• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 3 4

BAB VI PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 3 4

Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini yang dapat berpengaruh terhadap hasil penelitian. Berikut ini adalah beberapa keterbatasan dalam penelitian ini:

1. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dimana pengukuran variabel independen dan variabel dependen dilakukan dalam satu waktu sehingga tidak dapat menjelaskan hubungan kausalitas berdasarkan waktu

2. Variabel status merokok, status merokok yang ditanyakan adalah status merokok responden 1 bulan terakir. Sehingga tidak membedakan individu yang baru mulai merokok dan individu yang sudah lama merokok. Penelitian ini tidak menganalisis durasi merokok, jenis rokok dan perokok pasif sebagai cara meminimalisir bias

3. Pengukuran variabel aktivitas fisik dilakukan dengan metode wawancara, sehingga dapat terjadi bias informasi dalam penelitian ini. Meskipun demikian, saat wawancara aktivitas fisik dibantu dengan menggunakan kartu peraga untuk membedakan jenis aktivitas fisik. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir bias dalam penentuan jenis aktivitas fisik. Bias informasi mungkin hanya disebabkan karena responden harus mengingat frekuensi dan durasi beraktivitas fisik

B. Frekuensi Kanker berdasarkan Merokok di Indonesia

Proporsi individu yang mengalami kanker lebih banyak pada individu yang merokok (8,2%) dibandingkan dengan individu yang pernah merokok (5,4%). Sedangkan variabel durasi merokok, proporsi individu yang mengalami kanker lebih banyak pada individu yang merokok ≥ 20 tahun (7,6%) dibandingkan dengan individu yang merokok < 20 tahun (3,0%).

Sejalan dengan penelitian Hosseini yang menyebutkan bahwa proporsi yang mengalami kanker paru lebih besar pada kelompok yang merokok (66,5%) (Hosseini, 2014). Pada penelitian Reynolds, proporsi kasus kanker payudara lebih besar pada kelompok mantan perokok (34%) dibandingkan dengan kelompok yang masih merokok (7%) (Reynolds, 2004).

Salah satu kandungan dalam rokok adalah zat karsinogen yang dapat menjadi aktivasi metabolik sebagai perantara untuk berinteraksi dengan DNA, membentuk produk kovalen. Detoksifikasi metabolisme karsinogen dilakukan untuk mengekskresi kandungan karsinogen dalam tubuh (Hecht, 2012).

C. Frekuensi jenis Kanker

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa jenis kanker yang paling banyak adalah kanker payudara. Hal ini sesuai dengan laporan WHO tahun 2012, yang menyebutkan bahwa insiden kanker tertinggi di Indonesia adalah kanker payudara. Berdasarkan laporan tahunan di RS

Dharmais, kanker payudara merupakan jenis kanker terbanyak selama 4 tahun berturut-turut (2010-2013) di RS Dharmais (Kemenkes, 2015).

D. Frekuensi Kanker berdasarkan Status Merokok

Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa proporsi individu yang mengalami kanker serviks, lebih besar pada individu yang merokok (3,5%) dibandingkan dengan yang pernah merokok (1,8%). Proporsi pada kanker payudara lebih besar pada individu yang merokok (3,4%) dibandingkan dengan yang pernah merokok (2,0%). Proporsi kanker prostat lebih besar pada individu yang merokok (39,0%) dibandingkan dengan yang pernah merokok (28,6%). Proporsi kanker kolon juga lebih besar pada individu yang merokok (25,0%) dibandingkan dengan yang pernah merokok (18,8%). Selain itu, proporsi kanker paru&bronkus lebih besar pada individu yang merokok (32,2%) dibandingkan dengan yang pernah merokok (16,1%). Bukan hanya itu, proporsi kanker nasofaring lebih besar pada individu yang merokok (13,2%) dibandingkan dengan yang pernah merokok (10,5%).

Berdasarkan penelitian Nainggolan, proporsi kejadian kanker saluran cerna lebih besar besar pada perokok (18,5%) dibandingkan dengan yang pernah merokok (10,9%) (Nainggolan, 2009). Penelitian Gao, proporsi kanker payudara lebih besar lebih besar pada individu yang merokok (1,49%) dibanding dengan yang pernah merokok (0,90%) (Gao, 2013).

