• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedelai memiliki posisi strategis sebagai sumber protein nabati dan bahan makanan fungsional dengan harga terjangkau. Kebutuhan nasional kedelai sekitar 2,2 juta t/ tahun, sementara produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi 30-40% kebutuhan. Kurangnya insentif bagi petani untuk me-nanam kedelai menjadi salah satu penyebab berkurangnya areal tanam kedelai, yang bermuara pada rendahnya produksi nasional. Upaya peningkatan produksi kedelai dalam negeri dapat ditempuh melalui upaya perluasan areal tanam/panen dan perbaikan tingkat produktivitas. Hal ini tercermin dari senjang hasil antara rata-rata nasional 1,3 t/ha dengan hasil di tingkat penelitian yang mencapai rata-rata 2,0 t/ha, bergantung pada kondisi lahan dan penerapan teknologi.

Teknologi Produksi

Kini telah tersedia komponen teknologi yang meliputi varietas unggul berdaya hasil tinggi (potensi hasil 2,5-3,2 t/ha) untuk agro-ekosistem sawah, lahan kering, dan pasang-surut/lebak; teknologi budi daya (penyiapan lahan, penanaman, pengelolaan hara dan air, pengendalian OPT), dan penanganan pascapanen.

Penggunaan benih berkualitas merupakan prasyarat utama dalam budi daya kedelai, karena akan menjamin diperolehnya populasi tanaman sesuai yang dikehendaki (optimal), berkecambah menjadi bibit sehat dan vigor sehingga tanaman tumbuh seragam. Benih yang berkualitas harus memenuhi syarat sebagai berikut: (a) asal benih atau nama varietasnya jelas, (b) bernas atau tidak keriput, (c) bersih dari kotoran dan tidak bercampur dengan biji tanaman maupun varietas lain, (d) tidak membawa bibit penyakit, dan (e) berdaya kecambah minimal 85%. Jika benih berdaya kecambah rendah (kurang dari 85%) potensi hasilnya tidak optimal dan atau biaya produksi meningkat, sebab: (a) vigor tanaman/bibit rendah, (b) populasi tanaman di bawah optimal, dan (c) akibat butir a dan b tersebut gulma akan berpotensi kuat untuk bersaing dengan tanaman kedelai dalam me-manfaatkan sinar matahari, unsur hara dan air,

serta gulma akan menjadi sarang atau sumber hama dan penyakit.

Populasi tanaman berpengaruh terhadap produktivitas kedelai. Pengaturan jarak tanam, daya kecambah benih, cekaman kekeringan atau kelebihan lengas tanah, serta serangan hama dan penyakit berpengaruh terhadap populasi tanaman. Populasi optimal berkisar antara 400.000-500.000 tanaman/ha. Taksiran hasil pada kisaran populasi tersebut berkisar antara 1,60-2,50 t/ha.

Pada lahan kering suboptimal, seperti di lahan kering masam dengan jenis tanah Podsolik Merah-Kuning yang banyak dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, pemupukan N, P, dan K sangat nyata me-ningkatkan hasil kedelai. Tanpa ameliorasi dan pemupukan, pertanaman kedelai tidak mampu berproduksi optimal. Pemberian bahan ameliorasi kunci utama dalam meningkatkan produktivitas kedelai di lahan kering masam. Bahan ameliorasi seperti kapur dan bahan organik diperlukan untuk meningkatkan pH tanah, kandungan bahan organik tanah, serta kandungan hara Ca dan/ atau Mg.

Kedelai merupakan tanaman yang peka terhadap cekaman air, khususnya kelebihan air. Pengelolaan lengas tanah atau air harus mendapat perhatian besar untuk mengatasi kelebihan maupun kekurangan air. Kelebihan air pada musim hujan dan MK I dapat diatasi dengan membuat saluran drainase. Pada pertanaman MK II di lahan sawah, saluran drainase disiapkan untuk antisipasi kelebihan air akibat hujan susulan, selain untuk me-lancarkan penyaluran air irigasi ke seluruh petakan.

Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman kedelai berlandaskan strategi penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT merupakan suatu pendekatan atau cara pengendalian hama dan penyakit yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan ekosistem yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Strategi PHT adalah men-sinergikan beberapa teknik atau metode pengendalian hama dan penyakit berdasarkan asas ekologi dan ekonomi.

Panen dilakukan setelah 95% polong berwarna coklat atau kehitaman dan sebagian

besar daunnya sudah rontok. Panen dilakukan dengan cara memotong pangkal batang. Brangkasan hasil panen langsung dikeringkan/ dihamparkan di bawah sinar matahari dengan ketebalan sekitar 25 cm selama 2-3 hari (bergantung pada cuaca) menggunakan alas terpal plastik, tikar atau anyaman bambu. Pengeringan dilakukan hingga kadar air mencapai sekitar 14%. Seyogianya tidak menumpuk brangkasan basah lebih dari dua hari, sebab akan menjadikan biji berjamur dan mutunya rendah.

