• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterbatasan Interaksi Sosial Anak Berkesulitan Belajar

BAB II KAJIAN PUSTAKA

C. Anak Berkesulitan Belajar

2. Keterbatasan Interaksi Sosial Anak Berkesulitan Belajar

Sekolah inklusif menjadi bagian dari lingkup implementasi pendidikan inklusif. Tarmansyah (2007: 88) menyatakan implementasi inklusif terjadi di dalam rumah, masyarakat, sekolah, instansi, organisasi, dan disemua lini adanya kehidupan manusia. Sekolah menjadi implementasi inklusif berarti benar-benar harus mampu mengakomodir semua warga sekolahnya. Interaksi sosial yang dibangun harus dikemasi dengan sedemikian rupa. Maka sekolah inklusif sebagai penyokong pendidikan untuk anak ABK akan berjalan maksimal apabila interaksi sosial sudah terjalin dengan baik.

Joppy Liando dan Dappa (2007: 37) menyatakan penting untuk mengetahui bahwa anak berkebutuhan khusus memiliki perasaan emosional yang sama tentang kebutuhannya dalam berinteraksi dengan orang lain seperti halnya anak normal pada umumnya. Kaitannya dengan anak anak berkesulitan belajar di sekolah inklusif yaitu terletak pada pola interaksi khususnya antar teman, guru, dan warga sekolah. Lingkungan kelas yang terdiri dari guru dan siswa adalah bagian terpenting karena kontak sosial dan komunikasi yang intensif pasti terjadi setiap harinya dengan anggota kelas. Kesepahaman siswa satu dengan yang lain mengenai keberadaan teman yang memiliki kekurangan harus dibangun untuk mendukung dalam hal interaksi sosial.

membuat anak tidak bisa mengikuti aktifitas belajar seperti siswa pada umumnya. Permasalahan ini tidak jarang menimbulkan efek penghakiman pada anak berkesulitan belajar dan berakibat tekanan psikis. Fakta yang sering dijumpai di lingkungan sekolah ini didukung dengan teori berikut ini. Tin Suharmini (2009: 99) menggambarkan kekacauan sosial pada anak berkesulitan belajar spesifik yaitu seringnya anak mengalami kegagalan menyebabkan anak menjadi frustasi, malas, dan sulit mengontrol emosinya, dan akhirnya anak seolah-olah tidak memiliki kemampuan untuk berinteraksi sosial. Pendapat ini berkaitan pada anak berkesulitan belajar yang gagal dalam akademik sehingga tidak percaya diri untuk bergaul dengan teman sebayanya.

Munawir Yusuf (2005: 63) juga menjelaskan anak berkesulitan belajar mengalami kesulitan dalam penyesuaian perilaku sosial yang terangkum dalam kutipan berikut ini.

Ada anak yang perilakunya tidak dapat diterima oleh lingkungan sosialnya, baik sesama anak, guru, maupun orangtua. Ia ditolak oleh lingkungan sosialnya karena sering mengganggu, tidak sopan, tidak tahu aturan, atau berbagai perilaku negatif lainnya. Jika kesulitan penyesuaian perilaku ini tidak segera ditangani maka tidak hanya menimbulkan kerugian bagi anak itu sendiri, tetapi juga bagi lingkungannya.

Pendapat lain juga disampaikan berkaitan dengan permasalahan sosial pada anak berkesulitan belajar yang dipandang dari kesulitan yang dialami. Pendapat berikut memang tidak spesifik menyebutkan jenis kelainan berkesulitan belajar tetapi secara umum dapat dipahami kurangnya kecerdasan pada anak berkesulitan belajar sama halnya dengan kesulitan belajar.

Smith (2006: 83) mengemukakan kesulitan yang memungkinkan lainnya bagi masalah-masalah sosial dan emosi yang dihadapi siswa berkesulitan belajar adalah kurangnya “kecerdasan sosial”. Pendapat yang

dikemukakan ini menunjukkan siswa berkesulitan belajar juga mengalami masalah sosial. Kurangnya kecerdasan sosial ini tentu akan berpengaruh pada kehidupan sosial anak berkesulitan belajar di sekolah maupun di rumah.

Suatu hasil penelitian menunjukkan gangguan kepribadian dapat disembuhkan apabila orang yang mengalami dapat belajar memperbaiki diri. Padahal dalam memperbaiki diri perlu belajar dari hal-hal dilingkungannya.

