• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 KETERKAITAN FAKTOR LINGKUNGAN DAN POTENSI HABs DI PESISIR SUMATERA SELATAN

Pendahuluan

Perairan pesisir Sumatera Selatan merupakan wilayah perairan yang banyak bermuara sungai besar yang berperan penting dalam roda kehidupan masyarakat Sumatera Selatan. Pada muara ini terjadi akumulasi aliran air dari Sungai Musi, Sungai Banyuasin dan beberapa sungai kecil di Sumatera Selatan. Pada wilayah ini dari hulu sampai hilir banyak dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai kegiatan seperti kegiatan berbagai jenis pabrik (pupuk, karet, minyak), pemukiman, kegiatan penangkapan ikan, kegiatan pertambakan, pertanian, perkebunan, jalur transportasi dan berbagai kegiatan lainnya. Kegiatan-kegiatan ini akan meningkatkan beban masukan berupa limbah pertanian, limbah domestik dan limbah industri. Hal ini akan mempengaruhi organisme dan biota yang ada di dalam perairan. Salah satunya adalah fitoplankton yang berperan sebagai produsen dalam tingkatan rantai makanan pada perairan tersebut. Apabila suatu perairan mendapat masukan nutrien yang terlalu tinggi sehingga menjadikan kondisi perairan terlalu subur (eutrofikasi), hal ini dapat menimbulkan ledakan fitoplankton yang pada akhirnya akan mengganggu ekosistem perairan. Ledakan fitoplankton ini dikenal dengan istilah Harmful Algal Bloom (HABs).

Penyebab bloom komunitas fitoplankton di perairan pesisir sejauh ini masih belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli berpendapat penyebab

blooming alga antara lain akibat aktivitas manusia, masukan nutrien antropogenik

yang berlebih (Panggabean (1994); Anderson et al. 2002; Sellner et al.2003; Pednekar et al. 2012) dan termasuk kemungkinan pengaruh perubahan iklim global (Anderson et al. 2002). Lebih lanjut beberapa ahli menyatakan bahwa keberadaan spesies HABs berkaitan dengan kondisi cuaca yang mempengaruhi parameter perairan seperti salinitas, suhu, arus, konsentrasi nutrien, pola musim, dan juga geomorfologi suatu wilayah (Tan et al. 2006 dan Tilstone et al. 1994

dalam Pednekar et al. 2012).

Di pesisir Sumatera Selatan, berdasarkan hasil penelitian Aryawati et al. (2005) ditemukan beberapa jenis fitoplankton potensial HABs. Jenis Fitoplankton tersebut adalah Ceratium sp dengan total kelimpahan 476 sel.m-3, Pseudonitzschia 1.103 sel.m-3 dan yang tertinggi adalah jenis Skeletonema sp dengan kelimpahan 1.106 sel.m-3. Pada saat itu kandungan nutrien yang terukur adalah sebesar 0.015 – 0.145 mg.L-1 (nitrat) dan 0,003 – 0,054 mg.L-1 (fosfat), suhu berkisar 29-32°C dan faktor lingkungan yang lain masih mendukung untuk pertumbuhan fitoplankton. Penelitian Isnaini et al. (2011) pada perairan Muara Banyuasin yang dilakukan pada tahun 2005 dijumpai salah satu jenis fitoplankton penyebab HABs yakni jenis Gonyoulax sp dan kelimpahan tertinggi diatom yang ditemukan dari seluruh stasiun pengamatan pada kedua musim yaitu genera Skeletonema sebesar 3.105 sel.m-3 pada musim peralihan I dan pada musim timur 2.106 sel.m-3. Konsentrasi nitrat pada musim peralihan I berkisar antara 0,608-1,487 mg.L-1 dan pada musim timur konsentrasi nitrat berkisar antara 0,115-0,496 mg.L-1. Konsentrasi fosfat pada musim peralihan I berkisar antara 0,0-0,06 mg.L-1, sedangkan konsentrasi fosfat pada musim timur sangat tinggi dibandingkan pada musim peralihan I berkisar antara 0,0-10,644 mg.L-1.

