• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA A. Renungan Malam Pramuka

B. Ketakwaan Siswa

1. Pengertian Takwa

Menurut tinjauan bahasa, taqwa berarti menjaga, sedangkan menurut tinjauan syar‟i, para ulama‟ memiliki beragam ungkapan di

dalam mendefinisikannya. Meskipun beragam, semua definisi itu mengarah kepada satu pengertian, yakni: penjagaan diri seorang hamba terhadap kemurkaan Allah dan siksanya dengan melaksanakan semua yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang (Farid, 2008: 17).

Secara etimologis, taqwa berarti takut, terpelihara dan terlindungi. Takut terhadap sesuatu pasti akan menyebabkan seseorang terpelihara, terjaga, menghindarkan diri dari sesuatu. Orang yang takut dengan dasar cinta kepada seseorang, maka ia pasti tidak berani menolak dan akan cenderung menjalankan segala perintah serta menjauhi larangan-larangannya. Dengan demikian ia akan menghindarkan diri dan memelihara diri dari hal-hal yang tidak diinginkan oleh orang yang dicintai dan ditakutinya (El-Sulthani, 2003: 15).

Nurcholish Madjid (2000: 45) mensejajarkan ketaqwaan dengan pengertian rabbaniyyah (semangat ketuhanan); kata rabbaniyyah

meliputi “sikap-sikap pribadi yang secara bersungguh-sungguh

berusaha memahami tuhan dan mentaati-Nya.” (Mubin, 2007: 43). Sehingga, sikap dan perilaku sangat erat hubungannya dengan ketaqwaan seseorang dalam beragama.

Al-Asfahani, takwa bermakna memelihara sesuatu dari segala yang menyakiti dan memberi mudarat. Mengemukakan bahwa hakikat takwa adalah menjadikan manusia memelihara dirinya dari yang

ditakuti. Menanggapi pemaknaan takwa sebagai khauf, menyatakan bahwa takwa dapat dinamakan khauf dapat dinamakan takwa (Shaleh, 2006: 1).

Pendapat para pakar tentang makna takwa diatas memunculkan pemahaman bahwa takwa mengandung beberapa pengertian, yaitu: memelihara, menjaga, melindungi dan menjauhi sesuatu dari segala yang menyakiti dan yang memberi mudarat di dunia dan di akhirat, hati-hati, waspada, takut terhadap azab Allah, menghalangi, mencegah, iman, tauhid, tobat, taat (patuh) meninggalkan kemaksiata, ikhlas, beribadah dan membersihkan hati dari dosa, dan inilah hakikat pengertian yang sebenarnya dari takwa.

2. Dasar-dasar ketakwaan

Dasar-dasar ketakwaan dibangun terlebih dahulu dari persepsi kita tentang relasi manusia dengan pencipta (khaliq) karena persepsi awal akan menentukan terhadap persepsi yang lebih luas, serta dapat mempengaruhi karakteristik dan dogma seseorang dalam berhubungan dengan sang pencipta (Mubin, 2007: 48).

Dogma-dogma ini akan dapat dengan mudah dibangun dengan kronologi pembentukan dogma dan karakter sebagai berikut:

a. Pembentukan persepsi dan gagasan. Persepsi seseorang tentang Allah Swt. Akan membantu dan memudahkan dalam memahami dan mengenali Allah Swt. Yang diawali dengan mengetahui dan memahami nama- namaNya. Dengan nama- nama agungnya yang

lengkap dan indah ini, seseorang akan dapat menciptakan gagasan tentang Allah Swt. Dari gagasan ini akan terbangun perilaku dan tindakan- tindakan yang mencerminkan nilai- nilai dari namanya yang sering ia sebutkan.

b. Menabur tindakan-tindakan yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, seperti nilai-nilai keadilan, kesetaraan, cinta kasih, rahman rahim, atau kebijaksanaan.

