

a. Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah menelan OAT atau sudah pernah tapi kurang dari satu bulan.

11

b. Kasus kambuh (relaps), adalah pasien tuberkulosis yang pernah menjalani pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian berobat kembali dengan pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka kemungkinan harus dipikirkan:

• Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll)

• TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani kasus tuberkulosis

c. Kasus defaulted atau drop out, adalah pasien yang telah menjalani pengobatan TB > 1 bulan tetapi tidak mengambil obat 2 bulan atau lebih berturut-turut sebelum masa pengobatannya selesai.

d. Kasus gagal, adalah pasien BTA positif yang pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan, masih tetap positif atau kembali positif.

e. Kasus kronik, adalah pasien dengan BTA masih positif setelah pengobatan ulang dengan kategori 2 dan pengawasan yang baik. f. Kasus Bekas TB

Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.

• Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.

12

2.1.5. Gejala Klinis

1. Gejala utama:

•Batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih 2. Gejala tambahan:

• Dahak bercampur darah

• Batuk darah

• Sesak nafas

• Badan lemas

• Nafsu makan menurun

• Berat badan menurun

• Malaise

• Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik

• Demam meriang lebih dari satu bulan

Gejala-gejala tersebut dapat pula dijumpai pada penyakit paru selain TB, namun karena prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi maka setiap orang yang datang ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan gejala tersebut dianggap sebagai seorang suspect (terduga) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Kemenkes RI, 2014).

2.1.6. Penemuan Kasus TB

1. Penemuan Pasien Tuberkulosis (TB) Dewasa

Kegiatan ini membutuhkan adanya pemahaman dan kesadaran pasien akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut (Kemenkes RI, 2014). Selain itu, partisipasi masyarakat dan modal sosial yang meliputi dimensi kognitif, relasional dan struktural juga berperan dalam penemuan penderita tuberkulosis (TB) BTA positif (Reviono, et al., 2013)

Menurut Kemenkes RI (2014), penemuan pasien TB harus dilakukan secara intensif pada kelompok populasi terdampak TB dan

13

populasi rentan. Upaya penemuan secara intensif harus pula didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini. Penjaringan terduga pasien TB hendaknya dilakukan di fasilitas kesehatan, didukung dengan promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:

 Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan HIV, diabetes melitus dan malnutrisi

 Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang beresiko tinggi terjadinya penularan TB

 Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB

 Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat 2. Penemuan Pasien Tuberkulosis (TB) Anak

Menurut Kemenkes RI (2013), pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :

• Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular, yaitu anak yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien TB terutama pasien dengan BTA positif

• Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.

2.1.7. Diagnosa

1. Diagnosa TB pada Orang Dewasa

Dalam upaya pengendalian TB secara nasional, maka diagnosa TB paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat (Kemenkes RI, 2014).

14

• Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung

Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak dalam dua hari kunjungan berurutan, berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):

S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB

berkunjung pertama kali ke fasyankes, kemudian pada saat pulang membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.

P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua,

segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.

S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua,

saat menyerahkan dahak pagi.

Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal satu dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif

• Pemeriksaan biakan

Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis dimaksudkan untuk menegakkan diagnosa pasti TB pada pasien tertentu, misal:

 Pasien TB ekstra paru.

 Pasien TB anak.

 Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.

Pemeriksaan tersebut dilakukan di sarana laboratorium yang terpantau mutunya.

Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosa dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut (Kemenkes RI, 2014).

Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosa TB dapat dilakukan secara klinis

15

menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (minimal foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang terlatih TB. Pada sarana terbatas, penegakan diagnosa secara klinis dilakukan setelah pemberian terapi antibiotika spektrum luas (non OAT dan non kuinolon) yang tidak memberikan perbaikan klinis. Mendiagnosa TB dengan pemeriksaan serologis dan hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin tidak dibenarkan. Tidak dibenarkan pula mendiagnosa TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan overdiagnosa atau underdiagnosa (Kemenkes RI, 2014).

Gambar 2.2.Alur Diagnosa dan Tindak Lanjut TB Paru pada Pasien Dewasa (tanpa kecurigaan/bukti hasil tes HIV(+) atau terduga TB resisten obat)

16

2. Diagnosa TB pada Anak

Dalam menegakkan diagnosa TB pada anak, dapat menggunakan sistem skoring. Sistem skoring ini diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosa maupun overdiagnosa TB (Kemenkes RI, 2013)

Tabel 2.1. Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB di Fasilitas Kesehatan (Kemenkes RI, 2014)

Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan. Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien dating dengan penentuan status gizi untuk anak usia <5 tahun berdasarkan buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak usia >5 tahun menurut kurva CDC 2000.

17

Apabila jumlah skor ≥ 6 maka pasien harus ditatalaksana

sebagai pasien TB dan mendapat OAT. Selanjutnya harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka pasien harus segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (Kemenkes RI, 2013).

