• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemahaman Kontekstual Terhadap Ayat Poligami

ANALISIS HUKUM POLIGAMI

D. Pemahaman Kontekstual Terhadap Ayat Poligami

perbedaaan itu, agar tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan di kemudian hari. Dan kita tidak dapat pungkiri bahwa hukum akan selalu berubah dan mengikuti perkembangan zaman.

D. Pemahaman Kontekstual Terhadap Ayat Poligami

Keberagaman pandangan kaum muslimin dalam menyikapi isu poligami ini tentu saja menarik untuk dikaji dan ditelaah lebih jauh, Perkembangan pemikiran ini menunjukkan bahwa mereka (baik yang pro maupun yang kontra/anti poligami) tengah menghadapi dan sekaligus bergumul dengan perubahan-perubahan sosial yang terus bergerak di era sekarang ini. Salah satu hal yang menarik dari perdebatan dan kontroversi poligami adalah bahwa masing-masing pendapat merujuk pada sumber yang sama, yakni ayat al-Qur`an surah An-Nisa ayat 2, 3, dan 129, serta sejumlah hadis Nabi Muhammad saw yang terkait. Hal itu menunjukkan bahwa teks-teks keagamaan selalu menyediakan kemungkinan-kemungkinan bagi sejumlah tafsir atau interpretasi. Ibnu Arabi mungkin merupakan tokoh yang paling berani ketika mengatakan: fa mâ fi al-kaun kalâm lâ yuta awwal (tidak ada satupun teks di dunia ini yang tidak bisa ditafsir). Karena itu, teks-teks keagamaan tersebut memang harus dimaknai dan dipahami oleh akal pikiran manusia yang tidak selalu menghasilkan kesimpulan sama.18

Perbedaan dalam memahami dan cara pandang yang dipergunakan oleh mufasir terhadap teks juga terjadi karena adanya perbedaan ruang dan waktu dalam menafsirkan.

       18

Setiap pandangan dan pikiran manusia selalu merupakan refleksi ruang dan waktu (sejarah sosial) di mana dan kapan mereka hidup. Bahkan perbedaan penafsiran juga bisa terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dan ideologi di antara para mufasir Al-Qur`an, misalnya dalam kasus poligami di mana Ibu Siti Musdah Mulia menyatakan pendapatnya,

“Musdah telah menafsirkan nash-nash yang berbicara tentang poligami dengan pendekatan-pendekatan yang dianggap representatif, yaitu metode tafsir tematik dan holistik, pendekatan berperspektif gender, hak asasi manusia, dan kontekstualisasi. Menggunakan metodologi dan pendekatan tersebut dan juga menelaah penelitian lapangan akan dampak poligami, Musdah berkesimpulan bahwa aspek negatif poligami itu lebih banyak dari pada aspek positifnya. Praktek poligami itu juga akan membuka kemungkinan terjadinya kekerasan, baik kekerasan fisik, ataupun non-fisik. Dan poligami juga melanggar HAM, Karena itu, dapat dinyatakan haram ligairih atau haram karena eksesnya.19

Dalam konteks Indonesia, wacana dan doktrin-doktrin keagamaan selama ini telah memainkan peranan cukup signifikan dalam pembentukan tata nilai kehidupan individual dan sosial dalam perspektif masyarakat. Tak terkecuali kaitannya dengan fenomena perkawinan poligami.20 Umar bin al-Khattab mengungkapkan kenyataan sosial ini dengan mengatakan. ”Dalam dunia kelam (jahiliyah), kami tidak menganggap perempuan sebagai

      

19

Salah satu persoalan Fiqh Munakaht. Artikel diakses pada WWW. Hidayatullah. Com 02/05/2010.

20

Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Cet. II (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 237-238.

59   

makhluk yang perlu diperhitungkan. Perbudakan manusia terutama perempuan, dan poligami menjadi praktik kebudayaan yang lumrah dalam masyarakat Arabia saat itu. Ketika masa Nabi, Islam hadir ditengah-tengah mereka, praktik-praktik ini tetap berjalan dan dipandang tidak bermasalah, sebagaimana tidak bermasalahnya tradisi 3R (kasur, dapur, dan sumur) bagi peran perempuan dalam masyarakat Jawa. Oleh ulama hukum poligami tidak diterapkan begitu saja, tetapi dibaca dengan dampingan ayat-ayat lain dan hadist-hadist serta dengan menggunakan bantuan ilmu bahasa dan ilmu-ilmu lain.21

Muhammad Syahrur dalam buku Nahwa Ushûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmi, 22di antaranya bahwa konteks ayat ini sedang mengarahkan pada perlunya perlindungan dan pemeliharaan anak-anak yatim yang ditinggal mati ayah mereka dalam kasus ayat mereka meninggal akibat peperangan. Allah memerintahkan kita untuk menjaga mereka, memelihara, mengembangkan harta mereka dan kemudian menyerahkannya setelah mereka dewasa. Keseimbangan (iqsath) dan keadilan (al-adl) yang dimaksud disini terkait dengan pemeliharaan anak-anak yatim.

