• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketersediaan Kesempatan/Peluang bagi Petani Sekitar Hutan untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat

Dalam dokumen Gambaran Umum Hutan Kemiri Rakyat (Halaman 32-40)

Ketersediaan kesempatan atau peluang, pada umumnya, tergolong rendah, yang dicirikan oleh rendahnya dukungan pemerintah (rataan skor 31), dukungan non pemerintah (rataan skor 4), dan bantuan permodalan/kredit (rataan skor 4), serta status kepemilikan dan luas lahan lebih banyak berada dalam kawasan hutan dan tanah negara (1,28 Ha) dari 2,1 Ha lahan yang dikelola petani. Hanya kepastian pasar yang tergolong sedang (rataan skor 64).

Kesempatan merupakan hal penting bagi setiap manusia yang hendak maju, termasuk petani. Kesempatan atau peluang tidak akan berarti bagi petani apabila petani tidak berusaha untuk memanfaatkannya atau meraihnya. Menurut Slamet (2003) masyarakat tidak dapat merubah kualitas hidupnya dan pembangunan tidak akan tercapai apabila masyarakat tidak tergerak untuk memanfaatkan kesempatan atau peluang yang tersedia.

Status Lahan

Sasaran penelitian dibatasi pada petani yang mengelola hutan kemiri. Pengertian mengelola artinya ikut memanfaatkan. Oleh karena itu penelitian ini tidak mengkaji secara parsial status kepemilikan lahan misalnya perbedaan antara kawasan hutan/tanah negara, milik sendiri, atau sewa, karena pada kenyataannya keadaan petani tidak terfragmentasi seperti itu, mereka secara simultan mengelola

dan memanfaatkan lahan baik lahan kawasan hutan/tanah negara maupun milik sendiri atau sewa, sehingga sulit untuk mendapatkan petani yang benar-benar hanya mengelola lahan dengan status kepemilikan tunggal. Terlihat (Tabel 22) bahwa 87% responden menggarap/ mengelola tanaman kemirinya yang berada dalam kawasan hutan dan/atau tanah negara serta tanaman kemiri yang berada di atas lahan miliknya, 5% responden menggarap lahan tanaman kemiri yang berada dalam kawasan hutan dan/atau tanah negara, serta 8% responden mengelola tanaman kemiri yang berada di atas lahan miliknya, di dalam kawasan hutan dan juga menyewa lahan petani lainnya.

Tabel 22. Sebaran Ketersediaan Kesempatan/Peluang untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat

Ketersediaan Kesempatan/ Peluang Kategori Kecamatan Cenrana (%) Kecamatan Camba (%) Kecamatan Mallawa (%) Total (%) Status kepemilikan lahan KH dan/atau TN 19 0 0 5 MS+KH (dan/atau+TN) 79 68 100 87 MS+KH(dan/atau+TN)+SW 2 32 0 8 Luas lahan (Ha) Sempit 37 10 3 14 Sedang 50 44 45 46 Luas 13 46 52 40

Rataaan Hektar 1,4(a)(b) 2,3(a) 2,4(b) 2,1

Dukungan pemerintah (Skor) Rendah 82 92 98 92 Sedang 18 8 2 8 Tinggi 0 0 0 0

Rataaan Skor 35(a) 33(b) 28(a)(b) 31

Dukungan non pemerintah (Skor) Rendah 100 100 100 100 Sedang 0 0 0 0 Tinggi 0 0 0 0 Rataaan Skor 3 3 5 4 Kepastian

pasar (Skor) RendahSedang 1372 2616 3233 2639

Tinggi 15 58 35 35

Rataaan Skor 62(a) 72(a)(b) 62(b) 64

Bantuan Permodalan/ Kredit (Skor) Rendah 100 100 100 100 Sedang 0 0 0 0 Tinggi 0 0 0 0

Rataaan Skor 1(a) 11(a)(b) 1(b) 4

Keterangan: n Cenrana = 54; n Camba = 50; n Mallawa = 100 (a)(b); hasil uji beda dengan ANAVA pada α = 5%

Status kepemilikan lahan; KH=Kawasan Hutan, TN=Tanah Negara, MS=Milik Sendiri, SW=Sewa

