• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN DISKUS

4.2. GROUP KURATIF 1 Kadar kolesterol

4.2.1.5. Ketebalan lapisan intima

Dengan melihat hasil analisi post-hoc diketahui kelompok yang berbeda signifikan. Ada tiga kelompok yang secara statistik berbeda signifikan, kelompok tersebut adalah P0 rerata ketebalan lapisan intima (18,00 ± 0,89) dibandingkan dengan P1 rerata ketebalan lapisan intima (33,50 ± 1,24) angka signifikan < 0,05. Disini terlihat pada P1 ketebalan lapisan intima lebih tebal bila dibanding P0, karena pada P1 diberi pakan tinggi kolesterol tanpa diberi pengobatan, mengakibatkan kadar kolesterol dan LDL meningkat seperti tampak pada grafik kolesterol dan LDL. Penebalan diameter lapisan intima terjadi karena tertumpuknya sel busa dilapisan sub-endotel intima, yang disebabkan karena terperangkapnya LDL teroksidasi, Oxd-LDL meningkat dalam kondisi hiperkolesterol, semakin banyak sel busa bertumpuk akan semakin tebal lapisan intimanya. Sel busa pada P1 lebih banyak terbentuk dibanding sel busa pada P0, akibatnya ketebalan lapisan intima P1 lebih tebal dibanding P0.

Perbedaan yang signifikan terjadi pada P1 rerata ketebalan lapisan intima (33,50 ± 1,24) dibandingkan dengan P2 (EEJT) rerata ketebalan lapisan intima (24,75 ± 0,87) dengan tingkat signifikan < 0,05. Keadaan ini terjadi karena pada P1 tikus diberi pakan tinggi kolesterol selama 20 minggu, pada grafik terlihat peningkatan kadar kolesterol dan LDL, demikian juga pembentukan sel busa lebih banyak bila dibanding dengan P2, karena sel busa lebih banyak terbentuk maka ketebalan lapisan intimanya juga bertambah pada P1 dibanding P2, ini menunjukkan bahwa EEJT dapat menurunkan kadar kolesterol dan LDL sehingga sel busa dapat dicegah pembentukannya.

Demikian juga bila P1 rerata ketebalan lapisan intima (33,50 ± 1,24) dibandingkan dengan P3 (r EEJT) dengan rerata ketebalan lapisan intima (27,21 ± 0,86) dengan tingkat signifikan < 0,05. Keadaan ini terjadi karena pada P1 tikus diberi pakan tinggi kolesterol selama 20 minggu, pada grafik terlihat peningkatan kadar kolesterol dan LDL, demikian juga pembentukan sel busa lebih banyak bila dibanding dengan P3, karena sel busa lebih banyak terbentuk maka ketebalan lapisan intimanya juga bertambah pada P1 dibanding P3, Dari grafik kolesterol pada P3 terlihat kenaikan kolesterol tetapi tidak mencapai keadaan hiperkolesterol dan LDL, sehingga sel busa yang terbentuk tidak banyak, karena sel busa tidak banyak terbentuk maka penebalan yang terjadi pada lapisan intima juga tidak besar. Penyebab dari kondisi itu karena pada residu EEJT mengandung anti oksidan flavonoid yang akan mengikat radikal bebas sehingga tidak terjadi auto oksidasi yang akan mengoksidasi lipid dan menjadi sel busa, dengan terbentuknya sel busa akan menyebabkan penebalan lapisan intima dinding aorta. Residu EEJT juga mengandung serat yang akan menghambat absorbsi kolesterol di usus, ini akan menyebabkan kadar kolesterol menurun demikian juga dengan LDL. Penelitian ini sesuai dengan penelitian (Samarghandian, et al., 2011).

Perbedaan yang tidak signifikan terlihat pada P2 (EEJT) dengan rerata ketebalan lapisan intima (24,75 ± 0,87) bila dibandingkan dengan P3 (r EEJT) dengan rerata ketebalan lapisan intima (27,21 ± 0,86) dan tingkat signifikan 0,05. Pada penelitian ini tidak ada perbedaan yang signifikan pembentukan sel busa antara EEJT dan residu EEJT dan ini menyebabkan tidak ada perbedaan yang signifikan juga pada diameter lapisan intima kedua kelompok baik yang menggunakan EEJT maupun residu EEJT.

