• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi penelitian secara umum merupakan daerah estuaria yang memiliki karakteristik lingkungan yang sangat kompleks. Wilayah ini memiliki peranan yang sangat penting bagi ekosistem di sekitarnya. Umumnya wilayah estuaria merupakan daerah yang kaya akan sumber makanan dan habitat biota yang bersifat katadromus dan anadromus. Begitu besarnya peranan wilayah estuaria ini maka perlu diperhatikan agar kondisi lingkungannya selalu terjaga dengan baik.

Pada penelitian ini suhu permukaan di lokasi penelitian berkisar antara 27,325 – 32,980°C (surut) dan 27,602-31,871°C (pasang). Pada saat surut suhu lebih tinggi daripada saat pasang. Hal ini karena pada saat surut massa air lebih banyak berasal dari masukan air sungai yang biasanya memiliki suhu yang lebih tinggi dari air laut umumnya. Selain itu proses pemanasan di perairan lebih optimal terjadi pada saat surut karena massa air yang lebih sedikit dibanding saat pasang. Bila ditinjau dari pengamatan setiap bulannya, secara umum suhu tinggi pada musim kemarau dan penghujan dan menurun pada musim peralihan. Kondisi suhu di perairan ini baik untuk pertumbuhan fitoplankton.

Salinitas pada lapisan permukaan saat penelitian berkisar antara 0,085 – 32.629 psu (surut) dan 0,095-33,051 psu (pasang). Secara umum kondisi salinitas di pesisir Sumatera Selatan memiliki nilai sedikit lebih tinggi pada saat pasang dibandingkan saat surut. Pada saat pasang perairan banyak dipengaruhi oleh massa air dari laut yang bersalinitas tinggi sehingga kondisi perairan memiliki salinitas yang lebih tinggi di saat pasang dibandingkan saat surut yang banyak mendapat pengaruh dari massa air sungai. Firdaus et al (2015) mendapatkan kondisi yang sama di perairan muara Sungai Banyuasin, salinitas pada saat pasang sedikit lebih tinggi dibandingkan saat surut.

Nilai turbiditas pada permukaan perairan pesisir Sumatera Selatan berkisar antara 11,061-418,205 NTU (surut) dan 0,163-228,145 NTU (pasang). Pada saat surut dijumpai kondisi yang lebih keruh dibanding saat pasang, hal ini karena pengaruh material yang berasal dari daratan dan adanya pengadukan dari dasar perairan karena kondisi yang lebih dangkal dibanding pada saat pasang. Besarnya nilai turbiditas menunjukkan tingkat kekeruhan yang tinggi, hal ini mengandung pengertian bahwa di daerah muara sungai mempunyai tingkat kekeruhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Tingginya tingkat kekeruhan di daerah muara sungai ini disebabkan oleh banyaknya masukan dari daratan dan juga landainya daerah ini yang mengakibatkan terangkatnya sedimen dasar perairan pada saat terjadi turbulensi.

Nilai pH berkisar antara 5,847-8,977 (surut) dan 6,120-8,980 (pasang). Secara umum pH dijumpai sedikit lebih tinggi pada saat pasang, karena pengaruh masuknya air laut yang bersifat basa. Umumnya pH di perairan laut dan pesisir berkisar antara 7,70-8,4. Nilai pH pada penelitian ini memiliki kemiripan dengan nilai pH di beberapa wilayah perairan Indonesia (Soedibjo 2006; Prianto et al. 2013).

Kadar DO yang terukur pada penelitian ini berkisar antara 2,630-8,740 mg.L-1 (surut) dan 3,490-8,217 mg.L-1 (pasang). Nilai ini menurut Wardana (1995) masih cukup mendukung kehidupan organisme perairan secara normal karena memiliki nilai lebih dari 2 mg.L-1. Hasil ini juga memiliki kemiripan

dengan penelitian yang dilakukan di perairan Indonesia (Sembiring et al. 2012). Oksigen di perairan bersumber baik melalui difusi dari udara maupun dari hasil proses fotosintesis oleh organisme nabati, seperti fitoplankton dan tumbuhan air lainnya di zona eufotik. Oksigen dikonsumsi oleh tumbuhan dan hewan secara terus-menerus selama aktivitas respirasi. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kadar oksigen terlarut dalam air laut adalah masuknya limbah yang dalam proses penguraiannya banyak membutuhkan oksigen. Limbah jenis ini umumnya berasal dari kegiatan-kegiatan penduduk.

