• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Secara umum, tingkat pengetahuan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang mengonsumsi dan tidak mengonsumsi tentang manfaat mengonsumsi teh hijau adalah :

− 63 % penegtahuan sedang − 1 % pengetahuan kurang

− 1 % pengetahuan baik } n = 100

Rata-rata, tingkat pengetahuan mahasiwa Fakultas Kedokteran USU mengenai manfaat mengonsumsi teh hijau berada dalam kategori sedang yaitu sebanyak 63%, hal ini karena pajanan mengenai informasi teh hijau adalah kurang walaupun banyak penelitian dari aspek eksperimental telah dilakukan pada tumbuhan daun teh hijau ini.

2) Tingkat pengetahuan mahasiswa Fakultas Kedokteran USU yang mengonsumsi teh hijau tentang manfaat menkonsumsi teh hijau (31 responden), 22,58% baik, 64,52% sedang, dan 12,90% kurang.

3) Tingkat pengetahuan mahasiswa Fakultas Kedokteran USU yang tidak mengonsumsi teh hijau tentang manfaat mengonsumsi teh hijau (69 responden), 15.94% baik, 54.94 sedang, dan 24,64% kurang.

6.2 Saran

1. Bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran USU, sebaiknya mencari informasi lebih banyak tentang manfaat konsumsi teh hijau melalui jurnal, artikel sehingga pengetahuan yang diperoleh dapat menjadi dasar penemuan dalam mencegah penyakit berbahaya, seperti penyakit kanker.

2. Bagi pemberi pelayanan kesehatan, disarankan dapat menyusun strategi promosi kesehatan yang lebih informatif mengenai teh hijau khususnya pada orang dewasa .

3. Bagi para dokter, disarankan dapat memberi pengetahauan kepada pasien tentang manfaat konsumsi teh hijau supaya pasien tidak seringkali bergantung pada obat-obatan yang tidak jelas.

4. Bagi petugas kesehatan maupun puskesmas setempat, disarankan dapat memberikan informasi mengenai kebaikan konsumsi teh hijau.

5. Bagi peneliti, penelitian selanjutnya diharapkan dapat lebih memperluas penelitian yang dilakukan terhadap teh hijau atau pengobatan herbal dalam mengurangi dan mencegah berbagai penyakit.

6. Peneliti juga menyarankan agar penelitian berikutnya dapat menggali lebih dalam mengenai manfaat konsumsi teh hijau untuk kesehatan.

7. Bagi masyarakat, disarankan dapat membudayakan teh hijau sebagai minuman sehari-hari.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pengetahuan

a. Pengertian

Pengetahuan adalah merupakan hasil ‘tahu’ dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang man penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penlihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. (Notoatmodjo,2007)

Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai meningat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Untuk mengukur bahwa seseorang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.

2. Memahami (Comprehention)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar, orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi ini diartikan dapat sebagai aplikasi atau penggunann hukum-hukum, rumus metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (Analysis)

Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisa ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja dapat menggambarkan, membedakan, mengelompokkan dan seperti sebagainya. Analisis merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan dan sebagainya.

5. Sintesa (Syntesis)

Adalah suatu kemampuan untuk meletakan atau menggabungkan bagian- bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang, baru dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formasi baru dari informasi- informasi yang ada misalnya dapat menyusun, dapat menggunakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melalukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penelitian itu berdasarkan suatu kriteria yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau anket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responder kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat kita lihat sesuai dengan tingkatan-tingkatan diatas.

2.2. Teh Hijau 2.2.1. Definisi

Negara pertama yang menanam teh adalah India dan Cina. Teh dibuat dari daun tanaman teh Camellia sinensis yang dipetik dan mengalami proses pemanasan untuk mencegah oksidasi atau bisa diartikan minuman yang dihasilkan dari seduhan daun teh tersebut. Tanaman teh tumbuh di daerah tropis dan subtropis dengan curah hujan sepanjang tahun tidak kurang dari 1500 mm. Tanaman ini memerlukan kelembapan tinggi dan temperature udara antara 13-29,5˚C (Sutejo, 1972). Teh termasuk minuman segar yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat dan diyakini memiliki khasiat kesehatan bagi tubuh. Terdapat penelitian yang melaporkan bahwa komponen-komponen dalam teh tradisional ini memiliki kegunaan penting di bidang kesehatan. (American Journal of Clinical Nutrition).

