METODE PENELITIAN
A. Keterbatasan Penelitian
1. Desain penelitian : penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional yang memiliki keterbatasan – keterbatasan diantaranya diperlukan subjek penelitian yang besar, tidak dapat menggambarkan perkembangan penyakit secara akurat, tidak valid untuk menggambarkan suatu kecenderungan, dan kesimpulan dari korelasi mempunyai efek paling lemah. Oleh karena itu, penelitian ini rawan terhadap bias.
Bias adalah kesalahan yang terjadi secara sistematik baik dalam desain, pelaksanaan, maupun dalam menginterpretasi informasi tentang subjek penelitian.
2. Instrumen penelitian : penelitian ini menggunakan kuisioner yang kemungkinan responden tidak jujur dalam memberikan jawaban.
Salah satu bias yang sering terjadi adalah bias informasi yaitu kesalahan sistematik dalam mengamati, memilih instrumen, mengukur, mencatat informasi, mengklarifikasi dan menginterpretasi status pajanan dan penyakit. Bias informasi yang penting yaitu bias mengingat. Kemungkinan bias mengingat semakin besar jika paparan telah berlangsung cukup lama atau menyangkut sejumlah faktor lainnya yang mirip terhadap faktor penelitian (Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo).
3. Sampel : sampel penelitian ini hanya diambil di Puskesmas Kecamatan Setiabudi Jakarta Selatan, sehingga tidak bisa di generalisasikan ke seluruh puskesmas yang ada di wilayah Jakarta Selatan.
4. Variabel : masih terdapat variabel yang di duga menjadi penyebab kejadian anemia yang tidak diteliti dalam penelitian ini misalnya infeksi dan penyakit penyerta karena dalam pemeriksaan ANC pada ibu hamil tidak sampai ada diagnosa penyakit lain pada ibu hamil.
B. Pembahasan
Hubungan umur ibu hamil dengan kejadian anemia
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa umur tidak berhubungan dengan kejadian anemia. Berdasarkan proporsi data usia kehamilan terbanyak pada usia yang tidak berisiko sebesar 64,2%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wara (2006) yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Anemia pada Ibu Hamil di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat” yang memperlihatkan tidak adanya hubungan antara umur ibu hamil dengan kejadian anemia.
Menurut Wibowo dan Basuki (2006) usia seorang ibu berkaitan dengan perkembangan alat-alat reproduksinya. usia reproduksi yang sehat dan aman adalah umur 20 sampai 35 tahun. kehamilan kurang dari 20 tahun secara biologi belum optimal emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi selama kehamilannya, sedangkan kehamilan pada usia >35 tahun menderita dengan kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit.
Depkes (2002) menyatakan bahwa hamil dan melahirkan dibawah umur 20 tahun menurut ilmu kesehatan reproduksi masih terdapat bahaya-bahaya tertentu bagi ibu dan anaknya. Angka kesakitan dan angka kematian ibu dan anak masih sangat tinggi bila umur wanita tersebut kurang dari 20 tahun.
Hubungan Paritas dengan kejadian anemia
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa paritas tidak berhubungan dengan kejadian anemia. Berdasarkan proporsi data didapatkan kehamilan terbanyak pada paritas rendah sebanyak 60,4%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Djamilus dan Herlina (2008) bahwa tidak terdapat hubungan antara paritas dengan kejadian anemia pada ibu hamil, ibu hamil dengan paritas tinggi mempunyai risiko 1.454 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibandingkan dengan yang paritas rendah.
Semakin sering seorang wanita melahirkan maka semakin besar risiko kehilangan darah dan berdampak pada penurunan kadar Hb (Wijianto 2002).
Badan koordinasi keluarga berencana naasional (BKKBN, 1998) menganjurkan agar kesehatan ibu selama hamil dapat optimal dalam menyongsong persalinannya maka jumlah persalinan yang telah dialami tidak lebih dari 2 kali.
Hubungan antara usia kehamilan dengan kejadian anemia
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa usia kehamilan tidak berhubungan dengan kejadian anemia. Berdasarkan proporsi data didapatkan usia kehamilan terbanyak pada trimester III.
