• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketentuan Penalangan Bank dalam Lembaga Penjamin

BAB III PENGATURAN PENALANGAN BANK YANG

C. Ketentuan Penalangan Bank dalam Lembaga Penjamin

Ketentuan LPS memutuskan untuk melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan suatu Bank Gagal, sekurang-kurangnya didasarkan pada perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan Bank Gagal dimaksud. Perkiraan biaya penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU LPS meliputi penambahan modal sampai bank tersebut

memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas dan tingkat likuiditas dan Perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan, memperhitungkan biaya pembayaran Simpanan nasabah yang dijamin, biaya talangan gaji terutang, talangan pesangon pegawai, dan perkiraan penerimaan LPS dari penjualan aset bank yang dicabut izin usahanya.

Penyelamatan Bank Gagal yang Tidak Berdampak Sistemik oleh LPS jika bank gagal tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 UU LPS, yaitu :

1. Perkiraan biaya penyelamatan secara signifikan lebih rendah dari perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan bank dimaksud;

2. Setelah diselamatkan, bank masih menunjukkan prospek usaha yang baik; 3. Ada pernyataan dari RUPS bank yang sekurang-kurangnya memuat

kesediaan untuk:

a. Menyerahkan hak dan wewenang RUPS kepada LPS; b. Menyerahkan kepengurusan bank kepada LPS; dan

c. Tidak menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS apabila proses penyelamatan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

d. Bank menyerahkan kepada LPS dokumen mengenai: 1) Penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia; 2) Data keuangan Nasabah Debitur;

3) Struktur permodalan dan susunan pemegang saham 3 (tiga) tahun terakhir; dan

4) Informasi lainnya yang terkait dengan aset, kewajiban termasuk permodalan bank, yang dibutuhkan oleh LPS.

Setelah persyaratan sebagaimana yang diatur dalam 24 UU LPS terpenuhi. Dan RUPS telah menyerahkan hak dan wewenangnya kepada LPS, maka LPS berdasarkan Pasal 26 UU LPS dapat melakukan tindakan-tindakan,:

1. Menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas asset milik atau yang menjadi hak-hak bank dan/atau kewajiban bank;

2. Melakukan penyertaan modal sementara;

3. Menjual atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan Nasabah Debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan Nasabah Kreditur;

4. Mengalihkan manajemen bank kepada pihak lain; 5. Melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain; 6. Melakukan pengalihan kepemilikan bank; dan

7. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak bank yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut LPS merugikan bank.

Dana dalam rangka penyelamatan bank yang dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan modal sementara LPS pada bank. Kemudian dalam hal tidak terpenuhinya persyaratan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 24 UU LPS atau LPS memutuskan untuk tidak melanjutkan proses penyelamatan, maka LPS meminta pencabutan izin usaha bank dimaksud sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Kemudian mengenai penanganan Bank Gagal berdampak sistemik yang dilakukan oleh LPS terbagi dalam dua bentuk. Yaitu dengan mengikutsertakan pemegang saham (open bank assistance) dengan cara penyetoran modal oleh pemegang saham atau tanpa menyertakan pemegang saham.

Berdasarkan Pasal 33 UU LPS, dalam upaya mengikutsertakan pemegang saham, hanya dapat dilakukan apabila :

1. Pemegang saham Bank Gagal telah menyetor modal sekurangkurangnya 20% (dua puluh perseratus) dari perkiraan biaya penanganan;

2. Ada pernyataan dari RUPS bank yang sekurang-kurangnya memuat kesediaan untuk:

a. Menyerahkan kepada LPS hak dan wewenang RUPS; b. Menyerahkan kepada LPS kepengurusan bank; dan

c. Tidak menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS dalam hal proses penanganan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 3. Bank menyerahkan kepada LPS, dokumen mengenai:

a. Penggunaan fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia; b. Data keuangan Nasabah Debitur;

c. Struktur permodalan dan susunan pemegang saham 3 (tiga) tahun terakhir; dan

d. Informasi lainnya yang terkait dengan aset, kewajiban, dan permodalan bank, yang dibutuhkan LPS.

Terhitung sejak LPS menetapkan untuk melakukan penanganan Bank Gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UU LPS, maka berdasarkan Undang-Undang ini pemegang saham dan pengurus bank melepaskan dan menyerahkan kepada LPS segala hal, kepemilikan, kepengurusan dan/atau kepentingan lain pada bank dimaksud; dan pemegang saham dan pengurus bank tidak dapat menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk LPS dalam hal proses penanganan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal penanganan Bank Gagal yang Berdampak Sistemik tanpa penyetoran modal oleh pemegang saham, maka berdasarkan Pasal 40 UU LPS dikatakan bahwa LPS mengambil alih segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan lain pada bank dimaksud. Kemudian Pemegang saham dan pengurus bank tidak dapat menuntut LPS atau pihak yang ditunjuk oleh LPS dalam hal penanganan tidak berhasil, sepanjang LPS atau pihak yang ditunjuk LPS melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal pasca LPS mengambil alih segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, LPS dapat melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UU LPS. Adapun mengenai biaya yang dikeluarkan terkait penyelamatan bank gagal berdampak sistemik, merupakan penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh LPS. Selain LPS, kaitannya penanganan bank gagal berdampak sistemik, lembaga lain yang merupakan mitra Bank Indonesia dan LPS adalah Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). KSSK

berdiri berdasarkan Perpu No. 4 tahun 2008 mengenai Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).Adapun JPSK adalah suatu mekanisme pengamanan sistem keuangan dari krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis.

KSSK merupakan suatu lembaga untuk mencapai tujuan JPSK yaitu menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis.KSSK keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota.Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas KSSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, KSSK dibantu oleh sekretariat.

Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya berdasarkan UU Bank Indonesia, UU Perbankan, dan UU tentang Perbankan Syariah.

Dokumen terkait