• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik Pemahaman Feminisme Tentang Poligami

ANALISIS HUKUM POLIGAMI

B. Kritik Pemahaman Feminisme Tentang Poligami

Perkembangan pemikiran keIslaman sepanjang sejarahnya telah menunjukkan adanya varian-varian yang khas sesuai dengan semangat zamannya. Varian-varian itu berupa semacam metode, visi, dan kerangka berpikir yang berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya.

Ajaran dan semangat Islam akan bersifat universal (melintasi batas-batas zaman, ras, dan agama), rasional (akal dan hati nurani manusia sebagai partner dialog), dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri), tetapi respon historis manusia di mana tantangan zaman yang mereka hadapi sangat berbeda dan bervariasi, maka secara otomatis akan menimbulkan corak dan pemahaman yang berbeda pula.

47   

Namun dewasa ini, muncul kesulitan-kesulitan yang dihadapi pemikir-pemikir hukum Islam, kesulitan itu pun menjadi lebih akut oleh kenyataan bahwa penggunaan metode muslim klasik tidak dapat dengan mudah menggantikan tugas menanggulangi ketidakcukupan Ilmu-Ilmu Barat. Ini karena ilmu-ilmu klasik dengan sendirinya tidak memadai untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas ilmiah modern. Ketidakcukupan ini telah menjadi sorotan sejumlah pakar muslim khususnya pada permasalahan poligami. Yang banyak menimbulkan polemik di kalangan masyarakat kita. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya merekontruksi hukum poligami, guna menjawab kritik-kritik yang diajukan kaum feminis tentang poligami.

Ketika berbicara tentang upaya melakukan studi rekonstruksi terhadap suatu konsep, tentu yang paling pertama diketahui adalah pengertian rekonstruksi itu sendiri. Rekonstruksi atau reconstructie (Perancis), reconstruction (Inggris) berarti sebuah usaha atau proses pembangunan kembali, penyusunan atau perangkaian kembali.

Dalam sebuah acara Diskusi di Hotel Indonesia yang di muat dalam The Jakarta Post pada tanggal 28 Maret 2008, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia menyatakan “ penghalalan homoseksual dan pengharaman poligami dalam rangka mencari solusi atas perbuatan poligami yang menindas hak-hak kaum wanita”3

      

3

Terkait dengan pemikiran Ibu Musdah Mulia, saya penulis sendiri memiliki pemikiran yang berbeda. Di mana dengan berpegang pada ayat Al-Qur`an An-Nissa ayat 4:

“Maka nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat.” (QS An-Nisaa’ [4]: 3)

Kebolehan berpoligami pada ayat diatas tidaklah harus selalu dikaitkan dengan konteks pengasuhan anak yatim, sebagaimana pemikiran dari beberapa kelompok. Sebab sebagaimana sudah dipahami dalam ilmu ushul fiqh, yang menjadi pegangan patokan ( al-‘ibrah) adalah bunyi redaksional ayat yang bersifat umum (fankihuu maa thaab lakum mina an-nisaa`), bukan sebab turunnya ayat yang bersifat khusus (pengasuhan anak yatim). Jadi poligami boleh dilakukan baik oleh orang yang mengasuh anak yatim maupun yang tidak mengasuh anak yatim. Kaidah ushul fiqh menyebutkan :

49   

“Jika terdapat bunyi redaksional yang umum karena sebab yang khusus, maka sebab yang khusus itu tidaklah menggugurkan keumumannya.”4

Beberapa hadits menunjukkan, bahwa Rasulullah SAW telah mengamalkan bolehnya poligami berdasarkan umumnya ayat tersebut, tanpa memandang apakah kasusnya berkaitan dengan pengasuhan anak yatim atau tidak. Diriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafi yang telah masuk Islam, sedang ia punya sepuluh isteri,”Pilihlah empat orang dari mereka, dan ceraikanlah yang lainnya!” (HR Malik, an-Nasa’i, dan ad-Daruquthni). Diriwayatkan Harits bin Qais berkata kepada Nabi SAW,”Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW maka beliau bersabda,”Pilihlah dari mereka empat orang.” (HR Abu Dawud).5

Dari sinilah penulis akan mencoba merekontruksi pemikiran Musdah Mulia yang mengatakan “poligami haram selingkuh halal” dan terhadap buku beliau “Islam menggugat poligami” Hukum asal poligami adalah mubah dan ini yang termuat dalam nyaris semua kitab fiqh. Kalau kita merujuk kedalam kitab tafsir munir, adapun lapaz اﻮﺤﻜﺛ ﺎﻓ diartikan lil ibahah yaitu kebolehan untuk melakukan poligami. Sedangkan kalau dalam Ushul Fiqh,

      

4

Abdul Qadir Ad-Dumi tsumma Ad-Dimasyqi, Nuzhatul Khathir Syarah Raudhatun Nazhir wa Junnatul Munazhir, Beirut : Dar Ibn Hazm, 1995, Juz II hal. 123.

5

Tegasnya kalau poligami haram, sedangkan selingkuh halal, maka akan ada suatu pergeseran hukum positif. Karena hukum positif kita melarang perbutan perselingkuhan. Dan dapat dikenakan sebagai perbutan yang melanggar hukum.

Jadi penulis menyimpulkan, poligami baru dikatakan haram ketika ada sebab yang menyertainya yaitu penderitaan atau kerugian yang dialami oleh pelakunya sehingga menolak pendapat Ibu Musdah Mulia yang menyatakan poligami haram secara mutlak. Namun, jika tidak ada sebab, maka ia kembali kepada hukum asalnya yaitu mubah. Rasulullah SAW bersabda;

al-halalu ma ahallallahu fi kitabihi, wa al-haramu ma harramallahu fi kitabihi wa maa sakata ‘anhu fa huwa min maa ‘afa ‘anhu”

”Yang halal adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan didalamnya. Dan apa-apa yang didiamkan

oleh-      

6

Rahmat syafe’i. Ilmu ushul Fiqh, Bandung: CV: Pustaka Setia, cet, ke-1

7

51   

Nya maka itu dimaafkan” Dari hadis ini lahirlah dalil ushuliyah yang menyatakan bahwa”hukum asal sesuatu adalah mubah kecuali ada dalil syar’i yang mengharamkannya”.

al-ashlu fi al-asy-yai al-ibahah illa ma harramahu asy-syari’ah”

Jadi, Rekonstruksi hukum memang diperlukan sepanjang syarat-syarat untuk hal itu terpenuhi. Sebagai lahan ijtihad ia masih terbuka dan perlu dikaji ulang selama syarat-syarat untuk berijtihad dapat dipenuhi, sebagaimana dipahami dari ungkapan „

al-ijtihadu maftuhun wa lam tazal, wa asy-syuruthu mathlubun wa lam tazal”

Hal ini berlaku pula pada poligami jika kita hendak mengkaji ulang hukumnya. Ia haram karena akibat yang mengiringinya, jika sebab itu tidak ada seharusnya ia dikembalikan kepada hukum asalnya yaitu mubah yang merupakan tahapan terendah dalam perintah agama (amar), bukan mengharamkannya atau menghilangkannya dari struktur hukum fiqh.

Dokumen terkait