Arus sangat mempengaruhi sebaran dari fitoplankton. Ukuran fitoplankton yang sangat kecil mengakibatkan pergerakannya sangat tergantung pada pergerakan air (Romimohtarto dan Juwana 2004). Arah dan kecepatan arus pada perairan ini sangat bervariasi, mulai dari mulut sungai sampai dengan daerah perairan lepas. Kecepatan arus permukaan baik pada saat pasang maupun surut, memiliki nilai antara 0,029-0,945m.det-1 (surut) dan antara 0,009-1-141 m.det-1 (pasang). Kecepatan arus yang tinggi dijumpai pada daerah sekitar muara sungai. Pada daerah muara sungai, besarnya arus yang mengalir ini kemungkinan karena derasnya aliran sungai yang masuk ke perairan muara sungai.Arah arus permukaan pada daerah muara umumnya mengikuti arah alur sungai.

Konsentrasi nitrat yang diperoleh selama penelitian, memiliki nilai antara 0,110-3,190 mg.L-1 (surut) dan 0,640-3,980 mg.L-1 (pasang). Berdasarkan keputusan MENLH No.51 Tahun 2004, baku mutu konsentrasi nitrat air laut yang layak untuk kehidupan biota laut adalah 0,008 mg.L-1. Hal ini dapat diartikan bahwa konsentrasi nitrat dalam penelitian ini jauh lebih tinggi atau berada di atas baku mutu. Data ini mengindikasikan bahwa perairan ini mengalami tekanan berupa pengkayaan nitrogen atau nitrat. Konsentrasi nitrat terlihat tinggi pada bulan Agustus dan September untuk stasiun 1, 2, 3, 6 dan 7 dan bulan November- Desember untuk stasiun 2, 4, 5, 6, 7, 8 dan 10. Tingginya nitrat di perairan ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh masukan massa air dari beberapa sungai yang bermuara yang banyak membawa zat hara nitrat. Hal ini mirip dengan penelitian yang dilakukan Risamasu dan Prayitno (2011) di perairan Kepulauan Matasiri, Kalimantan Selatan yang menyimpulkan bahwa konsentrasi nitrat di perairan ini sangat tinggi dan melebihi ambang batas yang diperbolehkan (baku mutu). Tingginya konsentrasi nitrat ini mengindikasikan terjadinya pengkayaan nitrogen dan sebagian besar dipengaruhi oleh masukan massa air Sungai Barito yang membawa senyawa nitrogen dari daratan keperairan laut. Konsentrasi nitrat yang tinggi ditemukan juga pada beberapa wilayah perairan di Indonesia. Penelitian Pirzan dan Pong-Masak (2008) di perairan Pulau Bauluang, Takalar Sulawesi selatan menjumpai konsentrasi nitrat sebesar 1,37±0,008 mg.L-1. Rokhim et al. (2009) mendapatkan kandungan nitrat di perairan Kwanyar, Bangkalan sebesar 1,49-1,64 mg.L-1. Isnaini et al. (2014a) juga mendapatkan kandungan nitrat yang tinggi di perairan sekitar Pulau Maspari, Ogan Ilir Sumatera Selatan sebesar 1-2,1mg.L-1. Handoko et al. (2013) melakukan penelitian di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah dan menunjukkan bahwa nitrat mempunyai nilai sebaran antara 0.108-1.595 mg.L-1.

