• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2 Review Konsep MP3EI

2.5. Konsep MP3EI dalam Aspek Sektoral

2.5.4. Ketenagakerjaan

Dalam MP3EI, penguatan Sumberdaya Manusia (SDM) menjadi prinsip dasar dan prasyarat tercapainya program-program MP3EI. Salah satu poin penting dalam isu SDM adalah ketenagakerjaan. MP3EI membutuhkan dukungan ketersediaan tenaga kerja yang masif, karena pembangunan infrastruktur dan pengembangan koridor ekonomi membutuhkan banyak tenaga kerja.

Pembangunan infrastruktur dan industri padat tenaga kerja (labor

intensive) akan menekan tingkat upah tenaga kerja untuk menguranggi

ongkos produksi. Banyaknya proyek – proyek infrastruktur yang bersifat padat karya dan pembangunan koridor ekonomi membutuhkan banyak tenaga kerja akan berdampak maraknya pasar tenaga kerja murah di Indonesia. Studi Khondoker & Kalirajan (2012) menunjukan mobilisasi pembangunan infrastruktur di Afrika membuka kesempatan kerja yang lebih besar bagi masyarakat tapi dengan konsekwensi terciptanya pasar kerja murah. Kondisi ini terjadi juga di Indonesia. Apalagi didukung oleh kualitas tenaga kerja lokal yang rendah sehingga praktek – praktek tenaga kerja murah akan sering terjadi dalam implementasi program MP3EI.

Dari sisi kesiapan tenaga kerja, MP3EI melakukan dua antisipasi.

Pertama, MP3EI membuka akses terhadap pasar kerja, baik itu

domestik maupun luar negeri. Sejalan dengan konsep ASEAN Economic

Community (AEC), MP3EI menciptakan integrasi dan konektivitas

pasar kerja di kawasan ASEAN. Konektivitas dan keterbukaan pasar kerja ini akan menutupi kekurangan tenaga kerja melalui masuknya tenaga kerja asing. Ini dilakukan untuk jangka pendek dan menengah.

Kedua, mempersiapkan SDM di setiap koridor ekonomi dengan

membangun center of excellence di setiap koridor.

Target jangka panjang dari pembangunan center of excellence adalah menghasilkan tenaga kerja produktif dengan menciptakan

sistem pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan pembangunan. Pengembangan SDM diintegrasikan dengan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi. Arahnya untuk menciptakan kualitas SDM yang memiliki kompetensi handal dan mampu menguasai teknologi serta mendorong nilai tambah ekonomi yang berkelanjutan.

Untuk menciptakan hal tersebut, MP3EI mendesain arah pendidikan nasional menuju peningkatan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Skema pendidikan tinggi yang diarahkan yaitu program pendidikan akademik, program pendidikan vokasi dan profesi. Pengembangan program pendidikan akademik diarahkan pada penyelarasan bidang dan program studi dengan potensi pengembangan ekonomi di setiap koridor.

Program pendidikan vokasi dan profesi didorong untuk menghasilkan lulusan yang terampil. Arahnya harus disesuaikan dengan potensi yang ada di setiap koridor ekonomi. Selain itu, untuk memperkuat basis tenaga kerja terampil juga dikembangkan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), pengembangan pelatihan kerja dan pengembangan lembaga sertifikasi. Melalui konsep ini, diharapkan daya dukung tenaga kerja dalam melaksanakan MP3EI bisa dilakukan di setiap koridor ekonomi.

Agar program MP3EI menjadi daya tarik bagi investor, pemerintah juga mendorong adanya kebijakan pasar kerja fleksibel dan penetapan upah murah serta insentif pajak (pajak penghasilan). Kebijakan pasar kerja fleksibel didorong agar mobilisasi tenaga kerja menjadi lebih dinamis. Ini dilakukan untuk menciptakan keseimbangan dalam pasar kerja di Indonesia. Kebijakan upah murah didorong dalam upaya menciptakan daya saing dunia usaha terutama di sektor infrastruktur yang banyak membutuhkan tenaga kerja (labor intensive). Selain itu kebijakan fiskal melalui insentif pajak penghasilan merupakan langkah pemerintah untuk memberikan insentif bagi dunia usaha agar memiliki daya saing.

Saat ini, jumlah tenaga kerja di Indonesia mencapai 114,1 juta, sektor informal mencapai 67.5 juta sedangkan sektor formal sebesar 46.6 juta. Pasar kerja masih didominasi oleh tenaga kerja informal. Struktur

tenaga kerja Indonesia disamping masih sangat timpang, ternyata juga amat rentan. Ketika terjadi krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 2008-2010 yaitu Global Economic Crisis (GEC), ternyata meningkatkan secara signifikan pertumbuhan tenaga kerja informal. Tahun 2007 jumlah tenaga kerja informal sekitar 69 juta, namun ketika terjadi GEC yang juga berdampak terhadap perekonomian Indonesia, jumlah tenaga kerja informal meningkat mencapai 72.7 juta pada tahun 2009 atau naik hampir 8%. Disaat yang sama, pertumbuhan tenaga kerja formal kurang dari 4% (BPS, 2013; Saputra, 2013).

Gambar 2.8. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Formal, Informal, Setengah Pengangguran dan Pengangguran di

Indonesia, Tahun 2004-2013 (juta)

Keterangan: Data ketenagakerjaan Februari 2013 (Sakernas 2013) Sumber: Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), diolah

Struktur ketenagakerjaan juga masih dihadapi berbagai masalah krusial. Selain struktur tenaga kerja informal yang besar, ternyata jumlah tenaga kerja yang bekerja dibawah jam kerja normal (setengah pengangguran/underemployment) setiap tahun semakin meningkat. Tahun 2008, jumlahnya sebesar 31.1 juta dan pada tahun 2013 telah mencapai 35.7 juta, meningkat sebesar 14.8% dalam rentang tahun

2008 – 2013. Keberhasilan pemerintah dalam menurunkan angka pengangguran ternyata semu karena tenaga kerja informal masih besar dan underemployment setiap tahun meningkat (Saputra, 2013). Pasar kerja di Indonesia didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah. Sekitar 54,63 juta dari 114.02 juta tenaga kerja di Indonesia memiliki ijazah SD dan tidak tamat SD. Distribusinya sangat besar yaitu mencapai 47,9% dari total tenaga kerja di Indonesia (Sakernas, 2013). Bila kita lebih detail lagi melihat data ketenagakerjaan maka sekitar 92,68 juta tenaga kerja merupakan tenaga kerja unskill. Artinya sekitar 81,2 % tenaga kerja di Indonesia tidak memiliki skill. Ini menjadi problema utama dalam pasar kerja di Indonesia (Saputra, 2013).

Gambar 2.9. Jumlah Tenaga Kerja menurut Pendidikan di Indonesia, Maret 2013 (Juta)

Sumber: Badan Pusat Statistik (2013)

Rendahnya pendidikan pekerja di Indonesia menimbulkan implikasi terhadap rendahnya kualitas tenaga kerja. Pekerja yang terdidik dan memiliki skill akan cenderung memiliki produktifitas yang lebih tinggi dibandingkan tenaga kerja tidak berpendidikan dan unskill. Ketika pasar kerja di Indonesia dibanjiri oleh tenaga kerja yang tidak berpendidikan dan unskill maka dunia usaha akan sulit memberikan

nilai kompensasi yang lebih tinggi karena harus ada keseimbangan antara kualitas, produktifitas dan kompensasi.