• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Provinsi Bali didirikan pada tanggal 14 Agustus 1958 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 84 Tahun 1958. Provinsi ini terletak pada 70 - 80 Lintang Selatan, dan 1140 - 1150 Bujur Timur, memiliki luas wilayah 5.636,66 km2 dengan Ibukota Denpasar. Berdasarkan Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004, jumlah penduduk Provinsi Bali adalah 3.385.750 jiwa dengan kepadatan penduduk mencapai 601 jiwa/km2. Laju pertumbuhan penduduk selama tahun 2000 hingga 2004 sebesar 1,89 persen per tahun (SETDA Provinsi Bali, 2005). Buleleng terletak di Bagian Utara Pulau Bali, merupakan Kabupaten terluas dengan luas wilayah 1.366 km2, dan menjadi Ibukota Provinsi pada tahun 1960-an. Kabupaten ini memiliki luas laut lebih kurang 3.196,8 km dengan panjang pantai 144 km, dan potensi 12.523 ton ikan per tahun. Potensi dan pemanfaatan sumber daya perikanan Kabupaten Buleleng pada tahun 2003 secara lebih lengkap disajikan pada Tabel 8. Tampak dari data tersebut masih terbuka peluang untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki. Khusus untuk kegiatan penangkapan ikan di laut potensi yang tersisa hanya 12,75 persen, karena yang 20 persen lagi adalah untuk stock.

Tabel 8. Potensi dan Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Kabupaten Buleleng Tahun 2003

No Kegiatan Potensi Persentase

Pemanfaatan (%) Produksi (ton)

I. Perikanan laut

1 Pena ngkapan (ton) 12.523,00 67,25 8.432,00

2 Budidaya kerapu dan bandeng (ha) 500,00 5,20 28,20

3 Budidaya rumput laut (ha) 250,00 22,52 421,20

4 Budidaya mutiara (ha) 250,00 19,12 0,01

II. Perikanan darat

1 Penangkapan di perairan umum (ha) 481,30 3,32 127,48

2 Budidaya tambak (ha) 500,00 3,60 291,50

3 Budidaya kolam (ha) 27,32 18,08 23,40

4 Budidaya mina padi (ha) 3.354,60 0,68 8,40

5 Pembenihan bandeng dan kerapu (bak) 6.000 75,00 2,4 x 109*

6 Pembenihan udang windu (unit) 5 10,00 2,01 x 107*

7 Pembenihan udang galah (unit) 10 10,00 belum ada data

8 Pembenihan ikan hias (ha) 27,32 3,66 5 x 104*

9 B B I – ikan karper (ekor) 1.200.000 40,25 4,83 x 105*

Keterangan: * dalam ekor

Terdapat delapan jenis alat tangkap ikan yang digunakan nelayan di Kabupaten Buleleng yaitu pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, seser, pancing ulur, pancing tonda, bubu, dan bagan. Terjadi penurunan penggunaan alat tangkap seser pada semua kecamatan, pada tahun 2001 terdapat 657 unit seser, tahun 2002 ada 79 unit, dan tahun 2003 menjadi 15 unit atau turun sebesar 2,28 persen dari tahun 2001. Alat tangkap bubu, jaring insang hanyut, pancing ulur, dan pancing tonda mengalami peningkatan di semua kecamatan. Di Kecamatan Gerokgak dan Buleleng, pancing ulur paling banyak digunakan. Di Kecamatan Tejakula, jaring insang hanyut paling banyak digunakan.

