• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat

Dalam dokumen Gambaran Umum Hutan Kemiri Rakyat (Halaman 49-55)

Tingkat partisipasi petani sekitar hutan dalam pengelolaan hutan kemiri tergolong rendah, yang ditunjukkan oleh rendahnya semua tahapan partisipasi yaitu partisipasi dalam merencanakan kegiatan pengelolaan hutan dengan rataan skor 6, partisipasi dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan dengan rataan skor 40, partisipai dalam memanfaatkan atau menikmati hasil kegiatan pengelolaan hutan dengan rataan skor 30, dan partisipasi dalam mengawasi dan menilai kegiatan pengelolaan hutan dengan rataan skor 11 (Tabel 28).

Partisipasi merupakan keterlibatan aktif masyarakat dalam suatu kegiatan atau program pembangunan. Inisiatif kegiatan atau program dapat berasal dari luar masyarakat atau muncul dari dalam masyarakat itu sendiri. Sardjono (2004) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat dilibatkan pada setiap tahap situasi yang berpengaruh terhadap kehdupan mereka. Maksud dari partisipasi adalah untuk mendorong kemandirian masyarakat sehingga tercapai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Tabel 28. Sebaran Tingkat Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat

Tingkat Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat

Kategori Kecamatan Cenrana (%) Kecamatan Camba (%) Kecamatan Mallawa (%) Total (%) Merencanakan Kegiatan Pengelolaan Hutan (Skor) Rendah 100 100 100 100 Sedang 0 0 0 0 Tinggi 0 0 0 0

Rataaan Skor 17(a)(b) 4(a)(c) 1(b)(c) 6

Melaksanakan Kegiatan Pengelolaan Hutan (Skor) Rendah 89 76 97 90 Sedang 11 24 3 10 Tinggi 0 0 0 0

Rataaan Skor 32(a)(b) 43(a) 42(b) 40

Memanfaatkan Hasil Kegiatan Pengelolaan Hutan (Skor) Rendah 85 98 100 96 Sedang 15 2 0 4 Tinggi 0 0 0 0 Rataaan Skor 30 28 31 30 Mengawasi dan Menilai Kegiatan Pengelolaan Hutan (Skor) Rendah 98 100 100 99 Sedang 2 0 0 1 Tinggi 0 0 0 0 Rataaan Skor 10 14 11 11

Keterangan: n Cenrana = 54; n Camba = 50; n Mallawa = 100 (a)(b)(c); hasil uji beda dengan ANAVA pada α = 5%

Rataan skor; Rendah = skor 0-50, Sedang = skor 51-75, Tinggi = skor 76-100 Merencanakan Kegiatan Pengelolaan Hutan Kemiri

Partisipasi seluruh responden (100%) pada aspek perencanaan pengelolaan hutan kemiri berada dalam kategori rendah. Hal ini didukung oleh nilai rataan skor total 6. Terdapat perbedaan nyata partisipasi responden pada aspek perencanaan pengelolaan hutan kemiri di antara tiga kecamatan tersebut. Walaupun ketiganya berada dalam kategori rendah, namun apabila diurutkan berdasarkan besarnya nilai rataan skor, maka partisipasi responden Kecamatan Cenrana pada aspek perencanaan pengelolaan hutan kemiri lebih tinggi dibandingkan dua kecamatan lainnya (rataan skor 17), diikuti oleh responden Kecamatan Camba (rataan skor 4) dan responden Kecamatan Mallawa (rataan skor 1).

Perencanaan merupakan langkah awal yang penting bagi keberhasilan suatu kegiatan. Perencanaan yang baik dan sistematis dapat memberikan arah dan menjadi pedoman bagi berlangsungnya suatu kegiatan. Menurut responden

perencanaan pengelolaan hutan kemiri yang mereka lakukan hanya berdasarkan pengalaman saja yang tidak dituangkan dalam bentuk tertulis, karena menurut mereka budidaya tanaman kemiri adalah kegiatan yang tidak rumit. Proses budidaya kemiri sangat mudah dan tidak membutuhkan perlakuan yang istimewa. Biji kemiri cukup ditanam maka akan tumbuh sendiri, disamping itu proses pemeliharaannya tidak membutuhkan pengawasan yang intensif, sehingga tidak perlu repot untuk melakukan perencanaan yang terinci. Buktinya selama ini, menurut responden, tanaman kemiri yang ditanam secara turun temurun tumbuh dengan baik dan hasilnya dapat dilihat yaitu terbentuknya kebun kemiri yang menyerupai hutan. Hal ini yang mengakibatkan rendahnya aspek perencanaan pengelolaan hutan kemiri untuk lingkup pengelolaan skala mikro (rumah tangga).

Untuk lingkup perencanaan pengelolaan hutan kemiri pada level yang lebih tinggi (makro), responden menyatakan mereka tidak pernah terlibat atau dilibatkan. Menurut responden, mereka tidak pernah mendapat undangan dari pihak pemerintah (Dishutbun dan/atau TN) untuk mengikuti pertemuan dalam rangka merencanakan pengelolaan hutan kemiri, bahkan responden terkadang bertanya-tanya apakah pertemuan dalam rangka merencanakan pengelolaan hutan kemiri pada level kebijakan (skala makro) ada atau tidak ada. Bagi responden apabila pertemuan untuk perencanaan pengelolaan hutan ada dan melibatkan petani, merupakan hal yang bagus, karena dapat menjadi wadah bagi mereka untuk menyampaikan aspirasi dan pertanyaan yang berkaitan dengan hak-hak mereka atas hutan kemiri.

Melaksanakan Kegiatan Pengelolaan Hutan

Partisipasi responden pada aspek pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan kemiri, pada umumnya berada dalam kategori rendah yang ditunjukkan oleh nilai rataan skor total sebesar 40. Sebagian besar responden (90%) rendah partisipasinya dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan kemiri. Secara statistik, terdapat perbedaan nyata partisipasi pada aspek pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan antara responden Kecamatan Cenrana dan responden pada dua kecamatan lainnya.

Rendahnya pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan kemiri disebabkan responden tidak melakukan kegiatan perbenihan dan persemaian dengan baik dan

benar sesuai dengan kaidah silvikultur, kurang melakukan persiapan lahan untuk penanaman kemiri. Responden juga tidak lagi melakukan penanaman kemiri, kalaupun dilakukan penanaman dikerjakan seadanya dengan jarak tanam tidak teratur. Repsonden juga tidak pernah melakukan pemupukan pada tanaman kemiri karena biaya pupuk dirasakan mahal, tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh dari produksi kemiri, disamping itu tanaman kemiri yang ada sekarang ini pada umumnya sudah berusia tua (> 35 tahun) sehingga sudah tidak produktif dan tidak lagi memerlukan pupuk. Pemangkasan sebagai wahana memberikan ruang tumbuh bagi tanaman kemiri juga tidak dilaksanakan. Sementara itu penyiangan dilakukan hanya pada masa panen ketika hendak memungut buah kemiri yang jatuh ke tanah. Akibat diberlakukannya TGHK, peremajaan juga tidak dilaksanakan oleh responden, kalaupun ada yang melakukan peremajaan, hal tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi dengan cara memindahkan atau menggunakan anakan yang berasal dari suksesi alami.

Gangguan penyakit yang menyerang tanaman kemiri dibiarkan begitu saja oleh responden karena pada kenyataannya mereka tidak mampu melakukan pengobatan. Selain itu, karena bagian tanaman kemiri yang diserang penyakit, baik batang, dahan maupun daun, biasanya berada pada ketinggian sekitar 9-14 meter dari permukaan tanah, sehingga sulit untuk dijangkau. Gangguan hama yang sering terjadi, karena areal tanaman kemiri tidak dipagar, berasal dari babi hutan dan monyet serta ternak sapi yang tidak dikandangkan. Hanya beberapa petani yang memagar kebun kemirinya yang berada di lahan milik, sedangkan yang berada di dalam kawasan hutan tidak dipagari.