c. Mengembangkan karakter yang menampakkan dasar ketakwaan seseorang dalam membangun pondasi ketakwaan Allah Swt. Dengan berbagai ketentuannya (syariat) telah memberikan petunjuk bagi manusia untuk bertaqwa kepada-Nya, akan tetapi Allah juga memberi keleluasaan bagi manusia untuk mencari jalan alternatif guna menuju maqam dan derajat ketaqwaan kepada Allah Swt, melalui pengalaman spiritual dan pengalaman hidup.

d. Mengintegrasikan dogma dan ajaran tentang ketaqwaan kepada Allah SWT. Guna menemukan hakikat kebenaran. Jika seseorang telah mengintergrasikan dogma dan ajaran, maka seseorang akan dengan mudah menemukan kebenaran- kebenaran dalam membangun ketaqwaan kepada Allah SWT.

e. Pada tahapan berikutnya, jika seseorang telah menemukan pemahaman yang benar tentang taqwa dan tindakan serta karakter diri dalam pembentukan pribadi yang bertaqwa, maka dia akan menemukan kebenaran taqwa. Dengan kebenaran taqwa yang

sesungguhnya inilah, maka seseorang akan menemukan pengetahuan (ma‟rifatullah) tentang Allah Swt.

Kelima hal diatas merupakan dasar dan pondasi dari bangunan takwa yang dapat dijalani manusia secara bertahap. Walaupun ada pengalaman yang berbeda yang dialami oleh seseorang dalam membangun ketakwaan kepada Allah Swt., akan tetapi hal- hal di atas setidaknya dapat menjadi pelajaran dan tips secara bertahap untuk membangun dasar ketakwaan. 3. Perintah takwa

a. perintahtakwa dalam al-qur‟an 1) Surat An Nisa ayat 1:

“Wahai sekalian manusia, ber-taqwa-lah kepada tuhan-mu yang telah menciptakan katuhan-mu dari diri (jiwa) yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki- laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.

Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.

(Q.S. An-Nisaa‟: 1)

Ayat di atas menjelaskan bahwa:

a) perintah ber-takwa kepada Allah SWT sebagai pondasi utama dalam hidup dan kehidupan manusia serta sebagai rasa syukur atas nikmat Allah yang telah menciptakan manusia, dari satu (Nabi Adam) sampai menjadi banyak laki-laki dan perempuan.

b) manusia harus bersyukur terhadap nikmat Allah yang telah menciptakan manusia dari diri yang satu, yang kemudian daripadanya Allah menciptakan manusia yang banyak berpasang-pasangan (suami-istri), sehingga keberlangsungan hidup manusia terlestarikan.

c) jangan menggunakan nama Allah dalam kegiatan muamalah karena ingin beruntung, bertakwalah kepada-Nya dengan sebenar-benarnya takwa, karena dia tempat bergantung seluruh manusia.

d) jalinlah hubungan persaudaraan (silaturrahim) dengan semua umat manusia di dunia untuk menciptakan keselamata dan perdamaian dunia. Pereratlah tari silaturrahmi, sehingga persaudaraan dan rasa kasih sayang antara sesama manusia akan terwujud dengan erat, dan

kehidupan di dunia ini pun terasa indah, manis, dan selamat.

e) janganlah berlaku semena-mena, karena Allah SWT selalu mengawasi tingkah polah manusia. Tak ada satu pun perbuatan yang dilakukan oleh manusia, melainkan Allah melihatnya dan mengawasi serta akan memberi balasan. 2) Surat Ali Imran, ayat 102 :

“Wahai orang- orang yang beriman ! ber-taqwa-lah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah

kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam.”(Q.S.

Ali Imran: 102).

Ayat di atas menyerukan orang-orang beriman untuk senantiasa ber-taqwa kepada Allah, dan tetap memegang teguh keimanan dan ketaqwaan itu sampai ajal datang menjemput. Ayat tersebut memperingatkan secara tegas, bahwa jangan sekali-kali manusia meninggal kecuali tetap dalam keadaan islam.

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu

dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling ber-taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi

Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat: 13).

