• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kestabilan Politik dan Sosial

Kestabilan politik dan sosial merupakan unsur penting lain dalam pelaksanakan iklim usaha yang kondusif. Kondisi politik yang kurang stabil dan tidak menentu dapat berpengaruh pada menurunnya kegairahan investasi. Ketidakstabilan merupakan unsur penting lain dalam iklim usaha. Ketidakstabilan politik di satu sisi mengakibatkan arah kebijakan pemerintah tidak jelas dan tidak ada kepastian hukum (misalnya karena seringnya pergantian menteri) termasuk di bidang investasi. Di sisi lain hal ini dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi makro seperti tingkat inflasi dan ketidakstabilan rupiah. Faktor sosial dibutuhkan untuk melihat dan menjaga keamanan investasi, karena Kota Medan merupakan daerah yang didomisili oleh macam-macam suku bangsa dan ras maka berpotensi terjadi kerusuhan yeng bersifat etnis, agama, separatisme, kecemburuan social. Maka pengusaha cenderung teliti mendirikan atau menanamkan modalnya di daerah tersebut.

Ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik-tidaknya iklim investasi. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menyangkut stabilitas politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan neto atas biaya resiko jangka panjang dari kegiatan investasi, dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak. Dalam hal ini permsalahan tersebut dilihat dalam konteksnya dengan daerah.

Sebagai gambaran, ketidakpastian arah politik di Indonesia pada tahun-tahun awal krisis politik pasca orde baru berimbas pula pada timbulnya ketidakstabilan ekonomi, pengalaman krisis tersebut membuktikan bahwa kerapuran dalam sistem politik, sosial budaya, keamanan dan pemerintahan merupakan faktor yang amat dominan dalam mendorong proses perluasan ketidakpastian penegakan hukum merupakan salah satu faktor penyebab menurunnya tingkat willingness bagi para investor untuk berinventasi di Indonesia (http://plnpusdiklat.co.id).

Menurut (Widjajono: 2012) penanganan masalah sosial atau pemerataan adalah tugas pemerintah dan masyarakat. Peran pemerintah dalam pemerataan adalah untuk melaksanakan keadilan sosial. Pemerataan kesempatan dan pendapatan yang ditimbulkan oleh sistem pasar bebas dapat tidak adil karena tidak dilakukan dalam level playing field (tempat bermain yang seimbang) dan tidak memihak kepada kaum lemah. Walaupun demikian, keadilan bukanlah suatu hal yang statis dan absolut akan tetapi merupakan suatu hal yang dinamis dan relatif tergantung kepada persepsi pengusaha.

Keputusan-keputusan pengusaha sangat dipengaruhi oleh perkembangan dalam lingkungan politik/hukum. Lingkungan ini terbentuk oleh hukum-hukum, lembaga, pemerintah, dan kelompok penentang yang mempengaruhi dan membatasi gerak-gerik berbagai kegiatan si pengusaha. Hal seperti siapa yang berkuasa disuatu negara, bagaimana ia menjalankan pemerintahannya, apa peran dan kekuasaan yang dimiliki oleh pelaku dalam percaturan politik suatu negara dan bagaimana dampaknya terhadap pemilik usaha dan penciptaan profit oleh pengusaha, bagaimana peran pelaku ekonomi dalam negara tersebut, serta bagaimana distribusi pendapatan yang ada merupakan faktor-faktor penentu peluang dan ancaman bisnis di dalam suatu negara.

Lingkungan sosial budaya berkaitan dengan keadaan dan perkembangan nilai-nilai, kaidah, dan persepsi dalam suatu masyarakat. Masyarakat desa dan kota meiliki

lingkungan sosial yang berbeda. Masyarakat desa cenderung membentuk sistem kekerabatan perluasan keluarga (extended family), sedangkan masyarakat perkotaan cenderung membentuk sistem kekerabatan keluarga inti (nuclear family) (Josephinejoe: 2012).