Individu yang mengalami kanker lebih banyak terjadi pada individu yang merokok, hal ini dikarenakan rokok memiliki zat karsinogen

yang dapat memicu terjadinya kanker. Karsinogen dalam rokok dapat menjadi aktifasi metabolik sebagai perantara untuk berinteraksi dengan DNA, membentuk produk kovalen. Detoksifikasi metabolisme karsinogen dilakukan untuk mengekskresi kandungan karsinogen dalam tubuh. Jika karsinogen telah mengaktifasi DNA dan bisa diperbaiki maka akan kembali ke keadaan normal. Tetapi jika tidak bisa diperbaiki, maka akan terjadi kesalahan coding, yang menyebabkan mutasi permanen dalam DNA. Sel dengan DNA yang rusak atau bermutasi dapat dihilangkan dengan apoptosis. Jika mutasi terjadi pada daerah gen penting, seperti RAS atau onkogen MYC atau TP53 atau CDKN2A gen supresor tumor, maka sel tersebut dapat kehilangan kemampuan untuk mengontol perkembangan sel normal dan berkembang menjadi tumor (Hecht, 2012).

E. Frekuensi Kanker berdasarkan Karakteristik Individu

1. Usia

Proporsi kejadian kanker serviks lebih besar pada kelompok usia 40-49 tahun (34,9%). Proporsi kejadian kanker payudara lebih besar pada kelompok usia 40-49 tahun (28,1%). Pada kanker prostat, proporsi kejadian kanker lebih besar pada kelompok usia ≥ 70 tahun (52,8%). Proporsi kanker kolon terbesar terjadi pada kelompok usia 60-69 tahun (23,4%). Pada kanker paru & bronkus, proporsi kejadian kanker terbesar pada kelompok usia 50-59 (25,8%). Sedangkan proporsi kanker nasofaring terbesar terjadi pada kelompok usia 40-49 tahun (26,3%).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indarti, usia rata-rata pada kasus kanker payudara pada penelitiannya adalah 46 tahun (Indarti, 2005). Proporsi kanker paru pada penelitian Roosihermiatie lebih besar pada kelompok usia 51-70 tahun (71,43%) (Roosihermiatie, 2012). Pada penelitan Natphopsuk proporsi penderita kanker serviks lebih besar pada kelompok yang ≥40 tahun (76,7%) dibandingkan dengan kelompok <40 tahun (Natphopsuk, 2012). Penelitian Nainggolan menunjukan proporsi terbesar kanker kolon pada usia ≥60 tahun (29,4%) (Nainggolan, 2009). Pada penelitian Gao, proporsi kanker payudara terbesar pada usia 50-59 tahun (33,9%) (Gao, 2013).

Kanker paling sering didiagnosis pada saat usia pertengahan dan lebih tua, namun sel-sel kanker tersebut dapat berkembang sejak usia muda. Sehingga, sangat penting untuk melakukan deteksi kanker sejak dini (WHO, 2015).

2. Jenis Kelamin

Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi kejadian kanker payudara lebih besar pada jenis kelamin perempuan (98,2%). Proporsi kanker kolon terbesar terjadi pada jenis kelamin laki-laki (56,2%). Pada kanker paru&bronkus, proporsi kejadian kanker terbesar pada jenis kelamin laki-laki (54,8%). Sedangkan proporsi kanker nasofaring terbesar terjadi pada jenis kelamin perempuan (55,3%).

Berdasarkan penelitian Hosseini, proporsi kanker paru lebih besar pada jenis kelamin laki-laki (73,6%) (Hosseini, 2014).