Luas lahan; Sempit = 0,5-0,9 Ha, Sedang = 1-1,9 Ha, Luas = 2-5 Ha

Status kepemilikan lahan di luar kawasan hutan berupa hak milik yang sebagian besar sudah bersertifikat, dan sebagian lainnya berupa rinci (bukti kepemilikan). Disamping itu, terdapat juga beberapa lahan yang belum memiliki sertifikat dimana kepemilikannya didasarkan pada pengakuan adat/masyarakat sekitar. Kepemilikan lahan kemiri bersifat perorangan dan dikelola secara sendiri atau keluarga. Kegiatan yang melibatkan orang lain biasanya dilakukan pada saat persiapan lahan sampai dengan penanaman dan ada saat panen.

Lahan yang berada dalam kawasan hutan yang selama ini dimanfaatkan oleh petani, kebanyakan didasarkan atas warisan. Pada lahan bertopografi datar banyak dilakukan pola tanam campuran. Jenis tanaman selain kemiri yang banyak ditanam dengan pola tanam campuran adalah coklat yang ditanam di bawah tegakan kemiri, dengan alasan komoditas tersebut ada saat ini memiliki nilai ekonomi yang cukup baik.

Sebagian besar tanaman kemiri rakyat, sejak diberlakukannya Tata Guna Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1984, masuk dalam kawasan hutan. Lahan tanaman kemiri yang berada dalam kawasan hutan, pada saat ini, menjadi fenomena kontroversi bagi masyarakat karena pemerintah dianggap bertindak sepihak, tidak adil dan telah merampas hak mereka. Penetapan areal atau lahan dimana di atasnya banyak terdapat tanaman kemiri yang ditanam petani menjadi kawasan hutan melalui kebijakan TGHK mengakibatkan terjadinya perubahan status hak penguasaan lahan dalam hal pengelolaannya. Pada awalnya setelah penetapan batas, pemerintah masih memberi peluang kepada petani untuk melakukan kegiatan pengelolaan tanaman kemiri dalam kawasan hutan. Namun sejak tahun 1994, pemerintah mulai melakukan sosialisasi batas kawasan hutan dan areal yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan tidak diperbolehkan dikelola oleh petani. Hak yang masih diberikan kepada petani adalah memungut biji kemiri dan tidak diperkenankan melakukan kegiatan peremajaan, terlebih lagi untuk memanfaatkan kayunya.

Penetapan status kawasan hutan melalui TGHK, dipersepsikan oleh masyarakat/petani sebagai tindakan tidak transparan, tidak adil atau sepihak yang dilakukan pemerintah. Petani menganggap bahwa TGHK tidak sesuai dengan penatagunaan lahan sebelumnya yang pernah dibuat oleh pemerintah Belanda bersama masyarakat pada tahun 1920-an. Menurut petani tanah yang dikelola

berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah Belanda tersebut adalah milik leluhur mereka yang pada saat ini telah diwarisan kepada mereka, namun pada saat ini statusnya telah “dipaksa” berubah menjadi kawasan hutan negara. Salah seorang petani di desa Padaelo Kecamatan Mallawa dengan inisial S (38 tahun) menyatakan:

Usman (2008) mengemukakan bahwa di banyak tempat, persoalan status lahan merupakan masalah yang tidak mudah diselesaikan. Seringkali terjadi konflik-konflik sosial sebagai akibat dari ketidakseragaman antara konsep hak milik atas lahan berdasarkan undang-undang yang berlaku dengan aturan menurut pola penguasaan dan pemilikan lahan secara tradisional atau berdasarkan nilai dan norma yang berlaku di lingkungan masyarakat.

Luas Lahan

Luas lahan yang dikelola petani menunjukkan asset yang dimiliki petani. Rata-rata luas lahan yang diolah responden untuk tanaman kemiri adalah 2,1 Ha, dimana sebagian dari lahan tersebut (1,2 Ha) merupakan kawasan hutan, tanah negara seluas 0,08 Ha, milik sendiri seluas 0,8 Ha dan sisanya sewa (0,02 Ha). Luas lahan dimana terdapat tegakan kemiri yang diolah oleh petani di antara ketiga kecamatan relatif bervariasi. Rata-rata luas lahan yang diolah petani antara Kecamatan Cenrana, secara statistik, berbeda nyata dengan dua kecamatan lainnya, sedangkan rata-rata luas lahan kemiri yang diolah dan dimanfaatkan petani antara kecamatan Camba dan Mallawa relatif sama.