Teh digolongkan ke dalam: Kingdom : Plantae

Diviso : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Class : Dicotiledonaea Ordo : Guttiferales Famili : Tehaceae Genus : Camelia

Spesies : Camelia sinensis

Daun tanaman Camellia sinensis memilik tiga variasi utama yaitu teh hijau, teh hitam, dan teh oolong. Perbedaan dari variasi teh tersebut adalah pada proses pembuatannya. Proses pembuatan teh diatur untuk membiarkan polifenol yang terdapat dalam teh teroksidasi secara alami oleh polyphenol oxidase yang terdapat pada daun teh. Teh hijau diproses dengan cara menginaktivasi polyphenol oxidase pada daun yang masih segar dengan cara dipanaskan atau diuapkan, yang akan mencegah oksidasi catechin(komponen flavonoid terbanyak pada ekstrak teh hijau).

Tahap pengolahan teh hijau terdiri dari pelayuan, penggulungan, pengeringan, sortasi kering, serta pengemasan.

Tabel 1 menunjukkan jenis-jenis teh dan cara pemprosesannya

2.2.2 Komposisi Teh Hijau

Komposisi kimia teh hijau sangat kompleks, yaitu: protein (15 - 20% berat kering) sebagai enzim; aminoacids (1-4% berat kering), seperti teanine atau 5- Nethylglutamine, asam glutamat, triptofan, glisin, serin, asam aspartat, tirosin, valin, leusin, treonin, arginin, lisin; karbohidrat (5-7% berat kering) seperti selulosa, pektin, glukosa, fruktosa, sukrosa, lipid sebagai linoleat dan asam linolenat; sterol sebagai stigmasterol; vitamin (B, C, E); Xanthic basa seperti kafein dan teofilin (Gambar 2); pigmen klorofil dan karotenoid, senyawa volatil seperti aldehida, alkohol, ester, lakton, hidrokarbon, dll; mineral dan elemen (5% berat kering) seperti Ca, Mg, Cr, Mn, Fe, Cu, Zn, Mo, Se, Na, P, Co, Sr, Ni, K, F dan Al.

Karena besar pentingnya kehadiran mineral dalam teh, banyak penelitian telah dilakukan untuk menentukan kadarnya dalam daun teh hijau. Misalnya, Costa LM (2002) diamati besar variasi kandungan mineral (Al, Ca, Mg dan Mn) dalam warna hijau teh dari asal yang berbeda. Shu WS (2003) mengamati variasi besar di antara varietas teh yang berbeda dalam mengumpulkan fluoride dan aluminium.

Polifenol merupakan kelompok yang paling menarik dari komponen daun teh hijau, dan karena itu, teh hijau dapat dianggap sebagai sumber polifenol, khususnya flavonoid. Flavonoid adalah turunan fenol yang disintesis dalam jumlah besar (0.5- 1.5%) dan bervariasi (lebih dari 4000 diidentifikasi), dan didistribusikan secara luas di antara tanaman lainnya. Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) baru-baru ini menerbitkan sebuah database untuk kandungan flavonoid pada makanan. Flavonoid utama yang ada dalam teh hijau meliputi katekin (flavan-3-ols). Keempat catechin utama (-) - epigallocatechin-3-gallate (EGCG), yang mewakili sekitar 59% dari total katekin, (-)-epigallocatechin (EGC) (kurang lebih 19%); (-)-Epicatechin-3- gallate (ECG) (kurang lebih 13,6%); dan epikatekin (EC) (kurang lebih 6,4%). Teh hijau juga mengandung asam galat (GA) dan asam fenolat lain seperti asam klorogenat dan asam caffeic, dan flavonol seperti kaempferol, myricetin dan

quercetin. Manfaat yang berbeda pada teh hijau dapat diperoleh dari keunikan

kandungannya yang memberikan kapasitas antioksidan yang kuat. Teh hijau kaya dengan manfaat polyphenol yang dikenali sebagai katekins. Epigallo-catechin-gallate

(EGCG) terkaya dengan katekin dalam teh hijau. EGCG adalah komponen polifenol pada teh hijau yang paling banyak dipelajari dan merupakan zat yang paling aktif. (Mukhtar and Ahmad,2000). Teh hijau turut mengandung alkaloids, termasuk kafeine, theobromine, dan theophylline. Mereka memberikan efek stimulan pada teh hijau. L-theanine, komponen asam amino yang ditemukan pada teh hijau, telah diteliti untuk efeknya sebagai penenang sistem saraf.(UMM,alt,Med article)