2.4 Birokrasi

Birokrasi terdiri dari kata yaitu biro yang artinya meja dan krasi kekuasaan. Birokrasi memiliki dua elemen utama yang dapat membentuk pengertian, yaitu peraturan atau norma formal dan hirarki. Jadi, dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah kekuasaan yang bersifat formal yang didasarkan pada peraturan atau undang-undang dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Secara etimologi birokrasi beasal dari istilah “buralist” yang dikembangkan oleh Reineer von Stein pada 1821, kemudian menjadi “bureaucracy” yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional, impersonal dan leglistik (Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002).

Birokrasi merupakan instrumen pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang efisien, efektif, berkeadilan, transparan dan akuntabel. Hal ini berarti bahwa untuk mampu melaksanakan fungsi pemerintah dengan baik maka organisasi birokrasi harus profesional, tanggap, aspiratif terhadap berbagai tuntutan masyarakat yang dilayani. Seiring dengan hal tersebut pembinaan aparatur negara dilakukan secara terus-menerus, agar dapat menjadi alat yang efisien dan efektif, bersih dan berwibawa, sehingga mampu menggerakkan pembangunan secara lancar dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian terhadap masyarakat.

Namun kadang, birokrasi di Indonesia baik di pusat maupun di daerah kadang menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Sehingga jika masyarakat membicarakan birokrasi, maka akan berkonotasi nagatif. Bahkan, birokrasi diidentikkan dengan korupsi, infesiensi, pelayanan yang berbelit-belit, rendahnya tingkat akuntabilitas, responsifitas, dan efisiensi dalam penyelenggaranaan pelayanan

publik (Agus Dwiyanto, 2002: hal 228). Berbagai permasalahan yang ada dalam tubuh birokrasi tersebut merupakan serangkaian permasalahan yang ada dalam tubuh birokrasi baik pusat maupun di daerah-daerah. Khususnya bagi daerah, otonomi daerah yang semula diharapkan untuk lebih baik, justru pada kenyataannya tujuan belum mampu dijalankan dengan baik, yang terjadi kebijakan-kebijakan daerah di tengah jalan yang berakibat semakin jeleknya pelayanan publik.

Tjokroamidjojo (1988) mengidentifikasikan ada empat aktor besar yang menghambat efisiensi administrasi negara (birokrasi), yaitu:

a. Kecenderungan membengkaknya birokrasi baik dalam arti struktural maupun luasnya campur tangan terhadap kehidupan masyarakat.

b. Lemahnya kemampuan manajemen pembangunan baik dalam perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, dan pengawasan.

c. Rendahnya produktivitas pegawai negeri. Siagian (1987), mengidentifikasikan ada tiga jenis kelemahan yang melekat pada pegawai negeri, yaitu:

1. Kemampuan manajerial, yaitu kurangnya kemampuan memimpin, menggerakkan bawahan, melakukan koordinasi dan mengambil keputusan.

2. Kemampuan teknis, yaitu kurangnya kemampuan untuk secara terampil melakukan tugas-tugas, baik yang bersifat rutin, maupun yang bersifat pembangunan.

3. Kemampuan teknologis, yaitu kurangnya kemampuan untuk memanfaatkan hasil-hasil penemuan teknologi dalam pelaksanaan tugas.

2.4.1 Birokrasi dan Investasi

Cap buruk birokrasi Indonesia dinilai seolah sudah menjadi rahasia umum bagi semua kalangan. Besarnya biaya birokrasi formal yang harus dikeluarkan

berinvestasi, maka investor cenderung menempuh jalur informal. Pemerintah yang seharusnya memberikan pelayanan yang baik, justeru bertindak sebagai penguasa. Kebijakan yang dikeluarkan sepertinya bukan mempermudah, melainkan mempersulit. Jika birokrasinya buruk, maka sangat berkolerasi dengan tingkat korupsi yang tinggi.