Tabel 9. Perkembangan Penggunaan Alat Tangkap Ikan di Lokasi Studi pada Tahun 2001 - 2003

Kecamatan, tahun, dan jumlah alat penangkapan (unit)

Gerokgak Buleleng Tejakula

No Jenis alat tangkap

2001 2002 2003 2001 2002 2003 2001 2002 2003

1 Pukat pantai 48 34 80 28 11 11 6 3 5 2 Pukat cincin 0 0 0 8 2 8 0 0 371 3 Jaring insang hanyut 273 282 206 13 41 41 1634 1158 1792 4 Seser 445 0 0 23 0 0 189 79 15 5 Pancing ulur 505 413 511 214 363 363 594 599 1381 6 Pancing tonda 38 61 67 143 273 273 513 524 814

7 Bubu 32 9 33 0 45 45 23 20 25

8 Bagan 14 12 23 0 0 0 0 0 0

Sumber: Diolah dari Data Dinas Kelautan dan Perikanan Buleleng, 2002 s.d 2004

Produktivitas perikanan tangkap tertinggi di Kecamatan Tejakula, disusul oleh Kecamatan Buleleng, dan Gerokgak (Tabel 10). Budi daya laut hingga tahun 2003 hanya dilakukan di Kecamatan Gerokgak, sedangkan di Kecamatan Buleleng baru dimulai tahun 2004, sehingga saat penelitian ini dilakukan belum memperlihatkan hasil. Pemanfaatan perairan umum seperti sungai, baru dapat dilakukan di Kecamatan Buleleng mengingat di dua kecamatan lainnya kondisi sungai sudah dangkal, dan kondisi air yang tidak stabil. Perbandingan produksi perikanan antara tahun 2000 dengan 2003, memperlihatkan bahwa di Kecamatan Gerokgak terjadi peningkatan produksi perikanan, terutama perikanan tangkap. Kondisi sebaliknya terjadi di Kecamatan Buleleng dan Tejakula yang mengalami penurunan hasil penangkapan ikan. Hal ini berkaitan dengan semakin intensifnya penangkapan ikan di Kecamatan Gerokgak dibandingkan dengan di Kecamatan Buleleng dan Tejakula. Nelayan di Kecamatan Buleleng memiliki kegiatan sampingan yakni berdagang, dan di Kecamatan Tejakula kegiatan sampingan nelayan adalah berkebun.

Pada tingkat Kabupaten, terjadi peningkatan produksi perikanan sebesar 1,2 persen meskipun terjadi penurunan produksi.

Tabel 10. Produksi Beberapa Usaha Perikanan di Tiga Lokasi Penelitian pada Tahun 2000 dan 2003

Produksi usaha perikanan dalam ton pada tahun 2002 dan 2003 Gerokgak Buleleng Tejakula No Tahun

Jenis usaha 2002 2003 2002 2003 2002 2003 A Perikanan laut

1 Penangkapan 478,4 1.194,4 1.308,5 673,0 1.839,6 1.665,9 2 Budi daya laut 1,0 386,9 0 0 0 0 B Perikanan darat 1 Sungai 0 0 15,52 1,3 0 0 2 Tambak 259,8 165,5 0 0 0 0 Jumlah 739,2 1.746,7 1.324,0 674,3 1.839,6 1.665,9 Persentase perubahan produksi tahun 2000-2003 (%)

Naik 136,3 Turun 49,1 Turun 9,4

Keterangan: Produksi tersebut diperoleh dari usaha perikanan yang dilakukan di wilayah pantai (daerah pasang surut)

Sumber: Diolah dari data Dinas Kelautan dan Perikanan, 2004

Selain melakukan usaha penangkapan ikan dan budidaya perairan, masyarakat pesisir melakukan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Pengolahan ikan seluruhnya dilakukan oleh wanita nelayan, dan 50 persen pengolah memasarkan langsung produknya. Pada tahun 2004, dari 8.432,0 ton ikan yang diproduksi, 79,4 persen dijual dalam bentuk segar, sedangkan 20,6 persen diolah dengan cara diasin, dipindang, dan diasap. Ikan yang diasin adalah 236,6 ton teri dan 53,6 ton cumi. Ikan yang dipindang adalah 366,2 ton lemuru, 296,6 ton tongkol, 172,6 ton layang, 314,6 ton cakalang, dan 56,2 ton kembung. Ikan terbang diolah dengan cara diasap yaitu sebanyak 221,2 ton.