Konsentrasi fosfat yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 0,030-1,660 mg.L-1 (surut) dan 0,020-1,110 mg.L-1 (pasang). Keputusan MENLH No.51 Tahun2004, disebutkan bahwa baku mutu konsentrasi maksimum fosfat yang layak untuk kehidupan biota laut adalah 0,015 mg.L-1. Dengan demikian

secara umum kondisi fosfat di perairan pesisir Sumatera Selatan tergolong tinggi. Apabila dibandingkan dengan wilayah perairan Indonesia lainnya, konsentrasi fosfat di wilayah ini lebih tinggi dibandingkan perairan Takalar, Sulawesi Selatan 0,319-0,336 mg.L-1 (Pirzan dan Pong-masak 2008) dan perairan Kwanyar, Bangkalan sebesar 0,05-0,96 mg.L-1 (Rokhim et al. 2009). Tetapi apabila dibandingkan dengan perairan Kepulauan Karimunjawa Jawa Tengah, kandungan fosfat di perairan pesisir Sumatera Selatan ini lebih kecil, Handoko et al. (2013) mendapatkan nilai konsentrasi fosfat di Karimunjawa sebesar 1.769-4.030 mg.L-1.

Kandungan silikat di perairan pesisir Sumatera Selatan pada saat penelitian dilakukan berkisar antara 0,001-0,660 mg.L-1 (surut) dan 0,001-0,430 mg.L-1 (pasang). Hasil ini mirip dengan penelitian yang dilakukan Tambaru (2008) di perairan pesisir Maros Sulawesi Selatan, tetapi lebih kecil bila dibandingkan dengan penelitian Simanjuntak (2007) di Teluk Jakarta. Secara temporal konsentrasi silikat terlihat lebih tinggi pada akhir musim kemarau hingga awal musim penghujan (Gambar 19). Hasil ini mirip dengan penelitian yang dilakukan Lukman et al. (2014) di perairan pesisir Sulawesi Selatan. Jika dibandingkan secara temporal secara umum konsentrasi silikat pada musim kemarau lebih rendah dari musim hujan. Hal ini terjadi sebab beban mengalami peningkatan dalam musim hujan.

Pengukuran kandungan bahan organik di perairan pesisir Sumatera Selatan menunjukkan bahwa pada bulan April dan Juli memiliki konsentrasi bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan pada bulan Oktober dan Januari. Hal ini sesuai pendapat Suhartono (2004). Kandungan bahan organik pada perairan ini dijumpai lebih tinggi pada saat musim kemarau daripada musim penghujan.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa variasi parameter perairan pada penelitian ini tergolong besar, hal ini terkait dengan faktor letak stasiun pengamatan (muara sungai dan laut) dan faktor musim pada saat penelitian. Hasil analisis PCA memperlihatkan bahwa pada saat pasang, salinitas, fosfat dan pH menjadi penciri pada stasiun 7. Kekeruhan, nitrat dan silikat menjadi penciri pada stasiun 9. Pada saat surut hasil analisis komponen utama menunjukkan suhu menjadi penciri di stasiun 1, 3 dan 9. pH menjadi penciri di stasiun 7. Fosfat dan kekeruhan menjadi penciri pada stasiun 9 dan stasiun 10.

Secara umum hampir di semua stasiun pada setiap waktu pengamatan masing-masing parameter perairan memiliki kontribusi yang hampir sama. Perbedaan terlihat pada stasiun 76 (stasiun 7 bulan Juli), 78 (stasiun 7 bulan Agustus), 710 (stasiun 7 bulan Oktober), 711 (Stasiun 7 bulan November) dan 92 (stasiun 9 bulan Februari) yang memperlihatkan bahwa salinitas, fosfat dan pH menjadi penciri di stasiun ini. Stasiun 7 merupakan stasiun yang terletak paling jauh dari muara sungai, sehingga salinitas dan pHnya menjadi paling tinggi diantara stasiun-stasiun lainnya. Kekeruhan, nitrat dan silikat menjadi penciri pada stasiun 9 bulan Agustus (98), September (99), Oktober (910), November (911) dan Desember (912). Pada stasiun ini memiliki perairan yang sangat dangkal, kedalaman hanya mencapai lima meter pada sangat pasang sehingga kekeruhan di stasiun ini sangat tinggi. Letak stasiun ini yang dekat dengan muara sungai sehingga kandungan nitrat dan silikatnya tinggi.