Ayat ini tidak sedang membicarakan persoalan poligami apalagi mempromosikannya. Ia sedang menjelaskan cara yang paling tepat memelihara dan menjaga anak-anak yatim yang hidup bersama ibu mereka dan baru ditinggal mati ayah mereka. Poligami yang disebutkan dalam ayat ini didasarkan pada dua syarat yang harus

      

21

Ibid,,.

22

Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islamy, Damaskus: Al-Ahali, 2000, hlm. 303.

dipenuhi; pertama sebagai solusi yang tepat terhadap kekhawatiran kegagalan pemeliharaan anak yatim dan kedua terlepas dari ketakutan terjadinya ketidak adilan antara anak-anak yatim yang akan diasuh dengan anak-anak-anak-anak sendiri. Berangkat dari beberapa catatan tersebut, terjemahan yang bisa ditawarkan adalah sebagai berikut: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (ketika sudah dewasa) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama harta kamu. Sesungguhnya tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar (2) Dan jika kamu khawatir tidak bisa sukses (memelihara) anak-anak yatim itu, maka kawinilah yang suka terhadap kamu dari perempuan-perempuan itu (ibu mereka); dua, tiga, dan empat, dan jika kamu takut tidak bisa berbuat adil (antara mereka dan anak-anak kamu) maka cukuplah dengan satu isteri, atau dengan budak yang kamu miliki, hal itu akan lebih dekat untuk tidak terbebani (dengan banyak anak yang harus kamu pelihara. Bisa ditegaskan bahwa ayat tersebut mengaitkan poligami dengan kondisi sosial di mana banyak anak-anak yatim yang terlantar dan tidak terpelihara. Poligami, dengan merujuk pada ayat ini, tidak ada kaitannya dengan pemuasan nafsu laki-laki, atau pemenuhan kebutuhan laki-laki terhadap anak, sehingga ia dibolehkan karena alasan isteri yang tidak bisa melayani kebutuhan seks suami, tidak bisa memberikan anak atau mandul, atau karena sakit yang berkepanjangan, apalagi dengan tanpa alasan sama sekali. Poligami dalam perspektif ayat An-Nisa adalah solusi terhadap suatu persoalan sosial yang menimpa anak-anak yatim,

61   

Oleh karena itu dalam rangka memahami teks dan kontek ayat poligami, maka persoalan dan tema yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur’an hadir ditengah masyarakat, dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dalam rangka memahami realitas sosial. Ditambah dengan Pemahaman terhadap konteks sejarah yang menjadi latar belakang munculnya ayat-ayat al-Qur’an merupakan suatu komponen vital untuk mengantarkan kepada pemahaman yang tepat terhadap Al-Qur’an. Dan akan menjadi kajian yang semata-mata bersifat akademis murni bila tidak diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kontemporer.23Di sinilah perlunya kontekstualisasi, dalam arti upaya untuk menerapkan makna teks yang dipahami dari suatu wacana dalam konteks tetentu di masa yang telah lalu dengan konteks yang berbeda dimasa kini.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa, Dalam konteks ini, poligami memang halal, tetapi harus diletakkan pada kondisi dan persyaratan seperti yang direkam ayat An-Nisa. Pada saat yang sama, harus juga ditegaskan bahwa sesuatu yang halal dalam fiqh bisa saja dilarang untuk dilakukan ketika nyata-nyata mendatangkan kemudharatan kepada banyak pihak. Apalagi jika melenceng dari persyaratan yang telah digariskan. Artinya, ketika poligami sebagai solusi terhadap pemeliharaan anak-anak yatim ternyata mendatangkan persoalan sosial, maka bisa saja ia dilarang dan pemeliharaan tidak harus dilakukan dengan cara mengawini ibu-ibu mereka.

