• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Manfaat Penelitian

3. Kesulitan Belajar

a. Pengertian Kesulitan Belajar

Peserta didik mulai belajar dari sesuatu yang sangat sederhana, kemudian berkembang menuju pemahaman yang lebih komplek. Peserta didik belajar dari stimulus–stimulus yang hadir, kemudian merespon dengan berbagai kemungkinan dan banyak cara. Dalam belajar, peserta didik melakukan berbagai tingkah laku, antara lain mengamati, mencerna dalam pikiran, menirukan, menerapkan dalam situasi lain, dan sebagainya. Pada saat mencerna dalam pikiran, mulai timbul pertanyaan. Pertanyaan tersebut merupakan salah satu wujud respon terhadap

stimulus yang hadir. Selama proses belajar peserta didik baik secara umum maupun secara khusus (belajar IPS), tidak selalu berjalan lancar. Peserta didik terkadang mempunyai masalah dalam belajar yang disebut kesulitan belajar.

Koestoer dan Hadisuparto (1978: 95-106) mengatakan tahap pertama yang paling efisien dalam mendiagnosa kesulitan-kesulitan belajar peserta didik yakni sejauh mana peserta didik dapat mencapai berbagai tujuan yang diharapkan sekolah. Tahap berikutnya adalah memperkirakan sebab, tahap ini berdasarkan asumsi bahwa kita tidak dapat menggambil keputusan secara bijaksana bagaimana membantu peserta didik mengatasi kesulitannya. Sunarta (1985: 7) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesulitan belajar adalah kesulitan yang dialami oleh peserta didik dalam kegiatan belajarnya, sehingga berakibat prestasi belajarnya rendah dan perubahan tingkah laku yang terjadi tidak sesuai dengan partisipasi yang diperoleh sebagaimana teman-teman kelasnya.

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar adalah suatu kondisi dimana anak didik tidak dapat belajar secara wajar atau suatu keadaan dalam proses belajar mengajar dimana anak didik tidak dapat belajar sebagaimana mestinya. Kesulitan belajar pada dasarnya adalah suatu gejala yang nampak dalam berbagai manivestasi tingkah laku, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang disebabkan adanya hambatan, ancaman, dan gangguan dalam belajar. Supriyono

(2003: 77) menyatakan bahwa kesulitan belajar adalah suatu keadaan dimana peserta didik atau anak didik tidak dapat belajar sebagaimana mestinya. Sesuai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar adalah suatu kondisi proses belajar yang ditandai hambatan-hambatan tertentu sehingga mengganggu proses belajar dan pencapaian hasil belajar.

b. Faktor Kesulitan Belajar

Muhibbin Syah (2002: 172) menyebutkan faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar antara lain:

1) Faktor intern, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dalam diri peserta didik sendiri, antara lain:

a) Kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual/inteligensi anak didik.

b) Afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap. c) Psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya

alat-alat indera penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga). 2) Faktor ekstern, yakni hal-hal atau keadaan yang datang dari luar diri

peserta didik antara lain:

a) Lingkungan keluarga, contohnya: ketidak harmonisan hubungan antara ayah dan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.

b) Lingkungan masyarakat, contohnya: wilayah perkampungan kumuh (slum area) dan teman sepermainan (peer group) yang nakal.

c) Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk, kondisi guru serta alat- alat belajar yang berkualitas rendah.