Pada saat surut suhu menjadi penciri di stasiun 1, 3 dan 9. Stasiun 1 merupakan stasiun yang dekat dengan muara yang umumnya memiliki suhu lebih tinggi karena dekat dengan daratan. Stasiun 3 dan 9 memiliki kedalaman perairan

sangat dangkal, sehingga suhu perairannya menjadi lebih tinggi dibanding stasiun yang lain. pH menjadi penciri di stasiun 7, sama dengan kondisi saat pasang. Fosfat dan kekeruhan menjadi penciri pada stasiun 9 dan stasiun 10, yang terletak di muara sungai.

Fitoplankton yang ditemukan di Perairan Sumatera Selatan terdiri dari 52 genera, yang termasuk dalam empat kelas yaitu Bacillariophyceae (29 genera), Dinophyceae (8 genera), Chlorophyceae (8 genera) dan Cyanophyceae (7 genera). Tomas (1997) dan Romimohtarto & Juwana (2001) menyatakan bahwa Bacillariophyceae memiliki sebaran yang luas dan dan dapat hidup pada berbagai tipe habitat yang berbeda-beda dan keberadaannya cenderung mendominasi perairan laut terbuka, pantai dan estuaria. Pada setiap bulan pengamatan baik pada saat pasang maupun surut Bacillariophyceae dijumpai memiliki jumlah genera dan kelimpahan yang terbesar dibanding kelompok lainnya.

Kelimpahan fitoplankton yang diperoleh selama penelitian menunjukkan hasil yang berbeda pada setiap stasiun di setiap bulannya. Kelimpahan fitoplankton umumnya rendah pada bulan Maret, April, Mei dan mulai tinggi pada bulan Juni, Juli dan tertinggi pada bulan Agustus-September, dan menurun lagi pada bulan Oktober hingga Februari. Hasil penelitian ini memiliki kemiripan pola dengan penelitian yang dilakukan Widiarti (2000) di Teluk Hurun Lampung, yang memperlihatkan bahwa kelimpahan fitoplankton tertinggi dijumpai pada bulan Agustus dan didominasi oleh Skeletonema dan Chaetoceros. Penelitian Baytut et al. (2010) di Teluk Samsun Laut Hitam bagian selatan memperlihatkan juga bahwa kelimpahan fitoplankton tertinggi pada bulan Juli dan terendah pada bulan Februari.

Tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton sangat bersesuaian dengan tinggi rendahnya konsentrasi nutrien khususnya nitrat dan silikat secara temporal. Hubungan antara nutrien dan fitoplankton pada musim yang berbeda tentunya akan menunjukkan pola yang berbeda pula. Umumnya populasi fitoplankton akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi nutrien di perairan. Penelitian yang dilakukan Pednekar et al. (2012) memperlihatkan bahwa ada keterkaitan antara musim dengan konsentrasi nutrien yang tentunya akan berpengaruh juga terhadap populasi fitoplankton.

Komunitas fitoplankton memiliki kelimpahan yang tinggi pada bulan Juli hingga September karena konsentrasi nutrien yang tinggi dalam periode ini. Faktor kekeruhan perairan juga sangat mempengaruhi kelimpahan fitoplankton, kekeruhan yang sedikit dapat memacu pertumbuhan fitoplankton karena cahaya matahari dapat masuk ke kolom perairan dengan baik. Hal ini bersesuaian pada penelitian ini.

Tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton pada penelitian ini dapat disebabkan oleh kondisi cahaya dan nutrien yang ada. Tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton sangat bersesuaian dengan tinggi rendahnya konsentrasi nutrien secara temporal. Komunitas fitoplankton memiliki kelimpahan yang tinggi karena konsentrasi nutrien yang tinggi dalam periode ini. Faktor kekeruhan perairan juga sangat mempengaruhi kelimpahan fitoplankton, kekeruhan yang sedikit dapat memacu pertumbuhan fitoplankton karena cahaya matahari dapat masuk ke kolom perairan dengan baik. Dalam hal ini cahaya sangat mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton. Hal ini bersesuaian dengan penelitian yang dilakukan oleh Edwards et al. (2015) dan Facta et al (2006). Nybakken

(1992) menyatakan bahwa kekeruhan akan menyebabkan penurunan penetrasi cahaya yang mengakibatkan menurunnya fotosintesis dan produktifitas primer fitoplankton. Alianto (2006) menyatakan bahwa intensitas cahaya matahari memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap produktivitas primer fitoplankton. Pada penelitiannya, D’Costa et al. (2008) memperlihatkan bahwa partikel tersuspensi, suhu dan salinitas merupakan faktor utama bagi keberadaan dinoflagellata baik di kolom air maupun sedimen. Roelke dan Pierce (2011) menyatakan bahwa masuknya sedimen ke perairan menentukan penetrasi cahaya matahari sehingga mengganggu perkembangan blooming fitoplankton.

Data menunjukkan bahwa terdapat beberapa genus fitoplankton yang dimungkinkan dapat membahayakan lingkungan perairan apabila berada dalam jumlah yang sangat tinggi (blooming). Beberapa bersifat toksik, yang dapat memproduksi racun yang menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia yang mengkonsumsinya (Nitszchia, Alexandrium, Dinophysis, Protoperidinium,

Prorocentrum, Anabaena, Microcystis dan Oscillatoria) dan beberapa tidak

bersifat toksik tetapi merupakan alga yang dapat menyebabkan berbagai efek merusak pada ekosistem perairan, termasuk mengakibatkan kekurangan oksigen pada perairan dan menyumbat insang ikan karena bentuk selnya yang tajam dan berantai banyak (Bacteriastrum, Chaetoceros, Coscinodiscus, Dytilum, Odontella,

Rhizosolenia, Skeletonema, Thalassiosira, Thalassiothrix, Ceratium dan

Noctiluca).

Bila ditinjau dari stasiun pengamatan, jumlah genera tertinggi dijumpai pada stasiun 3 dan 6, terendah pada stasiun 1, sedangkan kelimpahan tertinggi pada stasiun 4 dan terendah stasiun 10 pada saat pasang. Pada saat surut jumlah genera tertinggi dijumpai pada stasiun 5, terendah pada stasiun 9 sedangkan kelimpahan tertinggi pada stasiun 7 dan terendah stasiun 10.Selama penelitian dilakukan diindikasikan terjadi ledakan populasi Skeletonema pada semua stasiun di bulan-bulan tertentu dan Chaetoceros di stasiun 4 saat bulan tertentu saat pasang. Penelitian yang dilakukan Pednekar (2012) di estuaria Mandovi dan Zuari memperlihatkan hal yang sama bahwa terjadi ledakan populasi

Skeletonemadengan jumlah sel mencapai 1.104 sel.m-3. Pada bulan November

terjadi ledakan populasi Noctiluca yang ditandai dengan warna air yang sangat hijau, di mana pada bulan-bulan sebelumnya berwarna coklat, dan hal ini terjadi pada stasiun 1. Sutomo (1994) menyatakan bahwa bila terjadi ledakan populasi

Noctiluca, perairan akan berwarna hijau, berlendir, bau anyir, serta dijauhi ikan.

Jika ditinjau dari jumlah genera dan kelimpahanfitoplankton penyusun HABs pada setiap bulan pengamatan, jumlah genera penyusun HABs tertinggi dijumpai pada bulan Juli, terendah pada bulan April, sedangkan kelimpahan tertinggi pada bulan Agustus dan terendah pada bulan Maret saat pasang.Saat pengamatansurut, jumlah genera penyusun HABs tertinggi dijumpai pada bulan Oktober, terendah pada bulan Januari, sedangkan kelimpahan tertinggi pada bulan Agustus dan terendah pada bulan Maret. Tingginya kelimpahan pada bulan Agustus disebabkan sangat tingginya kelimpahan Chaetoceros dan Skeletonema. Kemungkinkan hal ini terjadi karena faktor lingkungan yang sangat cocok bagi kedua genera tersebut untuk tumbuh dan berkembang pada kondisi lingkungan saat itu. Berdasarkan pengamatan selama ini, kedua genera tersebut merupakan genera yang umum dijumpai melimpah pada bulan Juli dan Agustus di perairan sekitar pesisir Sumatera Selatan (Aryawati et al. 2005; Isnaini et al. 2012).Lagus