Gambar. 3 menunjukkan struktur kimia GA dan empat catechin utama hadir dalam teh hijau. Isi katekin teh hijau relatif tergantung pada cara daun diproses sebelum pengeringan (fermentasi dan pemanasan daun teh selama proses pembuatan dapat mengakibatkan polimerisasi monopolyphenolic senyawa seperti katekin, yang menyebabkan perubahan sifat-sifatnya). McKay dan Blumberg (2002) melaporkan bahwa dekafeinasi mengurangi sedikit kandungan catechin dalam teh. Persiapan

instan dan penyajian dingin dapat mengurangi kandungan katekin dalam teh. Produksi botol minuman teh hijau telah mengalami masalah perubahan warna (brownish) terutama disebabkan oleh oksidasi katekin. Wu dan Wei (2002) menunjukkan bahwa secangkir teh hijau (2,5 g daun teh hijau/200 mL air) dapat mengandung 90 mg EGCG. Lin et al. (2003) menganalisis 31 teh komersial dan mendeteksi bahwa tingkat katekin EGCG yang terbanyak dengan urutan yaitu teh hijau (daun tua), teh hijau (muda daun) dan teh oolong, teh hitam. Jumlah katekin selalu lebih tinggi di teh hijau, EGCG dan EGC adalah katekin utama dengan isi rata- rata 7,358% dan 3,955%, masing-masing EKG disajikan nilai berkisar antara 0.910 dan 3.556%. Cabrera et al.(2003) melaporkan isi rata-rata dari empat katekin utama (EGCG, EGC, EKG dan EC) dan gallic asam dalam 45 sampel dari berbagai jenis teh termasuk hitam, merah, oolong dan teh hijau, tingkat EGCG semakin tinggi muncul pada sampel teh hijau. Hasilnya diringkas dalam Gambar. 4.

2.2.3. Teh Hijau dan Kesehatan Manusia

Teh hijau telah dianggap sebagai obat dan minuman sehat sejak zaman kuno. Obat tradisional Cina telah merekomendasikan tanaman ini untuk sakit kepala, nyeri tubuh dan sakit, pencernaan, depresi, detoksifikasi, sebagai penambah tenaga, dan secara umum, untuk memperpanjang hidup. Daun teh hijau mengandung tiga komponen utama yang bertindak atas kesehatan manusia yaitu basis xanthic (kafein dan teofilin), minyak esensial, dan senyawa polifenol. Kafein bertindak terutama pada sistem saraf pusat, merangsang keterjagaan, meningkatkan konsentrai dan menambah semangat (Chapman & Hall 1994). Beberapa dari efek yang disebabkan oleh kafein dipengaruhi oleh teofilin dalam kandungan teh. Teofilin menginduksi aktivitas psikoaktif, juga memiliki sedikit efek inotropik dan vasodilator, dan banyak efek diuretik lebih tinggi dari kafein. Namun, efek yang paling menarik dapat dilihat pada sistem pernapasan. Teofilin menyebabkan relaksasi non-spesifik pada stimulasi otot polos bronkus. Teh hijau adalah jenis teh dengan persentase yang lebih tinggi minyak esensial (Chapman &Hall, 1994). Namun, teh hijau lebih mendapat perhatian terutama kandungan polifenolnya sebagai antioksidan. Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa ekstrak GTP (Green Tea Polyphenol) memiliki sifat antimutagenik, antidiabetes, antibakteri, anti-inflamasi, dan hipokolesterolemik. Efek menguntungkan pada penyakit mulut seperti perlindungan terhadap karies gigi, periodontal penyakit, dan tanggalnya gigi (yang secara signifikan dapat mempengaruhi kesehatan secara keseluruhan seseorang) juga telah dijelaskan (Wu CD,2002). Di antara semua GTP, catechin, dan asam galat, dianggap menjadi pemain utama dalam manfaatnnya pada kesehatan manusia. Berikut rinciannya :

a. Kegiatan antioksidan.

Teh hijau dianggap sebagai makanan sumber antioksidan yang kaya akan polifenol (terutama catechin dan asam galat), tetapi juga mengandung karotenoid, tokoferol, asam askorbat (vitamin C), mineral seperti Cr, Mn, Zn atau Se, dan senyawa fitokimia tertentu. Senyawa ini dapat meningkatkan efek antioksidan GTP potensial.