Cara petani memperoleh lahan pada umumnya melalui pewarisan, pemberian sebagai mas kawin atau syarat pernikahan, pemindahan hak melalui jual beli, serta melalui gadai dan bagi hasil. Dilihat dari aspek luas lahan, dengan

Kotak 3:

... ketika dilakukan pemasangan patok pada tahun 1986 saya masih duduk di bangku SMP kelas 1. Pada saat itu orang tua saya sempat menanyakan kepada petugas untuk apa patok tersebut. Jawaban yang diberikan oleh petugas bahwa tidak ada maksud apa-apa, patok ini sekedar untuk tanda saja. Namun demikian tanah dimana terdapat tanaman kemiri yang telah dikelola dan merupakan warisan dari kakek saya, ternyata ujung-ujungnya diklaim sebagai kawasan hutan dimana patok yang dipasang merupakan pembatas atau tanda kawasan hutan...

perhitungan, apabila di atas lahan seluas 2,1 Ha tersebut terdapat tegakan atau pohon kemiri dengan jarak tanam 5 X 5 m maka akan terdapat 840 pohon kemiri di atas lahan tersebut. Tanaman kemiri yang sehat dengan usia 4-6 tahun memiliki proyeksi produksi + 8 kg/pohon, sedangkan apabila usia kemiri diatas 10 tahun memiliki produksi + 20 kg/pohon. Dengan demikian, dari 840 pohon kemiri tersebut, secara kumulatif, petani akan dapat memanen + 6.720 kg buah kemiri/tahun pada saat usia tanaman 4-6 tahun, dan akan meningkat hasilnya sekitar + 16.800 kg/tahun pada saat usia tanaman kemiri lebih dari 10 tahun. Hal ini merupakan potensi dan peluang yang cukup besar untuk pengembangan hutan kemiri dan peningkatan pendapatan petani. Dengan kata lain, apabila lahan tersebut mampu dikelola dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, maka pengembangan usahatani kemiri dapat memberikan prospek yang baik untuk dikembangan, dan kemiri dapat kembali menjadi komoditas andalan petani.

Dukungan Pemerintah

Dukungan pemerintah yang dirasakan oleh responden adalah rendah, dengan rataan skor total 31. Terlihat (Tabel 22) bahwa sebagian besar responden (92%) merasakan bahwa dukungan pemerintah terhadap partisipasi mereka dalam mengelola hutan kemiri tergolong rendah dan 8% responden menyatakan sedang, tidak ada yang menyatakan tinggi (0%). Dukungan pemerintah merupakan hal penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani, sebagaimana diamanatkan dalam pembukan UUD 1945 bahwa salah satu peran pemerintah adalah menyejahterakan rakyatnya.

Dukungan pemerintah dirasakan oleh petani di Kecamatan Mallawa berbeda nyata dengan dua kecamatan lainnya, rataan skor tertinggi ke yang terendah yaitu dimulai dari Kecamatan Cenrana dengan rataan skor 35, Kecamatan Camba dengan rataan skor 33, dan yang terakhir adalah Kecamatan Mallawa dengan rataan skor 28. Rendahnya persepsi responden terhadap dukungan pemerintah merupakan akibat dari adanya kebijakan TGHK. Tidak dapat dipungkiri bahwa keputusan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (TGHK) sangat menentukan besarnya persepsi petani terhadap kesempatan untuk meraih dan memanfaatkan hutan kemiri.

Kebijakan-kebijakan TGHK telah membatasi akses petani ke lokasi tanaman kemiri dalam hutan. Petani hanya diperbolehkan memanfaatkan hasil hutan berupa pemungutan buah kemiri. TGHK telah mengakibatkan sistem pengelolaan hutan yang telah dibangun petani sekitar hutan kemiri melemah, menghilangkan sumber pendapatan dengan berkurangnya volume produktivitas kemiri, serta melemahkan fungsi ekologi hutan kemiri karena tidak adanya pengelolaan hutan oleh petani sehingga yang tertinggal adalah tanaman kemiri yang berusia tua (> 35 tahun) sebagai akibat tidak dilakukannya peremajaan, sebagaimana penelitian Yusran (1999) dan Yusran (2005) bahwa sedang terjadi penurunan ekologi hutan kemiri Kabupaten Maros dari tahun ke tahun. Menurut Paimin (1994) dan Dephut (1994), produksi kemiri akan terus mengalami penurunan setelah berumur 35 tahun.

