NO PROVINSI LAKI-LAKI % PEREMPUAN %
E) KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM LEMBAGA PERADILAN
Perempuan terwakilkan secara marjinal di mahkamah agung dan pengadilan tinggi. Pada tahun 2010, tidak ada satu pun perempuan yang bekerja sebagai hakim di mahkamah agung indonesia. Hanya ada enam orang perempuan (15,8 persen) di eselon dua di mahkamah agung. Di peradilan sipil, dari 3.104 hakim, 2.352 hakim adalah laki-laki (76 persen) sementara 752 orang hakim perempuan yang ada mengambil 24 persen dari jumlah keseluruhan. Perlu digarisbawahiu bahwa tidak ada satu orang pun perempuan yang bekerja di mahkamah konsitusi dari tahun 2003 – 2008 dan hanya satu orang perempuan yang dimasukkan ke dalam daftar sembilan orang hakim mahkamah konstitusi yang memegang peranan penting dalam peninjauan kembali berbagai perundang undangan yang diskriminatif. Karenanya penting untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di mahkamah konstitusi. Sedangkan di kejaksaan, data yang dikumpulkan dari kantor Kejaksaan Agung memperlihatkan bahwa dari jumlah total jaksa di 31143 provinsi dan kejaksaan agung, terdapat 29,17 persen jaksa perempuan. Sepuluh kantor kejaksaan agung, tidak ada keterwakilan perempuan sama sekali. Hanya di Kantor Kejaksaan Agung di Banten dimana pegawai perempuannya mencapai 44,4 persen, sementara di provinsi-provinsi lain jumlah berkisar antara 0 hingga 22 persen.144
B. PENCAPAIAN INDONESIA DALAM MELINDUNGI HAK-HAK POLITIK PEREMPUAN MELALUI MDG’s
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) 143
Karena Papua Barat dan Sulawesi Barat merupakan provinsi yang baru dibentuk di Indonesia, maka data untuk provinsi provinsi tersebut belum tersedia. Oleh karena itu, data yang diperlihatkan hanya total jaksa dari 31 provinsi dan jaksa yang ada di Kejaksaan Agung dan Yang Dikaryakan, bukan dari 33 provinsi.
144
bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi ini berdasarkan pendekatan yang inklusif, dan berpijak pada perhatian bagi pemenuhan hak-hak dasar manusia. Dalam konteks inilah negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Millenium Development Goals (MDG) atau Tujuan Pembangunan Milenium.145
8. Membangun Kerjasama Global untuk Pembangunan
MDG’s terdiri atas 8 tujuan yaitu:
1. Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan 2. Pendidikan Dasar untuk Semua
3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan 4. Menurunkan Angka Kematian Anak
5. Meningkatkan Kesehatan Ibu
6. Memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan Penyakit Menular Lainnya 7. Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup
146
Indonesia sendiri di penghujung abad lalu mengalami perubahan yang amat besar yaitu proses reformasi ekonomi dan demokratisasi dalam bidang politik. Seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara turut berubah dengan adanya reformasi dan demokratisasi tersebut, sehingga UUD 1945 yang menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia juga mengalami amandemen. Tidak begitu lama kemudian, tepatnya pada tahun 2000, para pemimpin dunia bertemu di New York dan menandatangani “Deklarasi Milennium” yang berisi komitmen untuk mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan kemiskinan. Hal ini menjadi dasar dari tersusunnya pencapaian tingkat
145
Prof. DR. CFG. Sunaryati Hartono, SH, Op. Cit, hal 1.
146
kesejahteraan umat manusia pada seribu tahun yang akan datang. Komitmen tersebut diterjemahkan menjadi beberapa tujuan dan target yang dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs). Pencapaian sasaran MDGs menjadi salah satu prioritas utama bangsa Indonesia. Pencapaian tujuan dan target tersebut bukanlah semata-mata tugas pemerintah tetapi merupakan tugas seluruh komponen bangsa. Sehingga, pencapaian tujuan dan target MDGs harus menjadi pembahasan seluruh masyarakat.147
Negara-negara secara umum dan Indonesia secara khusus telah meratifikasi beberapa pengaturan hokum internasional yang mengatur perlindungan hukum bagi perempuan. Seperti halnya Konvensi tentang Hak-hak Politik Wanita Tahun 1952 menjadi Undang- undang Nomor 68 Tahun 1958, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita Tahun 1979 (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman) menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Selain peratifikasian hukum internasional, ada juga peraturan hukum nasional yang melindungi hak politik perempuan. Tetapi sepertinya pemerintah tidak serius dalam menangani dan
Dari delapan sasaran, yang akan menjadi sorotan adalah sasaran ketiga, yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Kesetaraan gender dapat berartui bahwa perempuan memiliki kesempatan, fasilitas serta kuota yang sama dengan laki- laki dibidang apapun. Dalam hal ini yang akan dibicarakan adalah dalam bidang politik. Yang menjadi target tujuan ketiga ini salah satunya adalah meningkatkan proporsi perempuan dalam lembaga-lembaga publik.