Masing- masing kawasan pesisir mempunyai kelompok nelayan sebagai wadah kegiatan masyarakat pesisir. Terdapat empat kriteria kelas kelompok yang ditetapkan berdasarkan penilaian kinerja kelompok oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (Tabel 11). Kriteria tersebut adalah pemula, lanjut, madya, dan utama. Semakin maju dan berkembang kelompok, maka kelas kelompok akan makin meningkat peringkatnya. Penilaian kinerja kelompok nelayan diukur berdasarkan keaktifan anggota dan pengurus kelompok dalam berbagai kegiatan, intensitas pertemuan, perkembangan inovasi dan teknologi yang digunakan, produktivitas, dan prestasi yang pernah dicapai. Kecamatan Gerokgak

memiliki kelompok nelayan terbanyak, disusul Kecamatan Tejakula, dan Kecamatan Buleleng. Dilihat dari kriteria kelompok, kelompok pemula merupakan kelompok yang paling banyak di Kabupaten Buleleng (44,6 persen). Di sisi lain, hanya Kecamatan Buleleng yang telah memiliki kelompok kelas utama (18,2 persen). Di Kecamatan Gerokgak dan Tejakula kelas kelompok tertinggi dicapai pada kriteria madya dengan persentase berturut-turut adalah 15,4 dan 15,8 persen.

Di Kabupaten Buleleng pada tahun 2000 terdapat 11 kelompok wanita nelayan dan pengolah, pada tahun 2003 jumlah kelompok berkembang menjadi 26 kelompok. Perkembangan kelompok pengolah masih jauh tertinggal dibandingkan dengan kelompok nelayan. Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan sarana dan prasarana pendukung, keterampilan, keterbatasan dalam mengakses sumber daya perikanan, permodalan, informasi, dan pemasaran. Pembudidaya laut hingga tahun 2004 belum membentuk kelompok secara resmi. Komoditas yang dibudidayakan pada tahun 2003 meliputi rumput laut, bandeng, kerapu, sedangkan mutiara masih dalam taraf uji coba oleh perusahaan. Enam puluh persen atau setara dengan 73 Rumah Tangga Perikanan (RTP) pembudidaya laut melakukan usaha di Kecamatan Gerokgak dengan produktivitas masing- masing 7,2 ton rumput laut/ha per tahun, 77,6 ton bandeng/ha per tahun,18,7 ton kerapu/ha per tahun, dan 0,002 ton mutiara/ha per tahun.

Tabel 11. Sebaran Kelompok Nelayan Berdasarkan Kelasnya di Lokasi Penelitian Tahun 2003

Kelas Kelompok

Pemula Lanjut Madya Utama

Kecamatan

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Total per Kecamatan Gerokgak 13 50,0 9 34,6 4 15,4 0 0 26 Buleleng 4 36,4 4 36,4 1 9,1 2 18,2 11 Tejakula 8 42,1 8 42,1 3 15,8 0 0 19 Total Kelompok 25 44,6 21 37,5 8 14,3 2 3,6 56

Sumber: Diolah dari data Perikanan Kabupaten Buleleng Tahun 2004

Gambaran Umum Responden

Responden nelayan penangkap ikan konsumsi dan pengolah-pemasar terdapat di seluruh kecamatan memiliki ciri-ciri seperti disajikan dalam Tabel 12. Di tiga lokasi, usia

nelayan pada interval 32 hingga 42 tahun memiliki persentase tertinggi, yaitu 43,8 persen di Kecamatan Gerokgak dan Buleleng, dan 50 persen di Kecamatan Tejakula. Sebanyak 14,5 persen responden di Kecamatan Gerokgak dan 13,4 persen responden di Kecamatan Buleleng tidak menyelesaikan SD (tahun tempuh pendidikan formal kurang dari empat tahun). Pendidikan responden umumnya SD dan SMP tidak tamat. Responden yang telah menyelesaikan pendidikan menengah atas adalah di Kecamatan Buleleng yaitu sebanyak 37 persen, disusul Kecamatan Gerokgak sebanyak 13,6 persen, dan di Kecamatan Tejakula sebanyak 10 persen. Terdapat 5 persem responden yang tidak dapat membaca dan menulis.