Survei Bank Dunia menunjukkan bahwa untuk memulai investasi di Indonesia, pengusaha harus melewati 12 prosedur yang memerlukan waktu 151 hari. Dalam hal biaya, prosedur panjang ini setara dengan 130,7 % dari pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Para investor juga menaruh uangnya minimal 125,7% dari pendapatan perkapita di bank untuk memperoleh izin berusaha. Untuk menutup usaha, membutuhkan waktu 6 tahun dan melewati sebanyak 34 prosedur, (Kompas 2 Juli 2005 dalam Suranto dan Isharyanto: 2007).

Dalam peta perekonomian internasional, Indonesia menepati urutan ke 120. Kondisi ini tentu cukup memprihatinkan mengingat posisi negara-negara lain ke Asean saja, Indonesia jauh tertinggal. Posisi pertama ditempati Singapura, Malaysia (6), Thailand (18), Brunei Darussalam (59) dan Vietnam (99). Beberapa masalah yang membuat peringkat Indonesia jeblok adalah: akses listrik (121), pembayaran pajak (137) dan melulai usaha atau berinvestasi (175), (World Bank Report Doing Business, 2014 dalam 2.4.2 Peran Pemerintah Daerah dalam Peningkatan Investasi

Peran Ekonomi Daerah adalah suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan rill perkapita penduduk suatu daerah dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan.

Pemerintah daerah memiliki empat peran strategi dalam pembangunan ekonomi daerah, yakni:

1. Peran sebagai enterpreneur, pemda bertanggung jawab menjalankan bisnis (BUMD)

2. Peran koordinator, penetapan dalam kebijakan dan strategi pembangunan yang melibatkan masyarakat

3. Peran fasilitator, pemerintah daerah mempercepat pembangunan daerah melalui perbaikan lingkungan (perilaku)

4. Peran stimulator, memberikan rangsangan pengembangan usaha dan investasi. Berdasarkan fungsi dan peranan di atas dalam pembangunan ekonomi daerah maka pemerintah daerah memiliki beberapa strategi dalam pengembangan ekonominya. Beberapa strategi dapat dilakukan melalui:

1. Pengembangan fisik atau lokalitas, kawasan industri, kawasan investasi lainnya.

2. Strategi pengembangan dunia usaha melalui upaya-upaya kebijakan yang merangsang usaha, melalui langkah-langkah sebagai berikut:

a. Perbaikan kualitas lingkungan

b. Pengembangan pusat informasi dan promosi c. Pusat pengembangan usaha kecil

d. Pusat penelitian produk daerah.

Berdasarkan strategi di atas, maka perlu dikembangkan informasi dan promosi yang terkait dengan pengembangan usaha yang meliputi peluang-peluang investasi dan pengembangan perekonomian wilayah

2.5 Infrastruktur

2.5.1 Definisi Infrastruktur

Sampai saat ini belum ada definisi khusus tentang infrastruktur. Namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, infrastruktur dapat diartikan sebagai sarana dan prasarana umum. The Routledge Dictionary of Economics (1995) memberikan pengertian yang lebih luas, yaitu bahwa infrastruktur juga merupakan pelayan utama dari suatu negara yang membentuk kegiatan ekonomi dan masyarakat sehingga dapat berlangsung yaitu dengan menyediakan transportasi dan juga fasilitas pendukung

lainnya. Sedangkan dalam Peraturan Presiden RI No. 7 tahun 2005 tentang rencana pembangunan jangka menengah nasional tahun 2004 – 2009 dinyatakan bahwa infrastruktur adalah fasilitas yang disediakan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Infrastruktur meliputi sarana dan prasarana milik pemerintah pusat dan daerah sebagai berikut:

1. Fasilitas transportasi, terdiri dari fasilitas jalan, jembatan, fasilitas transportasi darat, laut, udara yang disediakan pemerintah untuk memperlancar kegiatan distribusi barang dan manusia.

2. Energi, terdiri dari listrik, BBM dan gas. 3. Pos, telekomunikasi dan informatika. 4. Sumber daya air dan air bersih. 5. Perumahan dan pemukiman.

6. Kesehatan terdiri dari kebersihan, pengelolaan lingkungan, limbah dan sebagainya.

Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sistem infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Grigg, 2000).

