• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesimpulan

(1) Perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP adalah sebagai berikut:

(i) Pemanfaatan SDP di tiga lokasi pesisir dilakukan secara tradisional dengan teknik penangkapan ikan dan pengolahan hasil perikanan tangkap secara sederhana, skala rumah tangga, dan belum berorientasi pasar. Setiap wilayah pesisir memiliki peraturan lokal tentang pemanfaatan SDP yang disebut awig-awig. Awig-awig disusun oleh kelompok nelayan melalui kesepakatan bersama. (ii)Pengetahuan nelayan di Kabupaten Buleleng terhadap SDP bervariasi, dari yang

belum memahami potensi SDP hingga mampu mengaplikasikan pengetahuan tentang konservasi SDP dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa kawasan pesisir memiliki masalah kebersihan, abrasi pantai, dan kerusakan ekosistem terumbu karang.

(iii) Sikap mental masyarakat pesisir tentang SDP tampak pada respon yang positif untuk menjaga kelestarian lingkungan. Di Kecamatan Tejakula, khususnya di Desa Les, nelayan mampu mengembangkan sikap mental positif dari merusak menjadi menjaga terumbu karang. Masyarakat pesisir di Kecamatan Gerokgak memiliki kegiatan usaha di bidang perikanan yang paling beragam dibandingkan dengan di Kecamatan Buleleng dan Tejakula yakni pembesaran bandeng dan budidaya laut, penangkapan ikan, dan pengolahan serta pemasaran. Sebagai usaha sampingan, nelayan di Kecamatan Gerokgak melakukan usaha penyewaan perahu bagi wisatawan yang berkunjung ke Pulau Menjangan. Nelayan di Kecamatan Buleleng, terutama di kawasan Lovina, selain menangkap dan mengolah ikan, aktif pula melakukan usaha jasa wisata bahari berupa memandu wisatawan menikmati perilaku lumba- lumba di laut, diving, dan snorkeling. Aktivitas nelayan di Kecamatan Gerokgak dan Buleleng tersebut dikoordinir oleh kelompok nelayan.

(iv)Keterampilan mengolah ikan terbatas pada pemindangan dan pengasapan ikan yang dilakukan oleh wanita nelayan. Pemasaran hasil olahan dilakukan oleh wanita nelayan. Permasalahan utama yang dihadapi wanita nelayan adalah keterbatasan modal untuk pengembangan usaha, pemahaman ya ng relatif

terbatas tentang “higienitas” dalam pengolahan ikan, dan kurangnya modifikasi produk.

(v) Nelayan di Kecamatan Buleleng menjaga lingkungan permukiman secara lebih tertata dibandingkan dengan di Kecamatan Gerokgak dan Tejakula. Di Kawasan Pantai Lovina, Kecamatan Buleleng, penataan tersebut merupakan hasil kesepakatan antara kelompok nelayan dengan pengelola hotel di kawasan setempat.

(2) Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP secara optimal adalah sebagai berikut:

(i) Kondisi sosial budaya masyarakat pesisir yang dinamis; kepemimpinan informal yang kharismatis, mampu memberikan teladan dan memotivasi pengikut; nelayan yang responsif terhadap pengelolaan SDP secara lestari; program pemberdayaan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat pesisir; fasilitator yang kompeten; dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung usaha nelayan memiliki memiliki hubungan positif dan nyata terhadap perilaku nelayan dalam mengelola SDP secara optimal. Kondisi sosial budaya yang menerapkan nilai- nilai kearifan lokal dan dinamis dalam bentuk kesepakatan antar anggota masyarakat; didukung oleh program pemberdayaan yang berpusat pada kepentingan masyarakat merupakan faktor determinan yang berpengaruh langsung terhadap peningkatan kualitas perilaku nelayan dalam mengelola SDP secara optimal. Penerapan prinsip keseimbangan antara Tuhan, alam semesta, dan manusia (tri hita karana) merupakan faktor pendorong perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP secara lestari.

(ii) Pemanfaatan lahan di pesisir untuk usaha produktif dengan tetap memperhatikan daya dukung lahan, hasil tangkapan yang meningkat dalam mutu dan jumlah, kondisi terumbu karang yang terpelihara, dan kerapatan vegetasi di pesisir yang tinggi dapat memudahkan nelayan mengakses SDP. (iii) Perilaku nelayan mengelola SDP yang berorientasi pada keseimbangan antara

pemanfaatan untuk kepentingan ekonomi, ekologi dan sosial dapat meningkatkan kesejahteraan. Fasilitator yang kompeten didukung program pemberdayaan yang berpusat pada kondisi lokal memiliki pengaruh tidak langsung yang besar terhadap transformasi perilaku nelayan.