Tabel 12. Ciri-ciri Responden di Tiga Kecamatan

Gerokgak Buleleng Tejakula

Perihal

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1. Jenis kelamin (jiwa):

Laki-laki 43 78,2 48 65,8 15 37,5 Perempuan 12 21,8 25 34,2 25 62,5 Total 55 100,0 73 100,0 40 100,0 2. Usia (tahun): a. Kurang dari 32 6 10,9 8 11,0 1 2,5 b. 32 – < 42 23 43,8 32 43,8 20 50,0 c. 42 – <52 18 31,5 23 31,5 14 35,0 d. > 52 8 13,7 10 13,7 5 12,5 Total 55 100,0 73 100,0 40 100,0

3. Pendidikan formal (tahun)

a. < 4 8 14,5 1 13,4 0 0

b. 4 - < 6 10 18,2 15 20,5 4 10,0

c. 6 - < 8 24 43,6 30 41,1 32 80,0

g. > 8 13 23,6 27 37,0 4 10,0

Total 55 100,0 73 100,0 40 100,0

4. Jumlah tanggungan (jiwa)

a. 1 3 5,4 2 2,7 1 2,5

b. 1 - < 3 31 5,3 32 43,8 23 57,5

c. 3 - < 5 17 31,0 31 42,5 14 35,0

d. > 5 4 7,3 8 11,0 2 5,0

Total 55 100,.0 73 100,0 40 100,0

5. Pengalaman berusaha (tahun)

a. < 12 6 10,9 11 15,1 2 5,0 b. 12 – < 20 24 43,6 33 45,2 16 40,0 c. 20 – < 28 14 25,5 21 28,8 19 47,5 d. > 28 11 20,0 8 10,9 3 7,5 Total 55 100,0 73 100,0 40 100,0 6. Pendapatan (x Rp 1000/bulan) a. < 420 (sangat rendah) 5 9,1 2 2,7 2 5,0 b. 420 - <750 (rendah) 29 52,7 29 32,7 25 62,5 c. 750 - <1.080 (tinggi) 15 27,3 20 27,4 12 30,0 d. > 1.080 (sangat tinggi) 6 10,9 22 30,1 1 2,5 Total 55 100,0 73 100,0 40 100,0

Berdasarkan pendapatan per bulan, masyarakat di Kecamatan Buleleng memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya. Hal ini berkaitan dengan diversifikasi usaha yang lebih banyak dilakukan oleh nelayan di Kecamatan Buleleng, dan lokasi yang berada di sekitar pusat kota memudahkan nelayan mengakses informasi dari berbagai lembaga baik pemerintah maupun swasta.

Perilaku Masyarakat Pesisir Mengelola SDP

Mengacu pada kajian empirik penelitian ini, masyarakat pesisir di Kabupaten Buleleng mengelola SDP secara tradisional. Hal ini tergambar pada penggunaan alat tangkap dan armada yang sederhana, dengan daerah tangkapan ikan (fishing ground) terbatas, diterapkannya peraturan lokal secara konsisten, ikatan antar anggota masyarakat yang cenderung guyub (gemeinschaft), dan lingkup usaha di bidang perikanan belum berorientasi pasar. Di Kabupaten Buleleng terdapat 30,6 persen nelayan tanpa armada, nelayan jukung sebanyak 28,5 persen, nelayan menggunakan armada motor tempel sebanyak 39,6 persen, dan nelayan dengan menggunakan mesin 5 PK sebanyak 1,3 persen. Dalam kondisi demikian, nelayan di wilayah penelitian umumnya melakukan aktivitas penangkapan ikan sehari pergi pulang (one day fishing) karena daya jelajah yang terbatas. Hal ini berdampak pada besar kecilnya penghasilan. Nelayan di beberapa daerah yang armadanya lebih besar dan kuat yang dicirikan dengan armada lebih dari 30 GT dengan alat tangkap canggih yang memiliki kemampuan untuk melakukan penangkapan ikan hingga ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Nilai-nilai sosial budaya masyarakat Bali sangat kuat, dan mengutamakan keseimbangan. Pada masyarakat Hindu Bali, dikenal tri hita karana atau tiga sumber kebahagiaan, bahwa kebahagiaan material dan spiritual bergantung pada keharmonisan yang tercipta antara Sang Hyang Widhi Wasa, manusia, dan lingkungan (Whitten dkk, 1999). Dalam akar kepercayaan Hindu, manusia merupakan dunia kecil, yang berkaitan dengan alam yang lebih besar dan saling berinteraksi satu sama lain. Alam perlu dihormati dan dijaga keseimbangannya, perilaku merusak alam berarti mengkhianati interaksi manusia dengan alam. Interaksi manusia dengan alam, termasuk dalam mengelola SDP didasarkan pada peraturan tertulis lokal (awig-awig). Awig-awig tersebut menyangkut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Kelompok Nelayan yang menerangkan berbagai aspek dalam pengelolaan SDP termasuk jumlah hari penangkapan, pemantauan

