PENGARUH KOMPENSASI EKSEKUTIF, KETERWAKILAN CFO WANITA, DAN KARAKTERISTIK EKSEKUTIF TERHADAP
TINDAKAN PAJAK AGRESIF
(Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2012-2014)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh:
Okky Oktaviyani Rahayu NIM: 109082000147
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. Identitas Pribadi
Nama : Okky Oktaviyani Rahayu
Tempat Tanggal Lahir : Bekasi, 08 Oktober 1990
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl. Flamboyan 1 No. 343 RT. 008/010
Perumnas 1 Bekasi
Agama : Islam
Telepon : 08989710913
E-mail : okhe_achisballa@yahoo.com
II. Pendidikan Formal
1996-2002: SD Negeri
2002-2005: SMP Negeri 07 Bekasi 2005-2008: SMA Negeri 02 Bekasi
2009-2016: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Akuntansi
III. Pengalaman Kerja
2010-2010: Lembaga Pendidikan Elfast sebagai Staff Pengajar 2013-2015: PT. Mitrawan Mandiri Selaras Abadi sebagai Staff
vii
THE EFFECT OF EXECUTIVE COMPENSATION, CFOs FEMALE REPRESENTATION AND EXECUTIVE CHARACTERISTIC ON TAX
AGGRESSIVENESS
ABSTRACT
The purpose of this research is to analyze the effect of executive compensation, CFOs female representation, and executive characteristic on tax aggressiveness. This research used 56 sample of manufacturing firms listed in Indonesian Stock Exchange for period on 2012-2014 that acquired by purposive sampling method. The method of research analysis was used multiple regression analysis.
The result of this research showed that simultaneously, executive compensation, CFOs female representation, and executive characteristic has significant effect on tax aggressiveness. Partially, executive compensation and executive characteristic has significant effect on tax aggressiveness. While the CFOs female representation has no significant effect on tax aggressiveness.
viii
PENGARUH KOMPENSASI EKSEKUTIF, KETERWAKILAN CFO WANITA DAN KARAKTERISTIK EKSEKUTIF TERHADAP
TINDAKAN PAJAK AGRESIF
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kompensasi eksekutif, keterwakilan CFO wanita, dan karakteristik eksekutif terhadap tindakan pajak agresif. Penelitian ini menggunakan sampel 56 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2012-2014 yang ditentukan berdasarkan metode purposive sampling. Metode analisis penelitian yang digunakan adalah metode analisis regresi berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan kompensasi eksekutif, keterwakilan CFO wanita, dan karakteristik eksekutif berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak agresif. Sementara secara parsial, kompensasi eksekutif dan karakteristik eksekutif berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak agresif. Sedangkan keterwakilan CFO wanita tidak berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak agresif.
ix
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh
Alhamdulillahirabbil’aalamiin. Puji dan syukur penulis persembahkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Kompensasi Eksekutif, Keterwakilan CFO Wanita, dan Karakteristik Eksekutif terhadap Tindakan Pajak Agresif”. Pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2014, dengan baik dan lancar.
Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak lepas dari berbagai hambatan dan rintangan. Penulis meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan ketetapan Allah SWT., namun penyusunan skripsi ini tidak lepas dari orang-orang di sekitar penulis yang begitu banyak memberi bantuan serta dukungan pada penulis. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu baik secara moril maupun materi dalam penyusunan skripsi ini kepada:
1. Keluarga tercinta, Mama dan Bapak, serta adik-adikku, Mieke dan Dhea atas doa, dukungan, kesabaran dan keikhlasan yang tidak henti-hentinya. Syukur saya panjatkan kepada Allah karena terlahir sebagai anak dari Mama dan Bapak. Mama dan Bapak, beribu-ribu ucapan terima kasih atas segala curahan kasih sayang, kesabaran, perhatian, do’a dan motivasi yang telah mama dan bapak berikan kepada saya, yang tak akan pernah bisa saya balas. Hanya Allah yang bisa membalasnya, semoga mama dan bapak selalu ada dalam rahmat Allah, aamin.
2. Ibu Dr. Rini, Ak., CA., selaku dosen pembimbing I dalam penulisan skripsi ini yang senantiasa dengan tulus, ikhlas, sabar dan kasih sayangnya memberikan bimbingan, arahan serta motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
x
dan pikirannya dalam memberikan pengarahan, masukan-masukan serta kritik dan saran yang membangun selama proses penulisan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid MS. selaku dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
5. Ibu Yessi Fitri, SE., M.Si., Ak., CA. selaku ketua jurusan akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
6. Segenap Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan ilmu dan perhatiannya kepada para mahasiswa.
7. Segenap karyawan Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan pelayanannya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
8. Partner terbaikku Kamil, terima kasih atas dukungan, motivasi dan kasih sayang yang tidak terhingga untuk terus menyemangati.
9. Sahabatku Eneng, terima kasih atas perhatian, suka cita dan kasih sayangmu. Semoga persahabatan kita tak akan pernah putus sampai akhir hayat.
10. Teman-teman dan sahabat kelas Akuntansi D, terima kasih atas semua kebersamaannya, kebahagiaan, dan persaudaraan yang telah kalian berikan. 11. Teman-teman angkatan 2009 akuntansi, terima kasih atas semua persahabatan
dan motivasinya.
12. Seluruh pihak yang telah membantu kelancaran pembuatan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu semoga semua bantuan yang telah kalian berikan mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan dan kritik yang membangun untuk penulisan skripsi ini dari semua pihak.
Jakarta, Maret 2016
xi DAFTAR ISI
Keterangan Halaman
HALAMAN JUDUL... i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI... ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF... iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI...... iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP... vi
ABSTRACT... vii
ABSTRAK.... viii
KATA PENGANTAR.... ix
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL... xiv
DAFTAR GAMBAR... xv
DAFTAR LAMPIRAN.... xvi
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
Perumusan Masalah... 10
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 11
1. Tujuan Penelitian... 11
2. Manfaat Penelitian... 11
xii
A. Teori yang berkenaan dengan variabel yang diambil... 13
1. Tindakan Pajak Agresif... 13
2. Kompensasi Eksekutif... 18
3. Keterwakilan CFO Wanita... 33
4. Karakteristik Eksekutif... 41
B. Penelitian Sebelumnya... 45
C. Kerangka Berpikir dan Pengembangan Hipotesis... 49
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 55
A. Ruang Lingkup Penelitian... 55
B. Metode Penentuan Sampel... 55
C. Metode Pengumpulan Data... 56
D. Metode Analisis Data... 56
1. Analisis Statistik Deskriptif... 57
2. Uji Asumsi Klasik... 57
a. Uji Normalitas Residual... 57
b. Uji Multikolinearitas... 57
c. Uji Heterokedastisitas... 57
d. Uji Autokorelasi... 58
3. Uji Hipotesis... 58
a. Uji Determinasi (R2)... 59
b. Uji F... 60
c. Uji t... 60
E. Operasional Variabel Penelitian... 60
1. Variabel Independen... 61
a. Kompensasi Eksekutif... 61
b. Keterwakilan CFO Wanita... 61
c. Karakteristik Eksekutif... 62
2. Variabel Dependen... 63
xiii
A.Gambaran Umum Objek Penelitian... 65
1. Deskripsi Objek Penelitian... 65
2. Deskripsi Sampel Penelitian... 65
B.Hasil Uji Analisis Data Penelitian... 66
1. Hasil Uji Statistik Deskriptif... 66
2. Hasil Uji Asumsi Klasik... 68
a. Uji Normalitas... 68
b. Uji Multikolinearitas... 69
c. Uji Heterokedastisitas... 70
d. Uji Autokorelasi... 71
3. Hasil Uji Hipotesis... 72
a. Uji Determinasi (R2)... 72
b. Uji F... 73
c. Uji t... 74
BAB V PENUTUP... 79
A.Kesimpulan... 79
B.Implikasi... 80
C.Saran... 81
DAFTAR PUSTAKA... 82
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 : Daftar Kasus-Kasus Penghindaran Pajak... 3
Tabel 2.1 : Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu... 45
Tabel 3.1 : Operasional Variabel... 64
Tabel 4.1 : Proses Seleksi Populasi Perusahaan Manufaktur... 66
Tabel 4.2 : Hasil Uji Statistik Deskriptif... 67
Tabel 4.3 : Hasil Uji Normalitas... 69
Tabel 4.4 : Hasil Uji Multikolonieritas... 70
Tabel 4.5 : Hasil Uji Heterokedastisitas... 71
Tabel 4.6 : Hasil Uji Autokorelasi... 72
Tabel 4.7 : Hasil Uji Adjusted R2... 73
Tabel 4.8 : Hasil Uji F... 74
xv
DAFTAR GAMBAR
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan utama suatu negara
dalam rangka pembiayaaan penyelenggaraan pemerintahan untuk penyediaan
barang dan jasa publik serta pembangunan. Dalam penjelasan
Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) telah
dinyatakan bahwa pajak merupakan salah satu sarana dan hak tiap wajib
pajak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan.
Namun bagi pelaku bisnis dan investor, pajak tetap dianggap sebagai
beban investasi. Oleh karena itu, adalah wajar apabila pengusaha berusaha
untuk menghindari beban pajak dengan melakukan perencanaan pajak yang
efektif. Arnold dan McIntyre (1995) dalam Gunadi (2007:276) menyebut
bahwa penghindaran pajak (tax avoidance) merupakan upaya penghindaran
atau penghematan pajak yang masih dalam kerangka memenuhi ketentuan
perundangan (lawful fashion). Tax avoidance, harus dibedakan dari tax
evasion (penyeludupan pajak) yang secara umum bersifat melawan hukum
(ilegal) dan mencakup perbuatan sengaja tidak melaporkan secara lengkap
dan benar objek pajak atau perbuatan melanggar hukum (fraud) lainnya.
Walaupun secara legal dapat dibedakan, namun secara ekonomis baik
perencanaan pajak melalui tax avoidance maupun tax evasion sama-sama
2 transaksi-transaksi yang berpotensi meminimalkan beban pajak untuk
memperoleh penghematan pajak merupakan perencanaan pajak.
Menurut Ahmad (2005) dalam Gunadi (2009:279) perencanaan pajak
merupakan serangkaian proses atau tindakan yang dilakukan wajib pajak
untuk merekayasa sumber-sumber penghasilan dan beban maupun transaksi
lainnya dengan tujuan untuk minimalisasi, penangguhan atau eleminasi beban
pajak yang masih berada dalam kerangka peraturan perundang-undangan.
Untuk mencapai tujuan dimaksud, pengusaha harus memanfaatkan semua
pengurang, pengecualian, pembebasan, kemudahan dan kredit yang
disediakan oleh ketentuan maupun administrasi pajak. Kalau disandingkan
maka penghindaran (avoidance) melibatkan terutama komersialisasi dan
pemanfaatan secara efektif kebijakan pajak dalam peraturan
perundang-undangan. Sementara itu, penyelundupan atau penggelapan pajak dan
sejenisnya (tax evasion) terutama terjadi dengan penghilangan atau kurang
melaporkan objek pajak yang kadangkala didukung dengan rekayasa legal,
akuntansi, dan administratif lainnya. Sementara pajak agresif adalah
perencanaan pajak yang berada di antara tax avoidance dan tax evasion,
berada dalam ranah abu-abu (gray area) (Zuber, 2007:15).
Sudah banyak kasus-kasus penghindaran pajak yang terjadi baik di
Internasional maupun di Indonesia. Beberapa daftar kasus-kasus
3 Tabel 1.1
Daftar Kasus-Kasus Penghindaran Pajak
No Tahun Kasus
1 2013 Indonesia dikejutkan dengan putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yang telah memberikan vonis kepada 14 perusahaan Asian Agri Group (AAG), hal ini diakibatkan terungkapnya penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahaan Asian Agri Group pada tahun 2006. Penggelapan yang dilakukan oleh perusahaan Asian Agri Group adalah dengan melakukan
transfer pricing. Perusahaan Asian Agri Group (AAG) menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar, dan kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi, maka beban pajak di dalam negeri dapat ditekan. Selain itu, rekanan perusahaan Asian Agri Group sebagian besar adalah perusahaan fiktif. Diperkirakan penggelapan pajak yang dilakukan perusahaan Asian Agri Group (AAG) telah merugikan negara sejumlah Rp 1,3 triliun (Wirawinata, 2011).
2 2013 Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatra Utara (Kakanwil Ditjen Pajak Sumut) I, Medan Harta Indra Tarigan mengungkapkan satu kasus penghindaran pajak (tax avoidance) yang ditemukan pihaknya saat bertugas di Kanwil Pajak Sumut II Pematangsiantar. Dirjen pajak menemukan tujuh modus yang dilakukan para pengembang properti dalam melakukan penghindaran pajak (tax avoidance). Pertama, penggunaan harga di bawah harga jual sebenarnya dalam menghitung Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Kedua, tidak mendaftarkan diri menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) namun menagih Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketiga, tidak melaporkan seluruh penjualan. Keempat, tidak memotong dan memungut Pajak Penghasilan (PPh). Kelima, mengkreditkan pajak masukan secara tidak sah. Keenam, penghindaran PPn Barang Mewah dan PPh Pasal 22 atas hunian mewah. Ketujuh, menjual tanah dan bangunan, namun yang dilaporkan hanya penjualan tanah (Siregar, 2013).
4 Tabel 1.1. (Lanjutan)
No Tahun Kasus
3 2013 Penghindaran pajak (tax avoidance) yang dilakukan oleh PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). Kasus ini terjadi karena pemisahan perusahaan perakitan mobil (manufacturing). Pemisahan perusahaan ini mengakibatkan terjadinya penurunan
gross margin sebesar 7%, yang seharusnya jika
digabungkan dapat menghasilkan gross margin sebesar 14%. Hal ini yang membuat Dirjen Pajak mempertanyakan perbedaan selisih dari gross margin
ini, karena pemisahan perusahaan ini seharusnya tidak berdampak pada berkurangnya keuntungan (gross margin) (Idris, 2013).
4 2014 Eropa diguncangkan dengan polemik fasilitas
perpajakan Irlandia yang menyebabkan banyak perusahaan multinasional besar seperti: Amazon, Apple, Facebook, Paypal, Twitter memilih markas di Irlandia guna membayar pajak yang lebih rendah dibandingkan jika membuka markas di negara eropa lainnya. Hal tersebut tentunya menimbulkan kemarahan negara sumber penghasilan, seperti: Perancis, Inggris, dan USA yang merasa kontribusi pajak yang dibayarkan tidak sebanding dengan penghasilan yang diperoleh dari negara tersebut (Santosa, 2015).
5 2014 Kasus penghindaran pajak yang menyangkut banyak perusahaan multinasional. Kasus tersebut melibatkan negara Luxembourg sebagai negara yang memberikan fasilitas pajak dengan skema pajak yang rumit dengan dibantu oleh kantor akuntan handal internasional (Santosa, 2015).
6 2015 Eropa kembali dikejutkan kasus perpajakan yang dilakukan oleh HSBC Swiss. International Consortium of Investigative Journalist (The Guardian dan BBC Inggris, Le Monde Perancis, dan 50 media lainnya) mengungkap kasus ini ke publik. HSBC Swiss diduga telah membantu customer kaya untuk menghindari pajak
(Tax Avoidance) dengan menawarkan skema agresif untuk mengurangi pajak di negara asal, khususnya Eropa. Secara serentak, otoritas pajak negara Eropa: HMRC Inggris, CFE Perancis, dan negara belahan dunia lain seperti ATO Australia segera melakukan penyelidikan guna menemukan keterlibatan warganya yang menyembunyikan pundi-pundi kekayaannya (Santosa, 2015).
5 Dalam kasus lain, banyak perusahaan besar Indonesia memilih kantor
pusat di Singapura padahal sumber penghasilan berada di Indonesia, dengan
varian pembayaran jasa, royalti ke kantor pusat. Labuan FSA, dengan fasilitas
seperti negara Tax Haven countries, menjadi lokasi menarik untuk pendirian
entitas anak usaha. Walaupun tarif pajak Corporate tax Indonesia sudah
diturunkan menjadi 25% pada tahun 2010, namun tarif ini relatif masih tinggi
apabila dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN (Santosa, 2015).
Kasus-kasus penghindaran pajak di atas menunjukkan bahwa sebagian
besar tindakan ini dimotivasi oleh usaha perusahaan melakukan penghindaran
dan penghematan pajak, guna mengurangi biaya pembayaran pajak agar lebih
kecil. Hal ini didukung dengan prinsip yang dimiliki oleh perusahaan yaitu
berusaha untuk menghasilkan laba sebesar-besarnya dengan cara mengurangi
biaya-biaya perusahaan termasuk biaya untuk membayar pajak, jika
diperlukan perusahaan akan berusaha untuk dapat menghilangkan biaya untuk
membayar pajak.
Tindakan pajak agresif dapat memberikan marginal benefit maupun
marginal cost. Marginal benefit yang mungkin didapat adalah adanya
penghematan pajak (tax savings) yang signifikan bagi perusahaan, sedangkan
marginal cost yang mungkin timbul adalah munculnya biaya atas
kemungkinan dikenainya denda atau sanksi perpajakan apabila dilakukan
pemeriksaan, penurunan harga saham perusahaan, reputational cost dan
political cost. Dalam penelitian ini tindakan pajak agresif diukur
6 dapat merefleksikan perbedaan tetap antara perhitungan laba buku dengan
laba fiskal (Frank et al., 2009:471).
Kompensasi merupakan komponen penting dalam penciptaan suatu
manajemen yang efektif dan kondusif. Kompensasi adalah bagian dari
manajemen. Sistem kompensasi yang baik dapat memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap keberhasilan bisnis. Sistem kompensasi membantu dalam
memberi penguatan terhadap nilai-nilai kunci organisasi serta memfasilitasi
pencapaian tujuan organisasi (Sutrisno, 2011:181). Kompensasi juga menjadi
pendorong seseorang untuk bekerja. Karena berpengaruh terhadap moral dan
disiplin tenaga kerja (Sastrohadiwiryo, 2003:181).
Thomson (2002) dalam Kadarisman (2012:26) mengemukakan bahwa
kompensasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi bagaimana dan
mengapa orang-orang bekerja pada suatu organisasi dan bukan pada
organisasi lainnya.
Kebijakan penentuan kompensasi eksekutif merupakan salah satu cara
yang dapat dilakukan dalam rangka mendorong peningkatan kinerja.
Eksekutif bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para
pemilik atau pemegang pemegang saham, dan sebagai imbalannya eksekutif
akan memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak. Pemilik perusahaan
mengharapkan pihak eksekutif dapat meningkatkan kinerja dengan kebijakan
pemberian kompensasi yang tepat (Santi dan Puji, 2014 dalam Khasanah,
7 Tindakan pajak agresif bisa muncul dari berbagai faktor, salah satunya
merupakan kompensasi. Manajemen memegang peranan penting dalam
memilih strategi yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kekayaan
para pemegang saham. Hal tersebut dilakukan dengan meningkatkan kinerja
perusahaan menjadi lebih baik dan efisien. Salah satu strategi yang dilakukan
pihak manajemen adalah dengan efisiensi pembayaran pajak (Putri, 2014:2).
Sebelumnya, ada Armstrong et al. (2011:36) melakukan penelitian
mengenai hubungan kompensasi yang diterima oleh eksekutif perusahaan,
khususnya direktur pajak, terhadap tax planning perusahaan. Dalam
penelitian tersebut, mereka membuktikan adanya hubungan yang kuat antara
kompensasi yang diterima direktur pajak perusahaan dengan tax planning
melalui Generally AcceptedAccounting Principles (GAAP) effective tax rate.
Selain kompensasi, tindakan pajak agresif juga bisa muncul dari berbagai
faktor lain. Francis et al. (2014:27) melakukan penelitian mengenai
keterwakilan perempuan sebagai Chief Financial Officer (CFO) dalam
perusahaan-perusahaan Amerika yang terdaftar di ExecuComp database
terhadap tindakan pajak agresif. Dari hasil penelitian tersebut belum
ditemukan bukti bahwa keterwakilan wanita sebagai CFO berbeda dari
perilaku rekan-rekan pria dalam upaya pajak agresif (penghindaran pajak).
Namun dalam pelaporan keuangan perusahaan, Chief Financial Officer
(CFO) bersama Chief ExecutiveOfficer (CEO) merupakan pihak utama yang
terlibat dan berpengaruh secara langsung, yaitu keduanya merupakan pihak
8 informasi yang disajikan. CFO bertanggung jawab untuk perencanaan
keuangan dan pencatatan, serta pelaporan keuangan untuk manajemen yang
lebih tinggi. Dalam beberapa sektor CFO juga bertanggung jawab untuk
analisis data.
Dalam penelitian lainnya menunjukkan bahwa CFO wanita memiliki
pengaruh secara signifikan dengan tingkat manajemen laba (Peni dan
Vahaama, 2010:643). Oleh karenanya maka penelitian ini ingin menguji
bagaimana pengaruh keterwakilan perempuan sebagai CFO terhadap perilaku
pajak agresif pada perusahaan-perusahaan di Indonesia, khususnya industri
manufaktur.
Selain ingin menguji pengaruh kompensasi eksekutif dan keterwakilan
CFO wanita terhadap tindakan pajak agresif, penelitian ini juga ingin meneliti
bagaimana pengaruh karakteristik eksekutif pada perusahaan terhadap
tindakan pajak agresif. Dyreng et al. (2010:1185-1186) menyebutkan bahwa
karakter dari setiap individu eksekutif akan menentukan seberapa besar
tingkat agresifitas yang dilakukan perusahaan dalam melakukan penghindaran
pajak. Walaupun tidak melanggar hukum, namun penghindaran pajak tidak
begitu saja dilakukan oleh semua perusahaan. Eksekutif yang memiliki
karakter pengambil resiko (risk taker) cenderung lebih berani untuk
melakukan penghindaran pajak dengan agresif. Sebaliknya, eksekutif yang
memiliki karakter penghindar resiko (risk averse) akan cenderung lebih
9 biaya yang tidak wajar dapat menimbulkan peluang dilakukannya
pemeriksaan pajak.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang pernah
dilakukan di Indonesia sebelumnya. Budiman dan Setiyono (2012:15), dan
Swingly dan Sukartha (2015:58) menemukan bahwa karakteristik eksekutif
memiliki pengaruh terhadap tingkat penghindaran pajak yang dilakukan
perusahaan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menguji apakah terdapat
pengaruh karakteristik eksekutif terhadap tindakan pajak agresif yang
dilakukan perusahaan.
Melanjutkan penelitian sebelumnya, penelitian ini menggabungkan
pengujian yang dilakukan oleh Desai dan Dharmapala (2004), Peni dan
Vahaama (2010), Dyreng et al. (2010), Putri (2014), Francis et al. (2014),
Armstrong et al. (2014), Carolina, dkk. (2014), dan Swingly dan Sukartha
(2015). Dengan komprehensivitas literatur yang menjadi acuan, maka
beberapa hal baru yang terdapat dalam penelitian ini adalah: (1) Pengujian
pengaruh kompensasi eksekutif terhadap tindakan pajak agresif perusahaan
publik di Indonesia (khususnya industri manufaktur); (2) Pengujian pengaruh
keterwakilan CFO wanita terhadap tindakan pajak agresif perusahaan publik
di Indonesia (khususnya industri manufaktur); (3) Pengujian pengaruh
karakteristik eksekutif perusahaan terhadap tindakan pajak agresif perusahaan
10 Berdasarkan uraian di atas, maka penulis bermaksud untuk menyusun
skripsi dengan judul “Pengaruh Kompensasi Eksekutif, Keterwakilan CFO Wanita, dan Karakteristik Eksekutif terhadap Tindakan Pajak Agresif”. Pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2014.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang dikemukakan di atas maka
perumusan masalah yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Apakah kompensasi eksekutif, keterwakilan CFO wanita dan karakteristik
eksekutif secara simultan berpengaruh terhadap tindakan pajak agresif?
2. Apakah kompensasi eksekutif berpengaruh terhadap tindakan pajak
agresif?
3. Apakah keterwakilan CFO wanita berpengaruh terhadap tindakan pajak
agresif?
4. Apakah karakteristik eksekutif berpengaruh terhadap tindakan pajak
11 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
a. Untuk menganalisis pengaruh kompensasi eksekutif, keterwakilan CFO wanita dan karakteristik eksekutif terhadap tindakan pajak agresif secara
simultan.
b. Untuk menganalisis pengaruh kompensasi eksekutif terhadap tindakan
pajak agresif.
c. Untuk menganalisis pengaruh keterwakilan CFO wanita terhadap tindakan pajak agresif.
d. Untuk menganalisis pengaruh karakteristik eksekutif terhadap tindakan pajak agresif.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:
a. Kontribusi Teoritis
1) Bagi Mahasiswa Jurusan Akuntansi, penelitian ini diharapkan dapat
menambah ilmu pengetahuan di bidang akuntansi dan perpajakan
khususnya mengenai pajak agresif dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, dan dapat menjadi bahan acuan serta referensi bagi
mahasiswa untuk penelitian selanjutnya.
2) Bagi Masyarakat, sebagai pengetahuan mengenai perilaku-perilaku
12 3) Bagi peneliti berikutnya, sebagai bahan referensi peneliti lainnya yang
akan melakukan penelitian lebih lanjut mengenai topik ini.
4) Bagi penulis, penelitian ini diharapkan untuk memperluas dan
memperdalam pengetahuan tentang perpajakan khususnya yang
berkaitan mengenai pajak agresif dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya serta dapat bermanfaat bagi penulis di masa yang
akan datang.
b. Kontribusi Praktis
1) Bagi pembuat kebijakan perpajakan, penelitian ini diharapkan sebagai
pengetahuan agar dapat memberikan perhatian lebih kepada
perusahaan yang melakukan tindakan pajak agresif agar penerimaan
negara yang bersumber dari pajak dapat dimaksimalkan.
2) Bagi investor diharapkan sebagai pengetahuan agar lebih berhati-hati
dalam menanamkan modalnya di perusahaan supaya tidak terkena
kemungkinan dampak dari tindakan pajak agresif yang dilakukan
perusahaan karena perusahaan yang agresif dalam tindakan pajaknya
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori yang berkenaan dengan variabel yang diambil 1. Tindakan Pajak Agresif
Frank et al. (2009:468) mendefinisikan tindakan pajak agresif sebagai
suatu tindakan pengelolaan yang bertujuan untuk menurunkan laba kena
pajak melalui perencanaan pajak baik menggunakan cara yang tergolong
tax evasion atau tidak. Tax evasion merupakan upaya yang dilakukan oleh
wajib pajak untuk mengurangi beban pajak dan memperoleh penghematan
pajak dengan melakukan perencanaan pajak yang secara umum bersifat
melawan hukum (ilegal) dan mencakup perbuatan sengaja tidak
melaporkan secara lengkap dan benar objek pajak atau perbuatan
melanggar hukum (fraud) lainnya. Sedangkan tax avoidance merupakan
upaya penghindaran atau penghematan pajak yang masih dalam kerangka
memenuhi ketentuan perundangan (lawful fashion) (Arnold dan McIntyre,
1995 dalam Gunadi, 2007:276).
Sementara Zuber (2007:15) menyatakan bahwa:
14 Berdasarkan pemikiran tersebut, dikemukakan bahwa di antara tax
avoidance dan tax evasion terdapat daerah abu-abu yang berpotensi
terjadinya agresivitas pajak. Transaksi dan pengambilan keputusan yang
agresif mungkin secara potensial dapat menjadi masalah penghindaran
pajak maupun penggelapan pajak.
Pajak yang dibayarkan perusahaan merupakan proses transfer
kekayaan dari pihak perusahaaan kepada pemerintah sehingga beban pajak
yang dibayarkan tersebut menjadi biaya yang sangat besar bagi
perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan akan cenderung melakukan usaha
penghindaran dan/atau penghematan pajak sebagai upaya untuk dapat
membayar pajak dengan seefisien mungkin (Hanlon dan Slemrod,
2009:126). Perusahaan yang berorientasi laba, baik perusahaan domestik
maupun perusahaan multinasional akan berusaha meminimalkan beban
pajak dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari
suatu negara (Darussalam dan Septriadi, 2009).
Di banyak negara, skema penghindaran pajak dibedakan menjadi
penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance) dan
penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax
avoidance). Istilah lain yang sering dipergunakan untuk menyatakan
penghindaran pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning dan
istilah untuk penghindaran pajak yang tidak diperkenankan adalah
15 Kemudian lebih lanjut Harari, et.al. (2013:9) menyatakan bahwa
agresivitas pajak dapat didefinisikan sebagai:
“The main purpose of the activity or activities that are the object of tax planning is to avoid paying taxes or to lower taxes significantly, and the commercial reason for that activity, if any, is marginal”.
Berdasarkan pemikiran tersebut, dikemukakan bahwa tindakan pajak
agresif merupakan tujuan utama dari aktivitas perencanaan pajak untuk
menghindari pembayaran pajak atau membuat rendah beban pajak yang
dibayarkan secara signifikan.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
tindakan pajak agresif dilakukan sebagai upaya paling akhir dari spektrum
serangkaian perilaku perencanaan pajak untuk tujuan mengurangi beban
pajak dan penghematan pajak yang nantinya dapat menghasilkan
pelaporan pajak yang agresif.
Dalam melakukan tindakan pajak agresif, terdapat beberapa
keuntungan dan kerugian. Chen et al. (2010:8) menyebutkan 3 keuntungan
tindakan pajak agresif, yaitu:
a. Penghematan pajak, sehingga bagian kas untuk pemegang saham
menjadi lebih besar.
b. Kompensasi bagi manajer yang berasal dari pemegang saham atas
tindakan pajak agresif yang dilakukan manajer tersebut.
c. Kesempatan bagi manajer untuk melakukan rent extraction, yakni
tindakan manajer yang tidak memaksimalkan kepentingan pemilik.
16 pengambilan sumber daya atau aset perusahaan untuk kepentingan
pribadi, atau melakukan transaksi dengan pihak yang memiliki
hubungan istimewa.
Sedangkan Desai dan Dharmapala (2004:18) menyebutkan 3 kerugian
dari tindakan pajak agresif, yaitu:
a. Adanya kemungkinan perusahaan terkena hukuman dari instansi
perpajakan akibat ditemukannya kecurangan-kecurangan yang
mungkin terjadi pada saat proses audit.
b. Tercederainya reputasi perusahaan akibat audit oleh instansi
perpajakan.
c. Turunnya harga saham perusahaan akibat adanya anggapan dari para
pemegang saham bahwa tindakan pajak agresif yang dilakukan oleh
manajer merupakan tindakan rent extraction yang dapat merugikan
pemegang saham.
Umumnya suatu negara telah membuat suatu ketentuan untuk
menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau aggressive tax
planning. Di Australia, skema-skema yang dapat dikategorikan sebagai
aggressive tax planning oleh Australian Taxation Office (ATO) adalah
sebagai berikut:
a. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari pajak.
Dengan kata lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan bisnis,
17 b. Berusaha untuk mendapatkan fasilitas pajak yang sebenarnya fasilitas
pajak tersebut tidak ditujukan kepadanya.
c. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi
tersebut akan kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds).
d. Penggelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya penyusutan
yang besar di masa yang akan datang.
e. Memanfaatkan suatu entitas usaha dimana penghasilan yang diterima
oleh entitas usaha tersebut dikecualikan sebagai objek pajak.
f. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang dikategorikan
sebagai tax haven countries.
Sedangkan di Indonesia, dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku saat ini, belum ada definisi yang jelas mengenai
acceptable tax avoidance dan unacceptable tax avoidance atau aggressive
tax planning (Darussalam dan Septriadi, 2009).
Tindakan pajak agresif mempunyai lima komponen pengukuran, yaitu
effective tax rate (ETR), cash effective tax rate (CETR), book-tax
difference Manzon-Plesko (BTD_MP), book-tax difference
Desai-Dharmapala (BTD_DD) dan tax planning (TAXPLAN) (Sari dan Martani,
2010:10).
ETR digunakan karena dianggap dapat merefleksikan perbedaan tetap
antara perhitungan laba buku dengan laba fiskal (Frank et al., 2009:471).
Sedangkan CETR digunakan karena diharapkan dapat mengidentifikasi
18 perbedaan tetap maupun perbedaan temporer (Chen et al., 2010:16).
Menurut Desai dan Dharmapala (2004:2-3), book-tax difference bisa
timbul karena adanya aktivitas perencanaan pajak dan manajemen laba,
maka nilai residu dari regresi nilai book-tax difference dan nilai total
akrual diharapkan murni merupakan cerminan dari aktivitas perencanaan
pajak. Sedangkan nilai tax planning (TAXPLAN) digunakan karena
dianggap dapat menggambarkan tingkat subsidi pajak yang digunakan.
2. Kompensasi Eksekutif
Kompensasi merupakan salah satu fungsi penting dalam manajemen.
Karena kompensasi merupakan aspek yang paling sensitif di dalam
hubungan kerja. Kasus yang terjadi dalam hubungan kerja mengandung
masalah kompensasi dan berbagai segi yang terkait, seperti tunjangan,
kenaikan kompensasi, struktur kompensasi, dan skala kompensasi.
Kompensasi juga merupakan komponen penting dalam penciptaan suatu
manajemen yang efektif dan kondusif. Sistem kompensasi yang baik dapat
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap keberhasilan bisnis.
Sistem kompensasi membantu dalam memberi penguatan terhadap
nilai-nilai kunci organisasi serta memfasilitasi pencapaian tujuan organisasi.
(Sutrisno, 2011:181). Masalah kompensasi selain sensitif, juga menjadi
pendorong seseorang untuk bekerja. Karena berpengaruh terhadap moral
dan disiplin tenaga kerja (Sastrohadiwiryo, 2003:181). Sistem kompensasi
yang baik dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
19 Nitisemito (1996:90) menyatakan bahwa kompensasi adalah balas jasa
yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerjanya, yang dapat dinilai
dengan uang dan cenderung diberikan secara tetap. Kompensasi
merupakan masalah yang sangat penting, karena salah satu tujuan utama
seseorang menjadi pekerja adalah adanya kompensasi.
Hal senada juga dikemukakan oleh Thomson (2002) dalam
Kadarisman (2012:26) yaitu kompensasi sebagai faktor penting yang
mempengaruhi bagaimana dan mengapa orang-orang bekerja pada suatu
organisasi dan bukan pada organisasi lainnya.
Kompensasi merupakan kontra prestasi terhadap penggunaan tenaga
atau jasa yang telah diberikan oleh tenaga kerja. Kompensasi menjadi
semacam jumlah paket yang ditawarkan organisasi kepada pekerja sebagai
imbalan atas penggunaan tenaga kerjanya (Wibowo, 2013:348).
Werther dan Davis (1982) dalam Kadarisman (2012:1)
mengemukakan kompensasi sebagai berikut:
“Compensation is what employee receive in exchange of their work. Whether hourly wages or periodic salaries, the personnel department usually designs and administers employee compensation”.
Berdasarkan pemikiran tersebut, dikemukakan bahwa kompensasi
adalah apa yang seorang pekerja terima sebagai balasan atas kontribusinya
kepada organisasi. Baik upah per jam ataupun gaji periodik yang didesain
dan dikelola oleh bagian Sumber Daya Manusia (Kadarisman, 2012:1).
Kompensasi merupakan imbalan jasa atau balas jasa yang diberikan
20 telah memberikan sumbangan tenaga dan pikiran demi kemajuan
perusahaan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sastrohadiwiryo,
2002:181).
Lebih lanjut, Admosudiro (1994) dalam Kadarisman (2012:9)
mengemukakan bahwa kompensasi merupakan penghargaan kepada
pekerja secara adil dan layak untuk prestasi kerja dan atas jasa yang telah
dikeluarkan terhadap tujuan organisasi demi tercapainya tujuan organisasi.
Hal senada juga dikemukakan oleh Nawawi (1998) dalam Kadarisman
(2012:25), yaitu sebagai berikut:
“Kompensasi bagi organisasi/perusahaan berarti penghargaan atau ganjaran pada para pekerja yang telah memberikan kontribusi dalam mewujudkan tujuannya, melalui kegiatan yang disebut dengan bekerja.”
Sebagai penghargaan atas penyerahan dan pemberian segenap hasil
kerja atau performance pekerja kepada organisasi, maka organisasi
memberikan balas jasa, imbalan jasa, penghargaan, penghasilan,
kompensasi atau reward. Ditinjau dari sisi pandang organisasi, pemberian
imbalan jasa atau penghasilan akan selalu dikaitkan dengan kuantitas,
kualitas dan manfaat jasa yang dipersembahkan oleh pekerja bagi
organisasi. Hal tersebut akan mempengaruhi seberapa jauh tujuan
organisasi dapat dicapai, bahkan dapat mempengaruhi kelangsungan hidup
organisasi tersebut (Kadarisman, 2012:6).
Kompensasi mengandung arti yang lebih luas daripada upah atau gaji.
21 sedangkan kompensasi mencakup balas jasa finansial maupun
non-finansial (Samsudin, 2006 dalam Kadarisman, 2012:49).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kompensasi
merupakan suatu bentuk penghargaan yang diberikan kepada tenaga kerja
yang jumlahnya tergantung dari hasil yang dicapai baik berupa finansial
maupun non-finansial. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong tenaga kerja
untuk bekerja lebih giat dan lebih baik sehingga prestasi dapat meningkat
yang pada akhirnya tujuan perusahaan dapat tercapai.
Jenin-Jenis Kompensasi
a. Direct Financial Compensation
Bentuk dari pemberian kompensasi ini adalah (Panggabean, 2002
dalam Sutrisno 2011:187):
1) Upah atau gaji (Wages or Salaries).
Upah biasanya berhubungan dengan tarif gaji perjam (semakin
lama kerjanya, semakin besar bayarannya). Upah merupakan basis
bayaran yang kerap digunakan bagi pekerja-pekerja produksi dan
pemeliharaan. Sedangkan gaji umumnya berlaku untuk tarif
mingguan, bulanan atau tahunan.
2) Insentif (Incentive).
Merupakan tambahan-tambahan gaji diatas atau diluar gaji atau
upah yang diberikan oleh organisasi. Program-program insentif
22 produktivitas, penjualan, keuntungan-keuntungan atau upaya-upaya
pemangkasan biaya.
3) Bonus.
Dalam pemberian bonus sebagai kompensasi ini setiap orang
akan memperolehnya 10 berdasarkan hasil yang dicapai perusahaan
tanpa memperhitungkan upah aktual seseorang.
b. Indirect Financial Compensation
Bentuk dari pemberian kompensasi ini adalah (Panggabean, 2002
dalam Sutrisno 2011:187):
1) Tunjangan (Benefit).
Contoh-contoh tunjangan seperti asuransi kesehatan, asuransi
jiwa, liburan-liburan yang ditanggung perusahaan, program pensiun
dan tunjangan-tunjangan lainnya yang berhubungan dengan
kepegawaian.
2) Fasilitas (Facility).
Merupakan kenikmatan/fasilitas seperti mobil perusahaan,
keanggotaan klub, tempat parkir khusus.
c. Non Financial Compensation
Suatu penghargaan bagi tenaga kerja yang bukan berbentuk
keuangan, dalam hal ini merupakan kebutuhan tenaga kerja yang
bukan berwujud uang, misalnya:
1) Pekerjaan dan jabatan yang menjanjikan masa depan.
23 Macam-Macam Kompensasi
Menurut Wibowo (2013:348) dilihat dari cara pemberiannya
kompensasi dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Kompensasi Langsung
Kompensasi langsung seperti upah dan gaji atau pay for
performance, seperti insentif dan gain sharing.
b. Kompensasi Tidak Langsung
Kompensasi tidak langsung merupakan kompensasi tambahan yang
diberikan terhadap semua tenaga kerja sebagai upaya meningkatkan
kesejahteraan para pekerja. Contohnya, berupa fasilitas-fasilitas
seperti: asuransi, tunjangan, uang pensiun atau jaminan keamanan dan
kesehatan.
Tujuan kompensasi tidak langsung antara lain sebagai berikut
(Hasibuan, 2011 dalam Hakim, 2011:173):
1) Untuk meningkatkan kesetiaan dan keterikatan tenaga kerja
kepada perusahaan.
2) Memberikan ketenangan dan pemenuhan kebutuhan bagi tenaga
kerja beserta keluarganya.
3) Memotivasi gairah kerja, disiplin, dan produktivitas tenaga kerja.
4) Menurunkan tingkat absensi dan turnover tenaga kerja.
5) Menciptakan suasana kerja yang baik dan nyaman.
6) Membantu kelancaran dalam pekerjaan untuk mencapai tujuan.
24 8) Mengefektifkan pengadaan tenaga kerja.
9) Membantu pelaksanaan program pemerintah dalam meningkatkan
kualitas manusia Indonesia.
10) Mengurangi kecelakaan dan kerusakan peralatan perusahaan.
11) Meningkatkan status sosial tenaga kerja beserta keluarganya.
Syarat Pemberian Kompensasi
Menurut Panggabean (2002:92) syarat pemberian kompensasi agar
mencapai tujuan dari pemberian kompensasi adalah:
a. Sederhana, peraturan dari sistem kompensasi harus singkat, jelas dan
dapat dimengerti.
b. Spesifik, karyawan harus mengetahui dengan tepat apa yang
diharapkan untuk mereka lakukan.
c. Dapat dicapai, setiap karyawan mempunyai kesempatan yang masuk
akal untuk memperoleh sesuatu.
d. Dapat diukur, sasaran yang dapat diukur merupakan dasar untuk
menentukan rencana kompensasi.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kompensasi
Beberapa faktor yang mempengaruhi kompensasi, yaitu (Noviyanto,
2011:2):
a. Faktor Intern Organisasi.
1) Dana Organisasi.
25 b. Faktor Pribadi Tenaga Kerja.
1) Produktivitas Kerja.
Produktivitas kerja dipengaruhi oleh prestasi kerja. Prestasi
kerja merupakan faktor yang diperhitungkan dalam penetapan
kompensasi. Pemberian kompensasi ini dimaksud untuk
meningkatkan produktivitas kerja pekerja.
2) Posisi dan Jabatan.
Posisi dan jabatan seseorang dalam organisasi menunjukkan
keberadaan dan tanggung jawabnya dalam hierarki organisasi.
Semakin tinggi posisi dan jabatan seseorang dalam organisasi,
semakin besar tanggung jawabnya, maka semakin tinggi pula
kompensasi yang diterimanya. Hal tersebut berlaku sebaliknya.
3) Pendidikan dan Pengalaman.
Pekerja yang lebih berpengalaman dan berpendidikan lebih
tinggi akan mendapat kompensasi yang lebih besar dari pekerja
yang kurang pengalaman dan atau lebih rendah tingkat
pendidikannya. Pertimbangan faktor ini merupakan wujud
penghargaan organisasi pada keprofesionalan seseorang yang dapat
memacu pekerja untuk meningkatkan pengetahuannya.
4) Jenis dan Sifat Pekerjaan.
Besarnya kompensasi pekerja yang bekerja di lapangan berbeda
dengan pekerja yang bekerja dalam ruangan, demikian juga
26 pekerjaan administratif. Begitu pula halnya dengan pekerjaan
manajemen berbeda dengan pekerjaan teknis. Pemberian
kompensasi yang berbeda ini selain karena pertimbangan
profesionalisme pekerja juga karena besarnya resiko dan tanggung
jawab yang dipikul oleh pekerja yang bersangkutan.
c. Faktor Ekstern Organisasi.
1) Penawaran dan Permintaan Kerja.
Mengacu pada hukum ekonomi pasar bebas, kondisi dimana
penawaran (supply) tenaga kerja lebih dari permintaan (demand)
akan menyebabkan rendahnya kompensasi yang diberikan.
Sebaiknya bila kondisi pasar kerja menunjukkan besarnya jumlah
permintaan tenaga kerja sementara penawaran hanya sedikit, maka
kompensasi yang diberikan akan besar.
2) Biaya Hidup.
Besarnya kompensasi terutama upah/gaji harus disesuaikan
dengan besarnya biaya hidup (cost of living). Yang dimaksud biaya
hidup disini adalah biaya hidup minimal.
3) Kebijaksanaan Pemerintah.
Sebagai pemegang kebijakan, pemerintah berupaya melindungi
rakyatnya dari kesewenang-wenangan dan keadilan. Dalam
kaitannya dengan kompensasi, pemerintah menentukan upah
minimum, jam kerja/hari, untuk pria dan wanita, pada batas umur
27 4) Kondisi Perekonomian Nasional.
Kompensasi yang diterima oleh pekerja di negara-negara maju
jauh lebih besar dari yang diterima negara-negara berkembang dan
atau negara miskin. Besarnya rata-rata kompensasi yang diberikan
oleh organsasi-organisasi dalam suatu negara mencerminkan
kondisi perekonomian negara tersebut dan penghargaan negara
terhadap sumber daya manusianya.
Tujuan Pemberian Kompensasi
Menurut Notoadmodjo dalam Sutrisno (2011:188), ada beberapa
tujuan dari kebijakan pemberian kompensasi meliputi:
a. Menghargai prestasi kerja.
b. Menjamin keadilan sistem kompensasi.
c. Mempertahankan karyawan.
d. Memperoleh karyawan yang bermutu.
e. Pengendalian biaya.
f. Memenuhi peraturan-peraturan.
Fungsi Kompensasi
Menurut Martoyo (1994) dalam Noviyanto (2011:1), fungsi
kompensasi adalah:
a. Penggunaan Sumber Daya Manusia secara lebih efisien dan lebih
efektif.
28 Kompensasi yang efektif seharusnya dapat memenuhi kebutuhan
dasar, mempertimbangkan adanya keadilan internal dan eksternal, dan
pemberiannya disesuaikan dengan kebutuhan individu (Cascio, 1995
dalam Sutrisno, 2011:186). Hal senada juga dikemukakan oleh Robbins
(1993) dalam Sutrisno (2011:186) yang mengemukakan bahwa
penghargaan dapat meningkatkan prestasi kerja dan kepuasan kerja
apabila:
a. Mereka merasakan adanya keadilan dalam kompensasi.
b. Penghargaan yang mereka terima dikaitkan dengan kinerja mereka.
c. Berkaitan dengan kebutuhan individu.
Menurut Cascio (1995) dalam Sutrisno (2011:186-187), diantara
prinsip-prinsip tersebut di atas yang paling penting adalah adanya
keadilan. Keadilan di tempat kerja, termasuk dalam pemberian kompensasi
ada dua macam, yaitu keadilan distributif dan prosedural. Keadilan
distributif berusaha untuk menjelaskan bagaimana seseorang bereaksi
terhadap jumlah kompensasi yang diterima, sedangkan keadilan prosedural
yang digunakan untuk menentukan kompensasi. Dengan kata lain,
keadilan distributif berkaitan dengan hasil akhirnya, sedangkan keadilan
prosedural berkaitan dengan alatnya. Sebagai akibatnya, keadilan
distributif lebih mempengaruhi kepuasan terhadap apa yang diberikan.
Adapun keadilan prosedural lebih mempengaruhi kepuasan terhadap
29 Menurut Panggabean (2002) dalam Sutrisno (2011:185), agar
pemberian kompensasi terasa adil, maka proses yang harus dilakukan
adalah:
a. Menyelenggarakan survei kompensasi, yaitu survei mengenai jumlah
kompensasi yang diberikan bagi pekerjaan yang sebanding di
perusahaan lain (untuk menjamin keadilan eksternal).
b. Menentukan nilai tiap pekerjaan dalam perusahaan melalui evaluasi
pekerjaan (untuk menjamin keadilan internal).
c. Mengelompokkan pekerjaan yang sama/sejenis ke dalam tingkat
kompensasi yang sama pula (untuk menjamin keadilan karyawan).
d. Menyesuaikan tingkat kompensasi dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (menjamin kompensasi layak dan wajar).
Kriteria Keberhasilan Sistem Kompensasi
Menurut Irianto (2001:103) dalam mengukur keberhasilan
implementasi sistem kompensasi, dengan kriteria-kriteria sebagai berikut::
a. Mendukung pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
b. Sesuai dengan dan mendukung strategi dan struktur organisasi.
c. Menarik dan dapat mempertahankan individu yang berkompeten
sesuai dengan standar keahlian yang ditetapkan.
d. Menetapkan spektrum yang lebih luas atas perilaku tugas (task
behavior) yang diinginkan dari seluruh anggota organisasi.
e. Merefleksikan ekuitas (persamaan-keadilan) bagi seluruh anggota
30 f. Sejalan dengan hukum atau perundang-undangan yang berlaku dalam
suatu wilayah yuridiksi tertentu dimana organisasi berada.
g. Dapat mencapai keenam kriteria tersebut dengan biaya yang
proposional sesuai dengan kondisi keuangan internal.
h. Dapat mencapai ketujuh kriteria tersebut diatas dalam kondisi dengan
penggunaan biaya yang paling efektif.
Kompensasi Eksekutif
Menurut Siagian (1992) dalam Septyani (2013:1), eksekutif
merupakan seseorang yang menduduki jabatan kepemimpinan tertentu
dalam suatu organisasi serta mempunyai hak dan wewenang
menggerakkan orang lain yang disebut “bawahan” dan para bawahan
itulah yang memikul tanggung jawab melaksanakan berbagai kegiatan
operasional dalam pencapaian tujuan organisasi. Dengan kata lain bahwa
eksekutif adalah manajer tingkat atas dari suatu organisasi, yang
memberikan pengaruh yang besar terhadap perusahaan, seperti direktur
utama, wakil direktur utama, direktur, manajer eksekutif termasuk
didalamnya komisaris utama dan komisaris.
Kebijakan penentuan kompensasi eksekutif merupakan salah satu cara
yang dapat dilakukan dalam rangka mendorong peningkatan kinerja.
Eksekutif bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para
pemilik atau pemegang pemegang saham, dan sebagai imbalannya
eksekutif akan memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak. Pemilik
31 dengan kebijakan pemberian kompensasi yang tepat (Santi dan Puji, 2014
dalam Khasanah, 2015:5).
Paket kompensasi eksekutif pada dasarnya berisi hampir sama dengan
paket kompensasi karyawan pada umumnya yaitu terdiri dari komponen
gaji pokok, bonus, insentif, fasilitas serta tunjangan. Yang membedakan
adalah adanya jenis kompensasi khusus yang tidak diterima oleh karyawan
yaitu kompensasi dalam bentuk opsi saham (Dessler, 2007:58). Opsi
saham (stock options) merupakan hak untuk membeli saham perusahaan
pada harga tertentu selama jangka waktu tertentu, dengan harga saham di
bawah harga pasar dan selisih harga itu merupakan bonus (Sirait,
2007:205).
Program kompensasi eksekutif yang dirancang dengan baik dapat
memacu pertumbuhan kinerja perusahaan melalui dua cara, yaitu:
a. Dapat membantu perusahaan menarik orang-orang yang memiliki
bakat yang tepat dalam tugas dan tanggung jawab tertentu guna
mendorong pertumbuhan perusahaan.
b. Penempatan posisi kepemimpinan yang tepat. Rancangan rencana
kompensasi dapat memperkuat strategi pertumbuhan melalui
pengukuran kinerja dan tujuan-tujuan tertentu yang mempengaruhi
pertumbuhan perusahaan dan/atau unit usaha, selain itu dapat
menekan laju perputaran manajemen yang disebabkan oleh kinerja
manajemen yang buruk karena tidak puas dengan kompensasi yang
32 Beberapa penelitian tentang kompensasi dikaitkan dengan teori
keagenan (agency theory). Teori keagenan memandang adanya hubungan
antara pemilik (prinsipal) dan manajemen perusahaan (agen). Prinsipal
mempercayai agen yang memberikan jasa manajerialnya. Dengan jasanya
tersebut, agen menerima kompensasi dari prinsipal. Kompensasi
merupakan nilai jasa yang diberikan pemilik perusahaan kepada
manajemen (Jensen dan Meckling, 1976:5).
Armstrong et al. (2011:36) melakukan penelitian mengenai hubungan
kompensasi yang diterima oleh eksekutif perusahaan, khususnya atas
kompensasi yang diterima oleh direktur pajak terhadap tax planning
perusahaan. Dalam penelitian tersebut, mereka membuktikan adanya
hubungan yang kuat antara kompensasi yang diterima direktur pajak
perusahaan dengan tax planning melalui GAAP effective tax rate.
Rego dan Wilson (2008:27) juga menemukan hubungan antara
kompensasi CEO dan CFO terhadap tindakan pajak agresif perusahaan yang
dikaitkan dengan kinerja perusahaan.
Desai dan Dharmapala (2006:30) meneliti bagaimana insentif
kompensasi berbasis ekuitas mempengaruhi keputusan berlindung pajak.
Karena insentif berbasis ekuitas harus menyelaraskan kepentingan
manajerial dengan para pemegang saham. Desai dan Dharmapala
memprediksi bahwa insentif tersebut harus mendorong manajer untuk
mengurangi pengalihan sewa dan meningkatkan kegiatan berlindung pajak
33 penampungan pajak yang kompleks yang dirancang untuk mengaburkan
substansi ekonomi transaksi juga dapat mengaburkan laporan keuangan
perusahaan dan meningkatkan peluang bagi manajerial diversion.
Irawan dan Farahmita (2012:20) juga menemukan bahwa kompensasi
direksi berpengaruh terhadap penghindaran pajak perusahaan. Namun
hasil tersebut berlawanan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri
(2014:15), dan Dewi dan Sari (2015:62), hasil penelitian keduanya
menunjukkan bahwa kompensasi eksekutif tidak berpengaruh terhadap
penghindaran pajak.
3. Keterwakilan CFO Wanita
CFO (Chief Financial Officer) adalah jabatan di suatu perusahaan
yang memiliki tanggung jawab utama untuk mengelola resiko keuangan
perusahaan. Pejabat ini juga bertanggung jawab untuk perencanaan
keuangan dan pencatatan, serta pelaporan keuangan untuk manajemen
yang lebih tinggi. Dalam beberapa sektor CFO juga bertanggung jawab
untuk analisis data. Dalam pelaporan keuangan perusahaan CEO dan CFO
merupakan pihak yang terlibat secara langsung, yaitu keduanya adalah
pihak yang menandatangani laporan keuangan dan bertanggung jawab atas
informasi yang disajikan (Nalikka, 2009:102).
Antara pria dan wanita pada dasarnya memiliki perbedaan yang dapat
ditinjau dari dua macam konsep, yaitu konsep biologis yang menekankan
pada jenis kelamin, dan konsep non-biologis yang lebih dikenal dengan
34 hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan fisiologis, terutama pada fungsi
reproduksi, sedangkan konsep gender lebih menekankan pada perbedaan
atas dasar konstruksi sosiokultural (Thompson dan Priestley, 1996 dalam
Partini, 2013:1). Walaupun gender berkaitan dengan perbedaan jenis
kelamin, tetapi tidak semata-mata bertumpu pada perbedaan fisiologis.
Tumpuan lainnya adalah perbedaan psikologis. Ada dua teori untuk
melihat adanya perbedaan tersebut, yaitu teori Nature dan teori Nurture
(Budiman, 1985 dalam Partini, 2013:1). Pengikut teori Nature
beranggapan bahwa perbedaan psikologis antara pria dan wanita
disebabkan oleh faktor-faktor biologis. Sedangkan pengikut teori Nurture
beranggapan bahwa perbedaan tercipta melalui proses belajar dari
lingkungan.
Teori nature mengungkapkan bahwa perbedaan antara pria dan wanita
adalah kodrat yang harus diterima. Perbedaan biologis memberikan
dampak berupa perbedaan peran dan tugas diantara keduanya. Baik pria
maupun wanita memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsi
masing-masing. Terdapat peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada
pula yang tidak dapat dipertukarkan karena memang berbeda secara kodrat
alamiah (Budiman, 1991 dalam Partini, 2013:209).
Deaux dan Kite (1987) dalam Partini (2013:10) menyebutkan bahwa
pada umumnya, pria adalah orang yang lebih kuat, lebih aktif, serta
ditandai dengan kebutuhan besar mencapai tujuan, dominasi, otonomi, dan
35 aktif, lebih menaruh perhatian pada afiliasi, berkeinginan untuk mengasuh,
serta mengalah.
Literatur psikologi dan manajemen telah mengakui bahwa terdapat
perbedaan berbasis gender yang signifikan antara pria dan wanita. Sebagai
contoh adalah perbedaan dalam gaya kepemimpinan, kemampuan
berkomunikasi, konservatisme, menghindari resiko, dan pembuatan
keputusan (Peni dan Vahaama, 2010:630).
Karam dan Ballington (1999) dalam Woischnik (2012:5) mengatakan
bahwa keterwakilan wanita memiliki peran yang sangat penting, karena
diyakini dapat memberikan perubahan positif dalam proses pembuatan
kebijakan yang lebih baik. Kehadiran kaum wanita merupakan prasyarat
bagi terwujudnya kesetaraan gender.
Gender berasal dari kata dalam bahasa Arab “Jinsiyyun” yang
kemudian diadopsi dalam bahasa Perancis dan Inggris menjadi “gender”
(Fakih, 1999:8). Gender diartikan sebagai perbedaan peran dan tanggung
jawab wanita dan pria yang ditentukan secara sosial. Gender berhubungan
dengan bagaimana persepsi dan pemikiran serta tindakan yang diharapkan
sebagai wanita dan pria yang dibentuk masyarakat, bukan karena
perbedaan biologis. Peran gender dibentuk secara sosial, institusi sosial
memainkan peranan penting dalam pembentukkan peran gender dan
hubungan.
Istilah gender digunakan dalam konteks sosial untuk menjelaskan
36 maskulin dalam masyarakat. Menurut World Health Organizations
(WHO), “Gender” refers to the socially constructed roles, behaviours,
activities, and attributes that a given society considers appropriate for
men and women. Yang berarti gender merujuk pada peran, perilaku,
aktivitas dan atribut yang dibentuk secara sosial dianggap sesuai untuk pria
dan wanita (Kartikarini dan Mutmainah, 2013:2). Dengan perbedaan
gender tersebut, diasumsikan bahwa pria dan wanita akan bertindak atau
memiliki respons yang berbeda dalam menghadapi masalah yang sama.
Pria dan wanita akan menggunakan pertimbangan yang berbeda dalam
proses pengambilan keputusan dalam rangka merespon masalah yang
dihadapinya.
Parson dan Bales (1955) dalam Partini (2013:11) mengungkapkan
bahwa wanita lebih cocok pada pekerjaan yang bersifat ekspresif,
sedangkan pria lebih sesuai pada pekerjaan instrumental. Stoler (1982) dan
Boserup (1970) dalam Partini (2013:11) menggunakan istilah pekerjaan
domestik untuk wanita dan publik untuk pria. Sedangkan Doringer dan
Piore (1971) serta Standing (1978) dalam Partini (2013:11) menyebut
istilah jenis pekerjaan primer untuk pria, dan sekunder untuk wanita.
Sebenarnya pembagian kerja secara seksual bukan merupakan sesuatu
yang keliru atau salah, asalkan hal itu dapat menunjukkan adanya
keseimbangan (Budiman, 1991 dalam Partini, 2013:2). Konsekuensi
37 kerja, di mana terdapat pembedaan upah dan kesempatan (Carrel et al.,
1995 dalam Partini, 2013:2).
Teori peran memperhatikan perbedaan antar jenis kelamin yang
diekspresikan melalui perbedaan harapan, sikap, tingkah laku yang telah
mempola, dan kemungkinan berkarakteristik psikologis. Pria dianggap
memiliki intelektualitas dan emosi yang lebih tinggi, serta menginginkan
kerja yang penuh arti dengan harapan-harapan yang lebih besar daripada
wanita (Partini, 2013:13).
Schein (1994) dalam Partini (2013:24-25) menyatakan bahwa posisi
yang banyak diduduki wanita hanya pada tingkat bawah.
“Most women are still concentrated in lower management levels. Women represent only 11% of high level directors and managers, and no more than 3% at the top level of management of large companies in the private sector.”
Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Wagnerova (1983)
dalam Partini (2013:25) yang menunjukkan bahwa walaupun partisipasi
tenaga kerja wanita semakin bertambah, namun jika ditinjau dari kategori
pekerjaan maka wanita yang tergolong sebagai pekerja ahli hanya 25%.
Pria banyak memonopoli pekerjaan-pekerjaan manajerial, pria
dikembangkan sedemikian rupa sehingga menyisihkan wanita dari
penyusunan berbagai macam program ketika perusahaan harus membuat
suatu keputusan penting (Reskin dan Phipps, 1988 dalam Partini,
2013:36). Pekerjaan menjadi semakin birokratis dan berbagai macam
aturan personal yang menghalangi wanita juga semakin diformalisasikan
38 memperoleh pekerjaan sebagai manajer dan administratur jumlahnya
semakin bertambah secara sangat perlahan-lahan. Di Amerika, pada tahun
1970 pekerjaan manajer dan administratur yang dipegang oleh wanita
adalah 16,6%. Angka ini menjadi 26,1% pada tahun 1980, walaupun
manajer wanita hanya berada pada pekerjaan sosial dan perpustakaan
(Reskin dan Phipps, 1988 dalam Partini, 2013:36).
Dewan direksi dan komisaris perusahaan yang heterogen akan mampu
untuk membuat keputusan berdasarkan evaluasi dari beberapa alternatif
dibandingkan dengan dewan direksi yang lebih homogen. Direktur wanita
memiliki pengalaman kerja yang berbeda dibandingkan dengan direktur
pria. Direktur wanita memiliki pemahaman yang lebih baik atas segmen
pasar perusahaan dibandingkan pria dan hal ini dapat mengembangkan
kualitas dalam proses pengambilan keputusan perusahaan (Singh &
Vinnicombe, 2004 dalam Nathania, 2014:77).
Management diversity menjadi hal yang penting untuk diperhatikan
berkaitan dengan corporate governance di Indonesia karena masih adanya
anggapan bahwa pria lebih layak untuk menduduki jabatan penting dalam
perusahaan. Kehadiran wanita dalam perusahaan sangat menguntungkan
untuk pengambilan keputusan. Sebagai contoh, partisipasi wanita dalam
dewan perusahaan dapat membantu menghindari proyek yang terlalu
beresiko karena wanita umumnya lebih menghindari resiko (risk averse)
dibandingkan pria (Byrnes et al., 1999 dalam Nathania, 2014:78) dan
39 Sastra, 2007 dalam Nathania, 2014:78). Kedua, pria dan wanita memiliki
perbedaan kognitif (Hambrick dan Mason, 1984 dalam Nathania,
2014:78), wanita cenderung memiliki norma, perilaku, keyakinan, dan
perspektif yang berbeda (Pelled et al., 1999 dalam Nathania, 2014:78).
Pola kognitif ini akan memungkinkan dewan untuk mempertimbangkan
pilihan-pilihan yang lebih luas dan solusi terkait dengan permasalahan
perusahaan (Konrad et al., 2008 dalam Nathania, 2014:78).
Perbedaan gender dalam perilaku pengambilan resiko telah
dieksplorasi secara luas di bidang sastra maupun ekonomi sastra. Studi
yang ada menunjukkan bahwa wanita pada umumnya lebih menolak resiko
daripada pria (Francis et al., 2014:1). Jianakoplos dan Bernasek
(1998:620) dalam penelitiannya menyatakan bahwa wanita cenderung
memiliki aset kurang beresiko di portofolio investasi dan lebih untuk
memenuhi peraturan.
Sedangkan Aspray dan Cohoon (2007) dalam Arini, dkk. (2010:138)
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara peran gender dan tingkah
laku pengambilan resiko, yaitu peran gender feminim lebih cenderung
menghasilkan tingkah laku pengambilan resiko yang lebih tinggi. Namun
tampaknya masih diperlukan penelitian yang lebih banyak karena
minimnya penelitian yang dilakukan. Peran gender adalah sejauh mana
seseorang menghayati sifat dan fungsi dirinya (sesuai dengan jenis
kelamin dan gender yang ia yakini) sehingga dapat direpresentasikan