Mereka juga berfungsi sebagai antioksidan secara tidak langsung melalui penghambatan faktor redoxsensitive transcription, penghambatan enzim 'pro-

oksidan’, seperti yang diinduksi oleh nitrat oksida sintase, lipoxygenases, cyclooxygenases dan xantin oksidase, dan induksi enzim antioksidan, seperti glutathione-S-transferase dan superoksida dismutase. Kapasitas antioksidan GTP

telah dinilai oleh beberapa metode. Misalnya, Cao et al(1996) menggunakan kapasitas penyerapan radikal oksigen (Oxygen Resorption Assay Capacity) menemukan bahwa teh hijau memiliki aktivitas antioksidan yang jauh lebih tinggi terhadap radikal peroxyl dibandingkan sayuran seperti bawang putih, kangkung, bayam dan kecambah brussels. Saffari dan Sadrzadeh (2004) meneliti kapasitas antioksidan EGCG menggunakan membran eritrosit terikat. ATPase sebagai model, dan hasilnya menunjukkan bahwa EGCG adalah antioksidan kuat yang mampu melindungi ATPase membrane bound eritrosit terhadap stres oksidatif. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa EGCG dapat bertindak secara in vitro sebagai antioksidan dengan menghambat radikal proxyl dan peroksidasi lipid (ZhangMH 2004). Namun, kapasitas antioksidan katekin ditentukan secara in vitro tergantung pada jenis tes yang digunakan dan tidak mencerminkan faktor-faktor seperti bioavailabilitas dan metabolisme. Fakta bahwa catechin dengan cepat dan ekstensif dimetabolisme menekankan pentingnya menunjukkan aktivitas antioksidan secara in

vivo untuk mewakili dampak fisiologis konsumsi teh hijau. Frei dan Higdon (2003)

melaporkan bahwa untuk menentukan apakah atau tidak GTP bertindak sebagai antioksidan yang efektif dalam vivo, studi masa depan pada hewan dan manusia harus menggunakan biomarker sensitif dan spesifik dari kerusakan oksidatif lipid, protein dan DNA. Namun demikian, sejumlah besar studi yang mengintervensi manusia dengan teh hijau menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam kapasitas antioksidan plasma pada manusia setelah konsumsi dengan jumlah moderat (1-6 cangkir / hari). Ada juga indikasi awal yang menunjukkan bahwa potensi antioksidan darah yang meningkat mengurangi kerusakan oksidatif pada makromolekul, seperti DNA dan lipid (Rietveld A,2003). McKay dan Blumberg (2002) melaporkan bahwa

konsumsi ulang teh hijau dan encapsulated ekstrak teh hijau selama satu sampai empat minggu telah menunjukkan pengurangan status oksidatif. Erba et al.(2005) menunjukkan kemampuan teh hijau yang dikonsumsi dalam jumlah yang seimbang, meningkatkan keseluruhan status antioksidan dan melindungi tubuh terhadap kerusakan oksidatif.

b. Potensi Antimutagenik dan antikarsinogenik

Penyakit yang berkaitan dengan gaya hidup, seperti kanker ataupun penyakit yang berhubungan dengan penuaan, merupakan faktor utama penyebab penyakit. Oleh karena itu, pencegahan penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup akan tergantung pada penundaan proses penuaan dan pencegahan penampakan klinis penyakit. Komponen makanan yang mampu memperlambat penuaan sel dan menghambat pertumbuhan sel-sel kanker tanpa mempengaruhi pertumbuhan sel normal menerima perhatian yang cukup besar bagi pengembangan pencegahan kanker (Lambert JD,2003). Peran teh hijau dalam melindungi sel terhadap kanker telah didukung oleh banyak bukti dari penelitian dalam kultur sel dan model hewan (Chung FL,2003). Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa teh hijau menghambat karsinogenesis pada kulit, paru-paru, rongga mulut, kerongkongan, lambung, hati, ginjal, prostat dan organ lainnya (Lambert JD,2003). Saat ini, teh hijau diterima sebagai pencegah kanker atas dasar banyaknya penelitian secara in vitro, in vivo, dan epidemiologi. The Chemoprevention Cabang National Cancer Institute telah memulai rencana untuk mengembangkan senyawa teh sebagai agen chemopreventive dalam percobaan manusia (SiddiquiIA,2004). Efek chemopreventive teh hijau tergantung pada kerja antioksidan yang menginduksi enzim-enzim proses detoksifikasi. Teh hijau juga berperan dalam pertumbuhan, perkembangan sel dan apoptosis, dan peningkatan selektif bakteri flora dalam usus. D'Alessandro T (2003) juga menunjukkan bahwa aspek penting dari risiko kanker berhubungan dengan inflamasi respon, Saat ini, agen anti-inflamasi digunakan dalam strategi kemopreventif. Respon inflamasi melibatkan produksi sitokin proinflamasi dan oksidan, seperti sebagai asam