147
menanggapi permasalahan mengenai perlindungan hak politik perempuan ini.
Hal tersebut juga yang dialami perempuan di banyak Negara lain. Sehingga PBB membuatnya menjadi salah satu tujuan milleniumnya. Agar Negara-negara lebih serius dan lebih peduli lagi terhadap permasalahan perempuan dan hak politiknya. MDG’s seperti dorongan bagi Negara-negara untuk lebih memperhatikan permasalahan hak politik perempuan. Negara-negara khususnya Indonesia mulai memperbaiki kebijakannya terhadap hak politik perempuan dan mulai menjalankan kembali peraturan hukum mengenai hak politik perempuan yang telah dibuat.
Tabel 8
Representasi Perempuan di DPR RI148
Periode Anggota Perempuan Anggota Laki-laki 1950-1955 (DPR Sementara) 9 (3,8%) 236 ( 96,2%) 1955-1960 17 (6,3 %) 272 (93,7%) 1956-1959 (Konstituante) 25 (5,1%) 488 (94,9%) 1971-1977 36 (7,8%) 460 (92,2) 1977-1982 29 (6,3%) 460 (93,7%) 1982-1987 39 (8,5%) 460 (91,5%) 1987-1992 65 (13%) 435 (87%) 1992-1997 62 (12,5%) 438 (87,5%) 1997-1999 54 (10,8%) 446 (89,2%) 1999-2004 46 (9%) 454 (91%) 2004-2009 65 (11,6%) 435 (87%) 2009-2014 101 (18 %) 459 (82%)
Dari tabel diatas, terlihat bahwa terdapat peningkatan yang cukup signifikan terhadap
148
Sumber: Data sampai periode 2004-2009 dikutip dari buku Panduan Calon Legislatif Perempuan Pemilu 2009, PUSKAPOL FISIP UI, 2009. Data 2009-2014 diambil dari www.kpu.go.id
angka keterwakilan perempuan di lembaga legislatif setelah penandatangan MDG’s oleh Indonesiaa. Walaupun angkanya tidak terlalu besar tetapi hal ini cukup membanggakan. Hal ini tidaklah persoalan mudah yang dikerjakan dalam waktu singkat. Upaya untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik terus disuarakan, seperti pada pelaksanaan pemilu 2004 yaitu pemilu pertama setelah ditandatnganinya MDG’s, peraturan perundang-undangan telah mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota legislatifnya.
Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 2002 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 13 tahun 2002 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat.
Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3%). Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9%). Kita dapat cukup berlega hati walaupun angka presentasi perempuan belum sampai pada kuota yang ditetapkan pemerintah.
Pada parlemen Indonesia, perempuan tidaklah menduduki pos-pos penting seperti hukum, perundang-undangan, keungan, pertanian atau telekomunikasi. Perempuan banyak didudukkan di pos-pos Agama, sosial, pemberdayaan perempuan yang berjumlah 22,92%, Pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, kebudayaan sebesar 26% dan paling banyak di komisi Tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan, kesehatan sebesar
42,55%.149
Komisi Parlemen di Beberapa Negara
Bisa dibandingkan dengan distribusi anggota perempuan dalam komisi perempuan di Negara lainnya.
Tabel 9
Gambaran Distribusi Anggota Perempuan dalam 150
Negara Distribusi Perempuan dalam Komisi Parlemen
Swedia Representasi perempuan mencapai 48% tetapi distribusi perempuan tidak berimbang. Sebagian besar perempuan berada di komisi pendidikan dan kesehatan, sedang laki-laki di komisi ekonomi dan keuangan.
Ghana Ada komisi yang tidak ada anggota perempuannya seperti transportasi dan keuangan.
Republik Cheko
Representasi perempuan di parlemen adalah 15%, tidak ada perempuan di komisi keuangan, mayoritas di komisi pendidikan dan kesehatan.
Kongo Anggota perempuan hanya 40 dari 500 anggota (kurang dari 10%). Sangat sedikit perempuan untuk berpartisipasi dalam semua komisi.
Nigeria Sangat sedikit perempuan di komisi-komisi pertahanan, keamanan, pertanian, lingkungan hidup dan ekonomi.
Austria Seharusnya bisa lebih banyak perempuan di komisi ekonomi dan keuangan; serta lebih banyak laki-laki di komisi kesehatan dan kesetaraan.
Chili Perempuan difokuskan pada komisi keluarga, pendidikan dan kesehatan.
149
Data diolah dari “Daftar Anggota – Berdasarkan Komisi” Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (http://www .dpr.go.id/id/komisi/).