Hasil penelitian Surbakti et al. (2011) ditemukan juga beberapa jenis fitoplankton yang berpotensi mengakibatkan HABs, ada dua jenis diatom berpotensi HABs (Pseudonitszchia dan Skeletonema) dan empat jenis dinoflagellata toksik yaitu Ceratium, Dinophysis, Gymnodinium dan Pyrodinium. Konsentrasi nitrat terendah yang terukur pada penelitian ini 2,8 mg.L-1, fosfat berkisar antara 0,01 – 2,25 mg.L-1, dan konsentrasi ammonia 0–0,05 mg.L-1.

Penelitian-penelitian sebelumnya umumnya dilakukan pada bulan tertentu saja, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian secara temporal untuk mendapatkan informasi secara lengkap tentang kemungkinan blooming fitoplankton (HABs) di perairan ini dikaitkan dengan faktor lingkungan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi pengelolaan wilayah pesisir, khususnya potensi blooming fitoplankton di perairan pesisir Sumatera Selatan sehingga dapat dilakukan tindakan-tindakan yang diperlukan agar tidak terjadi dampak merugikan bagi manusia dan lingkungan perairan pesisir.

Bahan dan Metode

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di perairan pesisir Sumatera Selatan selama 12 bulan, Maret 2013 sampai Februari 2014. Pemilihan stasiun dilakukan secara

purposive random sampling yaitu metode pengambilan sampel dengan

menentukan stasiun secara acak dengan memilih daerah yang mewakili lokasi penelitian. Stasiun penelitian sebanyak 10 stasiun yang meliputi daerah muara sungai yang banyak mendapat pengaruh sungai dan daerah yang banyak mendapat pengaruh dari laut sehingga diharapkan seluruh lokasi penelitian dapat terwakili (Gambar 1).

Teknik Pengambilan dan Analisa Sampel

Pengambilan contoh fitoplankton mengacu pada Mulyani et al. (2012). Contoh fitoplankton diambil secara vertikal pada kedalaman 2 m hingga ke permukaan dengan menggunakan jaring plankton dengan diameter bukaan mulut jaring 30 cm, panjang 100 cm dan ukuran mata jaring 30 μm. Contoh plankton yang diperoleh disimpan dalam botol sampel (250 ml) dan diberi larutan pengawet formaldehyde hingga konsentrasi formaldehyde dalam botol contoh mencapai 4% (Edler & Elbrachter 2010).

Fitoplankton diamati di bawah mikroskop dengan menggunakan Sedgwick

rafter counting cell (SRCC), dan diidentifikasi jenis-jenis alga plankton

berdasarkan buku identifikasi alga plankton (Yamaji 1966; Newell & Newell 1977; Tomas 1997). Kelimpahan ditentukan menurut formulasi APHA (1992).

Pada saat pengambilan sampel juga dilakukan pengukuran parameter oseanografi secara in situ seperti suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut (DO) dan turbiditas menggunakan CTD, arah dan kecepatan arus menggunakan current

meter. Selain itu diambil sampel air laut untuk pengukuran kandungan nitrat,

fosfat dan silikat di laboratorium. Sampel air diperoleh dengan menggunakan

water sampler pada bagian permukaan air. Sampel air yang didapat kemudian

disimpan dalam coolbox yang telah berisi es batu sebagai pengawet sampel. Sampel air kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis kandungan nitrat, fosfat dan silikat. Pengukuran konsentrasi nitrat, fosfat dan silikat dilakukan dengan metode spektrofotometri (SNI 2004).

Analisis Data

Data yang telah diperoleh meliputi jenis dan kelimpahan HAB serta faktor fisika kimia perairan ditampilkan dalam bentuk tabel dengan bantuan perangkat lunak MS Excel. Karakteristik parameter fisik-kimia perairan, jenis dan kelimpahan HABs pada setiap lokasi dan waktu pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis koresponden (CA) (Bengen 2000), yang diolah menggunakan Xlstat 2014. Analisis diskriminan digunakan untuk melihat faktor pembeda antara kondisi pasang dan surut secara spasial dan temporal menggunakan SPSS 18.

Hasil dan Pembahasan

Nilai parameter fisika kimia perairan pada penelitian ini tergolong bervariasi (Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 9), hal ini terkait dengan faktor letak stasiun pengamatan (muara sungai dan laut) dan faktor musim pada saat penelitian. Secara umum faktor-faktor lingkungan ini masih mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan fitoplankton. Sebaran karakteristik fisika- kimia air (Gambar 23 dan 24) dan kelimpahan HABs (Gambar 27 dan 28) pada setiap stasiun pengamatan saat pasang dan surut dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA).