Allah menciptakan manusia dalam jenis laki- laki dan perempuan, serta dalam berbagai bangsa dan suku, bukanlah untuk menciptakan perbedaan yang membawa kepada perpecahan dan permusuhan, akan tetapi Allah menciptakan manusia dengan segala jenis dan latar belakang yang berbeda- beda adalah untuk saling mengenal satu sama lain, untuk saling mempererat tali shilaturrahmi. Tidak ada suku tertentu lebih utama dari suku lain, tidak ada jenis kelamin tertentu lebih mulia dari jenis kelamin yang lain; suku Arab tidak lebih utama dari Ajam (Non Arab), laki-laki tidak lebih unggul dari kaum wanita, dan seterusnya, dan sebagainya. Keutamaan seseorang bukanlah ditentukan oleh nasab dan keturunan. Kemuliaan

bukanlah ditentukan oleh harta benda dan kekayaan. Bukan pula keluhuran itu di tentukan oleh pangkat dan kedudukan. Keutamaan, kemuliaan dan keelamatan seseorang ditentukan oleh ketaqwaannya kepada Allah SWT.

b. Perintah taqwa dalam hadits 1) Hadits riwayat Turmuzi

ِذْجَع ٍِثَأَو َحَدبَنُج ٍِْث ْةُذْنُج ّسَر ٍِثَأ ٍَْع

ٍَِضَس ٍمَجَج ٍْث ربَعُي ًٍَِْحَّشنا

َذْنُكبًَُثَُْح َالله ِكَّرا" ،َلبَل َىَّهَسَو ِوَُْهَع ُالله ًَّهص ِالله ِلْىُسَس ٍَْع بًَُهْنَع ُالله

ٌزيشزنا هاوس(ٍٍَسَح ٍكُهُخِث َسبَّننا ِكِنبَخَو ،بَهُحًَْر َخَنَسَحْنا َخَئَُِّّسنا ِعِجْرَأَو ،

ٍفو ٍسح ثَذح لبلو

)حُحص ٍسح خسننا ضعث

“Dari Abu Zar, Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman, Mu‟az bin Jabal radhiallahuanhuma dari Rasulullah Shallallahu‟alaihi wasallam beliau bersabda:

Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan

pergauilah manusia dengan akhlak yang baik”(Riwayat

Turmuzi, dia berkata haditsnya hasan, pada sebagian cetakan dikatakan hasan shahih)

.

Hadits di atas berisi petuah Rasulullah SAW untuk

sahabat Mu‟adz bin jabal, khususnya, dan seluruh umat

manusia pada umumnya, untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah dimana mereka berada, dan bergaul dengan orang lain

dengan pergaulan yang baik. Bukan orang yang bertakwa orang yang tidak mampu bergaul dengan baik kepada orang lain. Banyak orang yang bertakwa, orang yang akhlaknya buruk dan bejat. Orang yang bertakwa adalah orang yang selalu membawa manfaat kapan dan dimanapun ia berada. Oleh karena itu, hendaklah setiap orang bertakwa kepada Allah, karena ketakwaan itulah kunci keselamatan kelak di hari Akhirat, dan sarana yang mampu mengantarkannya kepada kemuliaan di sisi Allah.

Agar dalam hidup dan kehidupan senantiasa menbiasakan diri maka manusia diperintahkan dengan:

a) Bertakwa kepada Allah seoptimal mungkin. Bertakwa kepada Allah dalam batas maksimal yang kita mampu untuk melakukannya, tidak setengah-setengah.

b) Mengerjakan sesuatu dengan segala dedikasi dan totalitas, kerjakanlah sesuatu dengan segenap daya dan kemampuan, jangan setengah-setengah, karena hasil yang baik tidak akan pernah terwujud dari kerja yang setengah-setengah dan tidak optimal.

c) Berdzikir (ingat) kepada Allah kapan dan dimana pun berada, dalam kesendirian maupun dalam keramaian, di dalam rumah, maupun dekat pohon dan bebatuan.