150
Jika kita melihat jumlah anggota perempuan di DPR dan DPD hasil pemilu-pemilu pada era reformasi (1999, 2004, 2009) menunjukkan adanya kenaikan jumlah. Itu dapat berarti kabar baik bagi pemerintah, karena kebijakannya berhasil mendongkrak presentase keterwakilan poerempuan di parlemen.
Tabel 10
Representasi Perempuan di DPR dan DPD
Periode DPR DPD
Perempuan Laki-Laki Perempuan Laki-Laki 1999-2004 46 (9%) 454 (91%) DPD belum terbentuk 2004-2009 65 (11.6%) 435 (88.4%) 28 (21.2%) 104 (78.8%) 2009-2014 101 (18%) 459 (82%) 36 (27.7%) 96 (72.3%)
Dengan persentase hasil Pemilu 2004 tersebut, Indonesia berada di urutan 89 dari 187 negara berdasarkan data IPU 2006. Di kawasan Asia Tenggara, posisi Indonesia berada di bawah Timor Leste (25 %) dan Filipina (15 %). Jika kita lihat data peringkat Indonesia dilihat dari kondisi Human Development Index (HDI), Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measurement (GEM), datanya adalah sebagai berikut:
Tabel 11
Peringkat HDI, GDI dan GEM Indonesia tahun 2007-2009151
Tahun Peringkat HDI Indeks HDI Peringkat GDI Indeks GDI Peringkat GEM Peringkat GEM 2007 111 dari 182 Negara 0,7434 93 dari 155 Negara 0,726 96 96 dari 109 Negara 0,408 2008 109 dari 179 negara 0,726 85 dari 157 negara 0,719 87 dari 108 negara 0,441 151
2009 107 dari 179 negara 0,682 91 dari 144 negara 0,677 89 dari 186 negara 58,9
Dari data diatas, sepertinya pemerintah harus bekerja lebih keras. Pemerintah Indonesia perlu membuat gebrakan baru untuk dapat meningkatkan lagi perlindungan politiknya terhadap perempuan. Mungkin angka-angka keterwaklilan perempuan di parlemen baik tetapi cukup menyedihkan jika ditelisik lebih lanjut di komisi Negara, lembaga peradilan, dikabinet dan di lembaga-lembaga publik lainnya. Representasi kaum perempuan pada posisi-posisi puncak pengambilan keputusan di semua departemen negara juga sangat rendah. Meskipun kaum perempuan adalah mayoritas pegawai negeri di departemen- departemen besar dan penting seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan dan Departemen Dalam Negeri, kebanyakan mereka hanya menduduki posisi birokrasi menengah ke bawah. Sebagian besar jabatan eselon (eselon 1 dan 2) dipegang oleh lelaki. Banyak pihak yang menganggap bahwa pemerintah belum bekerja secara maksimal untuk melindungi hak politik perempuan. Jika dilihat dari keberhasilan Negara lain seharusnya pemerintah lebih giat lagi dan melakukan evaluasi untuk memaksimalkan potensi perempuan. Pada beberapa Negara ini, pemerintah memaksimalkan kebijakannnya terhadap perlindungan perempuan di Negara nya, yaitu:
1. Rwanda dengan 48,8 % keterwakilan perempuan 2. Swedia dengan 47,3 % keterwakilan perempuan 3. Finlandia dengan 42% keterwakilan perempuan 4. Norwegia dengan 37,9 % keterwakilan perempuan 5. Denmark dengan 36,9 % keterwakilan perempuan 6. Belanda dengan 36,7 % keterwakilan perempuan 7. Argentina dengan 35 % keterwakilan perempuan
8. Mozambik dengan 34,8 % keterwakilan perempuan 9. Belgia dengan 34,7 % keterwakilan perempuan
10.Afrika selatan dengan 32,8 % keterwakilan perempuan 11.Austria dengan 32,2 % keterwakilan perempuan 12.Islandia dengan 31,7 % keterwakilan perempuan 13.Jerman dengan 31,6 % keterwakilan perempuan152
Dapat disimpulkan bahwa MDG’s membawa angin segar bagi kehidupan perpolitikan perempuan Indonesia. Dengan adanya MDG’s pemerintah Indonesia lebih sadar akan pentingnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia. Penerobosan- penerobosan dal;am kebijakan sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, seperti penetapa kuota perempuan sebesar 30% di parlemen. Walaupun belum teralisasikan dengan baik, tetapi paling tidak telah ada cukup perhatian untuk melindungi hak politik perempuan. Tetapi pemerintah Indonesia harus lebih giat dalam pr nya kali ini. Karena prestasi nya kali ini belum bias dibanggakan untuk mencukupi indicator MDG’s di tahun 2015 nanti.
152
BAB V