4.2.2. GROUP KURATIF 4.2.2.1. Kadar kolesterol

Bila dibandingkan antara kelompok K2 (KN) rerata luas AUC kolesterol (2043,2 ± 18,5), dengan K1 (KP/statin) rerata luas AUC kolesterol (1837 ± 24,1) angka signifikan < 0,05, tampak luas AUC kolesterol K2 lebih luas pada K1, hal ini terjadi karena tikus pada K2 ini diberi pakan tinggi kolesterol saja tanpa diberi pengobatan baik EEJT, residu EEJT maupun statin, pakan tinggi kolesterol menyebabkan kadar kolesterol pada K2 meningkat. Sementara itu tikus pada K1 ketika terjadi keadaan hiperkolesterol diberi pengobatan berupa statin dengan dosis 20 mg/kgBB, dari grafik kolesterol terlihat penurunan kadar kolesterol karena mekanisme kerja statin adalah menghambat sintesa kolesterol.

Perbedaan yang signifikan terlihat pada K2 (KN) dengan rerata luas AUC kolesterol (2043,2 ± 18,5) dibandingkan dengan K3 (diberi EEJT) rerata luas AUC kolesterolnya (1842 ± 15,9) dengan angka signifikan < 0,05, luas AUC kolesterol untuk K2 ternyata lebih luas dibanding dengan luas AUC kolesterol K3 yang diberi EEJT, artinya semakin luas AUC maka semakin tinggi kadar kolesterol. Peningkatan kadar kolesterol pada kelompok K2 terjadi karena tikus pada K2 ini diberi pakan tinggi kolesterol tanpa diberi pengobatan baik EEJT, residu EEJT maupun statin, pakan tinggi kolesterol menyebabkan kadar kolesterol pada K2 meningkat. Pada K3 pakan tinggi kolesterol diberi selama 20 minggu, setelah tercapai keadaan hiperkolesterol diberi EEJT dengan dosis 250 mg/ kg BB, pengobatan berlangsung selama 10 minggu, selama pengobatan pakan tinggi kolesterol dihentikan. Pada grafik kolesterol terlihat penurunan kadar kolesterol. Penurunan kadar kolesterol dapat terjadi karena pada EEJT terkandung zat yang

menyerupai obat golongan statin yang bekerja menghambat pembentukan kolesterol dengan cara kerja menyerupai struktur HMG-Ko A reductase (3- Hydroksi- 3- methylglutaryl-koenzym A), enzym ini memerantarai tahap khusus pertama dalam biosinthesa sterol (Lakshmana and Radha, 2012). Pada grafik terlihat bahwa kadar kolesterol kelompok ini mengalami penurunan walaupun tidak mencapai kadar awal sebelum diberi pakan tinggi kolesterol. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian EEJT dengan dosis 250 mg/KgBB dalam menurunkan kadar kolesterol. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian (Lakshmana & Radha, 2012 : Alam et-al, 2011 : bobek, 1996 ; Freire, et al., 2013).

Perbedaan yang signifikan dapat dilihat antara K2 (KN) rerata luas AUC kolesterol (2043,2 ± 18,5) dengan K4 (r EEJT) rerata luas AUC kolesterol (1888,8 92,6), disini terlihat bahwa luas AUC K4 yang diberi residu EEJT lebih kecil bila dibanding dengan K2, artinya semakin kecil rerata AUC maka kadar kolesterol semakin rendah, hal ini bisa terjadi karena tikus pada K2 (KN) diberi pakan tinggi kolesterol sampai tercapai keadaan hiperkolesterol, kemudian pakan dihentikan diganti dengan pakan biasa, tetapi pada kelompok ini tidak diberi pengobatan. Dari grafik terlihat bahwa kadar kolesterol pada K2 menurun kemungkinan disebabkan penghentian pakan tinggi kolesterol, kemudian kadar kolesterol cenderung meningkat kembali, hal ini menunjukkan bahwa pengobatan hiperkolesterol tidak hanya dengan mengatur pola makan saja tetapi harus disertai dengan pemberian obat. Tikus pada K4 (rEEJT) ketika terjadi keadaan hiperkolesterol diberi pengobatan berupa residu EEJT dengan dosis 250 mg/ Kg BB, dari grafik terlihat penurunan kadar kolesterol, hal ini terjadi karena di dalam