Sedangkan penelitian Roosihermiatie (2012) menunjukan bahwa proporsi kanker paru terbesar juga pada jenis kelamin laki-laki (100%). Penelitian Nainggolan menunjukan bahwa proporsi terbesar kejadian kanker kolon pada jenis kelamin perempuan (69,4%) (Nainggolan, 2009). Menurut penelitian Etzel, proporsi kejadian kanker paru lebih besar pada jenis kelamin laki-laki (53,6%) dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan (46,4%) (Etzel, 2003). Insidens kanker di Indonesia menurut laporan WHO (2012) menyebutkan bahwa pada kanker payudara pada jenis kelamin perempuan sebesar (30,5%). Kanker paru pada jenis kelamin perempuan 5,8% sedangkan pada laki-laki sebesar 18,2%. Kanker serviks sebesar 13,0% pada perempuan. Kanker prostat 9,8% pada laki-laki. Kanker kolon pada jenis kelamin perempuan 7,3% sedangkan pada laki-laki 11,5%. Kanker nasofaring pada perempuan 2,3% dan pada laki-laki 6,7%.

Jika dilihat berdasarkan status merokok, kejadian kanker lebih banyak terjadi pada perempuan yang tidak merokok dan laki-laki perokok. Hal ini sejalan dengan data riskesdas tentang jumlah perokok di Indonesia yang sebagian besar adalah laki-laki.

3. Tempat tinggal

Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa proporsi kejadian kanker serviks lebih besar di perkotaan (56,3%). Proporsi kejadian kanker payudara lebih besar di perkotaan (62,0%). Pada kanker prostat, proporsi kejadian kanker lebih besar di pedesaan (51,4%).

Tidak ada perbedaan proporsi kanker kolon baik di pedesaan maupun perkotaan. Pada kanker paru&bronkus, proporsi kejadian kanker terbesar di pedesaan (54,8%). Sedangkan proporsi kanker nasofaring terbesar terjadi di perkotaan (68,4%). Berdasarkan tempat tinggal, kanker di Indonesia lebih berisiko 1,93 kali di perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan (Oemiati, 2011).

Kejadian kanker di perkotaan lebih banyak ditemukan salah satunya dikarenakan masyarakat diperkotaan memiliki akses yang mudah terhadap pelayanan kesehatan, sehingga lebih banyak orang perkotaan yang memeriksakan kesehatannya. Selain itu banyak faktor lain yang mempengaruhi kejadian kanker di perkotaan, antara lain adalah pola makan, aktivitas fisik dan polusi di udara.

4. Aktivitas Fisik

Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa proporsi kejadian kanker serviks lebih besar pada individu dengan aktivitas fisik cukup (57,8%). Sementara, proporsi kejadian kanker payudara lebih besar pada individu dengan aktivitas fisik cukup (58,9%). Pada kanker prostat, proporsi kejadian kanker lebih besar pada individu dengan aktivitas fisik tidak cukup (55,2%). Tidak ada perbedaan proporsi kanker kolon berdasarkan aktivitas fisik. Pada kanker paru&bronkus, proporsi kejadian kanker terbesar pada individu dengan aktivitas tidak cukup (61,3%). Sedangkan proporsi kanker nasofaring terbesar terjadi pada individu dengan aktivitas fisik cukup (65,8%).

Aktivitas fisik cukup adalah aktivitas yang ≥ 600 MET/ minggu. Sedangkan aktivitas tidak cukup adalah aktivitas yang < 600 MET/ minggu. WHO merekomendasikan untuk melakukan aktivitas fisik ≥ 600 MET/minggu untuk memenuhi standar skor kecukupan minimal aktivitas fisik (WHO, 2013).

Penelitian pada pria yang melakukan aktivitas fisik dapat memproteksi 0,59 kali terhadap kejadian kanker prostat dibandingkan dengan pria yang tidak melakukan aktivitas fisik (Wilson, 2012). Selain itu, orang yang melakukan aktivitas fisik cukup dapat memproteksi kanker sebesar 0,83 kali dibandingkan dengan orang yang kurang melakukan aktivitas fisik (Oemiati, 2011). Aktivitas fisik merupakan faktor kunci dalam mencapai berat badan yang sehat. Kelebihan berat badan atau obesitas berkaitan dengan berbagai jenis kanker (WHO, 2015).

42 BAB VII

Dokumen terkait