et al (2004) menyatakan bahwa diatom mempunyai respon yang sangat cepat terhadap penambahan nutrien dan dapat menjadi kelompok yang dominan, dimana didapatkan Chaetoceros wighamii dan Skeletonema costatum menjadi dominan dan terjadi peningkatan sampai 32 - 57% dari total biomassa pada semua percobaan di akhir penelitian. Zulhaniarta et al. (2015) melakukan penelitian di wilayah ini pada bulan Juli 2013 dan memperoleh nilai konsentrasi klorofil-a yang sangat tinggi, hingga mencapai 55,01 mg.m-3.

Pada saat surut, jumlah genera penyusun HABs tertinggi dijumpai pada bulan Oktober, terendah pada bulan Januari, sedangkan kelimpahan tertinggi pada bulan Agustus dan terendah pada bulan Maret. Microcystis, Nitzschia, Odontela,

Bacteriastrum dan Dytilum menjadi penciri di stasiun 3, 5, 6, 8, 9, dan 10 pada

bulan Juli. Pada bulan Agustus dan September terlihat kelimpahan yang tinggi dari genera Thalassiosira, Coscinodiscus, Rhizosolenia, Protoperidinium,

Chaetoceros, Thalassiothrix dan Skeletonema. Anabaena, Thalassiosira,

Thalassiothrix, Skeletonema, Chaetoceros, dan Protoperidinium. Pada saat

pasang, Anabaena, Thalassiosira, Thalassiothrix, Skeletonema, Chaetoceros, dan

Protoperidinium memiliki kelimpahan yang tinggi pada stasiun 6 dan 7 pada

bulan Juli, Agustus dan September. Pada stasiun 2, 5 dan 7 pada bulan Juli, dan stasiun 2 pada bulan Agustus dan September dicirikan oleh Nitzschia, Odontela,

Coscinodiscus, Odontela dan Dytilum. Stasiun 9 pada bulan Agustus dicirikan

oleh Dinophysis dan Bacteriastrum. Pada stasiun 1 bulan November dicirikan oleh tingginya kelimpahan Noctiluca. BloomingNoctiluca umumnya terjadi setelah blooming diatom (Widiarti 2000; Mohamed dan Mesaad 2007). Hal ini terlihat juga pada penelitian ini, populasi diatom sangat tinggi pada bulan Juli hingga September, Oktober Noctiluca mulai terlihat dan puncaknya pada bulan November.

Hasil analisis koresponden (CA), memperlihatkan hubungan antara kelimpahan genera fitoplankton potensial HABs dengan faktor lingkungan. Kelimpahan Skeletonema sangat dipengaruhi oleh konsentrasi nitrat, fosfat dan silikat yang tinggi, serta suhu, salinitas, pH dan DO yang rendah. Soedibjo (2007) menyatakan bahwa silikat mempunyai hubungan positif dengan kelimpahan

Skeletonema sp di perairan Teluk Jakarta. Huo dan Shou (2005) menyatakan

bahwa silikat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi blooming

Skeletonema costatum. Silikat merupakan bahan dasar penting untuk

pembentukan kerangka diatom (Romimohtarto dan Juwana, 2004). Anderson et al. (2002) menyatakan bahwa diatom memerlukan silika untuk pembentukan dinding selnya sedangkan fitoplankton dari kelompok lain tidak. Harrison dan William (2008) menyatakan bahwa komposisi nitrat dan silikat berhubungan dengan struktur komunitas fitoplankton, apabila silikat tinggi maka komposisi diatom yang tinggi sedangkan bila nitrat yang tinggi maka komposisi terbesar pada struktur komunitasnya adalah kelompok picoplankton dan nanoplankton. Kelimpahan Chaetoceros sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, pH dan DO yang tinggi serta nitrat, fosfat, silikat yang rendah dan arus yang lemah.