Teori Sin sin (2008) bahwa wanita hamil cenderung terkena anemia pada trimester III karena pada masa ini janin menimbun cadangan zat besi untuk dirinya sendiri sebagai persediaan bulan pertama setelah lahir. Kebutuhan zat besi ibu hamil sehari akan meningkat 6 kali lebih besar pada trisemester terakhir dibandingkan wanita yang tidak hamil.
Kebutuhan zat gizi pada ibu hamil terus meningkat sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan. Apabila terjadi peningkatan kebutuhan zat besi tanpa disertai oleh pemasukan yang cukup, maka cadangan zat besi akan menurun dan dapat mengakibatkan anemia (Lila 1992).
Walaupun uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara usia kehamilan dengan kejadian anemia pada ibu hamil, akan tetapi presentase anemia cenderung lebih tinggi pada ibu dengan usia kehamilan trimester III yaitu 42,3%.
Hubungan antara Jarak kelahiran dengan kejadian anemia
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa jarak kelahiran berhubungan dengan kejadian anemia. Sesuai dengan teori Soejonoes 1991 diacu dalam Darlina 2003 salah satu penyebab yang dapat mempercepat terjadinya anemia pada wanita adalah jarak kelahiran yang pendek. Hal ini disebabkan karena adanya kekurangan nutrisi yang merupakan mekanisme biologis dari pemulihan faktor hormonal.
Menurut data Badan Koordinasi Berencana Naional [BKKBN] (1995) diacu dalam Darlina (2003), jarak persalinan yang baik adalah minimal 24 bulan.
Dalam penelitian ini didapatkan OR 2,548 artinya ibu hamil yang memiliki jarak kehamilan < 24 bulan memiliki risiko terkena anemia 2,548 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil yang memiliki jarak kehamilan ≥ 24 bulan. Hal itu sesuai dengan teori Winkjosastro (2005) bahwa jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebakan terjadinya anemia. Hal ini dikarenakan kondisi ibu masih belum pulih dan pemenuhan kebutuhan zat gizi belum optimal tetapi sudah harus memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang dikandung.
Hubungan antara konsumsi tablet Fe dengan kejadian anemia
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa konsumsi tablet Fe berhubungan dengan kejadian anemia. Sesuai dengan pernyataan Depkes (2009) bahwa suplementasi besi atau pemberian tablet Fe merupakan salah satu upaya penting dalam mencegah dan menanggulangi anemia.
Pada penelitian Djamilus dan Herlina tahun 2008 menyatakan bahwa semakin ibu hamil minum tablet Fe semakin rendah kejadian anemia pada ibu hamil. Ibu hamil yang tidak rutin mengkonsumsi tablet Fe mempunyai risiko 2,429 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang rutin konsumsi tablet.
Dalam penelitian ini didapatkan OR 3,617 artinya ibu hamil yang tidak rutin mengkonsumsi tablet Fe memiliki risiko untuk terjadinya anemia 3,617 kali lebih besar di bandingkan dengan ibu hamil yang rutin mengkonsumsi tablet Fe. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chisilia Sero (2008) mengenai “Faktor – Faktor
Yang Berhubungan dengan Anemia Gizi Pada Ibu Hamil di Puskesmas Pasar Minggu Tahun 2008”. Dimana hasil penelitian menunjukan terdapat hubungan yang bermakna antara keteraturan konsumsi tablet Fe dengan kejadian anemia gizi pada ibu hamil.
Hubungan Konsumsi Vitamin C dengan Kadar Hb
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa konsumsi Vitamin C berhubungan dengan kejadian anemia. Berdasarkan proporsi data didapatkan lebih banyak ibu hamil yang asupan vitamin C tidak cukup yaitu 65,6%.
Di negara-negara yang sedang berkembang yang hanya sedikit memakan daging, asam askorbat merupakan satu-satunya pemacu penyerapan zat besi yang paling penting. Penambahan sekurang-kurangnya 50 mg asam askorbat ke dalam makanan, baik dalam bentuk murni atau sayuran atau buahbuahan (Misalnya, sebuah jeruk atau 100 gram kol, atau 100 gram amaranth) akan menggandakan penyerapan zat besi (DeMaeyer, 1993).