Sugihartono, dkk (2007: 155-156) mengemukakan bahwa peserta didik yang mengalami kesulitan belajar atau ketidakberesan dalam belajar, ditunjukkan oleh hasil belajar yang rendah. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, Dimyati dan Mudjiono (2002: 297) mengemukakan faktok-faktor internal yang mempengaruhi proses belajar sebagai berikut:

1) Sikap terhadap belajar 2) Motivasi belajar 3) Konsentrasi belajar 4) Mengolah bahan ajar

5) Menyimpan perolehan hasil belajar 6) Menggali hasil belajar yang tersimpan

7) Kemampuan berprestasi atau unjuk hasil kerja 8) Rasa percaya diri peserta didik

9) Inteligensi dan keberhasilan belajar 10)Kebiasaan belajar

Faktor ekternal yang berpengaruh proses belajar meliputi: 1) Guru sebagai Pembina peserta didik belajar

2) Prasarana dan sarana pembelajaran 3) Kebijakan penilaian

4) Lingkungan sosial peserta didik di sekolah 5) Kurikulum sekolah

Sejalan dengan itu , Slameto (2013: 54-71) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belajar digolongkan menjadi dua golongan saja yaitu:

1) Faktor-faktor intern

a) Faktor jasmaniah meliputi: (1) Faktor kesehatan

Sehat berarti dalam keadaan baik segenap badan beserta bagian-bagiannya/bebas dari penyakit. Kesehatan adalah keadaan atau hal sehat. Kesehatan seseorang berpengaruh terhadap belajarnya. Proses belajar seseorang akan terganggu jika kesehatan seseorang terganggu.

(2) Cacat tubuh

Cacat tubuh adalah sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna mengenai tubuh/badan. Cacat itu dapat berupa buta, setengah buta, tuli, patah kaki, dan lain-lain. Keadaan cacat tubuh juga mempengaruhi belajar. Peserta didik yang cacat belajarnya juga terganggu.

b) Faktor psikologis faktor ini meliputi : (1) Inteligensi

Intelegensi besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar. Peserta didik yang mempunyai tingkat intelegensi tinggi akan lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat intelegensi rendah.

(2) Perhatian

Untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik, maka peserta didik harus mempunyai perhatian terhadap, bahan yang dipelajarinya, jika bahan pelajaran tidak menjadi perhatian peserta didik, maka timbullah kebosanan, sehingga ia tidak lagi suka belajar. Peserta didik dapat belajar dengan baik apabila bahan pelajaran selalu menarik perhatian dengan cara mengusahakan pelajaran itu sesuai dengan hobi atau bakatnya.

(3) Minat

Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan. Kegiatan yang diminati seseorang, diperhatikan terus-menerus yang disertai dengan rasa senang. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat peserta didik, peserta didik tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya tarik baginya. la

segan-segan untuk belajar, ia tidak memperoleh kepuasan dari pelajaran itu.

(4) Bakat

Bakat adalah kemampuan untuk belajar. Kemampuan itu baru akan terealisasi menjadi kecakapan yang nyata sesudah belajar atau berlatih

(5) Motif

Motif erat sekali hubungannya dengan tujuan yang akan dicapai. Dalam menentukan tujuan itu dapat disadari atau tidak, akan tetapi untuk mencapai tujuan itu perlu berbuat, sedangkan yang menjadi penyebab berbuat adalah motif itu sendiri sebagai daya penggerak/pendorongnya, dalam proses belajar haruslah diperhatikan apa yang dapat mendorong peserta didik agar dapat belajar dengan baik atau padanya mempunyai motif untuk berpikir dan memusatkan perhatian, merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang berhubungan/menunjang belajar. (6) Kematangan

Kematangan adalah suatu tingkat/fase dalam pertumbuhan seseorang, dimana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru. Misalnya anak dengan kakinya sudah siap untuk berjalan, tangan dengan jari-jarinya sudah siap untuk menulis, dengan otaknya sudah siap, untuk berpikir abstrak, dan lain-lain. Kematangan belum berarti anak dapat

melaksanakan kegitan secara terus-menerus, untuk itu diperlukan latihan-latihan dan pelajaran.

(7) Kesiapan

Kesiapan adalah kesediaan untuk memberi respon atau bereaksi. Kesedian itu timbul dari dalam diri seseorang dan juga berhubungan dengan kematangan, karena kematangan berarti kesiapan untuk melaksanakan kecakapan. Kesiapan ini perlu diperhatikan dalam proses belajar, karena jika peserta didik belajar dan padanya sudah ada kesiapan, maka hasil belajarnya akan lebih baik.

2) Faktor-faktor ekstern a) Faktor keluarga

(1) Cara orang tua mendidik

Cara orang tua mendidik anak-anaknya akan berpengaruh terhadap belajarnya. Orang tua yang kurang/tidak memperhatikan pendidikan anaknya, misalnya mereka acuh tak acuh terhadap belajar anaknya, tidak memperhatikan sama sekali akan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan anaknya dalam belajar, kesulitan-kesulitan yang dialami dalam belajar dan lain-lain.

(2) Relasi antar anggota keluarga

Relasi anak dengan saudaranya atau dengan anggota keluarga yang lain turut mempengaruhi belajar anak. Wujud relasi itu

misalnya apakah hubungan itu penuh diliputi oleh kebencian, sikap yang terlalu keras, ataukah sikap yang acuh tak acuh dan sebagainya. Relasi semacam itu akan menyebabkan perkembangan anak terhambat, belajarnya terganggu dan bahkan dapat menimbulkan masalah-masalah psikologis yang lain.

(3) Suasana rumah

Suasana rumah dimaksudkan sebagai situasi atau kejadian-kejadian yang sering terjadi di dalam keluarga dimana anak berada dan belajar. Suasana rumah yang gaduh/ramai dan semrawut tidak akan memberi ketenangan kepada anak yang belajar. Suasana rumah yang tegang, ribut, dan sering terjadi cekcok, pertengkaran antara anggota keluarga atau dengan keluarga lain menyebabkan anak menjadi bosan di rumah, suka keluar rumah, akibatnya belajarnya kacau.

(4) Keadaan ekonomi keluarga

Keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan belajar anak. Anak yang sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya, jika anak hidup dalam keluarga yang miskin, kebutuhan pokok anak kurang terpenuhi, akibatnya kesehatan anak terganggu, sehingga belajar anak juga terganggu. Akibat yang lain anak selalu dirundung kesedihan sehingga anak merasa minder dengan teman lain, hal ini pasti akan mengganggu belajar anak.

Sebaliknya keluarga yang kaya raya, orang tua sering mempunyai kecenderungan untuk memanjakan anak. Anak hanya berfoya-foya, akibatnya anak kurang dapat memusatkan perhatiannya kepada belajar. Hal tersebut juga dapat mengganggu belajar anak.

(5) Pengertian Orang Tua

Anak belajar perlu dorongan dan pengertian orang tua. Bila anak sedang belajar jangan diganggu dengan tugas-tugas di rumah seperti ketika peserta didik sedang belajar diganggu untuk memasak, mengasuh adik kandung dan lain-lain.

b) Faktor Sekolah (1) Metode Mengajar

Metode mengajar yang kurang baik itu dapat terjadi misalnya karena guru kurang persiapan dan kurang menguasai bahan pelajaran sehingga guru tersebut menyajikannya tidak jelas atau sikap guru terhadap peserta didik dan atau terhadap mata pelajaran itu sendiri tidak baik, sehingga peserta didik kurang senang terhadap pelajaran atau gurunya. Guru biasa mengajar dengan metode ceramah saja peserta didik menjadi bosan, mengantuk, pasif, dan hanya mencatat saja akibatnya peserta didik malas untuk belajar.

(2) Kurikulum Sekolah

Perubahan kurikulum di sekolah menimbulkan masalah bagi peserta didik ia perlu mempelajari cara-cara belajar, buku pelajaran, dan sumber belajar yang baru, dalam hal ini peserta didik harus menghindarkan diri dari cara-cara belajar lama.

(3) Relasi Guru dengan Peserta Didik

Proses belajar mengajar terjadiantara guru dengan peserta didik. Proses tersebut juga dipengaruhi oleh relasi yang ada dalam proses itu sendiri. Cara belajar peserta didik juga dipengaruhi oleh relasinya dengan gurunya. Jika gurunya terlalu arogan, dan galak terhadap peserta didik segan mempelajari mata pelajaran yang diberikannya, akibatnya pelajarannya tidak maju maka segan berpartisipasi secara aktif dalam belajar.

(4) Relasi Peserta Didik dengan Peserta Didik

Peserta didik yang mempunyai sifat-sifat atau tingkah laku yang kurang menyenangkan teman lain, mempunyai rasa rendah diri atau sedang mengalami tekanan-tekanan batin, akan diasingkan dari kelompok. Akibatnya makin parah masalahnya dan akan mengganggu belajarnya. Lebih-lebih lagi ia menjadi malas untuk masuk sekolah dengan alasan-alasan yang tidak-tidak karena di sekolah mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan dari teman-temannya.

Alat pelajaran yang baik dan lengkap adalah perlu agar guru dapat mengajar dengan baik sehingga peserta didik dapat menerima pelajaran dengan baik serta dapat belajar dengan baik pula. Hal ini dibutuhkan kekreatifan seorang guru untuk mencukupi alat pelajaran.

(6) Waktu Sekolah

Waktu sekolah ialah waktu terjadinya proses belajar mengajar di sekolah, waktu itu dapat pagi hari, siang, sore/malam hari. Waktu sekolah juga mempengaruhi belajar peserta didik. Jika peserta didik terpaksa masuk sekolah di sore hari, sebenarnya kurang dapat dipertanggung jawabkan. Peserta didik harus beristirahat, tetapi terpaksa masuk sekolah, hingga mereka mendengarkan pelajaran sambil mengantuk dan sebagainya. Memilih waktu sekolah yang tepat akan memberi pengaruh yang positif terhadap belajar.

(7) Tugas Rumah

Waktu belajar terutama adalah di sekolah, di samping untuk belajar waktu di rumah biarlah digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain. Maka diharapakan guru jangan terlalu banyak memberi tugas yang harus dikerjakan di rumah dan tidak menyulitkan peserta didik sehingga tidak mempengaruhi tekanan mental peserta didik bila tidak dapat mengerjakan tugas tidak berani untuk berangkat sekolah. c. Jenis Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar peserta didik dapat ditunjukkan oleh adanya hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. Hambatan tersebut dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis. Hambatan tersebut menyebabkan prestasi belajar peserta didik yang dicapai berada di bawah semestinya.

Macam kesulitan belajar peserta didik menurut Darsono (2000: 41) diantaranya:

1) Learning disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respon yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respon-respon yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya.

2) Learning disfunction adalah gejala dimana proses belajar yang dilakukan peserta didik tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya peserta didik tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat indera, atau gangguan psikologis lainnya.

3) Underachiever merupakan peserta didik yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah.

4) Slow learner atau lambat belajar adalah peserta didik yang lambat dalam proses belajar, sehingga dia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok peserta didik lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.

5) Learning disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana peserta didik tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya. 4. Kelas Non-Reguler

a. Pengertian Kelas Non-Reguler

Kelas non reguler merupakan kelas yang diperuntukan khusus bagi peserta didik pemegang KMS (Kartu Menuju Sejahtera) untuk menerima pendidikan gratis sesuai program JPD (Jaminan Pendidikan Daerah) di Kota Yogyakarta. Menurut Ashari (2012: 2), Jaminan Pendidikan Daerah adalah:

“JPD KMS merupakan bentuk komitmen Pemerintah Daerah

Kota Yogyakarta dalam memberikan Jaminan Pendidikan, bukan hanya wajib belajar 9 Tahun, namun wajib belajar 12 (dua belas) tahun, serta memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat Kota Yogyakarta untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. KMS merupakan identitas penduduk Kota Yogyakarta yang telah didata sebagai keluarga miskin berdasarkan parameter keluarga miskin yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 417/KEP/2009 tentang Penetapan

Parameter Pendataan Keluarga Miskin.”