Menurut petani belum ada kolaborasi pengelolaan hutan kemiri antara pemerintah dengan petani. Dengan ditetapkannya TGHK, menurut petani, peluang ke arah kolaborasi sulit untuk dilaksanakan karena masih terdapat perbedaan persepsi terhadap eksistensi hutan kemiri, bahkan timbul krisis kepercayaan petani kepada pemerintah serta menolak kebijakan TGHK. Hal ini ditandai ketika pada awal peneliti melakukan pengambilan data, sebagian besar petani cenderung bersikap curiga dan menanyakan untuk kepentingan apa penelitian dilaksanakan, mereka sempat menyatakan tanah mana lagi yang mau diambil pemerintah.

Kebijakan TGHK telah membuat petani merasa ketakutan untuk mengelola tanaman kemirinya. Ketika ada petani yang nekat melakukan kegiatan penebangan tanaman kemiri dalam rangka mallolo maka akan bersentuhan dengan hukum.

Kotak 4:

...Beberapa responden menceritakan bahwa pada tahun 2007, ada warga dengan inisial T (52) sempat berurusan dengan pihak berwajib dan diproses secara hukum karena bermaksud melakukan mallolo dengan menebang beberapa tegakan/tanaman kemiri miliknya yang berada dalam kawasan hutan...

Dukungan Organisasi Non Pemerintah

Dukungan organisasi non pemerintah, menurut responden, adalah rendah, yang ditunjukkan oleh rataan skor total 4. Seluruh responden (100%) merasakan bahwa dukungan organisasi non pemerintah tergolong rendah.

Keberadaan organisasi non pemerintah diharapkan dapat memainkan peran dalam membantu, membimbing, mendampingi dan memberdayakan petani dan keluarganya sehingga dapat berusahatani dan usaha lainnya menuju peningkatan kesejahteraan hidup. Rendahnya dukungan organisasi non pemerintah, menurut responden, karena tidak ada organisasi non pemerintah di desa mereka. Kalaupun ada kegiatan pendampingan dan pemberdayaan biasanya datang dari mahasiswa yang berasal dari beberapa perguruan tinggi baik swasta maupun negeri yang sedang melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di desa mereka, dengan demikian sifatnya temporer, dan tidak terkait dengan pengelolaan hutan kemiri.

Kepastian Pasar

Kepastian pasar merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong kesinambungan usahatani kemiri. Di lokasi penelitian pada umumnya pemasaran buah kemiri tidak menemui banyak hambatan (rataan skor 64 atau tergolong sedang), karena telah ada pihak yang siap menampung atau membeli produksi tersebut. Namun demikian, dalam jaringan transaksi jual beli kemiri, petani memiliki posisi tawar yang lebih rendah. Rendahnya posisi tawar disebabkan karena ketersediaan sumberdaya yang terbatas, tidak adanya bentuk usaha bersama, dan tidak menguasai informasi pasar.

Harga kemiri lebih banyak ditentukan oleh pedagang yang membeli kemiri. Penjualan kemiri, oleh petani, dilakukan dalam bentuk kupas dan/atau dalam bentuk biji gelondongan. Penjualan dalam bentruk kemiri kupas lebih banyak dilakukan, oleh petani, karena harganya lebih tinggi dibandingkan dengan kemiri gelondongan. Terdapat perbedaan nyata kepastian pasar antara yang dirasakan oleh responden di Kecamatan Camba dan dua kecamatan lainnya. Petani di Kecamatan Camba merasakan lebih terjamin atau lebih pasti atas pasar kemiri yang ditandai dengan rataan skor 72, diikuti oleh Kecamatan Cenrana dengan rataan skor 62 dan Kecamatan Mallawa dengan rataan skor 62.