residu EEJT mengandung serat yang didalam usus akan menghambat absorbsi kolesterol dari makanan, sehingga kadar kolesterol di darah akan menurun, selain itu residu EEJT ini juga mengandung antioksidan yang mencegah proses auto oksidasi LDL oleh radikal bebas yang terbentuk dalam keadaan hiperkolesterol. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian (Samarghandian, et al., 2011)

Bila dibandingkan antara K4 yang diberi residu EEJT (K4) rerata luas AUC kenaikan kolesterol (1888,8 ± 92,6) dengan K1 (KP/statin) rerata luas AUC kenaikan kolesterol (1837 ± 24,1) dan pada K3 diberi EEJT rerata luas AUC kolesterol (1842 ± 15,9) nilai p yang diperoleh 1,000 angka signifikan < 0,05 karena nilai p yang diperoleh > 0,05 dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan efektifitas antara EEJT, residu EEJT dan statin dalam hal penurunan kadar kolesterol.

4.2.2.2. Kadar LDL

Perbandingan yang signifikan terlihat pada K1 (KP/statin) rerata luas AUC LDL (1260,5 ± 80,6) dibandingkan dengan K3 (EEJT) rerata luas AUC LDL (1001,7 ± 39,2), keadaan ini dapat terjadi karena pada K1 setelah keadaan hiperkolesterol diberi statin dengan dosis 20 mg/Kg BB, pada grafik terlihat penurunan kadar LDL, karena statin selain menghambat kerja enzym HMG Co-A- reduktase, statin juga dapat menambah jumlah reseptor LDL berafinitas tinggi sehingga dapat meningkatkan katabolisme LDL, sehingga kadar LDL menurun. Tetapi penurunan kadar LDL lebih besar pada K3 dibanding K1, kemungkinan hal ini terjadi karena pemberian dosis statin tidak dosis maksimal, sehingga penurunan kadar LDL tidak sebesar pada K3. Pada K3 setelah terjadi

hiperlolesterol diberi EEJT dengan dosis 250 mg/KgBB. Hal ini terjadi karena EEJT diduga mengandung zat yang menyerupai statin yang dapat menurunkan kadar kolesterol, dengan menurunnya kadar kolesterol maka kadar LDL juga menurun. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian (Lakshmana & Radha, 2012 ; Alam et-al, 2011 ; bobek, 1996).

Perbedaan yang signifikan terlihat pada K1 (KP/statin) rerata luas AUC LDL (1260,5 ± 80,6) dibandingkan dengan K4 diberi residu EEJT rerata luas AUC LDL (940,4 ± 37), keadaan ini dapat terjadi karena pada K1 setelah keadaan hiperkolesterol diberi statin dengan dosis 20 mg/Kg BB, pada grafik terlihat penurunan kadar LDL, karena statin selain menghambat kerja enzym HMG Co-A- reduktase, statin juga dapat menambah jumlah reseptor LDL. Tetapi penurunan kadar LDL lebih besar pada K4 dibanding K1. kemungkinan hal ini terjadi karena pemberian dosis statin tidak dosis maksimal, sehingga penurunan kadar LDL tidak sebesar pada K4. Sementara itu residu EEJT mengandung serat yang di usus akan menghalangi absorbsi kolesterol yang berasal dari makanan, sehingga kadar kolesterol di darah menurun, dengan menurunnya kadar kolesterol maka kadar LDL juga menurun, seperti terlihat pada grafik kolesterol dan LDL. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian (Samarghandian, et al., 2011)

