• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketentuan Poligami Dalam Hukum Positif yang Digugat kaum feminis

EMANSIPASI WANITA

D. Ketentuan Poligami Dalam Hukum Positif yang Digugat kaum feminis

Ringkasnya, propaganda terhadap poligami sebenarnya bukan sesuatu yang baru ada sekarang tetapi sudah lama, yakni sejak abad ke-19 M.14 Dalam sebuah kitab disebutkan bahwa poligami merupakan salah satu ajaran Islam yang sering dikecam oleh kaum misionaris. Dr. Musthafa al-Khalidi dan Dr. Umar Umar Farrukh menerangkan, bahwa poligami telah menjadi sasaran hinaan atau kritikan oleh kaum orientalis,15 Orientalis Noel J. Coulson mengatakan, bahwa keadilan di antara isteri mustahil dipenuhi, dan karena itu, poligami harus dilarang sama sekali.16

Jadi, ketika poligami yang terjadi di masyarakat mengandung banyak permasalahan menyebabkan problem sosial yang terjadi di masyarakat disebabkan kesalahan penerapan dalam praktek atau pola kehidupan, sehingga apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh ajararan poligami yang diusung oleh agama menjadi tidak tepat dan tidak terarah.

D. Ketentuan Poligami Dalam Hukum Positif yang Digugat kaum feminis

Kritik kaum feminis terhadap hukum di Indonesia baru saja dimulai. Para feminis telah lama menyuarakan soal diskriminasi terhadap perempuan diberbagai bidang termasuk hukum. Kini, studi feminisme yang terbaru adalah bukan saja berhenti pada penyuaran yang diskriminatif, akan tetapi, mempermasalahkan subjek hukum itu sendiri yang selalu dianggap netral. Sikap netralis inilah yang kini mennjadi problem bagi para feminis yang       

14

Shabir Tha’imah, Akhthar al-Ghazw al-Fikri ‘Ala al-‘Alam al-Islami. Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1984. h.53.

15

W. Wilson Cash, dalam bukunya The Moslem World in Revolution (London : 1926), hal. 98. 16

Noel J. Coulson, “Konsep Tentang Kemajuan dan Hukum Islam, lihat dalam Ahmad Ibrahim dkk ,

bergeliat dibidang hukum dan feminis. Dengan menilai, bahwa hukum tidak mau melihat subyek hukum sebagai yang bertubuh atau berjender, disinilah mereka menilai sebagai persoalannya. Apakah konsep the person in law? Di balik hukum yang memproklamirkan diri sebagai sebyek yang netral, tetap tidak dapat dipungkiri pengalaman hukum sejak awal adalah pengalaman pria. Diluar pengalaman pria tidak ada konsep the person in law, maka konsekuensinya hukum tidak pernah memuat pengalaman wanita.17

Sebagai tindak lanjut ‘perlawanan’ terhadap praktek poligami, Jaringan Kerja Prolegnas Perempuan sudah menyusun revisi UU Perkawinan. Ada hal- hal yang menjadi prioritas perubahan UU Perkawinan. yaitu harus ada penyelarasan antara Pasal 4, Pasal 3 dan Pasal 1 UU Perkawinan.

Selanjutnya masalah usia kawin juga menjadi agenda revisi. Anak perempuan boleh menikah pada umur 16 tahun,yang merupakan pernikahan di bawah umur. Karena dalam UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002) disebutkan usia anak dibawah 18 tahun.

Di tambah lagi permasalahan tanggung jawab anak di luar nikah. Di mana pertanggungjawaban terhadap anak luar nikah tidak bisa dibebankan kepada ibunya saja, bapak biologis juga harus bertanggungjawab. Sebab yang di maksud orang tua dalam UU Perlindungan Anak adalah ayah dan ibu kandung.

       17

39   

Dan yang terakhir adalah kebijakan soal nafkah. Terkait dengan pembakuan peran gender, di mana perempuan disuboordinasikan perannya sebagai makhluk domestik, karena peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga tidak bisa dibakukan, jadi terkait dengan kemampuan, komitmen, dan kesepakatan antara kedua belah pihak. Tidak bisa ditentukan sendiri oleh pihak laki-laki. Faktanya, banyak perempuan yang menjadi kepala rumah tangga tapi tidak diakui oleh negara.18

Salah satu kemardekaan dalam perlindungan hukum terhadap perempuan di Indonesia adalah terbelenggunya perempuan dalam kerangka kerja budaya Indonesia yang masih tradisional di mana bias jender di dalam masyarakat ini di terima secara luas. Undang-undang perkawianan yang menekan kewajiban suami istri terdapat dalam KUH PERDATA dan UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatakan:19

Pasal 105, paragraf 1: setiap suami adalah kepala keluarga dalam penyatuan suami istri. Pasal 106, paragraf 1: setiap istri harus patuh kepada suami.