Analisis diskriminan menunjukkan bahwa kondisi air surut berbeda dengan kondisi air pasang, baik pada pengamatan secara spasial maupun temporal. Secara spasial, pembeda tersebut untuk parameter suhu, kekeruhan, silikat, Skeletonema,

dan Chaetoceros, yang memiliki nilai-nilai yang lebih tinggi pada saat surut

pasang. Suhu pada saat surut lebih tinggi daripada pasang. Hal ini karena pada saat surut massa air lebih banyak berasal dari masukan air sungai yang biasanya memiliki suhu yang lebih tinggi dari air laut umumnya. Selain itu proses pemanasan di perairan lebih optimal terjadi pada saat surut karena massa air yang lebih sedikit dibanding saat pasang. Suhu umumnya menjadi penciri di stasiun 1, 3 dan 9 pada saat surut. Stasiun-stasiun ini merupakan stasiun yang dekat dengan muara yang umumnya memiliki suhu lebih tinggi karena dekat dengan daratan.

Salinitas dan pH memiliki nilai yang lebih tinggi pada saat pasang dan menjadi penciri di stasiun 7. Stasiun 7 merupakan stasiun yang terletak paling jauh dari muara sungai, sehingga salinitas dan pHnya menjadi paling tinggi diantara stasiun-stasiun lainnya. Kekeruhan menjadi pembeda juga pada kondisi pasang dan surut. Pada saat surut kekeruhan lebih tinggi dibanding pasang. Tingginya tingkat kekeruhan di daerah ini disebabkan oleh banyaknya masukan dari daratan dan juga landainya daerah ini yang mengakibatkan terangkatnya sedimen dasar perairan pada saat terjadi turbulensi.Hasil analisis PCA terlihat bahwa kekeruhan menjadi penciri pada stasiun 9 dan 10. Stasiun 9 merupakan stasiun yang paling dangkal sehingga proses pengadukan dan terangkatnya sedimen dasar ke perairan lebih sering terjadi, sedangkan stasiun 10 berada di muara sungai yang banyak mendapatkan masukan dari sungai yang membawa partikel-partikel halus. Kecepatan arus juga berbeda pada saat pasang dan surut. Arus terlihat lebih tinggi pada saat pasang. Saat surut konsentrasi silikat lebih tinggi dibandingkan saat pasang dan silikat dijumpai tinggi pada stasiun 10.

Skeletonema dan Chaetoceros terlihat memiliki kelimpahan lebih tinggi pada saat

surut dibandingkan saat pasang dan menjadi penciri di stasiun 3, 6 dan 7 pada saat surut.

Pada pengamatan kondisi pasang dan surut secara temporal terlihat bahwa kondisi pasang berbeda dengan kondisi surut, khususnya untuk parameter fosfat, pH, kekeruhan dan Chaetoceros. Kekeruhan, fosfat, dan Chaetoceros memiliki nilai-nilai yang lebih tinggi pada saat surut sedangkanpH terlihat tinggi pada saat pasang.Kekeruhan menjadi pembeda pada kondisi pasang dan surut. Pada saat surut kekeruhan lebih tinggi dibanding pasang. Umumnya bila dilihat variasi temporal konsentrasi fosfat lebih tinggi saat surut dibandingkan saat pasang.

Chaetoceros terlihat memiliki kelimpahan lebih tinggi pada saat surut

dibandingkan saat pasang dan menjadi penciri di stasiun 3, 6 dan 7 pada bulan Juli, Agustus dan September. pH umumnya memiliki nilai yang lebih tinggi pada saat pasang dan menjadi penciri di stasiun 7 bulan Agustus, Oktober dan November.

7 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait