• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori yang berkenaan dengan variabel yang diambil

3. Keterwakilan CFO Wanita

penampungan pajak yang kompleks yang dirancang untuk mengaburkan substansi ekonomi transaksi juga dapat mengaburkan laporan keuangan perusahaan dan meningkatkan peluang bagi manajerial diversion.

Irawan dan Farahmita (2012:20) juga menemukan bahwa kompensasi direksi berpengaruh terhadap penghindaran pajak perusahaan. Namun hasil tersebut berlawanan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri (2014:15), dan Dewi dan Sari (2015:62), hasil penelitian keduanya menunjukkan bahwa kompensasi eksekutif tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak.

3. Keterwakilan CFO Wanita

CFO (Chief Financial Officer) adalah jabatan di suatu perusahaan yang memiliki tanggung jawab utama untuk mengelola resiko keuangan perusahaan. Pejabat ini juga bertanggung jawab untuk perencanaan keuangan dan pencatatan, serta pelaporan keuangan untuk manajemen yang lebih tinggi. Dalam beberapa sektor CFO juga bertanggung jawab untuk analisis data. Dalam pelaporan keuangan perusahaan CEO dan CFO merupakan pihak yang terlibat secara langsung, yaitu keduanya adalah pihak yang menandatangani laporan keuangan dan bertanggung jawab atas informasi yang disajikan (Nalikka, 2009:102).

Antara pria dan wanita pada dasarnya memiliki perbedaan yang dapat ditinjau dari dua macam konsep, yaitu konsep biologis yang menekankan pada jenis kelamin, dan konsep non-biologis yang lebih dikenal dengan konsep gender. Perbedaan atas dasar konsep biologis lebih menunjuk pada

34 hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan fisiologis, terutama pada fungsi reproduksi, sedangkan konsep gender lebih menekankan pada perbedaan atas dasar konstruksi sosiokultural (Thompson dan Priestley, 1996 dalam Partini, 2013:1). Walaupun gender berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin, tetapi tidak semata-mata bertumpu pada perbedaan fisiologis. Tumpuan lainnya adalah perbedaan psikologis. Ada dua teori untuk melihat adanya perbedaan tersebut, yaitu teori Nature dan teori Nurture

(Budiman, 1985 dalam Partini, 2013:1). Pengikut teori Nature

beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara pria dan wanita disebabkan oleh faktor-faktor biologis. Sedangkan pengikut teori Nurture beranggapan bahwa perbedaan tercipta melalui proses belajar dari lingkungan.

Teori nature mengungkapkan bahwa perbedaan antara pria dan wanita adalah kodrat yang harus diterima. Perbedaan biologis memberikan dampak berupa perbedaan peran dan tugas diantara keduanya. Baik pria maupun wanita memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsi masing-masing. Terdapat peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada pula yang tidak dapat dipertukarkan karena memang berbeda secara kodrat alamiah (Budiman, 1991 dalam Partini, 2013:209).

Deaux dan Kite (1987) dalam Partini (2013:10) menyebutkan bahwa pada umumnya, pria adalah orang yang lebih kuat, lebih aktif, serta ditandai dengan kebutuhan besar mencapai tujuan, dominasi, otonomi, dan agresi. Sebaliknya, wanita dipandang sebagai lebih lemah dan kurang

35 aktif, lebih menaruh perhatian pada afiliasi, berkeinginan untuk mengasuh, serta mengalah.

Literatur psikologi dan manajemen telah mengakui bahwa terdapat perbedaan berbasis gender yang signifikan antara pria dan wanita. Sebagai contoh adalah perbedaan dalam gaya kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, konservatisme, menghindari resiko, dan pembuatan keputusan (Peni dan Vahaama, 2010:630).

Karam dan Ballington (1999) dalam Woischnik (2012:5) mengatakan bahwa keterwakilan wanita memiliki peran yang sangat penting, karena diyakini dapat memberikan perubahan positif dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih baik. Kehadiran kaum wanita merupakan prasyarat bagi terwujudnya kesetaraan gender.

Gender berasal dari kata dalam bahasa Arab “Jinsiyyun” yang kemudian diadopsi dalam bahasa Perancis dan Inggris menjadi “gender” (Fakih, 1999:8). Gender diartikan sebagai perbedaan peran dan tanggung jawab wanita dan pria yang ditentukan secara sosial. Gender berhubungan dengan bagaimana persepsi dan pemikiran serta tindakan yang diharapkan sebagai wanita dan pria yang dibentuk masyarakat, bukan karena perbedaan biologis. Peran gender dibentuk secara sosial, institusi sosial memainkan peranan penting dalam pembentukkan peran gender dan hubungan.