hipoklorit dan peroksinitrit yang diproduksi oleh neutrophil dan makrofag. Reaktor inflamasi ini bereaksi dengan residu tirosin oksidan fenolik pada protein untuk membentuk chloro dan nitrotyrosine. Selain itu, besar mekanisme aktivitas antikanker dari teh hijau pada hewan adalah dengan menghambat interaksi dengan DNA karsinogen yang menyebabkan mutasi sel. Namun demikian, kerja teh hijau serta mekanisme yang mendasarinya harus ditinjau dan peran GTP, yang dikendalilkan komponen bioaktif dan kafein, harus dievaluasi secara kritis. EGCG dari teh hijau terutama memberikan efek penghambatan pertumbuhan pada sel kanker (Int J Oncol,2004). EGCG menjanjikan antikanker yang potensial karena sifat antioksidan, antimutagenik, dan kemopreventifnya (Br J Cancer, 2004). Rosengren(2003) menunjukkan bahwa katekin teh hijau mengurangi proliferasi sel kanker payudara secara in vitro dan menurunkan pertumbuhan tumor payudara pada tikus. Selanjutnya, studi in vitro telah menunjukkan bahwa kombinasi EGCG dan

tamoxifen bersinergis memberi efek sitotoksik pada sel-sel kanker payudara. Menurut

Wu et al.(2003), peminum teh hijau secara signifikan dapat mengurangi risiko kanker payudara dibandingkan dengan wanita yang tidak minum teh hijau secara teratur (yaitu, kurang dari sekali sebulan). Selain itu, ada kecenderungan penurunan risiko yang signifikan dengan meningkatnya jumlah konsumsi teh hijau. Dua penelitian pada wanita Jepang yang terdiagnosa kanker payudara menunjukkan bahwa konsumsi teh hijau berbanding terbalik dengan tingkat kekambuhan, terutama pada tahap awal kanker payudara (Inoue M, 2001). Zhang (2002) melaporkan bahwa risiko kanker ovarium menurun dengan meningkatnya frekuensi dan durasi konsumsi teh hijau. Teh hijau juga merupakan agen kemopreventif yang efektif untuk kanker prostat pada manusia. Pada penelitian yang sama, Yu et al.(2004) melaporkan bahwa EGCG menghambat pertumbuhan kanker prostat sel adenoma dan menginduksi apoptosis. Jian et al.(2004) melakukan studi kasus-kontrol di China untuk menyelidiki apakah konsumsi teh hijau memiliki hubungan dengan penurunan kanker prostat. Risiko kanker prostat menurun dengan meningkatnya frekuensi, durasi, dan jumlah konsumsi teh hijau. Hubungan dosis dan respon menunjukkan bahwa teh hijau dapat

melindungi sel prostat terhadap kanker. Di satu sisi, studi epidemiologi telah menyarankan bahwa konsumsi tinggi teh hijau mengurangi perkembangan gastritis aktif kronis dan risiko kanker perut. Di samping itu, konsumsi teh hijau sebelum puasa melindungi mukosa usus terhadap atrofi (Asfar S,2003). Dengan metode yang sama, Hoshiyama(2003) dan Koizumi(2003) menemukan adany hubungan antara konsumsi teh hijau dan risiko kanker perut. Para penulis menunjukkan bahwa konsumsi teh hijau tidak memiliki efek perlindungan terhadap kanker lambung, dan lebih bergantung pada faktor-faktor lain, seperti usia, merokok, status sosial ekonomi, infeksi Helicobacter pylori, sejarah ulkus peptik, dan riwayat keluarga kanker perut bersama dengan komponen makanan tertentu.