Keterkaitan antara parameter fisika-kimia perairan dengan kelimpahan genus fitoplankton di perairan pesisir Sumatera Selatan pada setiap lokasi (stasiun) dan waktu (bulan) pengamatan diterangkan dengan CA (correspondence

analysis). Hasil CA disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 29 dan 30.

Gambar tersebut menunjukkan hubungan antara setiap jenis fitoplankton dengan parameter fisika-kimia perairan berdasarkan 2 (dua) axis. Secara bersama-sama axis 1 dan axis 2 dapat menerangkan varian data sebesar 93,35% dari varian total pada saat pasang dan sebesar 84,47% pada saat surut. Secara umum, hasil CA terlihat memiliki perbedaan pada saat pasang dan surut.

Analisis diskriminan digunakan untuk melihat apakah ada perbedaan antara kondisi pasang dan surut secara spasial dan temporal, jika ada, parameter apakah yang menjadi pembeda pada masing-masing kondisi tersebut.

Keterkaitan faktor lingkungan dan kelimpahan fitoplankton potensial HABs pada saat pasang

Pada saat pasang hubungan antar parameter lingkungan dengan kelimpahan HABs terlihat memiliki pola, sedangkan pada saat surut terlihat pola yang mengelompok di satu titik. Genera Prorocentrum, Bacteriastrum dan Microcystis terlihat berada jauh dari titik pusat yang menandakan bahwa genera ini tidak terlalu dipengaruhi oleh parameter perairan pada saat pasang.

Pada saat pasang (Gambar 29), terlihat bahwa kelimpahan dari genus

Skeletonema sangat dipengaruhi oleh silikat dan arus yang tinggi, nitrat, fosfat

dan pH yang rendah. Soedibjo (2007) menyatakan bahwa silikat mempunyai hubungan positif dengan kelimpahan Skeletonema sp di perairan Teluk Jakarta, yang disebabkan oleh keadaan silikat yang dipasok dari darat melalui aliran sungai. Huo dan Shou (2005) menyatakan bahwa silikat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi blooming Skeletonema costatum.

Pertumbuhan genera Anabaena dan Chaetoceros terlihat sangat dipengaruhi oleh salinitas, kekeruhan dan silikat yang rendah, suhu, pH, DO, fosfat dan nitrat yang tinggi. Noctiluca dipengaruhi oleh salinitas yang tinggi dan arus yang lemah. Genera yang lain umumnya dipengaruhi oleh suhu dan DO yang rendah dan salinitas yang tinggi. Kelompok dinophyceae masuk dalam kategori kelompok yang terakhir, karena umumnya dinophyceae merupakan fitoplankton yang memiliki habitat di perairan laut.

Gambar 29. Hasil analisis koresponden (CA) genera fitoplankton potensial HABs dengan parameter fisika-kimia perairan pada setiap stasiun dan waktu pengamatan pada saat pasang di perairan pesisir Sumatera SelatanSke = Skeletonema, Cha= Chaetoceros, Rhi = Rhizosolenia, Nit = Nitzschia, Ana = Anabaena, Sira= Thallasiosira, Thrix =

Thalassiothrix, Prot = Protoperidinium, Bac = Bacteriastrum, Osc=

Oscillatoria, Cer = Ceratium, Cos = Coscinodiscus, Noc= Noctiluca,

Pror = Prorocentrum, Dyt = Dytilum, Odo = Odontela, Ale =

Alexandrium, Din = Dinophysis, Mic = Microcystis. Sh0 = Suhu<

28,871 psu, Sh1 = Suhu >28, 871, Sa0 = Salinitas < 18,231 psu, Sa1 = Salinitas>18,231, pH0 = pH<7,67, pH1=pH>7,67, Do0 = DO<5,897, DO1 = DO>5,897, Ke0 = Kekeruhan<19,777, Ke1 = Kekeruhan >19,777, Ar0 = Kecepatan arus<0,247, Ar1 = Kecepatan arus>0,247, Ni0 = Nitrat<1,657, Ni1>Nitrat 1,657, Fo0 = Fosfat<0,514, Fo1 = Fosfat>0,514, Si0 = Silikat<0,090, Si1=Silikat>0,090 Sh0 Sh1 Sa0 Sa1 Ar0 Ar1 pH0 pH1 DO0 DO1 Ke0 Ke1 Ni0 Ni1 Fo0 Fo1 Si0 Si1 Bac Cha Cos Dyt Nit Odo Rhi Ske Sira Thrix Ale Cer Din Noc Pror Prot Ana Mic Osc -0.5 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0 0.1 0.2 -0.6 -0.5 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1 -1E-15 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 F 2 (8,41 % ) F1 (84,94 %) Symmetric plot (axes F1 and F2: 93,35 %)