Perlindungan hutan sudah tidak terlalu diperhatikan oleh responden karena pada saat ini hutan kemiri sudah “tidak” menjadi milik mereka lagi, sehingga kegiatan perlindungan yang dilakukan terhadap hutan kemiri tidak optimal, hanya sekedar saja sebatas menjaga agar buah kemiri yang jatuh ke tanah pada masa panen tidak diambil oleh pihak lain. Beberapa responden melakukan diversifikasi dengan melakukan pengayaan tanaman tanpa menebang pohon kemiri yang ada yaitu menanam pohon coklat di bawah tegakan kemiri, dan apabila lahan tersebut memiliki kelerengan yang agak curam mereka juga membuat teras sederhana/ seadanya.

Memanfaatkan Hasil Hutan

Pada umumnya petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros dalam memanfaatkan hasil hutan kemiri masuk dalam kategori rendah yang ditandai dengan rataan skor total sebesar 30. Hampir seluruh responden (96%) rendah partisipasinya dalam menikmati atau memanfaatkan hasil hutan kemiri. Secara statistik, tidak terdapat perbedaan nyata dalam memnfaatkan hasil hutan kemiri di antara petani pada ketiga kecamatan yang diteliti.

Seberapa besar hutan kemiri memberikan manfaat optimal bagi petani akan mempengaruhi keputusan petani untuk berpartisipasi dalam pengelolaannya. Rendahnya responden menikmati atau memanfaatkan hasil hutan kemiri karena yang dimanfaatkan petani hanya berupa pemanenan atau pemungutan buah kemiri yang jatuh ke tanah. Petani tidak melakukan pemetikan karena pada umumnya tinggi pohon kemiri dapat mencapai 40 meter dengan panjang batang bebas cabang 9-14 meter. Artinya, cabang atau ranting terdekat dari sebuah pohon kemiri dimana pada cabang atau ranting tersebut terdapat buah kemiri yang masak tingginya mencapai 9-14 meter, sehingga menurut petani lebih mudah atau praktis memungut buah masak yang jatuh ke tanah.

Selain itu, menurunnya produktivitas kemiri berpengaruh pada pola pemanfaatan buah kemiri yang dipungut, yaitu penjualan biji kemiri cenderung tidak dilakukan setiap tahun. Biasanya petani mengumpulkan selama 2-3 tahunan agar jumlah buah yang terkumpul cukup banyak atau digunakan sebagai tabungan. Pada saat ini pemanfaatan buah kemiri cenderung hanya untuk keperluan dapur rumah tangga. Pemanfaatan buah kemiri masih dalam bentuk penjualan biji, belum dilakukan upaya membuat turunannya atau mengolah kemiri menjadi bahan jadi, misalnya dalam bentuk produk minyak gosok. Dengan kata lain, belum ada home industry untuk membuat produk turunan dari buah kemiri agar memiliki nilai jual yang lebih baik.

Selain buah beberapa petani memanfaakan ranting-ranting pohon kemiri untuk keperluan kayu bakar, karena tidak semua petani menggunakan kompor minyak tanah danh/atau gas LPG. Pemanfaatan kayu kemiri masih dalam skala terbatas, cenderung untuk keperluan pribadi yaitu digunakan untuk bantalan (berbentuk balok) rumah. Hal ini dilakukan oleh petani yang tidak memiliki