Berdzikir kepada Allah hendaklah dilakukan setiap saat dan keadaan.

d) Segera bertaubat ketika terlanjur melakukan suatu dosa. Mohonlah ampun kepada Allah ketika terlanjur melakukan kekhilafan dan kesalahan, lalu iringilah setiap keburukan dengan kejahatan, karena ia akan menghapusnya. Selalu mohonlah ampun kepada Allah, karena Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penerima Taubat.

e) Lakukanlah segala sesuatu sesuai proporsinya. Jika harus dengan sembunyi-sembunyi. Namun jika harus dengan terang-terangan, sesuatu yang seharusnya musti dikerjakan dengan sembunyi-sembunyi, demikian pula sebaliknya. Lakukanlah segala sesuatu sebagaimana mestinya, karena yang demikian itu adalah cermin keadilan.

4. Karakteristik Manusia Yang Bertakwa

Takwa secara terminologis memiliki peristilahan yang beragam, Al- asfahani misalnya, mengistilahkan takwa dengan memelihara diri dari dosa dengan meninggalkan segala yang haram (Shaleh, 2006: 4). Pendapat lain dikemukakan oleh Muhammad Isma‟il. Menurutnya takwa adalah takut kepada azab Allah dengan melaksanakan segala

perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Menurut al Syafi‟i (w.

204 H./820 M.), Takwa yaitu melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangannya dengan cara melaksanakan segala

perbuatan yang diperintah, dan menjauhi segala perbuatan yang dilarang menurut kemampuan manusia. Menegaskan, takwa adalah suatu tanggung jawab yang harus dikerjakan dengan melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya dengan penuh ikhlas. Adapun karakter manusia yang bertakwa sebagai berikut:

a. Mentaati

Taat dalam bahasa arab al-qanitin dari kata qanata-yaqnutu

artinya tetap taat kepada Allah dengan tunduk (Shaleh, 2006: 97).

Al-qanitin adalah insan-insan yang tetap taat kepada Allah dengan tunduk, baik siang maupun malam, baik sehat maupun sakit, baik senang maupun susah, semua miliknya diabdikan kepada-Nya dengan khusyuk utuk mencapai mardhatillah.

b. Sabar

Kata sabar (shabr) dalam bahasa arab berasal dari kata

shabara yashbiru, yang bermakna: “menahan diri dari kesulitan, atau mengendalikan diri sesuai dengan yang dikehendaki akal dan

syara‟ (Ashaf Shaleh, 2006: 88). al-Shabuni mengatakan orang-

orang yang takwa yaitu orang- orang yang sabar dalam kesempitan dan penederitaan. Lebih jauh lagi, Iman Gazali (w. 505 H) mengemukakan tiga kategori sabar dalam Alqur‟an yaitu:

1) Sabar melaksanakan kewajiban- kewajiban dari Allah, ini pahalanya 300 derajat;

2) Sabar meninggalkan larangan-larangan Allah (yang haram), ini pahalanya 600 derajat;

3) Sabar meghadapi musibah pada fase pertama, ini pahalanya 900 derajat. Kategori ini di utamakan dari kategori yang lain, karena hampir semua mukmin bisa bersabar mengerjakan yang wajib dan meninggalkan yang haram, sedang menghadapi musibah hanyalah para nabi yang sanggup bersabar menerimanya karena itu sangat berat hati memikulnya. Ali bin abi thalib mengatakan sabar itu ada tiga macam: Sabar ketika menderita, Sabar dalam ketaatan, Sabar untuk tidak membuat maksiat (Permadi, 1995:108).

Bahwa manusia akan mendapatkan musibah sesuai dengan kadar agamanya. Musibah terberat dibebankan kepada para nabi, kemudian orang-orang shaleh dan seterusnya. Mereka itu dapat bersabar menghadapi musibah, karena orang- orang bertakwa. c. Benar

Kata al-shadiqin merupakan isim al-fa‟il dari shadaqa- yashduqu, terulang dalam Alqur‟an sebanyak 50 kali yang berarti: perkataan yang sesuai dengan hati dan yang (Shaleh, 2006: 95). Sikap benar adalah sesuatu yang esensial sekali bagi manusia, karena ia merupakan refleksi kebaikan, sebagaimana sabda rasulullah:

ُقُذْصََُن َمُجَّشنا ٌَِّإ َو ِخَّنَجنْا ًَنِإ ٌِذْهََ َّشِجنْا ٌَِّإَو ِّشِجنْا ًَنِإ ذْهََ َقْذِّصنا ٌَِّإ:

َتَزْكَُ ًَّزَح

بًمَِّْذِص ِالله َذْنِع

)

وُهع كفزي

(

“Ibnu Mas‟ud r.a., dari Nabi, beliau bersabda, “sesungguhnya kebenaran membawa kebaikan, kebaikan itu

member petunjuk (umtuk mengamalkan amalan-amalan yang bisa memasukkan) surga. Sesungguhnya seorang laki-laki hendaknya bersikap benar sehingga dia ditulis di sisi Allah orang yang

benar.” (H.R. Bukhori dan Muslim)

Hadits di atas memberikan isyarat betapa besar potensi sikap benar dalam kehidupan manusia, baik dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, di dunia karena sikap benar itu membawa kebaikan dan kebaikan itu membawa kesurga yang merupakan kesempurnaan nikmat Allah.

d. Pemaaf

Kata al faw dan yang seakar dengannya terulang dalam

Alqur‟an sebanyak 35 kali yang berarti memaafkan dosa dan tidak

menghukum (Shaleh, 2006: 106). Menurut al-Asfahani, al-„afw, berarti menjauhkan diri dari dosa. Sebagaimana firman Allah QS.al- Syura‟: 40.

“…maka barang siapa memafkan dan berbuat baik maka

pahalanya atas (tanggungan) Allah….”

Dalam bahasa sehari-sehari al-afw biasanya diartikan dengan pemaaf, dan mengampuni. Dalam konteks ini Allah

berfirman dalam Alqur‟an Surah Ali-Imran: 134.

". . . . ِسبَّننا ٍَِع ٍَُِفبَعْناَو . . . "

“. . . dan memaafkan (kesalahan) manusia. . . .”

Di dalam sepenggal ayat di atas Allah menginformasikan, bahwa salah satu karakteristik manusia yang bertakwa adalah selalu memaafkan kesalahan orang lain, padahal mereka mampu membalas. Karena itu menurut Abdullah memaafkan adalah satu derajat diatas di atas derajat mengendalikan diri, karena orang yang mengendalikan diri itu kadang-kadang disertai dengan sentimen dan dendam, tetapi kalau memaafkan, bersih dari dendam dan sentimen. Karena itu manusia yang pemaaf adalah manusia yang bertakwa. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah: 237.

"

. . .

يَىْمَّزهِن ُةَشْلَأ اىُفْعَر ٌَأَو

. . . .

"

“. . . dan permaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa . . . .‟‟ Potongan ayat di atas menegaskan bahwa orang yang pemaaf adalah manusia yang bertakwa, sedang yang dimaksud takwa dalam potongan ayat ini adalah takwa yang menuntut sebuah

bukti nyata dengan aplikasi dalam semua bidang kehidupan manusia. Jadi insan pemaaf itu adalah insan yang bertakwa yang suci dari sifat sentimen.

e. Menafkahkan (menyedekahkan) sebagian harta

Kata yunfiqu dan yang seakar dengannya ditemukan dalam Alqur‟ansebanyak 73 kali, yang bermakna menafkahkan harta atau yang lain, baik yang wajib maupun yang sunah (Shaleh, 2006: 83). Menurut al-Sabuni, menafkahkan dan menyedekahkan harta di jalan kebajikan dan kebaikan, jadi yunfiq berarti menafkahkan harta dijalan Allah, baik yang wajib maupun yang sunah. Adapun dalil yang berbicara tentang menafkahkan harta sebagai ciri khas orang orang bertakwa adalah QS. Al Baqarah: 177.

"

. . .

ِةبَزِكْناَو ِخَكِئلاًَْناَو ِشِخَلاْا ِوْىَُْناَو ِ َّللَّبِث ٍََيَآ ٍَْي َّشِجْنا ٍَِّكَنَو ِةِشْغًَْناَو

ًَثْشُمْنا ٌِوَر ِوِّجُح ًَهَع َلبًَْنا ًَرَآَو ٍَُُِِّجَّنناَو

ٍَْثاَو ٍَُِكبَسًَْناَو ًَيبَزَُْناَو

بَلِّشنا ٍِفَو ٍَُِهِئبَّسناَو ِمُِجَّسنا

. . . .