penangkapan oleh nelayan, dan upaya rehabilitasi SDP seperti transplantasi karang yang di Desa Les, Kecamatan Tejakula difasilitasi oleh Yayasan Bahtera Nusantara.

Awig-awig yang berkaitan dengan SDP di lokasi penelitian sebagaimana ditampilkan pada Tabel 13 dapat dibandingkan berdasarkan tiga hal utama yaitu mekanisme (1) penyusunan awig-awig, (2) SDP yang diatur pemanfaatannya melalui awig-awig SDP, (3) pengontrolan penerapan awig-awig seperti jenis dan besarnya sanksi.

Tabel 13. Perbandingan Awig-awig di Tiga Lokasi Penelitian

Kecamatan Uraian

Gerokgak Buleleng Tejakula 1.Mekanisme penyusunan - Kesepakatan anggota kelompok nelayan, didukung kepala desa - Kesepakatan anggota kelompok nelayan, didukung kepala desa

- Kesepakatan anggota kelompok dan

diketahui kepala desa adat dan dinas 2.Tujuan awal

disusunnya

awig-awig

- Mengurangi pengeboman ikan dan karang oleh sebagian nelayan

- Menjamin ketertiban waktu menangkap ikan, keamanan rumpon, dan jasa penyewaan perahu

- Untuk rehabilitasi karang (konservasi) dan ekonomi (bisnis ikan hias air laut) oleh nelayan 3.SDP yang diatur dalam awig-awig - Terumbu karang - Areal laut - Ikan - Areal laut -Terumbu karang - Ikan 4.Kontrol pelaksanaan awig-awig

- Sanksi berupa uang dengan jumlah bervariasi

- Sanksi berupa uang - Sanksi berupa uang dengan jumlah bervariasi

Sumber: Hasil analisis data primer

Perilaku Masyarakat Pesisir di Kecamatan Gerokgak

Pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman responden di Kecamatan Gerokgak tentang SDP 90 persen masuk dalam kriteria tinggi. Sepuluh persen responden belum menyadari peluang mengelola SDP untuk berbagai kegiatan produktif. Kegiatan masyarakat pesisir di Kecamatan Gerokgak paling bervariasi dibandingkan dengan di Kecamatan Buleleng, dan Tejakula. Hal ini didukung oleh kondisi geografis, yaitu adanya Teluk Pemuteran dengan keanekaragaman hayati tinggi, sehingga memungkinkan masyarakat setempat berbagai usaha.