Asam organik, seperti vitamin C sangat membantu penyerapan besi non hem dengan merubah bentuk feri menjadi bentuk fero. Bentuk fero lebih mudah diserap. Vitamin C di samping itu membentuk gugus besi askorbat yang tetap larut pada pH lebih tinggi dalam duodenum. Absprbsi besi dalam bentuk non heme meningkatkan empat kali lipat jika ada vitamin C berperan dalam memindahkan besi dari transferin didalam plasma ke feritin hati (Almatsier, 2002). Vitamin C diperlukan dalam penyerapan zat besi, dengan demikian vitamin C berperan dalam pembentukan hemoglobin, sehingga mempercepat penyembuhan Anemia (Moehji, 2002).
Hubungan Status Pendidikan dengan kejadian anemia
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pendidikan tidak berhubungan dengan kejadian anemia. Berdasarkan proporsi data didapatkan pendidikan ibu hamil terbanyak pada tingkat SMA yaitu 57,5%. Hal ini diduga karena tingkat pendidikan tidak secara langsung berhubungan dengan status anemia. Selain dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, diduga status anemia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya, seperti misalnya perilaku sehat dalam pemilihan pangan (Wara, 2006).
Ibu hamil dengan tingkat pendidikan rendah akan mengalami resiko anemia lebih tinggi dibanding dengan ibu hamil yang tingkat pendidikannya tinggi (Achadi, dkk. 1995).
Tingkat rendahnya pendidikan erat kaitannya dengan tingkat pengertian tentang zat besi serta kesadarannya terhadap konsumsi zat besi untuk ibu. Tingkat pendidikan turut pula menentukan rendah tidaknya seseorang menyerap dan memakai pengetahuan tentang zat besi yang mereka peroleh. Tingkat pendidikan ibu hamil yng rendah mempengaruhi penerimaan informasi sehingga pengetahuan tentang zat besi menjadi terbatas dan berdampak pada terjadi defisiensi zat besi (Suhardjo dan Riyadi, 1990)
Hubungan Status Pekerjaan dengan kejadian anemia
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pekerjaan tidak berhubungan dengan kejadian anemia. Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wara (2006) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan kejadian anemia pada ibu hamil.
Dalam penelitian ini didapatkan OR 0,514 artinya ibu hamil yang bekerja memiliki risiko 0,514 kali lebih tinggi terkena anemia dibandingkan ibu hamil yang tidak bekerja. Hal ini sesuai dengan teori Wijianto (2002), ibu yang bekerja mempunyai kecenderungan kurang istirahat, konsumsi makan yang tidak seimbang sehingga mempunyai resiko lebih besar untuk menderita anemia dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Selain itu berat ringannya pekerjaan ibu juga akan mempengaruhi kondisi tubuh dan pada akhirnya berpengaruh pada status kesehatan. Lebih lanjut dikatakan oleh Wijianto (2002) bahwa status pekerjaan biasanya erat hubungannya dengan pendapatan seseorang atau keluarga. Ibu hamil yang tidak bekerja kemungkinan akan menderita anemia lebih besar dibandingkan pada ibu yang bekerja. Hal ini disebabkan pada ibu yang bekerja akan menyediakan makanan yang mengandung sumber zat besi dalam jumlah yang cukup dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja.
Walaupun uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan kejadian anemia pada ibu hamil, akan tetapi presentase anemia cenderung lebih tinggi pada ibu yang bekerja yaitu 69,8%.
Hubungan Status Pengetahuan dengan kejadian anemia
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pengetahuan tidak berhubungan dengan kejadian anemia. Berdasarkan proporsi data didapatkan ibu hamil terbanyak adalah yang berpengetahuan sedang yaitu 62,3%.
Anemia masih banyak dijumpai karena kemiskinan dan kurangnya pengetahuan tentang makanan sehat. Bahkan pada waktu hamil banyak makanan yang ditabukan karena kurangnya pengertian tentang makanan sehat yang bergizi sehingga anemia semakin parah (Manuaba 2004).
Pengetahuan gizi dan kesehatan merupakan salah satu jenis pengetahuan yang dapat diperoleh melalui pendidikan. Pengetahuan gizi dan kesehatan akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Semakin banyak pengetahuan tentang gizi dan kesehatan, maka semakin beragam pula jenis makanan yang dikonsumsi sehingga dapat memenuhi kecukupan gizi dan mempertahankan kesehatan individu (Suhardjo 1989).
BAB VII