Istilah gender digunakan dalam konteks sosial untuk menjelaskan karakteristik antara pria wanita maupun antara sifat-sifat feminim dan

36 maskulin dalam masyarakat. Menurut World Health Organizations (WHO), “Gender” refers to the socially constructed roles, behaviours, activities, and attributes that a given society considers appropriate for men and women. Yang berarti gender merujuk pada peran, perilaku, aktivitas dan atribut yang dibentuk secara sosial dianggap sesuai untuk pria dan wanita (Kartikarini dan Mutmainah, 2013:2). Dengan perbedaan gender tersebut, diasumsikan bahwa pria dan wanita akan bertindak atau memiliki respons yang berbeda dalam menghadapi masalah yang sama. Pria dan wanita akan menggunakan pertimbangan yang berbeda dalam proses pengambilan keputusan dalam rangka merespon masalah yang dihadapinya.

Parson dan Bales (1955) dalam Partini (2013:11) mengungkapkan bahwa wanita lebih cocok pada pekerjaan yang bersifat ekspresif, sedangkan pria lebih sesuai pada pekerjaan instrumental. Stoler (1982) dan Boserup (1970) dalam Partini (2013:11) menggunakan istilah pekerjaan domestik untuk wanita dan publik untuk pria. Sedangkan Doringer dan Piore (1971) serta Standing (1978) dalam Partini (2013:11) menyebut istilah jenis pekerjaan primer untuk pria, dan sekunder untuk wanita. Sebenarnya pembagian kerja secara seksual bukan merupakan sesuatu yang keliru atau salah, asalkan hal itu dapat menunjukkan adanya keseimbangan (Budiman, 1991 dalam Partini, 2013:2). Konsekuensi adanya pembagian kerja terlihat tatkala wanita masuk ke dalam angkatan

37 kerja, di mana terdapat pembedaan upah dan kesempatan (Carrel et al., 1995 dalam Partini, 2013:2).

Teori peran memperhatikan perbedaan antar jenis kelamin yang diekspresikan melalui perbedaan harapan, sikap, tingkah laku yang telah mempola, dan kemungkinan berkarakteristik psikologis. Pria dianggap memiliki intelektualitas dan emosi yang lebih tinggi, serta menginginkan kerja yang penuh arti dengan harapan-harapan yang lebih besar daripada wanita (Partini, 2013:13).

Schein (1994) dalam Partini (2013:24-25) menyatakan bahwa posisi yang banyak diduduki wanita hanya pada tingkat bawah.

“Most women are still concentrated in lower management levels. Women represent only 11% of high level directors and managers, and no more than 3% at the top level of management of large companies in the private sector.”

Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Wagnerova (1983) dalam Partini (2013:25) yang menunjukkan bahwa walaupun partisipasi tenaga kerja wanita semakin bertambah, namun jika ditinjau dari kategori pekerjaan maka wanita yang tergolong sebagai pekerja ahli hanya 25%.

Pria banyak memonopoli pekerjaan-pekerjaan manajerial, pria dikembangkan sedemikian rupa sehingga menyisihkan wanita dari penyusunan berbagai macam program ketika perusahaan harus membuat suatu keputusan penting (Reskin dan Phipps, 1988 dalam Partini, 2013:36). Pekerjaan menjadi semakin birokratis dan berbagai macam aturan personal yang menghalangi wanita juga semakin diformalisasikan (Taylor, 1977 dalam Partini, 2013:36). Namun kini peluang wanita untuk

38 memperoleh pekerjaan sebagai manajer dan administratur jumlahnya semakin bertambah secara sangat perlahan-lahan. Di Amerika, pada tahun 1970 pekerjaan manajer dan administratur yang dipegang oleh wanita adalah 16,6%. Angka ini menjadi 26,1% pada tahun 1980, walaupun manajer wanita hanya berada pada pekerjaan sosial dan perpustakaan (Reskin dan Phipps, 1988 dalam Partini, 2013:36).