Sikap mental masyarakat terhadap SDP di Kecamatan Gerokgak tampak pada ketangguhan memanfaatkan sumber daya tersebut. Nelayan yang berasal dari Pulau Jawa,

Madura, dan Sulawesi (Suku Bugis dan Makassar), dan bermukim secara turun temurun di Kecamatan Gerokgak memiliki daya tahan yang relatif lebih lama untuk menangkap ikan di laut dibandingkan dengan nelayan yang berasal dari desa setempat. Salah satu faktor pendorong untuk melaut lebih lama adalah nelayan dari luar Bali menggantungkan hidup sepenuhnya dari hasil laut, sedangkan nelayan yang berasal dari Pulau Bali pada umumnya masih memiliki lahan atau menggarap kebun atau sawah meskipun dalam luasan yang relatif terbatas. Nelayan Madura, Bugis, dan Makassar yang telah bermukim sejak berpuluh tahun di Kecamatan Gerokgak memiliki kemampuan menjelajah laut lebih jauh sesuai dengan budaya maritim yang melekat pada ketiga uku tersebut.

Keberadaan berbagai suku di Kecamatan Gerokgak dan di beberapa wilayah pesisir di Kabupaten Buleleng berkaitan dengan sejarah masa lalu, yakni karena perdagangan antar pulau untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan adanya Kerajaan Buleleng yang memerlukan bantuan bala tentara dari negeri lain ketika berperang dengan kerajaan lain di Bali. Kerajaan Buleleng memberikan hadiah berupa tanah di wilayah dataran tinggi di sekitar Kecamatan Sukasada. Kehidupan beberapa suku yang terbiasa melaut, mendorong sebagian komunitas untuk bermukim di wilayah pesisir, terutama suku Bugis dan Madura. Tidak me ngherankan, jika pada beberapa wilayah pesisir Kabupaten Buleleng, ditemui perkampungan nelayan dari kedua suku itu.

Nelayan di Kecamatan Gerokgak memiliki kegiatan paling beragam yang diperlihatkan oleh berkembangnya usaha berbasis SDP yaitu perikanan tangkap, budidaya laut dan tambak, pengolahan, dan pemasaran ikan hasil tangkapan, serta wisata bahari. Hal ini berkaitan dengan berbagai faktor. Pertama, interaksi sosial antara masyarakat asli dengan pendatang cukup tinggi sehingga memungkinkan terjadinya proses penyebaran inovasi yang lebih mudah antara masyarakat pendatang dengan yang bermukim di lokasi tersebut. Kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat sangat beragam dan bervariasi, hal ini tampak pada variasi pendapatan nelayan di Kecamatan Gerokgak yang berkisar antara Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) hingga Rp1.450.000,00 (satu juta empat ratus lima puluh ribu) per bulan pada tahun 2004. Nelayan melakukan kegiatan usaha tambahan untuk meningkatkan penghasilan yaitu memandu wisatawan melakukan snorkeling dan

diving, menikmati Teluk Pemuteran, atau menyeberangkan wisatawan ke Pulau

Menjangan, membuka warung kelontong (berdagang), dan buruh tani.

Wanita nelayan di Kecamatan Gerokgak melakukan pengolahan ikan hasil tangkapan serta pemasarannya. Intensitas pengolahan ikan meningkat pada saat hasil tangkapan ikan berlimpah, sebaliknya pada saat hasil tangkapan ikan rendah, ikan laut

segar langsung dijual. Pengolahan ikan di Kecamatan Gerokgak terbatas pada pemindangan, belum ada pengolahan yang lebih variatif seperti pembuatan fillet ikan, abon ikan, maupun terasi. Keterbatasan modal, motivasi, keterampilan, serta keterjaminan pasar merupakan faktor penghalang bagi wanita nelayan untuk melakukan diversifikasi bentuk olahan yang bernilai ekonomi tinggi.

Pada tahun 2003, di Kecamatan Gerokgak terdapat tujuh rumah tangga pembudidaya tambak dengan luasan usaha antara 2.5 hingga 10 hektar. Pembudidaya tersebut merupakan mitra perusahaan perikanan. Pengusaha menyediakan modal, sarana dan prasarana usaha, sedangkan pembudidaya menawarkan jasa pemeliharaan. Pembudidaya memperoleh imbalan sesuai dengan hasil panen yang didapat dengan sistem pembagian usaha yang disepakati.

