perempuannya sendiri, harus ada juga tindakan tegas dari pemerintah untuk melindungi hak politik perempuan. Pemerintah harus serius dalam menyikapi problematika yang terjadi pada perempuan. Pemerintah juga harus berani melakukan pembaharuan kebijakan yang mengakomodir perlindungan hak politik perempuan.
Achmad,Sjamsiah, Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All forms of Discrimination Against Women atau
CEDAW) dalam Makalah In House Training
Al Banna, Hassan , Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Solo: Era Intermedia, 2002. Rahima Mei 2008
Anshor , Maria Ulfah, Nalar Politik Perempuan Pesantren, Cirebon: Fahmina-Institute, 2005.
Budiarjo, Miriam, Partisipan dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Budiardjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. Danardono, Donny, Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan
Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Daulay, Harmona, Perempuan dalam Kemelut Gender, Medan: USU Press, 2007.
Effendi, Mansyur, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jakarta: PT. Ghalia indonesia, 1994.
Engendering Development, Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia Pembangunan Berspektif Gender, Jakarta: Dian Rakyat, 2002.
Flew, Anthony, A Dictionary of Philosophy, New York: St. Martin’s Press, 1984.
Harahap Krisna, SH, MH, HAM dan Upaya Penegakkannya Di Indonesia, Bandung: PT Grafin Budi Utomo, 2003.
Inglehart, Ronald, World Values Surveys, 1981-1984, 1990-1993, and 1995-1997, Datbase ICPSR version. Ann Arbor, Mich: Inter-University Consortium for Political and Social Research, 2000.
Iriyanto, Sulistyo, Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Irwan Alex, Perisai Perempuan Kesepakatan Internasional untuk Melindungi Perempuan, Yogyakarta: Yayasan Galang, 1999.
Isjwara, F, SH,LLM, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Bina Cipta, 1982. Laporan IPU, Institutional Change: Gender-sensitive Parliaments, 2008.
Moi, Nasfiah, Perempuan dan Pemberdayaan, Jakarta 1997
Mujar, Ibnu Syarif, Hak-Hak Politik Minoritas Non-Muslim Dalam Komunitas Islam,
Bandung: Angkasa, 2003.
“Political Leadership and Government: Government Institutions – Number of Head of Village” BPS Catalogue: 2104010 – Women and Men in Indonesia 2008
Rahman, A, Sistem Politik Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Rahman, Junita Budi, Perempuan di dalam Negara Maskulin Indonesia; dalam Rangka Peningkatan Keterwakilannya di Parlemen, (Makalah) Pusat Penelitian Peranan Wanita – Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Bandung, 2004.
Said, Nur, Perempuan Dalam Himpitan Teologi dan HAM di Indonesia.
Soecieptjo, Ani Widyani, “Affirmative Action Untuk Perempuan di Parlemen”, Alida Brill. A Rising Public Voice: Women in Politics World Wide. New York: The Feminist,1955.
Soetjipto Any Widyani, Politik Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta: Kompas,2005.
Sudiarti Luhulima, Achie, Bahan Ajar tentang Hak Perempuan (UU No. 7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita), Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Suryakusumah, Julia I, Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta: Yayasan API, 2001.
Stalkerr , Peter dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Kita Suarakan MDG’s Demi Pencapaiannya di Indonesia, Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2008.
Takariawan, Cahyadi, Fikih Politik Kaum Perempuan. Yogyakarta: Tiga Lentera Utama, 2002.
Thayib, Anshari, dkk, Hak Asasi Manusia dan Pluralisme Agama, Surabaya: Pusat Kajian Strategis Dan Kebijakan (PKSK), 1997.
Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007 (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia Tahun 2007, Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007. The United Nations, The United Nations 1945-1966 and the Advancement if Women 1995. The World’s Women 1970-1990: Trends and Statistics (penerbitan PBB, penjualan
No.E.90.XVII.3.)
UNDP Human Development Report, 2009
UNDP (United Nations Development Programme), Human Development Report 2000 New York: Oxford University Press, 2000.
Quito, S. Emerita, Fundamentals of Ethics, Philipines: De La Salle University Press, 1998. Verayanti Lany, Partisipasi Politik Perempuan Minang dalam Sistem Matrilineal. Padang:
LP2M, 2003.