Perbedaan yang signifikan dapat dilihat pada K2 (KN) rerata luas AUC LDL (1197,1 ± 64,2) dengan K3 diberi EEJT, rerata luas AUC kolesterol (1001,7 ± 39,2) dengan angka signifikan < 0,05 perbedaan ini dapat terjadi karena K2 diberi pakan tinggi kolesterol selama 30 minggu tanpa diberi EEJT, residu EEJT ataupun statin, sehingga pada kelompok ini terjadi kenaikan kadar kolesterol seperti tampak pada grafik kolesterol, peningkatan kadar kolesterol ini akan

memicu peningkatan kadar LDL, hal ini dapat dilihat dari grafik kadar LDL terhadap waktu dan dengan menghitung luas AUC LDL, terlihat lebih luas bila dibandingkan dengan K3, semakin luas AUC LDL maka kadar LDL juga semakin tinggi, sementara itu K3 yang diberi EEJT pada kondisi hiperkolesterol, setelah pengobatan maka terlihat penurunan kadar LDL. Hal ini terjadi karena EEJT diduga mengandung zat yang menyerupai statin yang dapat menurunkan kadar kolesterol, dengan menurunnya kadar kolesterol maka kadar LDL juga menurun. (Lakshmana & Radha, 2012 ; Alam et-al, 2011 ; bobek, 1996).

Perbandingan yang signifikan terlihat pada K2 (KN) rerata luas AUC LDL (1197,1 ± 64,2), dibandingkan dengan K4 diberi residu EEJT rerata luas AUC LDL (940,4 ± 37) dengan tingkat signifikan < 0,05, terlihat bahwa luas AUC LDL untuk K4 (r EEJT) lebih luas bila dibandingkan dengan luas AUC K2 (KN), semakin luas AUC nya maka kadar LDL nya akan semakin meningkat, keadaan ini dapat terjadi karena pada K2 diberi pakan tinggi kolesterol selama 20 minggu tanpa diberi pengobatan, hal ini akan memicu kenaikan kadar kolesterol,. Sementara itu pada K4 setelah terjadi kondisi hiperkolesterol diberi residu EEJT, pada grafik terlihat penurunan kadar kolesterol. Residu EEJT merupakan serat dari jamur tiram yang berfungsi menghambat absorbsi kolesterol di usus, kolesterol ini terutama yang berasal dari makanan, sehingga kadar kolesterol didalam plasma juga akan menurun, dengan menurunnya kolesterol maka LDL juga menurun. Selain itu residu EEJT juga mengandung anti oksidan golongan flavonoid yang akan menangkap radikal bebas terutama lipid yaitu LDL yang teroksidasi, dengan demikian maka kadar LDL didalam plasma akan menurun. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian (Samarghandian, et al., 2011).

4.2.2.3. Berat badan

Pada kelompok kuratif tidak ada perbedaan yang signifikan pada masing- masing kelompok, artinya antara statin, EEJT dan residu EEJT mempunyai efektifitas yang sama dalam menurunkan berat badan.

4.2.2.4. Jumlah sel busa

Perbandingan yang signifikan terlihat pada K2 (KN) rerata jumlah sel busa (8,00 ± 0,7) dibanding dengan K1 (KP/statin) rerata jumlah sel busa (4,00 ± 0) dan angka signifikan < 0,05 . dengan melihat rerata jumlah sel busa yang terbentuk ternyata pembentukan sel busa lebih banyak pada K2 (KN) dibanding dengan K1 (KP/statin). Keadaan ini dapat terjadi karena K1 (KP/statin) tikus diberi pakan tinggi kolesterol selama 20 minggu sampai tercapai keadaan hiperkolesterol dan LDL, kemungkinan pada kondisi hiperkolesterol dan LDL itulah terbentuk sel busa, ketika statin diberikan dengan dosis 20 mg/Kg BB dan pakan tinggi kolesterol dihentikan ternyata dapat menurunkan kadar kolesterol dan LDL, tetapi sel busa yang terbentuk pada kondisi hiperkolesterol tidak bisa dihilangkan, pembentukan sel busa pada K1 tidak berlanjut bila dibandingkan dengan jumlah sel busa yang terbentuk pada K2. Artinya statin dapat mencegah progresifitas pembentukan sel busa.