banyak modal untuk membeli papan atau balok/bantalan sebagai bahan atau material membangun rumah. Kayu kemiri termasuk kayu kelas kuat IV (tidak awet) sehingga daya tahannya hanya sekitar satu tahunan. Pada saat ini, walaupun harganya tidak tinggi, sudah ada permintaan pasar terbatas terhadap kayu kemiri. Kayu kemiri yang dijual dalam bentuk bantalan (balok) atau papan, namun petani tidak bisa memanfaatkan hasil hutan berupa kayu kemiri tersebut, karena tanaman kemiri yang mereka miliki kebanyakan berada dalam kawasan hutan. Petani tidak diperbolehkan oleh pemerintah menebang pohon kemiri yang berada dalam kawasan hutan. Kayu kemiri yang boleh dimanfaatkan oleh petani hanya kayu kemiri yang berada pada lahan milik, namun hal ini tidak banyak dilakukan karena di atas lahan milik petani hanya berisi sedikit tegakan kemiri. Hanya sebagian kecil petani yang menjual kayu kemiri, yaitu petani dimana tanaman kemiri yang dimilikinya tidak jauh dari jalan poros dan mudah dijangkau oleh alat trasportasi sehingga meminimalkan biaya pengangkutan.

Melakukan Kegiatan Pengawasan dan Penilaian

Hampir seluruh responden (99%) sekitar kawasan hutan kemiri Kabupaten Maros rendah partisipasinya dalam melakukan pengawasan dan evaluasi. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa pada umumnya, petani sekitar hutan kemiri memiliki kategori rendah dalam kegiatan pengawasan dan penilaian terhadap pengelolaan hutan kemiri. Hal ini juga ditunjukkan oleh rataan skor total sebesar 11. Berdasarkan uji beda dengan ANAVA, tidak terdapat perbedaan nyata di antara petani tiga kecamatan yang diteliti dalam kegiatan pengawasan dan penilaian pengelolaan hutan kemiri (lampiran 1).

Keberhasilan suatu kegiatan ditentukan oleh seberapa intensif pengawasan dan penilaian yang dilakukan terhadap kegiatan tersebut sehingga dapat dilakukan perbaikan dengan segera apabila dijumpai kesalahan dalam pelaksanaannya, serta perbaikan untuk kegiatan selanjutnya. Petani tidak melakukan pengawasan secara rutin dan pencatatan terhadap kesalahan atau hal-hal yang yang kurang tepat yang dijumpai dalam proses budidaya tanaman kemiri, karena petani menganggap bahwa tanaman kemiri adalah tanaman yang mudah tumbuh dan tahan terhadap serangan penyakit, jadi cukup ditanam dan dibiarkan begitu saja maka akan tumbuh dengan sendirinya. Disamping itu, menurut petani tanaman kemiri yang

ada pada saat ini sudah berusia tua (> 35 tahun) sehingga tidak perlu dilakukan pengawasan karena sudah tidak produktif. Menurut petani kegiatan yang perlu dilakukan adalah peremajaan/ permudaan atau regenerasi tanaman kemiri.

Penilaian pada akhir masa panen dalam bentuk melakukan pencatatan untuk melakukan perbandingan antara hasil yang diperoleh saat ini dengan hasil sebelumnya dan juga hal-hal yang terkait dengan kesalahan pengelolaan juga tidak dilakukan oleh petani. Selain karena petani sudah terbiasa dengan praktek yang dilakukan secara turun temurun dalam bentuk mengelola usahatani secara konvensional/sederhana atau apa adanya yaitu sekedar ditanam, dipanen dan hasilnya dijual tanpa mempertimbangkan kesalahan-kesalahan yang terjadi sehingga perlu perbaikan untuk keberhasilan panen berikutnya, juga karena pada saat ini akses petani terhadap tanaman kemiri yang berada dalam kawasan hutan sudah dibatasi. Rasa memiliki petani terhadap keberadaan pohon kemiri yang ada dalam kawasan sedang mengalami proses pelunturan sebagai akibat kebijakan TGHK.

Dalam dokumen Gambaran Umum Hutan Kemiri Rakyat (Halaman 49-55)