Silver (Smith, 2006: 83) menyampaikan sebuah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ada sejumlah besar remaja dan orang dewasa didiagnosis dengan gangguan kepribadian (personality disorders) atau mereka yang telah diperiksa di pusat-pusat terapi, ternyata tidak diketahui atau tidak tersembuhkan dianggap tidak mampu belajar/learning disabilities.

Kaitannya dengan anak berkesulitan belajar yaitu pada kelemahan belajar anak yang juga berimbas pada lemahnya belajar tentang kepribadian yang baik. Interaksi sosial dalam hal pembelajaran kepribadian menjadi pemegang peranan penting untuk memberikan arahan dan bentuk contoh sikap yang mampu membimbing anak berkesulitan belajar memiliki kecerdasan sosial.

Pendapat lain menggambarkan bentuk ikut bertanggungjawab dalam persoalan kelemahan keterampilan sosial pada anak berkesulitan belajar. Gresham dan Elliot (Cecil D. Mercer, 1992: 47) menyatakan “the fact alone that many children classified as having learning disabilities display social skill deficits, coupled with the evolution of an adequate assesment..., is reason enough to target social behaviors for intervention.” Jadi, fakta menunjukkan beberapa anak yang tergolong mengalami hambatan belajar menunjukkan kelemahan keterampilan sosial, dihubungkan dengan perkembangan dari

asesmen menjadi alasan yang cukup untuk terlibat mendidik perilaku sosialnya.

Ikut campur dalam mengembangkan kemampuan sosial menjadi tanggungjawab semua yang berkaitan langsung dengan kasus anak dengan hambatan belajar. Oleh karena itu, sebelum ikut terlibat ada baiknya untuk mempelajari dahulu keterampilan sosial anak berkesulitan belajar. Salah satu caranya yaitu melalui penjabaran perilaku interaksi sosialnya.

Harwell (2001: 8) membagi karakteristik yang menunjukkan keterbatasan anak berkesulitan belajar menjadi dua, yaitu:

(1)Primary characteristic, eighty percent of students identified as being learning disability have problems in the area of reading. It appears that deficits in phonological processing underlie difficulties learning to read. (2) Secondary characteristic, individuals with learning disability develop as a result of prologed academic failures including low self esteem, low motivation to learn, nonstrategic metacognitive learning style, and poor coping skill such as withdrawal, feigned, illness, absenteeism, anxiety, overdependence on other and acting out.

Karakteristik berkesulitan belajar menurut Harwell dapat diartikan: (1) karakteristik primer, delapanpuluh persen murid yang teridentifikasi mengalami kesulitan belajar mempunyai permasalahan seputar membaca. Hal ini terlihat pada kelemahan proses fonologis yang menyebabkan kesulitan belajar membaca. (2) Karakteristik sekunder, individu dengan kesulitan belajar dalam perkembangannya menunjukkan gangguan akademik berkepanjangan meliputi rendah diri, motivasi belajar rendah, pengetahuan belajarnya tidak teratur, dan lemahnya kemampuan mengatasi masalah seperti minder, berpura-pura, tersingung, menghindar, gelisah, ketergantungan pada orang lain dan mencari perhatian.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas ditemukan keterbatasan interaksi sosial dalam diri anak berkesulitan belajar. Lemahnya kemampuan belajar ditengarai juga berakibat pada lemahnya memahami aturan-aturan sosial yang berlaku. Kondisi anak berkesulitan belajar juga berimbas pada rasa frustasi dan emosi karena seringnya mengalami kegagalan belajar. Kedua permaslahan berupa sikap frustasi dan lemahnya memahami aturan bisa berakibat menyulitkan siswa diterima lingkungan interaksi sosialnya.

Penelitian ini nantinya akan menelaah kondisi interaksi sosial yang terjadi di SD Negeri Banyusoco II pada anak berkesulitan belajar. Kondisi interaksi sosial yang selama ini terbangun akan ditinjau dari faktor-faktor penyebab terjadinya interaksi sosial di lingkungan SD Negeri Banyusoco II. Termasuk hal lemahnya kemampuan belajar yang berpengaruh pada interaksi sosial dapat diketahui berdasarkan fakta keadaan anak berkesulitan belajar di kelas maupun di luar kelas.

Dokumen terkait