"

“...dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak anak yatim, orang orang miskin, musafir yang memerlukan bantuan, orang orang yang meminta minta dan memerdekakan hamba....”

Mendermakan sebagian harta yang baik dan disayangi kepada orang orang yang butuh harus disalurkan kepada orang orang yang berhak, seperti kaum kerabat, karena mereka yang

paling wajar dibantu; anak anak yatim, karena mereka tidak punya orang tua dan usaha; fakir miskin, karena kehabisan biaya; orang orang yang meminta minta karena saking miskinnya; dan memerdekakan hamba sahaya.

Dari penjelasan diatas terlihat bahwa orang bertakwa kepada Allah yaitu orang yang selalu mendermakan hartanya baik baik pada waktu lapang maupun pada waktu sulit, baik pada waktu senang maupun pada waktu susah, baik di waktu sendirian maupun di waktu ramai. Jadi, menafkahkan harta merupakan nilai positif bagi kehidupan untuk menjalin hubungan sesama insan dan menjaga keakraban.

5. Karunia Allah Kepada Manusia Yang Bertakwa a. Keberkahan

Kata barakah secara literal berarti kebaikan (Shaleh, 2006: 121). Barakah merupakan kebaikan yang stabil yang dilimpahkan kepada orang- orang yang bertakwa.

Jika manusia itu beriman kepada Allah, malaikat-malaikatnya, kitab-kitabnya, rasul-rasulnya dan hari akhirat, dan mereka bertakwa kepadanya dengan meninggalkan yang dilarang dan yang diharamkan oleh Allah,

maka Allah akan melimpahkan berkah dari langit dari hujan dan berkah dari bumi dengan tumbuh- tumbuhan, buah- buahan, hewan ternak, stabilnya keamanan dan kedamaian, dan

terwujudnya segala yang bermanfaat dan kebaikan yang diciptakan dan diatur oleh Allah.

Al-Thabathaba‟i menginformasikan, jika umat manusia

beriman dan bertakwa dengan sebenarnya, maka Allah akan melimpahkan berkah dari langit, dengan ukuran yang bermanfaat bagi manusia dan berkah dari bumi. Berkah itu akan dianugerahkan kepada penduduk suatu negeri kalau mereka beriman dan bertakwa semuanya. Tetapi kalau sebagian mereka beriman dan bertakwa, maka hal itu tidak akan dapat mematikan kekufuran dan kefasikan, dengan demikian tidak bisa menghilangkan kerusakan.

Pendapat di atas dipahami bahwa berkah menurut kadar yang bermanfaat akan dianugerahkan Allah kepada penduduk suatu negeri jika seluruh penduduk itu beriman dan bertakwa atau akan dianugerahkan kepada umat manusia apabila mereka semua beriman dan bertakwa kepada Allah.

b. Memperoleh Rahmat

Rahmat secara literal berarti kasih sayang. Tetapi, jika rahmat tersebut disandarkan kepada Allah dalam arti rahmat dari Allah maka ia diartikan sebagai ihsan yaitu nikmat yang Allah karuniakan kepada hambanya, dan jika rahmat itu datang dari manusia kepada sesamanya maka ia diartikan dengan kasih sayang dan lemah-lembut (Shaleh, 2006: 124).

Mufasir menjelaskan bahwa secara umum, rahmat Allah diberikan kepada semua makhluk di dunia, tetapi di akhirat rahmat Allah itu khusus diberikan kepada orang-orang yang bertakwa. Al- Sabuni, Mengemukakan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya, serta senantiasa menetapkan keimanan pada Rasul Allah akan dianugrahi dua bagian rahmat.

Pandangan diatas, mengandung sebuah seruan untuk mengaplikasikan takwa dalam berbagai aspek kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dengan tujuan pencapaian rahmat Allah di dunia dan di akhirat.

c. Kegembiraan Dunia Akhirat

Kata busyra‟ bermakna berita yang menggembirakan. Bahwa orang mukmin membenarkan Allah, Rasul- rasulnya, dan apa yang dibawanya dari Alla, serta bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan segala kewajiban yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala larangannya, mereka selalu berada dalam kegembiraan di dunia dan akhirat (Shaleh, 2006: 128).

d. ilmu pengetahuan („ilm)

kata „ilm secara etimologis berarti mengetahui hakikat sesuatu dengan yakin (idrak al-sya‟I bihaqiqatih „an yaqin). Bahwa orang- orang yang bertakwa kepada Allah akan mendapat

pengajaran dari Allah akan sesuatu yang menjadi petunjuk dalam urusan dunia dan urusan agama (Shaleh, 2006: 148).

Muhammad Abduh memaparkan bahwa orang-orang yang mendasari ketakwaan (bertakwa) kepada Allah, niscaya Allah mengajarkan suatu kemaslahatan, dan memelihara harta serta memperkokoh persatuan diantara mereka. Lebih lanjut Abduh memaparkan penafsiran para ulama tasawuf populer, yang menyatakan bahwa takwa merupakan sebab terwujudnya ilmu pengetahuan. Menanggapi ulama tasawuf yang di ungkapkannya, Abduh mengkritik bahwa penafsiran tersebut tidak rasional. Karena berdasarkan pendapatan rasional yang populer, bahwa sebenarnya ilmu itulah yang membuahkan ketakwaan. Tidak ada takwa tanpa ilmu, dan ilmu merupakan dasar pertama ketakwaan kepada Allah.

Mengamalkan ilmu merupakan termasuk perintah Allah (QS. Al-shaff: 2-3). Selain itu mengamalkan ilmu juga termasuk salah satu unsur devinisi takwa. Tegasnya, bahwa mengamalkan ilmu merupakan cermin ketakwaan yang juga menyebabkan terwujudnya ilmu yang tidak dipelajari. Semua disebabkan oleh terjalinnya hubungan timbal- balik takwa dan ilmu. Pada satu sisi lain, takwa merupakan sebab terwujudnya ilmu pengetahuan, sedangkan pada sisi lain, ilmu merupakan penunjang terwujudnya ketakwaan. Jadi, ilmu dan takwa harus selalu berinteraksi.

e. Ketenangan hati

Kata tathma‟innu artinya tenang, tetap, dan mantap setelah mengalami kegelisahan dan goncangan, Adapun kata al-sakinah

artinya ketenangan hati. Al-Asfahani dalam redaksi yang berbeda, mengartikan Al-sakinah dengan hilangnya rasa takut. Pengertian-pengertian diberikan pada para tokoh, terhadap dua kata diatas, terlihat sesuai dengan pemaknaan yang biasa melekat pada kedua kata di atas. Kata ithma‟anna dalam penggunaannya biasa diartikan dengan “ketentraman hati” sedangkan kata al-sakinah diartikan dengan “ketenangan hati” (Shaleh, 2006: 162).

Tentang hubungan ketenangan dengan orang yang bertakwa, dalam ayat-ayat Alquran, Allah menjanjikan bahwa Ia senantiasa melimpahkan ketenangan dan ketentraman di dalam hati orang- orang yang bertakwa. Berdasarkan janji Allah dan berkat hidayah-Nya, hati orang yang beriman senantiasa mengingat (berzikir) kepada Allah tak akan pernah sepi dari ketenangan dan ketentraman. Atas dasar pemikiran serupa, Mahmud Hijazi, bahkan menandaskan bahwa zikir kepada Allah merupakan satu-satunya obat yang dapat menenangkan hati yang gelisah. Satu penalaran yang timbul kemudian, jika orang yang beriman telah dijanjikan Allah dengan ketenangan hati, tentu hal yang serupa dianugrahkan pula oleh Allah kepada orang yang bertakwa yang hatinya lebih dekat kepada-Nya.

6. Fungsi takwa

Adapun fungsi peningkatan ketakwaan sebagai berikut :

Dokumen terkait