Keterkaitan faktor lingkungan dan kelimpahan fitoplankton potensial HABs pada saat surut

Pada saat surut (Gambar 30), hampir semua genera fitoplankton tidak terlihat dipengaruhi secara khusus oleh salah satu faktor lingkungan tertentu, semua parameter secara bersama-sama mempengaruhi kelimpahan fitoplankton. Kelimpahan Skeletonema khususnya dipengaruhi oleh konsentrasi nitrat, fosfat dan silikat yang tinggi, serta suhu, salinitas, pH dan DO yang rendah. Kelimpahan

Chaetoceros dan Noctiluca sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, pH dan DO

yang tinggi serta nitrat, fosfat, silikat yang rendah dan arus yang lemah. Genera

Prorocentrum dan Microcystis terlihat berada jauh dari titik pusat yang

menandakan bahwa genera ini tidak terlalu dipengaruhi oleh parameter perairan pada saat surut.

Gambar 30. Hasil analisis koresponden (CA)genera fitoplankton potensial HABs dengan parameter fisika-kimia perairan pada setiap stasiun dan waktu pengamatan pada saat surut di perairan pesisir Sumatera Selatan, Ske = Skeletonema, Cha= Chaetoceros, Rhi = Rhizosolenia, Nit = Nitzschia, Ana = Anabaena, Sira= Thallasiosira, Thrix =

Thalassiothrix, Prot = Protoperidinium, Bac = Bacteriastrum, Osc=

Oscillatoria, Cer = Ceratium, Cos = Coscinodiscus, Noc= Noctiluca,

Pror = Prorocentrum, Dyt = Dytilum, Odo = Odontela, Ale =

Alexandrium, Din = Dinophysis, Mic = Microcystis. Sh0 = Suhu<

29,060 psu, Sh1 = Suhu >29,060, Sa0 = Salinitas < 15,220 psu, Sa1 = Salinitas>15,220, pH0 = pH<7,26, pH1=pH>7,26, Do0 = DO<5,727, DO1 = DO>5,727 Ke0 = Kekeruhan<30, Ke1 = Kekeruhan antara 30-75, Ke2 = Kekeruhan>75, Ar0 = Kecepatan arus<0,186, Ar1 = Kecepatan arus>0,186, Ni0 = Nitrat<1,565, Ni1>Nitrat 1,565, Fo0 = Fosfat< 0,520, Fo1 = Fosfat>0,520, Si0 = Silikat<0,184, Si1=Silikat>0,184 Sh0 Sh1 Sa0 Sa1 Ar0 Ar1 pH0 pH1 DO0 DO1 Ke0 Ke1 Ke2 Ni0 Ni1 Fo0 Fo1 Si0 Si1 Bac Cha Cos Dyt Nit Odo Rhi Ske Sira Thrix Cer Din Noc Pror Prot Ana Mic Osc -0.6 -0.4 -0.2 -1E-15 0.2 0.4 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 F 2 (14,01 %) F1 (70,46 %) Symmetric plot (axes F1 and F2: 84,47 %)

Keterkaitan faktor lingkungan, kelimpahan Chaetoceros, Skeletonema dan

Noctiluca pada saat pasang dan surut secara spasial

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa genera Chaetoceros dan

Skeletonema memiliki kelimpahan yang tinggi untuk kelas diatom

(Bacillariophyceae) dan Noctiluca untuk kelas Dinophyceae. Analisis diskriminan menunjukkan bahwa terdapat parameter pembeda pada kondisi pasang dan surut secara spasial (Tabel 9).

Tabel 9. Wilks lambda

Test of Function(s) Wilks' Lambda Chi-square df Sig.

1 ,072 23,724 12 ,022

Pada Tabel 9 terlihat terdapat perbedaan rata-rata parameter perairanantara kondisi pasang dan surut pada taraf nyata (α) < 0,05 . Selain itu dapat dilihat dari hasil tabel Test of Equality of Group Means (Tabel 10) mengenai perbedaan signifikan antar kondisi pasang dan surut pada setiap parameter perairan yang diamati.

Tabel 10. Tests of Equality of Group Means

Wilks' Lambda F df1 df2 Sig.

Nitrat ,991 ,138 1 15 ,715 Fosfat ,987 ,197 1 15 ,663 Silikat ,527 13,465 1 15 ,002 pH ,673 7,292 1 15 ,016 DO ,987 ,191 1 15 ,668 Salinitas ,900 1,657 1 15 ,217 Kekeruhan ,693 6,642 1 15 ,021 Arus ,694 6,606 1 15 ,021 Suhu ,179 68,838 1 15 ,000 Chaetoceros ,849 2,668 1 15 ,123 Skeletonema ,642 8,355 1 15 ,011 Noctiluca ,972 ,438 1 15 ,518

Tabel 10 memperlihatkan bahwa silikat, pH, kekeruhan, arus, suhu, dan

Skeletonema memiliki P-value < 0,05 berarti bahwa kondisi pasang sangat

berbeda dengan kondisi surut. Terdapat enam peubah yang signifikan berbeda antar kelompok. Salinitas merupakan pembeda pada tingkat kepercayaan 75%

dan Chaetoceros pembeda pada tingkat kepercayaan 80%.

Tabel 11. Eigenvalues

Function Eigenvalue % of Variance Cumulative % Correlation Canonical

1 12,957a 100,0 100,0 ,964

Pada Tabel 11 terlihat nilai canonical correlation sebesar 0,964, bila dikuadratkan menjadi 0,9293; artinya 92,93% varians dari variabel dependen dapat dijelaskan dari model diskriminan yang terbentuk.

Tabel 12. Functions at Group Centroids

Pasut Function

1

Pasang 2,829

Surut -4,041

Grup centroid merupakan rata-rata nilai diskriminan dari tiap-tiap observasi di dalam masing-masing kelompok. Grup centroid untuk kelompok pasang adalah sebesar 2,829, sedangkan untuk kelompok surut adalah sebesar -4,041. Ini berarti bahwa secara rata-rata skor diskriminan kedua kelompok berbeda cukup besar, sehingga fungsi diskriminan yang diperoleh dapat membedakan secara baik kelompok yang ada.

Berdasarkan analisis diskriminan terlihat bahwa kondisi surut berbeda dengan kondisi pasang, khususnya untuk parameter suhu, kekeruhan, silikat,

Skeletonema, dan Chaetoceros, memiliki nilai-nilai yang lebih tinggi pada saat

surut sedangkan arus, salinitas dan pH memiliki nilai yang lebih tinggi pada saat pasang. Pada Gambar 2 terlihat bahwa suhu pada saat surut lebih tinggi daripada pasang. Hal ini karena pada saat surut massa air lebih banyak berasal dari masukan air sungai yang biasanya memiliki suhu yang lebih tinggi dari air laut umumnya. Selain itu proses pemanasan di perairan lebih optimal terjadi pada saat surut karena massa air yang lebih sedikit dibanding saat pasang. Suhu umumnya menjadi penciri di stasiun 1, 3 dan 9 pada saat surut (Gambar 24). Stasiun-stasiun ini merupakan stasiun yang dekat dengan muara yang umumnya memiliki suhu lebih tinggi karena dekat dengan daratan.

Salinitas dan pH memiliki nilai yang lebih tinggi pada saat pasang dan menjadi penciri di stasiun 7 (Gambar 23). Stasiun 7 merupakan stasiun yang terletak paling jauh dari muara sungai, sehingga salinitas dan pHnya menjadi paling tinggi di antara stasiun-stasiun lainnya. Kekeruhan menjadi pembeda juga pada kondisi pasang dan surut. Pada saat surut kekeruhan lebih tinggi dibanding pasang (Gambar 6). Tingginya tingkat kekeruhan di daerah ini disebabkan oleh banyaknya masukan dari daratan dan juga landainya daerah ini yang mengakibatkan terangkatnya sedimen dasar perairan pada saat terjadi turbulensi. Hasil analisis PCA terlihat bahwa kekeruhan menjadi penciri pada stasiun 9 dan 10 (Gambar 24). Stasiun 9 merupakan stasiun yang paling dangkal sehingga proses pengadukan dan terangkatnya sedimen dasar ke perairan lebih sering terjadi, sedangkan stasiun 10 berada di muara sungai yang banyak mendapatkan masukan dari sungai yang membawa partikel-partikel halus. Kecepatan arus juga berbeda pada saat pasang dan surut. Arus terlihat lebih tinggi pada saat pasang. Saat surut konsentrasi silikat lebih tinggi dibandingkan saat pasang (Gambar 18) dan silikat dijumpai tinggi pada stasiun 10 (Gambar 18). Skeletonema dan

Chaetoceros terlihat memiliki kelimpahan lebih tinggi pada saat surut

dibandingkan saat pasang dan menjadi penciri di stasiun 3, 6 dan 7 pada saat surut (Gambar 28).

Keterkaitan faktor lingkungan, kelimpahan Chaetoceros, Skeletonema dan

Hasil analisis diskriminan parameter perairan pada kondisi pasang dan surut secara temporal menunjukkan terdapat perbedaan parameter perairan dengan tingkat kepercayaan sebesar 65 % (Tabel 13). Parameter perairan yang dapat digunakan sebagai pembeda yaitu, fosfat dan pH yang memiliki tingkat kepercayaan sebesar 90%, Chaetoceros 80% dan kekeruhan 75% (Tabel 14).

Tabel 13. Wilks' Lambda

Test of Function(s) Wilks' Lambda Chi-square df Sig.

1 ,111 2,202 2 ,333

Tabel 14. Tests of Equality of Group Means

Wilks' Lambda F df1 df2 Sig.

Nitrat ,984 ,032 1 2 ,874 Fosfat ,111 16,000 1 2 ,057 Silikat ,522 1,835 1 2 ,308 pH ,108 16,452 1 2 ,056 DO ,998 ,004 1 2 ,955 Salinitas 1,000 ,001 1 2 ,979 Kekeruhan ,383 3,228 1 2 ,214 Arus ,538 1,714 1 2 ,321 Suhu ,626 1,194 1 2 ,389 Chaetoceros ,321 4,234 1 2 ,176 Skeletonema ,641 1,121 1 2 ,401 Noctiluca ,637 1,139 1 2 ,398 Tabel 15. Eigenvalues

Function Eigenvalue % of Variance Cumulative % Correlation Canonical

1 8,040a 100,0 100,0 ,943

Nilai canonical correlation sebesar 0,943 (Tabel 15), bila dikuadratkan menjadi 0,8893; artinya 88,93% varians dari variabel dependen dapat dijelaskan dari model diskriminan yang terbentuk.

Tabel 16. Functions at Group Centroids

Pasut Function

1

Pasang -1,158

Surut 3,473

Grup centroid merupakan rata-rata nilai diskriminan dari tiap-tiap observasi di dalam masing-masing kelompok. Tabel 16 memperlihatkan bahwa grup centroid untuk kelompok pasang adalah sebesar -1,158, sedangkan untuk kelompok surut adalah sebesar 3,473. Ini berarti bahwa secara rata-rata skor diskriminan kedua kelompok berbeda cukup besar, sehingga fungsi diskriminan yang diperoleh dapat membedakan secara baik kelompok yang ada.

Pada pengamatan kondisi pasang dan surut secara temporal terlihat bahwa kondisi pasang berbeda dengan kondisi surut, khususnya untuk parameter fosfat, pH, kekeruhan dan Chaetoceros. Kekeruhan, fosfat, dan Chaetoceros memiliki nilai-nilai yang lebih tinggi pada saat surut sedangkan pH terlihat tinggi pada saat pasang.

Kekeruhan menjadi pembeda pada kondisi pasang dan surut. Pada saat surut kekeruhan lebih tinggi dibanding pasang (Gambar 7). Umumnya bila dilihat variasi temporal konsentrasi fosfat lebih tinggi saat surut dibandingkan saat pasang (Gambar 17). Chaetoceros terlihat memiliki kelimpahan lebih tinggi pada saat surut dibandingkan saat pasang dan menjadi penciri di stasiun 3, 6 dan 7 pada bulan Juli, Agustus dan September (Gambar 28). pH umumnya memiliki nilai yang lebih tinggi pada saat pasang ( Gambar 9) dan menjadi penciri di stasiun 7 bulan Agustus, Oktober dan November (Gambar 23).

Potensi HABs di perairan pesisir Sumatera Selatan

Penelitian ini dilakukan di pesisir Sumatera selatan yang merupakan wilayah estuari, yang sebagian tertutup, tempat air tawar dan air laut bertemu dan bercampur. Estuari di wilayah ini didominasi oleh substrat berlumpur (Afandi dan Surbakti 2012). Substrat berlumpur ini merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Di antara partikel yang mengendap di estuari kebanyakan bersifat organik. Bahan ini menjadi cadangan makanan yang besar bagi organisme estuari (Dahuri et al. 1996). Keberadaan substrat berlumpur di estuari dapat mempengaruhi tingkat kekeruhan perairan yang berakibat adanya variasi produktivitas fitoplankton. Jumlah organisme yang menghuni estuari jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan laut. Sedikitnya jumlah spesies ini disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, sehingga hanya beberapa spesies saja yang mampu bertahan hidup di estuari.

Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa potensi HABs dapat terjadi di seluruh lokasi penelitian khususnya untuk genera Chaetoceros dan Skeletonema serta Noctiluca di stasiun 1. Kemungkinan blooming Chaetoceros dan

Skeletonema dapat terjadi pada bulan Juli hingga September, sedangkan Noctiluca

dapat terjadi pada bulan November. Soedibjo (2007) menyatakan bahwa kelimpahan Skeletonema seirama dengan Chaetoceros yang mengindikasikan bahwa kedua jenis ini secara bersamaan memanfaatkan nutrisi dengan laju yang relatif sama. Penelitian Widiarti (2000) memiliki kemiripan pola suksesi fitoplankton dengan penelitian ini. Pada penelitian Widiarti (2000) pola suksesi dimulai dari Skeletonema dan Chaetoceros pada awal penelitian (Agustus),

Pyrodinium pada tengah penelitian (Oktober) dan Chaetoceros pada akhir

penelitian (November).

Genera fitoplankton yang sangat potensial menimbulkan HABs pada penelitian ini adalah Chaetoceros, Skeletonema dan Noctiluca. Kelimpahan

Skeletonema sangat dipengaruhi oleh konsentrasi nitrat, fosfat dan silikat yang

tinggi, serta suhu, salinitas, pH dan DO yang rendah. Kelimpahan Chaetoceros

dan Noctiluca sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, pH dan DO yang tinggi

serta nitrat, fosfat, silikat yang rendah dan arus yang lemah. Soedibjo (2007) menyatakan bahwa Skeletonema mempunyai hubungan yang positif dengan kadar silikat dan suhu akan tetapi berhubungan negatif dengan salinitas. Mohamed dan Mesaad (2007) menyatakan bahwa Noctiluca scintillans berkorelasi negatif

dengan nitrat, fosfat dan silikat tetapi berkorelasi positif dengan amonium. Sebaliknya, kelimpahan fitoplankton yang lain berkorelasi positif dengan nitrat, fosfat dan silikat tetapi negatif dengan ammonia.

Perbedaan kondisi pasang dan surut sangat mempengaruhi kelimpahan

Chaetoceros dan Skeletonema,danberpengaruh sedikit pada kelimpahan

Noctiluca. Hasil analisis diskriminan menunjukkan bahwa kelimpahan

Chaetoceros dan Skeletonema saat surut lebih tinggi dibandingkan saat pasang

dan menjadi penciri di stasiun 3, 6 dan 7 untuk bulan Juli, Agustus dan September.

Simpulan

Chaetoceros, Skeletonema dan Noctiluca merupakan tiga genera yang

sangat berpotensi blooming di perairan ini pada waktu-waktu tertentu.

Chaetoceros dan Skeletonema dijumpai memiliki kelimpahan yang tinggi pada

bulan Juli hingga September sedangkan Noctiluca pada bulan November.

Saat pasang kelimpahan Skeletonema sangat dipengaruhi oleh silikat dan arus yang tinggi, nitrat, fosfat dan pH yang rendah. Chaetoceros sangat dipengaruhi oleh salinitas, kekeruhan dan silikat yang rendah, suhu, pH, DO, fosfat dan nitrat yang tinggi. Noctiluca dipengaruhi oleh salinitas yang tinggi dan arus yang lemah. Saat surut kelimpahan Skeletonema dipengaruhi oleh konsentrasi nitrat, fosfat dan silikat yang tinggi, serta suhu, salinitas, pH dan DO yang rendah. Kelimpahan Chaetoceros dan Noctiluca sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas,

Dokumen terkait