Dewan direksi dan komisaris perusahaan yang heterogen akan mampu untuk membuat keputusan berdasarkan evaluasi dari beberapa alternatif dibandingkan dengan dewan direksi yang lebih homogen. Direktur wanita memiliki pengalaman kerja yang berbeda dibandingkan dengan direktur pria. Direktur wanita memiliki pemahaman yang lebih baik atas segmen pasar perusahaan dibandingkan pria dan hal ini dapat mengembangkan kualitas dalam proses pengambilan keputusan perusahaan (Singh & Vinnicombe, 2004 dalam Nathania, 2014:77).

Management diversity menjadi hal yang penting untuk diperhatikan berkaitan dengan corporate governance di Indonesia karena masih adanya anggapan bahwa pria lebih layak untuk menduduki jabatan penting dalam perusahaan. Kehadiran wanita dalam perusahaan sangat menguntungkan untuk pengambilan keputusan. Sebagai contoh, partisipasi wanita dalam dewan perusahaan dapat membantu menghindari proyek yang terlalu beresiko karena wanita umumnya lebih menghindari resiko (risk averse) dibandingkan pria (Byrnes et al., 1999 dalam Nathania, 2014:78) dan memiliki sikap kehati-hatian yang tinggi (Kusumastuti, Supatmi dan

39 Sastra, 2007 dalam Nathania, 2014:78). Kedua, pria dan wanita memiliki perbedaan kognitif (Hambrick dan Mason, 1984 dalam Nathania, 2014:78), wanita cenderung memiliki norma, perilaku, keyakinan, dan perspektif yang berbeda (Pelled et al., 1999 dalam Nathania, 2014:78). Pola kognitif ini akan memungkinkan dewan untuk mempertimbangkan pilihan-pilihan yang lebih luas dan solusi terkait dengan permasalahan perusahaan (Konrad et al., 2008 dalam Nathania, 2014:78).

Perbedaan gender dalam perilaku pengambilan resiko telah dieksplorasi secara luas di bidang sastra maupun ekonomi sastra. Studi yang ada menunjukkan bahwa wanita pada umumnya lebih menolak resiko daripada pria (Francis et al., 2014:1). Jianakoplos dan Bernasek (1998:620) dalam penelitiannya menyatakan bahwa wanita cenderung memiliki aset kurang beresiko di portofolio investasi dan lebih untuk memenuhi peraturan.

Sedangkan Aspray dan Cohoon (2007) dalam Arini, dkk. (2010:138) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara peran gender dan tingkah laku pengambilan resiko, yaitu peran gender feminim lebih cenderung menghasilkan tingkah laku pengambilan resiko yang lebih tinggi. Namun tampaknya masih diperlukan penelitian yang lebih banyak karena minimnya penelitian yang dilakukan. Peran gender adalah sejauh mana seseorang menghayati sifat dan fungsi dirinya (sesuai dengan jenis kelamin dan gender yang ia yakini) sehingga dapat direpresentasikan dalam tingkah laku.

40 Peran gender inilah yang mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap sifat dan tingkah laku yang semestinya ditampilkan oleh jenis kelamin tertentu. Padahal belum pasti bahwa generalisasi dapat dilakukan pada seluruh orang yang memiliki jenis kelamin yang sama karena setiap orang juga memiliki keunikan individual (Hyde, 2007 dalam Arini, dkk., 2010:134). Walaupun dapat memudahkan kategorisasi sosial, namun terdapat juga dampak negatif dari peran gender yaitu kesalahan atribusi agresifitas dan prestasi. Pria dipandang memiliki tingkat agresivitas yang tinggi padahal kenyataannya tidak semua pria seperti itu. Wanita selalu dianggap tidak memiliki keinginan untuk berprestasi oleh karenanya terjadi standar ganda bagi wanita, yaitu wanita harus bekerja ekstra keras untuk memperoleh kesuksesan dan rnendapatkan pengakuan dan masyarakat (Hyde, 2007 dalam Arini, dkk., 2010:134).

Penelitian yang dilakukan oleh Vermeir dan Kenhove (2008:281) menunjukkan bahwa wanita cenderung lebih beretika dalam membuat pertimbangan dan perilakunya dibanding pria. Sementara Barber dan Odean (2000:3) menyatakan bahwa wanita cenderung menghindari resiko dibanding pria.

Dapat dikatakan bahwa perbedaan gender dari top manajemen perusahaan akan mempengaruhi pengambilan keputusan dan arah kebijakan perusahaan. Dikaitkan dengan manajemen laba, perbedaan gender dari top manajemen perusahaan tentunya dapat diasumsikan akan memiliki implikasi pada praktik manajemen laba dan kualitas pelaporan

Dokumen terkait