Petani biasanya akan menjual kemiri pada saat harga pembelian oleh pengecer maupun pedagang pengumpul sedang tinggi atau ketika mendesaknya kebutuhan akan uang tunai. Petani yang memiliki buah kemiri lebih dari 50 kg biasanya akan menjual langsung kepada pedagang besar di kota Makassar, sedangkan apabila kurang dari 50 kg petani menunggu kedatangan pedagang pengumpul lokal yang akan membeli buah kemiri mereka.

Harga kemiri kupas pada saat penelitian dilaksanakan sebesar Rp. 7000,-/kg - Rp. 8000,-7000,-/kg di tingkat pengecer lokal, namun bila dijual langsung ke Makassar seharga Rp. 10.000,-/kg, sedangkan dalam bentuk gelondongan adalah Rp. 2000 per 100 butir gelondongan di tingkat pengecer lokal. Penjualan kemiri gelondongan hanya dilakukan oleh petani yang memiliki jumlah kemiri sedikit, atau ketika didesak oleh kebutuhan uang tunai. Harga buah kemiri pada saat penelitian dilakukan lebih baik (Rp. 7000,-/kg - Rp. 8000,-/kg) dibandingkan dengan harga buah kemiri dua tahun terakhir (Rp. 4000,-/kg - Rp. 6000,-/kg). Bantuan Permodalan/Kredit

Responden, pada umumnya, merasakan bahwa dukungan lembaga yang memberikan bantuan permodalan dalam usaha budidaya kemiri rendah (rataan skor total 4). Apa yang dirasakan petani di Kecamatan Camba terkait dengan bantuan permodalan berbeda nyata dengan responden di dua Kecamatan lainnya, sedangkan apa yang dirasakan antara petani Kecamatan Cenrana dan responden Kecamatan Mallawa secara statistik relatif sama atau tidak berbeda. Skor rataan tertinggi dukungan bantuan permodalan adalah Kecamatan Camba yaitu 11, diikuti oleh Kecamatan Mallawa (skor 1) dan Kecamatan Cenrana (skor 1).

Modal merupakan salah satu faktor produksi yang penting. Ketersediaan sumberdaya alam dan tenaga kerja untuk memanfaatkannya, jika tidak disertai modal yang memadai untuk pengadaan teknologi serta membiayai produksi, maka potensi sumberdaya alam tidak dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal atau bahkan hanya merupakan potensi belaka. Lembaga keuangan yang melayani penduduk di tiga kecamatan tersebut hanya ada satu yaitu BRI yang letaknya di Kecamatan Camba. Hal ini yang menyebabkan Kecamatan Camba memiliki skor tertinggi dukungan bantuan permodalan. Sebagian petani memanfaatkan BRI untuk menabung keuntungan usahatani dan/atau usaha lainnya untuk biaya naik

haji, dan untuk keperluan lain, namun jarang memanfaatkan layanan BRI untuk memperoleh modal atau pinjaman. Petani lebih mengandalkan modal sendiri untuk usahatani dan usaha lainnya. Apabila kekurangan modal, biasanya petani meminjam dari kerabat dan/atau sanak saudara/keluarga. Menurut petani untuk meminjam modal dari Bank memerlukan banyak persyaratan yang harus dipenuhi yang dianggap oleh mereka berbelit-belit padahal mereka membutuhkan uang dalam waktu yang cepat. Hal ini membuat petani tidak terlalu tertarik untuk meminjam uang dari bank.

Lembaga keuangan lain yang sejatinya dapat berpotensi bagi penyediaan modal petani adalah KUD, tetapi pada kenyataannya keberadaan KUD di tiga kecamatan tersebut tidak berfungsi dengan baik. Selain itu, rendahnya dukungan terhadap permodalan bagi petani ditandai dengan belum adanya program khusus dari pemerintah atau pihak lainnya dalam bentuk insentif atau bantuan permodalan dalam rangka menstimulasi petani mengembangkan usahatani kemiri, sebagaimana yang dikemukakan Mosher (1978) bahwa perlu adanya kredit produksi bagi petani untuk memperlancar atau menunjang pembangunan pertanian.

Tingkat Kemampuan Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan

Dalam dokumen Gambaran Umum Hutan Kemiri Rakyat (Halaman 32-40)