2.5.2 Infrastruktur dan Investasi

Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Keberadaan infrastruktur yang memadai sangat diperlukan. Sarana dan prasarana fisik, atau sering disebut dengan infrastuktur, merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem pelayanan masyarakat. Berbagai fasilitas fisik merupakan hal yang vital guna mendukung berbagai kegiatan pemerintahan, perekonomian, industri dan kegiatan sosial di masyarakat dan pemerintahan.

Dampak dari kekurangan infrastruktur serta kualitasnya yang rendah menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja. Sehingga pada akhirnya banyak perusahaan akan keluar dari bisnis atau membatalkan ekspansinya. Karena itulah infrastruktur sangat berperan dalam proses produksi dan merupakan prakondisi yang sangat diperlukan untuk menarik akumulasi modal sektor swasta.

Dalam World Bank Report, insfrastruktur dibagi dalam 3 golongan, yaitu (Bank Dunia, 1994 dalam Bagus Teguh Pamungkas, 2009):

a. Infrastruktur ekonomi, merupakan aset fisik yang menyediakan jasa dan digunakan dalam produksi dan konsumsi final meliputi public utilities (telekomunikasi, air minum, sanitasi dan gas), public works (bendungan, saluran irigasi dan drainase) serta sektor transportasi (jalan, kereta api, angkutan pelabuhan dan lapangan terbang).

b. Infrastruktur sosial, merupakan aset yang mendukung kesehatan dan keahlian masyarakat meliputi pendidikan (sekolah dan perpustakaan), kesehatan (rumah sakit, pusat kesehatan) serta untuk rekreasi (taman, museum dan lain-lain).

c. Infrastruktur administrasi/institusi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi serta kebudayaan.

Selain itu, Ian Jacob (1999) membagi infrastruktur menjadi 2, yaitu:

1. Infrastruktur dasar (basic infrastructure) meliputi sektor-sektor yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk sektor perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (nontradable) dan tidak dapat dipisah-pisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya, jalan raya, kereta api, kanal, pelabuhan laut, bendungan dan sebagainya.

2. Infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) seperti gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum.

Jika melihat kondisi infrastruktur yang ada di Kota Medan, maka penulis lebih menekankan pada lemahnya sektor sarana dan prasarana transportasi. Hal itu dilihat dari kondisi jalan yang sempit dan berlubang sehingga menimbulkan berbagai hambatan dalam bertranspostasi. Sementara transportasi merupakan kebutuhan turunan (derived demand) akibat aktivitas ekonomi, sosial, dan sebagainya. Dalam kerangka makro-ekonomi, transportasi merupakan tulang punggung perekonomian nasional, regional, dan lokal, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Harus diingat bahwa sistem transportasi memiliki sifat sistem jaringan di mana kinerja pelayanan transportasi sangat dipengaruhi oleh integrasi dan keterpaduan jaringan.

Padahal transportasi merupakan alat untuk memindahkan orang dan barang dari tempat asal ke tempat tujuan dengan menggunakan kendaraan (Suharjoko, 2002: 8). Transportasi juga banyak disebutkan sebagai sarana vital dalam infrastruktur. Untuk di Indonesia, secara keseluruhan terlihat peran infrastruktur transportasi dalam pertumbuhan ekonomi, atau dalam bahasa lain dapat dikatakan seiring dengan berjalannya waktu, pertumbuhan infrastruktur transportasi dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik (Litbang Dephub dan LPPM ITS, 2004). Bukan itu saja, trasnportasi termasuk ke dalam salah satu faktor yang mempengaruhi iklim investasi selain stabilitas politik dan sosial, stabilitas ekonomi yang tergolong ke dalam infrastruktur dasar yang meliputi listrik, telekomunikasi, sarana dan prasarana jalan, serta pelabuhan. Sementara fakto lain seperti listrik, sarana telekomunikasi dan pelabuhan, penulis beranggapan bahwa hal itu bukan menjadi permasalahan berarti untuk kota sekelas Medan.

Dokumen terkait