c. Efek Anti-hipertensi Dan Risiko Penyakit Kardiovaskular

Teh hijau telah lama diyakini memiliki efek hipotensi dalam pengobatan Cina populer. Namun, hasil yang bertentangan telah menunjukkan adanya perbedaan antara percobaan dan studi hewan, dihubungankan dengan konsumsi teh terhadap tekanan darah. Bukti-bukti epidemiologis tentang efek jangka panjang dari teh hijau pada risiko hipertensi juga tidak konsisten. Yang et al. (2004) menyimpulkan bahwa kebiasaan konsumsi teh hijau 120 mL/ hari atau lebih selama 1 tahun secara signifikan mengurangi risiko berkembangnya hipertensi pada penduduk Cina. Hodgson et al.(2003) melaporkan bahwa konsumsi jangka panjang teh hijau mungkin memiliki efek yang menguntungkan pada tekanan darah pada wanita yang lebih tua. Namun, penelitian lain tidak mendukung efek hipotensi teh hijau. Singh et al.(2003), dan Murakami dan Ohsato (2003) melaporkan bahwa asupan teh hijau pada diet mempertahankan dan meningkatkan elastisitas arteri dan fungsi endotel. Oksidasi LDL-cholesterol, dikaitkan dengan risiko aterosklerosis dan penyakit jantung, dapat dihambat dengan konsumsi teh hijau karena EC dan aktivitas antioksidan EGCG. Aktivitas antioksidan EGCG pada Oksidasi LDL secara in vitro lebih kuat dari EC (Gomikawa S,2002). Sesuai dengan pengamatan ini, Trevisanato dan Kim (2000) mengindikasikan bahwa GTP dapat memperlambat aterosklerosis dengan mengurangi efek oksidatif dengan modifikasi peristiwa LDL-kolesterol dan juga pembentukan sel busa, sitotoksisitas endotel, dan induksi sitokin proinflamasi. Gomikawa dan Ishikawa (2002) menyatakan bahwa katekin menekan kerentanan LDL terhadap proses oksidasi oleh CuSO4 secara in vitro dan plasma oksidasi secara in vivo setelah mengonsumsi teh hijau. Data lain melaporkan bahwa katekin telah terbukti mengurangi kadar kolesterol plasma dan tingkat penyerapan kolesterol. Trigliserida dalam plasma dan HDL tidak berubah secara signifikan. Para penulis mengatakan bahwa salah satu mekanisme yang mendasari EGCG mempengaruhi metabolisme

lipid adalah dengan mengganggu solubilisasi misel kolesterol dalam saluran pencernaan, yang kemudian pada gilirannya menurunkan penyerapan kolesterol. Yokozawa et al. (2002) melaporkan bahwa kerja GTP efektif menghambat LDL- kolesterol oksidasi dan peningkatan aktivitas antioksidan

serum. Selanjutnya, GTP meningkatkan kadar HDL, yang menyebabkan peningkatan

dosage-dependent dari indeks aterogenik. Dengan demikian, GTP mungkin berperan

sebagai antiatherosklerotik berdasarkan sifat antioksidan dan peningkatan tingkat HDLnya. Teh hijau memiliki manfaat dalam aktivitas oksida nitrat yang disebabkan oleh gangguan endothelium yang berkontribusi terhadap patogenesis aterosklerosis dalam sirkulasi coroner yang telah dikaitkan dengan kejadian penyakit kardiovaskuler di masa depan. Selanjutnya, disfungsi endotel ini dikaitkan dengan peningkatan stres oksidatif dan dapat diturunkan dengan intervensi antioksidan. Kemungkinan variasi antara studi yang berbeda mungkin juga disebabkan karena ketidaktahuan, faktor sosial ekonomi, dan gaya hidup yang terkait dengan minum teh hijau (yaitu, perbedaan geografis, kelas sosial, indeks massa tubuh, gaya hidup sehat, prevalensi merokok yang tinggi, asupan lemak yang tinggi, asupan alcohol dan kopi).

d. Kesehatan Mulut

Penyakit mulut termasuk karies gigi, penyakit periodontal, dan kehilangan gigi secara signifikan dapat berdampak pada kesehatan seseorang secara keseluruhan. Di antaranya, karies gigi adalah penyakit menular multifaktorial yang terkait dengan gizi, infeksi mikrobia, dan host respond. Laporan sebelumnya, pada hewan percobaan dan manusia, menunjukkan bahwa konsumsi teh hijau (tanpa tambahan gula) mengurangi karies gigi (Wu CD,2002). Linke dan LeGeros (2003) menunjukkan bahwa asupan teh hijau secara rutin dapat menurunkan pembentukan karies, bahkan dengan penambahan gula dalam diet. Pada studi hewan secara in vivo telah menunjukkan bahwa tikus yang terinfeksi Streptococcus mutans dan kemudian

Dokumen terkait