(3) Keterkaitan peubah pada model pengembangan perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP secara lestari menunjukkan adanya hubungan positif dan nyata antara dinamika sosial budaya, kepemimpinan informal, kondisi nelayan, kualitas program pemberdayaan, kompetensi fasilitator, serta dukungan fasilitas dan peraturan pemanfaatan SDP dengan perilaku nelayan mengelola SDP. Koefisien determinasi total dari model di atas adalah sebesar 0,98. Keragaman data yang dapat dijelaskan pada model hubungan antar peubah terhadap perilaku sebesar 98 persen dan sisanya sebesar dua persen dijelaskan oleh peubah lain yang tidak termasuk di dalam model seperti aktivitas pengelola SDP non nelayan dan aspek alamiah SDP.

(4) Evaluasi faktor internal dan eksternal model pengembangan masyarakat pesisir menghasilkan informasi berharga bahwa faktor penentu keberhasilan model pengembangan masyarakat pesisir adalah kekuatan berupa dinamika sosial budaya masyarakat yang tinggi; kelemahan yang paling menonjol adalah pendekatan penyuluhan belum sepenuhnya berorientasi pada kebutuhan; peluang yang terbuka paling besar adalah kesempatan melakukan diversifikasi usaha di pesisir; dan ancaman terbesar adalah persaingan produk perikanan yang lebih bervariasi dan bermutu dari tempat lain. Kekuatan model pengembangan masyarakat pesisir tersebut berada pada Kuadran I (satu) atau wilayah Strengths-Opportunities (SO) yang berarti memaksimumkan kekuatan dan peluang. Hal ini mencerminkan model yang dihasilkan melalui penelitian ini kokoh (robust) sehingga layak untuk diterapkan secara nyata.

(5) Strategi pengembangan masyarakat pesisir diarahkan pada peningkatan kualitas hidup nelayan dan keluarganya melalui pengelolaan SDP secara terpadu dengan mengakomodasikan kepentingan ekologis, sosial-budaya, dan ekonomi secara seimbang. Pengembangan masyarakat pesisir dilakukan melalui penerapan mekanisme sistem penyuluhan yang didasarkan pada potensi alam dan manusia atau kondisi khas setiap lokasi, dan berorientasi pada pelanggan yaitu kelompok dan masyarakat yang difasilitasi.

Saran

(1) Pengelolaan SDP oleh masyarakat secara lestari dapat dikembangkan melalui pendekatan sosial-budaya melalui peran kelembagaan lokal berupa peraturan atau

kesepakatan lokal, didukung oleh pendekatan penyuluhan atau pemberdayaan yang berpusat pada masyarakat sebagai subyek, disertai kinerja kepemimpinan informal yang mampu mengembangkan perilaku masyarakat pesisir mengelola SDP secara lestari. Kebutuhan masyarakat pesisir spesifik untuk tiap lokasi: bagi pesisir yang terisolir, maka fasilitasi diarahkan pada kemampuan masyarakat mengakses informasi. Di wilayah pesisir dengan usaha berbasis SDP yang tinggi, diperlukan penyuluhan yang difokuskan pada fasilitasi teknologi pra dan pasca panen, dan pengembangan jaringan pemasaran. Di wilayah pesisir dengan kondisi SDP buruk, diperlukan penyuluhan terfokus pada konservasi SDP dan alternatif diversifikasi usaha yang dapat dilakukan masyarakat setempat.

(2) Diperlukan pengembangan kelembagaan organisasi penyuluhan hingga di level desa, dukungan sarana dan prasarana dalam bentuk demplot, sarana mobilitas seperti kendaraan operasional, alat komunikasi, dan alat bantu penyuluhan, serta sistem reward yang jelas bagi penyuluh atau tenaga lapangan untuk melaksanakan misi pengembangan masyarakat secara lebih berkualitas. Rekruitmen penyuluh sebagai salah satu program dalam RPPK perlu dilakukan secara cermat dengan mengedepankan kompetensi dan dimilikinya komitmen untuk menyejahterakan nelayan. Pemerintah Pusat dan Daerah hendaknya memiliki kebijakan dan dukungan kelembagaan dalam bentuk organisasi penyuluhan yang solid dan disertai peningkatan kemampuan masyarakat untuk mengelola SDP secara optimal .