      

23  Ahmad Baidowi, “Hermeneutika al-Qur’an Asghar Ali- Engineer,” al-Jami’ah: Journal of IslamicStudies, Vol. 41, No. 2, 2003

Jadi penulis sendiri kurang setuju terhadap pengharaman poligami secara mutlak, namun penulis setuju kalau ada upaya kehati-hatian dalam pemberian izin terhadap orang yang akan berpoligami, untuk menghindari ketidakadilan terhadap istri dan anak di kemudian hari. Ditambah pengawasan untuk meminimalisir penyimpangan-pemyimpangan tersebut.

63   

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Dari uraian-uraian tentang rekontruksi hukum poligami dalam perspektif emansifasi wanita padapat bab-bab sebelumnya, maka penyusun dapat mengambil sedikit kesimpulan sebagai berikut:

Kesempurnaan Islam adalah suatu yang wajib diimani seorang muslim. Karena syari’at Islam telah mengatur semua sisi kehidupan manusia menuju kebahagian hakiki. Dengan ajaran Islam, maka seorang muslim dapat meraih keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.Agama mempunyai peranan dalam masyarakat sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat dan melestarikan. Namun ia juga bisa menjadi kekuatan yang menceraiberaikan ketika ia tidak dianut oleh seluruh atau sebagian besar anggota masyarakat. Agama yang ajaran hukumnya akan dijadikan hukum nasional seyogyanya dianut oleh mayoritas masyarakat, sehingga dapat menjadi perekat dan dapat di pandang sebagai hukum yang hidup.

Pada hakikatnya apapun hukum yang dipakai dalam melihat persoalan poligami, apakah hukum Islam, Hukum Nasional, maupun HAM, pastinya bermuara pada rasa keadilan. Tiap hukum terdapat persamaan dan perbedaan, persamaannya yaitu sama-sama menjadi pedoman bagi kita untuk bertindak. Adapun kalau terdapat perbedaan, maka

menjadi tugas kita bersama untuk menutupi perbedaaan itu, agar tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan di kemudian hari. Dan kita tidak dapat pungkiri bahwa hukum akan selalu berubah dan mengikuti perkembangan zaman. poligami memang halal, tetapi harus diletakkan pada kondisi dan persyaratan seperti yang direkam ayat An-Nisa.

Pada saat yang sama hukum Positif dan hukum Fiqh menegaskan, bahwa sesuatu yang halal dalam fiqh bisa saja dilarang untuk dilakukan ketika nyata-nyata mendatangkan kemudharatan kepada banyak pihak. Apalagi jika melenceng dari persyaratan yang telah digariskan. Artinya, ketika poligami sebagai solusi terhadap pemeliharaan anak-anak yatim ternyata mendatangkan persoalan sosial, maka bisa saja ia dilarang dan pemeliharaan tidak harus dilakukan dengan cara mengawini ibu-ibu mereka. Dan tidak dapat dipungkiri pemahaman kontektual terhadap ayat poligami tidaklah harus selalu dikaitkan dengan konteks pengasuhan anak yatim, sebab dalam lmu ushul fiqh, yang menjadi pegangan patokan (al-‘ibrah) adalah bunyi redaksional ayat yang bersifat umum, bukan sebab turunnya ayat yang bersifat khusus (pengasuhan anak yatim). Jadi poligami boleh dilakukan baik oleh orang yang mengasuh anak yatim maupun yang tidak mengasuh anak yatim.

Oleh karena itu, penulis kurang sepandapat kalau pengharaman poligami secara mutlak, namun penulis setuju kalau ada upaya kehati-hatian dalam pemberian izin terhadap orang yang akan berpoligami, untuk menghindari ketidakadilan terhadap istri dan anak di kemudian hari.

65   

B. SARAN

Setelah melalui proses pembahasan dan kajian terhadap Rekontruksi Hukum Poligami Dalam Perspektif Emansifasi Wanita, kiranya penulis perlu mengemukakan beberapa saran sebagai kelanjutan dari kajian penulisatas hal-hal sebagai berikut:

1. Perlunya penelitian yang lebih komprehensif bagi para peneliti tentang poligami secara mendalam sehingga mamapu memberikan informasi yang utuh dan tidak terjadi penyimpangan terhadap orang yang melakukan poligami serta melanggar hak-hak perorangan.

2. Penulisan ini hanya dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana keberadaan hukum poligami ditengah tantangan hidup yang makin maju, serta bagaimanakah kontekstualisasinya dengan kondisi sekarang ini. Penulisan ini dirasakan jauh lebih sempurna, maka diharapkan adanya penulisan lebih lanjut dengan harapan dapat menimbulkan pemikiran yang mencerdaskan bagi orang banyak.

Dokumen terkait