Penerapan PTT Kedelai di Berbagai Ekosistem

Untuk mengoptimalkan pendapatan usaha-tani kedelai diperlukan proses pendekatan produksi melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu atau PTT. Prinsip dasar pendekatan PTT adalah: (a) bersifat spesifik lokasi, (b) melalui pendekatan partisipatif, dan (c) mengintegrasikan komponen teknologi yang memberikan pengaruh secara sinergis, bersifat dinamis, dan dapat berubah sesuai dengan kebutuhan. Pendekatan PTT kedelai di lahan sawah telah diterapkan di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, dengan hasil mencapai > 2 t/ha. Varietas yang ditanam adalah Kaba, Baluran, dan Sinabung. Dengan tingkat harga kedelai Rp 3.250/kg, maka keuntungan yang diperoleh berkisar antara Rp 3.012.500-3.825.000/ha. Bila harga kedelai meningkat, maka keuntungan juga meningkat dan petani bergairah me-nanam kedelai.

Pertanaman PTT kedelai pada lahan kering masam di Lampung Tengah tumbuh baik dan menghasilkan 1,76-2,02 t/ha, lebih tinggi daripada hasil rata-rata kedelai di Lampung yang hanya 1,10 t/ha. Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa dengan tingkat harga kedelai Rp 3.500/kg, pertanaman PTT dengan menggunakan ketiga varietas unggul tersebut mampu memperoleh keuntungan sebesar Rp 2.153.240-3.063.240/ha.

Pertanaman kedelai PTT di Sumatera Utara tumbuh baik dan mampu menghasilkan biji kering 1,92-2,03 t/ha, lebih tinggi daripada rata-rata hasil kedelai di Sumatera Utara yang hanya 1,06 t/ha. Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa dengan tingkat harga kedelai Rp 3.500/ kg, penerapan PTT kedelai dengan menanam ketiga varietas unggul tersebut juga mampu

memberikan keuntungan sebesar Rp 3.399.000-3.781.000/ha.

Arah Pengembangan

Walaupun pengembangan areal kedelai ke lahan suboptimal (lahan kering) menghadapi kendala biofisik dan kimia tanah, namun dapat diatasi dengan penerapan teknologi yang sesuai. Kondisi lahan yang kurang subur dapat diatasi dengan teknologi ameliorisasi, pemupukan, dan konservasi lahan. Varietas unggul yang sesuai dan teknologi pendukung lainnya juga sudah tersedia bagi pengem-bangan kedelai.

Pengembangan kedelai dalam upaya peningkatan produksi sebaiknya diarahkan ke lahan kering di Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Sumatera memiliki lahan kering dan lahan terlantar seluas 6,6 juta ha, Sulawesi 3,0 juta ha, dan Nusa Tenggara 1,8 juta ha. Wilayah lahan kering yang dinilai potensial dikembang-kan menjadi wilayah produksi kedelai secara permanen (soybean belt) atau usaha pertanian berbasis kedelai seperti di negara lain.

Dalam pencapaian swasembada kedelai dibutuhkan peningkatan produksi dalam negeri sekitar 1,5 juta t/tahun yang dapat dipenuhi dengan penambahan luas areal baru seluas 1,5 juta ha. Pengembangan areal baru tersebut dapat diarahkan ke Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara dengan sasaran

masing-masing 0,8 juta ha; 0,5 jutaha, dan 0,2 juta ha selama 5-6 tahun.

Areal baru tersebut harus diprioritaskan bagi pertanaman kedelai dan juga me-mungkinkan dirotasikan dengan palawija lainnya. Kedelai dapat ditanam 1-2 kali setahun pada areal yang sama sesuai dengan pola distribusi curah hujan di wilayah tersebut. Hal ini berarti akan memberi peluang bagi total areal tanam (panen) kedelai 1,5-2,0 juta ha selama 3-5 tahun.

Pembukaan lahan baru yang dilengkapi dengan infrastruktur harus difasilitasi oleh pemerintah bekerjasama dengan swasta (pemegang HPH, perkebunan swasta nasional, PTPN). Penggunaan lahan tersebut dapat berupa HGU (Hak Guna Usaha) atau berupa kepemilikan melalui KPL (Kredit Pemilikan Lahan) yang diberikan kepada calon petani generasi muda (lulusan S1/D3/SLTA) dengan luasan 4-5 ha/unit. Dengan luas usaha/garapan tersebut akan dapat memberikan penghidupan yang layak bagi keluarga mereka. Di samping itu, program ini sekaligus juga memberikan lapangan kerja bagi generasi muda.

Pengembangan areal kedelai dapat mengikuti model PIP (Pola Inti-Plasma) dengan satuan unit pengembangan 2.500-3.000 ha, dan 100-200 ha di antaranya sebagai inti. Inti berperan sebagai sumber informasi dan teknologi, penyedia saprodi, dan menampung produksi kedelai petani.

Dokumen terkait