(3) Pengembangan perilaku yang sesuai dengan kaidah sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam mengelola SDP, diperlukan tidak hanya untuk masyarakat yang tertinggal, namun juga untuk pihak pemerintah dan swasta. Visi, misi, tujuan, target, dan strategi penyuluhan dalam konteks pengelolaan SDP secara lestari perlu dipahami, dilaksanakan oleh seluruh pihak yang berkepentingan yakni pemerintah, swasta, dan komunitas pesisir, disertai pemantauan dan tindak lanjut kegiatan.

60

Arif Satria. 2002. Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: PT Pustaka Cidesindo.

Asngari, Pang S. 2001. “Peranan Agen Pembaharuan/Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumber Daya Manusia Pengelola Agribisnis.” Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi Peternakan. Bogor: Fakultas Peternakan, IPB.

Badan Pusat Statistik (BPS), 2003. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2003. Survai Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, 2005. Statistik Demografi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Provinsi Bali 2004. Hasil Survai Sosial Ekonomi Nasional. Denpasar: BPS Provinsi Bali.

Checkland, Peter. 1981. Systems Thinking, Systems Practice. Chichester: John Wiley & Sons.

Cobuild. 1992. English Language Dictionary. London and Glasgow: Collins Publishers and the University of Birmingham.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Pedoman Umum Penyuluhan Perikanan. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan, Departemen Perikanan dan Kelautan.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Buleleng. 2004. Data Perikanan Kabupaten Buleleng Tahun 2003. Singaraja: Dinas Kelautan dan Perikanan.

Donnermeyer, Joseph F., Barbara A. Plested, Ruth W. Edwards, Gene Oetting, dan Lawrence Littlethunder. 1997. “Community Readiness and Prevention Programs.” Journal of the Community Development Society, Vol. 28. No.1: 65-83.

Hanson, Arthur J. 1984. Coastal Community: International Perspectives. Makalah pada The 26th Annual Meeting of the Canadian Commission for UNESCO, St John’s Newfoundland, 6 th June 1984.

Haslett, Simon K. 2000. Coastal Systems. London: Routledge.

Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives – Vision, Analysis and Practice. Melbourne: Longman Australia, Pty Ltd.

Kerlinger, Fred N. 2003. Asas-asas Penelitian Behavioral. Cetakan ke-19. Penerjemah Landung Simatupang. Disunting oleh H.J. Koesoemanto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kolb, David. 1984. Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. New Jersey: Prentice Hall.

Lippitt, Ronald, Jeanne Watson, dan Bruce Westley. 1958. Planned Change: A Comparative Study of Principle and Techniques. Diedit oleh Willard B. Spalding. New York: Harcourt Brace and World, Inc.

Mitchell, Bruce, B. Setiawan, Dwita H. Rahmi. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Edisi Bahasa Indonesia. Judul asli: Resource and Environmental Management. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mosher, A.T. 1966. Getting Agriculture Moving. New York: Frederich A Praeger, Inc Publishers.

Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan: Studi Antropologi di Dua Desa Pantai. Jakarta: CV Rajawali.

Neuman, Lawrence. 1994. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Allyn and Bacon.

Oppenheim, A.N. 1966. Questionnaire Design, and Attitude Measurement. London: Heinemann.

Rogers, Everett M. 1994. The Diffusion Process. Edisi Keempat. New York: The Free Press.

Rothman, Jack. 1974. Approaches to Community Intervention. Dalam Strategies to Community Intervention. Diedit oleh John E. Tropman, John E. Echolds dan Jack Rothman. Colombia: Colombia University Press Copyright NCSW.

Royce, William F. 1996. Introduction to the Practice of Fishery Science. Revised Edition. California, Academic Press, Inc.

Siti Amanah. 1996. “A Learner-centred Approach to Improve Teaching and Learning Process at an Agricultural Polytechnic in Indonesia.” Thesis. Sydney: University of Western Syd ney-Hawkesbury.

_________. Anna Fatchiya, dan Dewi Syahidah. 2004. Pemodelan Penyuluhan Perikanan pada Masyarakat Pesisir melalui Pendekatan Partisipatif. Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi X/2002-2004. Bogor: IPB dan Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Terapan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Soerjani, Moh., Ahmad Rofiq, dan Rozy Munir. 1987. Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta: UI-Press.

Syahputra, M. Darwin. 2002. “Karakteristik Kemiskinan Nelayan di Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh.” Skripsi. Bogor: Jurusan SEI-FPIK.

Tampubolon, D.P. 1996. Pokok-Pokok Perencanaan Strategis Perguruan Tinggi Untuk

Mutu. Kumpulan Makalah Manajemen Mutu Terpadu di Perguruan Tinggi.

Jakarta: HEDS Project.

van den Ban, A. W., dan H.W. Hawkins. 1988. Agricultural Extension. Essex-England: Longman Scientific & Technical.

Wahyuningsih, Elizabeth T.Gurning, dan Edhie Wuryantara. 1996. Budaya Kerja Nelayan Indonesia di Jawa Tengah: Kasus Masyarakat Nelayan Desa Wonokerto Kulon Kecamatan Wiradesa, Kabupaten Pekalongan. Jakarta: Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Kebudayaan Masa Kini, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Whitten, Tony, Roehayat E. Soeriaatmadja, dan Suraya A. Afiff. 1999. Ekologi Jawa dan Bali (The Ecology of Jawa and Bali) Seri Ekologi Indonesia Jilid II. Alih bahasa Kartika Sari, Tyas Budi Utami dan Agus Widyantoro. Canada: Dalhouise University.

Lampiran. Identifikasi Kebutuhan dan Harapan Pelanggan Layanan Penyuluhan/ Pengembangan Masyarakat Pesisir Mengelola SDP

P e l a n g g a n I n t e r n a l E k s t e r n a l Kegiatan penyuluh/ lembaga pengembangan masyarakat pesisir Primer Penyuluh, tenaga pendamping atau fasilitator

Sekunder Pimpinan lembaga penyuluhan atau pemberdayaan Tersier Pengambil kebijakan bidang pemberdayaan masyarakat Primer Pemanfaat SDP langsung dan partisipan penyuluhan

Sekunder

Pemimpin masyarakat, dan pemilik modal

Tersier Masyarakat luas (konsumen) Memfasilitasi atau memberdayakan masyarakat melalui berbagai pendekatan yang relevan; Bersama masyarakat menyusun program kerja, mengawasi pelaksanaan dan membantu masyarakat untuk dapat menindaklanjutinya; dan Meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penyuluh/ pendamping di lembaganya •Memberdayakan masyarakat dengan menggunakan berbagai pendekatan yang relevan; •Mengadakan pertemuan rutin dengan masyarakat yang didampingi sesuai kebutuhan masyarakat atau minimal dua minggu sekali; dan •Bersama masyarakat menyusun program kerja, mengawasi pelaksanaan dan membantu masyarakat untuk dapat menindaklanjutinya. Memperoleh legitimasi dari pihak berwenang tentang eksistensi lembaga; Memperoleh dukungan baik finansial maupun sarana dan prasarana fisik untuk melancarkan kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh; dan Memperoleh penghargaan secara proporsional.

Adanya data yang sahih dan akurat tentang kondisi fisik SDP, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat untuk perumu san kebijakan terkait pengembangan masyarakat pesisir mengelola SDP; Tersusunnya kebijakan yang komprehensif tentang pengelolaan SDP untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat; dan Terlaksananya kebijakan oleh stakeholders terkait bidang pengembangan masyarakat pesisir Memperoleh layanan jasa konsultasi dari penyuluh yang berkualitas; Mampu mengakses berbagai layanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, dan pengembangan usaha; dan Mampu meningkatkan kualitas hidup dirinya dan anggota keluarganya. Pemimpin masyarakat Partisipasi, legitimasi, dan kepatuhan (compliance) dari pengikut; dan Pencapaian tujuan pengelolaan SDP secara lestari Pemilik modal Berjalan dan berkembangnya usaha;

Hasil usaha yang optimal; Keberlanjutan usaha; dan Pekerja (mitra usaha) yang berkualitas. Memperoleh barang dan jasa yang berkualitas dalam jumlah yang tepat Kemudahan dan kenyamanan memperoleh barang dan jasa yang ditawarkan oleh kegiatan yang bersumber dari pengelolaan SDP.

PENGEMBANGAN MASYARAKAT PESISIR BERDASARKAN

Dokumen terkait