Perilaku Masyarakat Pesisir di Kecamatan Buleleng

Ditinjau dari aspek kognitif, maka nelayan di Kecamatan Buleleng memahami potensi SDP, namun pengelolaan SDP terbatas pada kegiatan perikanan tangkap, wisata bahari, dan pengolahan ikan dalam skala rumah tangga. Aktivitas penangkapan ikan dilakukan oleh nelayan dengan armada motor tempel dengan beragam alat tangkap, sedangkan pengolahan ikan dilakukan oleh wanita nelayan namun bergantung pada musim. Kegiatan pemasaran hasil perikanan tangkap oleh wanita nelayan. Dalam mengelola wisata bahari, nelayan bekerjasama dengan hotel di kawasan wisata Pantai Lovina. Kegiatan wisata bahari tersebut terkelola dalam bentuk pengamatan perilaku lumba- lumba, diving, dan snorkeling. Nelayan secara berkelompok mengatur sistem antrian dan pemanduan wisatawan. Biaya sewa perahu untuk mengamati lumba- lumba pada tahun 2003-2004 adalah Rp30.000,00 hingga Rp40.000,00 per orang dengan waktu pengamatan selama dua jam mulai pukul 06.00 – 08.00 WITA.

Komunitas nelayan di Kecamatan Buleleng relatif mudah menerima ide baru, sebagai gambaran nelayan di Kecamatan Buleleng ini telah dapat memodifikasi berbagai alat tangkap yang disesuaikan dengan kondisi SDP, seperti bentuk bagan yang mampu menahan arus air laut. Tingkat kemajuan kelompok nelayan di Kecamatan Buleleng paling tinggi diantara kecamatan lainnya, bahkan beberapa ketua kelompok nelayan merupakan penyuluh sawadaya dan dapat menjadi mitra penyuluh. Nelayan di Kecamatan Buleleng relatif mampu mengelola kegiatan secara mandiri, dan memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang SDP dan manfaatnya bagi kehidupan. Hal ini terlihat dari keterampilam

nelayan dalam memandu wisatawan dalam bahasa Inggris dalam bentuk percakapan sederhana sebagai modal utama dalam industri wisata. Di sisi lain, sikap mental dalam mengelola kawasan permukiman di pesisir, dan keterampilan dalam menangani hasil tangkapan masih memerlukan perhatian terutama dalam menjaga lingkungan pantai agar tetap bersih, hijau, dan asri. Khusus penanganan dan pengolahan hasil tangkapan, diperlukan dukungan fasilitas pendingin yang memadai untuk menyimpan mencegah kerusakan hasil tangkapan. Wanita pengolah memerlukan penyuluhan tentang pengolahan hasil tangkapan menjadi berbagai produk disertai dukungan pemasaran. Kegiatan penyuluhan di lokasi penelitian 80 persen melalui demonstrasi cara, sedangkan upaya mengembangkan jaringan pemasaran masih belum maksimal.

Secara afektif, nelayan di Kecamatan Buleleng memiliki respon positif terhadap pelestarian terumbu karang, pemeliharaan mangrove, dan penanganan kawasan pesisir. Sejauh ini, konservasi SDP terutama terumbu karang telah disebarluaskan oleh Dinas Pariwisata, Dinas Kelautan dan Perikanan, dan LSM setempat. Kegiatan tersebut perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan penyuluhan yang langsung mengarah pada aksi nyata masyarakat dalam rehabilitasi karang. Penyuluhan penting dilakukan secara tepat, yakni bukan hanya sebatas penerangan, namun mampu memfasilitasi perubahan di masyarakat hingga terjadinya perubahan yang lebih baik terutama pada sikap mental individu, kelompok dan masyarakat tentang arti penting pengelolaan SDP. Rehabilitasi karang memerlukan dana yang cukup besar dan kemampuan masyarakat dalam menangani persoalan ini secara swadaya masih rendah. Untuk itu sebenarnya kegiatan transplantasi karang perlu disponsori oleh berbagai lembaga baik pemerintah maupun swasta, terutama yang memiliki kaitan langsung dengan SDP.