Perbandingan yang signifikan terlihat pada group kuratif K2 (KN) rerata sel busa yang terbentuk (8,00 ± 0,89) dengan K3 yang diberi EEJT rerata sel busa yang terbentuk ( 4,50 ± 1,05) dengan angka signifikan < 0,05. Dengan melihat nilai rerata sel busa yang terbentuk maka dapat diketahui bahwa pembentukan sel

busa lebih banyak terjadi pada K2 dibanding dengan K3, hal ini terjadi karena karena didalam EEJT terkandung zat yang menyerupai obat golongan statin, yang akan menghambat pembentukan kolesterol dengan cara menghambat kerja enzim HMG-Ko-A reduktase yang pada akhirnya kolesterol tidak terbentuk, dengan berkurangnya pembentukan kolesterol akan mengurangi jumlah LDL juga sehingga pembentukan sel busa juga bisa di kurangi.

Kelompok 2 (KN) rerata jumlah sel busa (8,00 ± 0,7) bila dibandingkan dengan K4 diberi risidu EEJT rerata jumlah sel busa (4,83 ± 0) dengan angka signifikan < 0,05 dari rerata jumlah sel busa yang terbentuk terlihat bahwa K2 (KN) memiliki jumlah sel busa yang lebih banyak dibandingkan dengan sel busa pada K4 (r EEJT) hal ini dapat terjadi karena tikus pada K2 diberi pakan tinggi kolesterol selama 20 minggu hingga tercapai keadaan hiperkolesterol dan LDL, kemudian pakan tinggi kolesterol dihentikan tetapi pada kelompok ini tidak diberi pengobatan apapun, sehingga bila dilihat dari grafik maka kadar kolesterol dan LDL nya meningkat hingga mencapai keadaan hiperkolesterol dan LDL, pada saat itu terjadi pembentukan sel busa, kemungkinan pembentukan sel busa tidak bisa dihentikan hanya dengan penghentian pakan tinggi kolesterol saja. Sementara itu pada K4 (r EEJT) sewaktu terjadi keadaan hiperkolesterol kemungkinan sudah terjadi pembentukan sel busa, ketika residu EEJT diberikan disertai penghentian pakan tinggi kolesterol ternyata terjadi penurunan kadar kolesterol dan LDL, tetapi tidak menyebabkan pengurangan jumlah sel busa yang sudah terbentuk dalam kondisi hiperkolesterol, jumlah sel busa yang terbentuk tidak sebanyak sel busa pada K2, artinya pemberian residu EEJT dapat menghambat pembentukan

sel busa, tetapi residu EEJT tidak untuk pengobatan sel busa yang sudah terbentuk.

Perbedaan yang tidak signifikan dapat dilihat dari perbandingan antara K3 (EEJT) rerata jumlah sel busa (4,50 ± 0,7) dengan K1 (KP/statin) rerata jumlah sel busa ( 4,00 ± 0) dengan tingkat signifikan < 0,05 dapat dilihat bahwa pembentukan sel busa pada kelompok yang diberi EEJT dan kelompok yang diberi obat statin tidak ada perbedaan yang signifikan, artinya pada kedua kelompok tersebut sama efektifitas pengobatan antara EEJT dan obat statin.

Perbedaan yang tidak signifikan dapat dilihat dari perbandingan antara K4 (r EEJT) rerata jumlah sel busa (4,83 ± 0) dengan K1 (KP/statin) rerata jumlah sel busa ( 4,00 ± 0) dan nilai p diperoleh 1,000 dengan tingkat signifikan < 0,05 dapat dilihat bahwa pembentukan sel busa pada kelompok yang diberi residu EEJT dan kelompok yang diberi statin tidak ada perbedaan yang signifikan, artinya pada kedua kelompok tersebut sama efektifitas pengobatan antara residu EEJT dan statin.