Menurut Ashari (2012: 4), jaminan pendidikan daerah terhadap KMS Kota Yogyakarta didukung oleh anggaran yang meningkat. Pada Tahun 2012 Pemerintah Kota Yogyakarta meningkatkan akses

pendidikan masyarakat dengan menyediakan dana sebesar Rp 16,1 miliar. Hal ini tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Yogyakarta 2012. Adanya dukungan dana tersebut tentunya inisiasi JPD KMS terus berjalan karena program JPD KMS dianggap sebagai program yang perduli dengan pendidikan orang miskin. Secara politis, disetujuinya anggaran untuk JPD KMS merupakan wujud dukungan atas inisiasi program jaminan pendidikan di daerah Kota Yogyakarta

b. Fungsi dan Tujuan Kelas Non-Reguler

Sesuai Kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta, KMS diperuntukkan bagi warga pra sejahtera ber-KTP Kota Yogyakarta. KMS berfungsi sebagai identitas layanan bagi program jaminan pendidikan dan kesehatan.

Menurut Ashari (2012: 4), dikatakan bahwa dengan adanya KMS tersebut dapat dipergunakan untuk penyaluran beapeserta didik bagi peserta didik tidak mampu dan layanan jaminan kesehatan (askeskin), serta berfungsi memudahkan pembagian beras (raskin). Fungsi KMS adalah sebagai identitas layanan bagi warga ber-KTP Kota Yogyakarta yang dapat digunakan untuk penyaluran beapeserta didik bagi peserta didik tidak mampu dan layanan jaminan kesehatan (askeskin), serta berfungsi memudahkan pembagian beras (raskin)

Pemanfaatan KMS sangat membantu pemerintah Kota Yogyakarta untuk memberikan jaminan-jaminan bagi warga miskin

Kota Yogyakarta secara efektif agar dapat mengakses pendidikan, kesehatan, dan mempermudah pembagian beras raskin. Selain mendapatkan jaminan berupa biaya pendidikan, penerima JPD juga mendapatkan beberapa manfaat. Menurut Ashari (2012: 9), manfaat dari adanya JPD KMS adalah sebagai berikut:

“Pertama, penerima JPD KMS mendapatkan kuota KMS

dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), yaitu dengan memberikan kuota tertentu bagi peserta didik pemegang KMS dalam PPDB agar bisa mengakses sekolah yang favorit. Kuota KMS dalam PPDB merupakan Affirmative actiondari Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta untuk memberikan peluang peningkatan kualitas pendidikan bagi peserta didik pemegang KMS. Kedua, penerima JPD KMS diberikan kepada peserta didik disetiap jenjang pendidikan dari TK sampai SMA baik sekolah negeri maupun swasta, serta sekolah luar biasa. Ketiga, penerima JPD KMS tetap akan diberikan bagi peserta didik pemegang KMS baik yang sekolah di Kota Yogyakarta

maupun luar Kota Yogyakarta”

Adanya KMS memberikan angin segar bagi peserta didik yang tergolong dalam keluarga tidak mampu untuk mengakses pendidikan yang lebih bermutu. Pemanfaatan KMS secara efektif akan meringankan beban biaya pendidikan peserta didik yang berasal dari keluarga miskin karena mendapatkan jaminan berupa biaya pendidikan, sehingga mereka bisa lebih termotivasi dalam belajar dan pada akhirnya adalah tercapai prestasi belajar yang diharapkan.

Berdasarkan kajian teori di atas dapat disimpulkan bahwa JPD melalui KMS merupakan bentuk komitmen Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta dalam memberikan Jaminan Pendidikan, bukan hanya wajib belajar 9 Tahun, namun Wajib Belajar 12 (dua belas) Tahun, serta

memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat Kota Yogyakarta untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Dokumen terkait