Perilaku Masyarakat Pesisir di Kecamatan Tejakula

Masyarakat pesisir di Kecamatan Tejakula memiliki tiga kegiatan utama yaitu penangkapan ikan hias, penangkapan ikan konsumsi, dan pemindangan. Nelayan ikan hias khususnya di Desa Les Kecamatan Tejakula merupakan nelayan yang terkemuka dalam transplantasi karang dan penangkapan ikan dengan teknik yang ramah lingkungan, bebas dari penggunaan sianida. Kemauan dan kemampuan nelayan dalam menangkap ikan dengan teknik yang tidak merusak lingkungan tersebut tidak terlepas dari peran fasilitator yakni LSM Yayasan Bahtera Nusantara dan Telapak Indonesia. Selama 15 tahun setelah dilakukan kegiatan transplantasi karang, nelayan di Desa Les dapat memperoleh ikan hias

beragam jenis secara rutin, dan mampu memberikan nilai tambah bagi kehidupan nelayan setempat. Jenis ikan hias di Desa Les lebih dari 400 jenis dan yang paling banyak diperoleh adalah balistodes conspicillum (triger kembang), dascyllus trimaculutus (dakocan hitam), paravanthurus hepatus (letter six), pamacanthus xanthometapon(angle napoleon), dan pomacanthus imperator (angle batman). Penyebarluasan teknik penangkapan ikan hias bebas sianida dilakukan melalui media cetak maupun audio-visual, pelatihan pada nelayan daerah lain tentang transplantasi karang dsb.

Selain kegiatan penangkapan ikan hias ramah lingkungan, di desa-desa di Kecamatan Tejakula terdapat pula kegiatan penangkapan ikan konsumsi dan pemindangan ikan secara tradisional. Masalah yang dihadapi nelayan di Kecamatan Tejakula antara lain adalah keterisoliran yang berdampak pada kesulitan mengakses layanan telekomunikasi dan konsultasi, kekeringan (masalah iklim), dan keterbatasan modal. Dibandingkan dengan nelayan di Kabupaten Buleleng Bagian Barat, nelayan di Bagian Timur Kabupaten Buleleng terhambat dalam melakukan konsultasi dengan lembaga yang menangani masalah perikanan. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) sekarang menjadi Unit Pelaksana Teknis Fungsional (UPTF), yang bergerak di bidang perikanan sangat terbatas bahkan hampir tidak ada di Kabupaten Buleleng Bagian Timur.

Wanita nelayan di Kecamatan Tejakula merupakan pelaku utama usaha pemindangan ikan hingga pemasarannya. Pengolahan ikan dilakukan secara tradisional, dan masih belum memenuhi persyaratan hieginitas, dan perlu dikemas agar lebih menarik. Daya saing produk pengolahan dapat ditingkatkan melalui penyadaran, kemauan, dan kemampuan wanita nelayan dalam menangani (handling) produk mulai dari bahan mentah hingga menjadi produk jadi atau siap dikonsumsi, terutama aspek kebersihan.

Sebaran perilaku responden dalam mengelola SDP di tiga kecamatan ditampilkan pada Tabel 14. Dapat dijelaskan dari informasi pada Tabel 13 bahwa masyarakat pesisir di Kecamatan Gerokgak dan Tejakula, meskipun pengetahuan tentang SDP relatif lebih rendah daripada masyarakat pesisir di Kecamatan Buleleng namun memiliki sikap mental yang sangat baik terhadap SDP. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan tentang SDP yang secara turun temurun diwariskan oleh generasi terdahulu. Artinya, sikap mental masyarakat pesisir di dua kecamatan tersebut terbentuk oleh akumulasi pengalaman masa lalu orang tua yang telah terinternalisasi dengan baik. Di sisi lain, pada masyarakat pesisir di Kecamatan Buleleng, memiliki pengetahuan tentang SDP tinggi, namun sikap mental

Dokumen terkait