4.2.2.5. Ketebalan lapisan intima

Dengan melihat hasil analisis Post-Hoc pada group kuratif diketahui ada beberapa kelompok yang dibandingkan memiliki perbandingan yang signifikan, kelompok tersebut adalah K2 (KN) rerata ketebalan lapisan intima (37,50 ± 1,24) dengan K3 (EEJT) rerata ketebalan lapisan intima (24,43 ± 1,43) dengan tingkat signifikan < 0,05, Keadaan ini dapat terjadi karena pada kedua kelompok diberi pakan tinggi kolesterol selama 20 minggu, hingga tercapai keadaan

hiperkolesterol, kondisi hiperkolesterol ini akan menyebabkan disfungsi vaskuler, menyebabkan proses inflamasi dan stres oksidatif (Stapleton, et-al, 2010 : Bayraktutan,--). Pada kondisi ini terjadi penurunan fungsi NO sebagai peregulasi sistem vaskuler termasuk mengatur agregasi platelet, adesi leukosit dan prolifersai VSM, sehingga pada keadaan hiperkolesterol akan terjadi inhibisi fungsi NO akibatnya penimbunan platelet, adesi leukosit dan VSM akan berproliferasi. Selain itu LDL akan teroksidasi menjadi oxd-LDL yang akan di pagosit oleh makrofag, didalam makrofag LDL tidak bisa dihancurkan dan akan mengakibatkan makrofag pecah dan mengeluarkan kemoatraktan yang akan mengundang lebih banyak lagi makrofag yang akhirnya manjadi sel busa. kemudian pada K3 (EEJT) setelah keadaan hiperkolesterol tercapai maka EEJT diberi dengan dosis 250 mg/Kg BB selama 10 minggu dan penghentian pemberian pakan tinggi kolesterol. Sementara itu pada K2 tidak diberi pengobatan apapun hanya penghentian pakan tinggi kolesterol saja. Karena pembentukan sel busa lebih banyak pada K2 maka ketebalan lapisan intima pun lebih tebal pada K2. Penebalan diameter aorta terjadi karena proses penumpukan sel-sel busa di lapisan intima aorta. EEJT mampu menekan pembentukan sel busa sehingga dengan menekan pembentukan sel busa maka penebalan lapisan intima juga tidak berlanjut.

Bila dibandingkan antara K2 (KN) rerata diameter lapisan intima (37,50 ± 1,24) dengan K4 diberi residu EEJT rerata ketebalan lapisan intima (27,23 ± 1,35) dengan tingkat signifikan < 0,05, ketebalan lapisan intima K2 (KN) lebih tebal bila dibanding dengan K4 (r EEJT) , hal ini dapat terjadi karena tikus pada kedua kelompok diberi pakan tinggi kolesterol hingga mencapai keadaan hiperkolesterol

selama 20 minggu, tetapi pada K4 (r EEJT) setelah keadaan hiperkolesterol tercapai, residu EEJT diberi dengan dosis 250 mg/Kg BB selama 10 minggu dan penghentian pemberian pakan tinggi kolesterol. Sementara itu pada K2 tidak diberi pengobatan apapun hanya penghentian pakan tinggi kolesterol saja. Sel busa terbentuk ketika kadar kolesterol dan LDL plasma meningkat, pada K4 (rEEJT) ternyata ketebalan lapisan intima lebih kecil bila dibanding dengan K2, hal ini terjadi karena sel busa yang terbentuk pada K4 lebih sedikit sehingga ketebalan lapisan intimanya lebih tipis. Artinya residu EEJT mampu menekan pertumbuhan sel busa dengan demikian maka penebalan lapisan intima juga akan terhenti.

Perbedaan yang signifikan dapat dilihat pada K2 (KN) rerata ketebalan lapisan intima (37,50 ± 1,24) bila dibandingkan dengan K1 (KP/statin) rerata ketebalan lapisan intima (30,49 ± 1,71) dengan angka signifikan < 0,05 melihat rerata ketebalan lapisan intima kedua kelompok tampak bahwa diameter K2 (KN) lebih tebal bila dibanding dengan ketebalan lapisan intima K1 (KP/statin), keadaan ini terjadi karena pada kedua kelompok diberi pakan tinggi kolesterol selama 20 minggu hingga tercapai keadaan hiperkolesterol, kemungkinan ketika dalam kondisi hiperkolesterol sel busa mulai terbentuk di lapisan intima, hal ini lama kelamaan dengan makin bertumpuknya sel busa dilapisan intima akan menyebabkan penebalan lapisan intima. Pada K1 (KP/statin) ketika statin diberi dengan dosis 20 mg/Kg BB pada kondisi hiperokolesterol ternyata statin mampu menurunkan kadar kolesterol dan LDL sehingga pembentukan sel busa tidak berlanjut, tetapi sel busa yang sudah terbentuk pada keadaan hiperkolesterol tidak bisa dihilangkan oleh statin. Artinya dalam pembentukan sel busa dan penebalan

lapisan intima statin tidak bisa sebagai pengobatan, tetapi dapat digunakan mengurangi progresifitas pembentukan sel busa dan penebalan lapisan intima tidak berlqnjut.