Gambar 2.3. Alur Diagnosa dan Tatalaksana TB Anak di Puskesmas (Kemenkes RI, 2013)

2.1.8. Pengobatan

Menurut Kemenkes RI (2014), tujuan pengobatan TB adalah untuk menyembuhkan, memperbaiki produktivitas dan kualitas hidup pasien, mencegah terjadinya kematian karena TB atau dampak buruk lainnya, mencegah terjadinya kekambuhan, menurunkan penularan TB, serta mencegah terjadinya TB resisten obat dan penularannya.

Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) yang mengandung minimal empat macam obat. Pasien diawasi oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) selama menjalani pengobatan.

Tahapan dalam pengobatan TB meliputi:

• Tahap awal, yang bertujuan untuk menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien

18

mendapatkan pengobatan. Pengobatan pada tahap ini diberikan setiap hari selama dua bulan.

• Tahap lanjutan, yang bertujuan untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.

Tabel 2.2. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Lini Pertama (Kemenkes RI, 2014)

Tabel 2.3. Kisaran Dosis OAT Lini Pertama Bagi Pasien Dewasa (Kemenkes RI, 2014)

19

Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian TB di Indonesia adalah:

• Kategori 1 : 2(HRE)/4(HR)3

Diberikan kepada pasien baru, termasuk pasien TB paru yang terkonfirmasi dengan pemeriksaan bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosis klinis, dan pasien TB ekstra paru.

• Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Diberikan kepada pasien TB BTA positif dengan pengobatan ulang/yang telah diobati sebelumnya termasuk pasien kambuh, pasien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT kategori 1, dan pasien pengobatan setelah putus berobat.

• Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR Diberikan kepada pasien TB anak

• Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat (TB MDR) di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid dan etambutol

Tabel. 2.4. OAT Anak yang Biasa Digunakan dan Dosisnya (Kemenkes RI, 2014)

20

Tabel. 2.5. OAT yang Digunakan dalam Pengobatan TB MDR (Kemenkes RI, 2014)

Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB pada orang dewasa dilakukan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis pada akhir pengobatan tahap awal.

Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis pengobatan tahap lanjutan, selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak pada bulan kelima dan akhir pengobatan.

Pada pasien baru dengan hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif, maka harus dilakukan penilaian apakah pengobatan teratur. Pasien dapat segera diberikan dosis tahap lanjutan tanpa memberikan OAT sisipan. Pemeriksaan ulang dahak dilakukan setelah pemberian

21

OAT tahap lanjutan selama satu bulan dan apabila tetap positif maka dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat. Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, pengobatan dilanjutkan dan dahak diperiksa kembali pada akhir bulan kelima.

Pasien pengobatan ulang dengan hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif dinyatakan sebagai terduga pasien MDR TB, namun penilaian apakah pengobatan teratur tetap harus dilakukan. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR. Apabila hal tersebut tidak dapat dilakukan, OAT tahap lanjutan dapat diberikan tanpa OAT sisipan dan dahak diperiksa kembali pada akhir bulan kelima.

Pada bulan kelima atau lebih, apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, maka pengobatan tetap dilanjutkan sampai seluruh dosis pengobatan selesai diberikan. Apabila hasil pemeriksan ulang dahak hasilnya positif, maka pengobatan dinyatakan gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga TB MDR dan selanjutnya dilakukan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR (Kemenkes RI, 2014)

Pemantauan pengobatan pasien TB anak berbeda dengan pasien TB dewasa. Pada fase intensif, pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi, dimana respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap.

22

Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks. Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai. Namun, pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang (Kemenkes RI,2013)

2.1.9. Pencegahan

Menurut Francis (2011) dalam Astuti (2013), pencegahan TB dapat dilakukan dengan penyediaan nutrisi yang baik, sanitasi yang adekuat, perumahan yang tidak terlalu padat dan udara yang segar.

Agar tidak tertular penyakit TB, Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) (2010) menjelaskan beberapa tindakan pencegahan penularan TB yang harus dilakukan oleh masyarakat dan pasien TB itu sendiri.

Masyarakat harus berperilaku hidup bersih dan sehat, antara lain dengan:

• Makan makanan yang bergizi seimbang sehingga daya tahan tubuh meningkat untuk membunuh kuman TB

• Tidur dan istirahat yang cukup

• Tidak merokok, minum alkohol dan menggunakan narkoba

• Lingkungan yang bersih baik tempat tinggal dan disekitarnya

• Membuka jendela agar masuk sinar matahari di semua ruangan rumah karena kuman TB akan mati bila terkena sinar matahari

• Imunisasi BCG bagi balita, yang tujuannya untuk mencegah agar kondisi balita tidak lebih parah bila terinfeksi TB

• Menyarankan apabila ada yang dicurigai sakit TB agar segera memeriksakan diri dan berobat sesuai aturan sampai sembuh

Dokumen terkait