Pasal 106, paragraf 2: sudah merupakan keharusan bagi istri untuk hidup dengan suami. Pasal 124, paragraf 1: suami mempunyai kekuasan untuk bertindak atas aset-aset perkawinan dan kepemilikan, termasuk seluruh kepemilikan pribadi istri dan yang dimiliki saat menikah.

       18

Aktivis Perempuan Siap Intervensi Pengujian Aturan Poligami, Artikel diakses tgl. 12/25/2009http// Hukunonline. Com

19

Pasal 124, paragraf 2: suami mempunyai hak untuk menjual, mengganti kepemilikan, serta mengganti tanggung jawab sset-aset kepemilikan tanpa keterlibatan istri.

Pasal 124, paragraf 3: tidak diizinkan untuk tidak menggerakan atau menggerakan kepemilikan dalam perkawinan kecuali dalam keadaan untuk memberikan posisi atau status kepada anaak-anak mereka.

Pasal 124, paragraf 4: tidak diperbolehkan untuk menggerakan barang apapun walaupun sudah ada kesepakatan bahwa istri masih akan menikmati kkeuntungan dari kepemilikan. Pasal 140, paragraf 3: walaupun ada penyatuan, di dalam persetujuan perkawinan dapat di definisikan kredit tidak bergerak yang di terima milik perempuan, dan yang ada pada saat perkawinan , tanpa ada persetujuan dari pihak istri, tiidak dapat digerakkan atau dialihkan.

Dalam UU tahuan 1974, aturan berdasarkan diskriminasi jender terlihat seperti: Pasal 31 paragraf 3 : laki-laki adalah kepala rumah tangga dan perempuam sebagai ibu rumah tangga.

Pasal 34 paragraf 1 dan 2: laki-laki mempunyai kewajiban untuk menyedikan keperluan rumah tangga, karena ia menyanggupi, dan perempuan mempunyai kewajiban mengatur rumah tangga sebaik mungkin.

Dari sinilah beberapa produk hukum yang dianggap, mengekang kebebasan perempuan. Jelas pengaturan UU semacam ini sangat merugikan perempuan walaupun di

41   

beberapa pasal bahasa yang dipakai secara tidak langsung menunjukan subordinansi terhadap perempuan. Hal ini terjadi bukan secara sengaja, karena adaya korelasi hubungan yang kuat bagaimana hukum yang diatur merupakan hasil refleksi masyarakat tersebut. Dalam hal ini kita mengutip Catherin Mackinon, seorang ahli hukum dari Amerika dan feminis yang memergoki bahwa hukum sebenarnya melihat dan memperlakukan perempuan sabagaimana kaum pria memandang dan memperlakukan perempuan.20

Di dalam UU No. 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa kewajiban seorang suami adalah menyedikan/mencukupi segala kebutuhan rumah tangga sedangkan kewajiban seorang istri adalah mengatur rumah tangga. Pernyataan semacam ini dalam sebuah UU mempunyai implikasi yang besar bagi seorang istri.21 Artinya, ia akan mendapat kelumpuhan di depan hukum. Kelumpuhan yang jelas-jelas dialami adalah identitas legal dalam penguturan properti, dan karena diandaikan laki-laki wajib menyedikan keseluruhan kebutuhan rumah tangga maka perempuan tidak perlu ikut campur dalam dunia publik atau melakukan kontrak-kontra yang berhubungan dengan dunia publik. Dengan demikian, bila terjadi persoalan yang tidak menguntungan bagi sebuah rumah tangga sebut saja terjadi hutang-piutang yang besar, maka, perempuan yang tidak tahu sama sekali mengenai aktivitas suami di dunia publik dan kemudian ikut menanggung beban tersebut.

       20

M. Margaret Conway,dll., women and Public policy in revolution in Progress, CQ Press, Wasington Dc,1999, hal. 130.

21

Sebaliknya, tidak berlaku bila sang istri hamil dan membutuhkan biaya persalinan, tidak ada ketentuan bahwa sang suami dapat dituntut pertanggungjawabannya.kasus ini semakin lemah bila tidak ada ikatan perkawinan. Artinya, seorang perempuan yang hamil di luar pernikahan harus menaggung sendiri segala biaya yang dikeluarkan, tidak ada penuntutan terhadap laki-laki.

Jadi, dapat kita simpulkan pergerakan perempuan adalah hasil fakta yang tidak dapat diingkari sehingga tidak dapat dikekang sekalipun oleh hukum. Di mana dari fakta-fakta yang ada terlihat secara jelas merugikan bahkan membahayakan kehidupan seorang perempuan. Di mana secara keseluruhan interpretasi kaum feminis terhadap UU, merefleksikan sebuah masyarakat yang melihat perempuan sebagai makhluk kelas dua setelah kaum lelaki.

BAB IV

Dokumen terkait