Perbedaan yang signifikan terlihat pada perbandingan antara K2 (KN) rerata ketebalam lapisan intima (37,50 ± 1,24) dengan K4 (r EEJT) rerata ketebalan lapisan intima (27,23 ± 1,35) dengan tingkat signifikan < 0,05. Dengan melihat rerata ketebalan lapisan intima tampak bahwa ketebalan lapisan intima pada K2 (kontrol negatif) lebih tebal jika dibanding dengan K4 yang diberi residu, keadaan ini terjadi karena pada kedua kelompok diberi pakan tinggi kolesterol selama 20 minggu hingga tercapai keadaan hiperkolesterol dan LDL, setelah keadaan hiperkolesterol tercapai, pada K4 diberi residu EEJT dan pemberian pakan tinggi kolesterol dihentikan. Kemungkinan pada K4 sudah terbentuk sel busa dalam kondisi hiperkolesterol, ketika residu EEJT diberi pada K4, dari grafik terlihat penurunan kadar kolesterol dan LDL walaupun tidak sama dengan kadar kolesterol dan LDL pada awal penelitian, dengan menurunnya kadar kolesterol dan LDL ternyata mengakibatkan pembentukan sel busa tidak berlanjut. Karena pada residu EEJT terkandung serat jamur tiram yang menghalangi absorbsi kolesterol di usus dan pada residu juga terkandung anti oksidan flavonoid yang akan mengikat radikal bebas yang tebentuk pada kondisi hiperkolesterol dan LDL, dengan demikian maka pembentukan sel busa akan berkurang, dengan berkurangnya pembentukan sel busa maka penebalan lapisan intima juga tidak berlanjut.

Dengan membandingkan antara K2 (KN) rerata ketebalan lapisan intima (37,50 ± 1,24) dengan K1 (KP/statin) rerata ketebalan lapisan intima (30,49 ±

1,71) angka signifikan < 0,05 ada perbedaan yang signifikan, kondisi ini dapat terjadi ketika kedua kelompok diberi pakan tinggi kolesterol hingga tercapai keadaan hiperkolesterol dan LDL, tetapi pada K1 (KP/statin) saat terjadi keadaan hiperkolesterol diberi obat golongan statin dengan dosis 20 mg/kgBB dan pakan tinggi kolesterol dihentikan, berbeda dengan K2 (KN) saat terjadi kondisi hiperkolesterol hanya dilakukan penghentian pakan tinggi kolesterol tanpa diberi pengobatan. Sel busa terbentuk kemungkinan terjadi pada saat kondisi hiperkolesterol dan LDL. Pada K1 (KP/statin) dari grafik terlihat penurunan kadar kolesterol diikuti dengan penurunan LDL, karena statin berfungsi menurunkan kadar kolesterol dan meningkatkan jumlah reseptor LDL sehingga jumlah LDL bisa berkurang, dengan menurunnya kolesterol dan LDL maka pembentukan sel busa tidak berlanjut akibatnya penebalan lapisan intima juga tidak berlanjut.

Perbandingan yang tidak signifikan terlihat pada K3 (EEJT) rerata ketebalan lapisan intima (24,43 ± 1,43) bila dibandingkan dengan K4 (r EEJT) rerata ketebalan lapisan intima (27,23 ± 1,35) dengan angka signifikan < 0,05 artinya dalam mengurangi progresifitasan pembentukan sel busa dan penebalan lapisan intima efektifitas antara EEJT dengan residu EEJT sama.

4.2 REGRESI DAN KORELASI

Dokumen terkait