Vicky Randall, Women and Politics, New York: St. Martin Press. 1982.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen
Undang-Undang no.39 Tahun 1999 tentang HAM
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 Tentang Ratifikasi CEDAW
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender/PUG
(Gender Mainstreaming)
Website
(http://www.suaramerdeka.com/harian/)
, (http:
(http://www .dpr.go.id/id/komisi/). (http://www.kpu.go.id/)
(http://www.bkn.go.id/)
(http://www .dpr.go.id/)
ms.wikipedia.org/
(http:
(http:
(http://www.metrotvnews.com/)
(http://www.detik.com/)
(http://agoessmd.blogspot.com)
BAB III
PERANAN MDG’s DALAM UPAYA PERLINDUNGAN HAK POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA
A. MDG’s DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN MASYARAKAT DUNIA
Millenium Development Goals (disingkat MDGs) dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium (TPM). Tujuan Pembangunan Milenium merupakan paradigma
pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PB) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KT) Milenium PB bulan September 2000
silam. Majelis Umum PB kemudian melegalkannya ke dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa Nomor 55/2 tanggal 18 September 2000 Tentang Deklarasi Milenium Perserikatan
Bangsa-Bangsa (A/RES/55/2. United NationsMillennium Declaration).81
Dikotomi orientasi pembangunan antara pertumbuhan dan pemerataan, sebagaimana
diketahui, sudah berlangsung sejak lama. Akan tetapi berbagai kajian ilmiah membuktikan bahwa
Lahirnya Deklarasi Milenium merupakan buah perjuangan panjang negara-negara berkembang
dan sebagian negara maju. Deklarasi ini menghimpun komitmen para pemimpin dunia, yang belum
pernah terjadi sebelumnya, untuk menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi,
dan kebebasan fundamental dalamsatu paket. Negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi
MDGs. Setiap tujuan memiliki satu atau beberapa target berikut indikatornya. MDGs menempatkan
pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan serta memiliki tenggat waktu dan
kemajuan yang terukur. MDGs didasarkan atas konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan
tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakanpekerjaan rumah mereka, sedangkan negara
maju berkewajiban mendukung upaya tersebut.
81
, Target MDGs (Capaian Pemerintah Aceh) dalam,
pembangunan yang menekankan pada pemerataan lebih berdampak positif. Nilai positif ini setidaknya
dapat dilihat dari dua aspek yaitu: Pertama, bahwa orientasi pembangunan yang menekankan pada pemerataan akan mengangkat kesejahteraan penduduk secara lebih luas. Dengan begitu, lebih banyak
penduduk yang dapat menikmati hasil pembangunan. Kedua, secara timbal balik, karena semakin banyaknya penduduk yang kesejahteraannya meningkat, pada gilirannya akan lebih banyak lagi
sumberdaya manusia yang dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Dengan demikian keberlanjutan
pembangunan menjadi lebih pasti. Sebaliknya orientasi pembangunan yang menekankan pada
pertumbuhan akan lebih menghasilkan kesenjangan dalam masyarakat. Pada dekade 1980-an banyak
kelompok studi yang mendiskusikan orientasi pembangunan “Growth” versus “Development” tersebut. Salah satu yang dapat disebutkan di sini adalah “Club of Rome”, kelompok yang kemudian
mengemukakan argumen tentang “Limit to Growth”. Selanjutnya pada dekade 1990-an, PB membawa isu orientasi pembangunan yang mengarah pada kesejahteraan umat manusia tersebut (development) ke dalam pembahasan, diskusi, serta kesepakatan antarnegara. Tahun 1992, misalnya, diselenggarakan
KT Bumi di Rio de Janeiro. Tahun 1994 digelar pula Konferensi Kependudukan dan Pembangunan di
Cairo. Tahun 1995, ganti Konferensi Gender dan Pemberdayaan Perempuan dilaksanakan, berikut
beberapa konferensi lainnya yang sejalan setelah itu.82
1. Menghapuskan kemiskinan dan kelaparan berat;
Puncak dari upaya mengedepankan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan umat
manusia, baik untuk generasi saat ini maupun generasi mendatang, adalah lahirnya kesepakatan
kepala negara dan kepala pemerintahan 189 negara mengenai Deklarasi Milenium. Deklarasi ini berisi
kesepakatan negara-negara tentang arah pembangunan berikut sasaran-sasarannya yang perlu
diwujudkan. Secara ringkas, arah pembangunan yang disepakati secara global meliputi:
2. Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang;
3. Mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
82
4. Menurunkan kematian anak;
5. Meningkatkan kesehatan maternal;
6. Melawan penyebaran HIV/AIDS, dan penyakit kronis lainnya (malaria dan tuberkulosa);
7. Menjamin keberlangsungan lingkungan; dan
8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
1. SEJARAH MDG’s
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bulan
September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala
pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi itu berdasarkan pendekatan
yang inklusif, dan berpijak pada perhatian bagi pemenuhan hak-hak dasar manusia. Dalam konteks
inilah negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Tujuan Pembangunan Milenium atau
Millennium Development Goals (MDGs). Setiap tujuan (goal) memiliki satu atau beberapa target.
Target yang tercakup dalam MDGs sangat beragam, mulai dari mengurangi kemiskinan dan
kelaparan, menuntaskan tingkat pendidikan dasar, mempromosikan kesamaan gender, mengurangi
kematian anak dan ibu, mengatasi HIV/AIDS dan berbagai penyakit lainnya,serta memastikan
kelestarian lingkungan hidup dan membentuk kemitraan dalam pelaksanaan pembangunan.
Ada beberapa tujuan pembangunan yang lain ditetapkan pada dekade 1960-an hingga
1980-an. Sebagian terlahir dari konferensi global yang diselenggarakan PBB pada 1990-an, termasuk KTT
Dunia untuk Anak, Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua 1990 di Jomtien, Konferensi
PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan 1992 di Rio de Janeiro, dan KTT Dunia untuk
Pembangunan Sosial 1995 di Copenhagen. MDGs tidak bertentangan dengan komitmen global yang
sebelumnya karena sebagian dari MDGs itu telah dicanangkan dalam Tujuan Pembangunan
Internasional (IDG), oleh negara-negara maju yang tergabung dalam OECD pada 1996 hingga
selanjutnya diadopsi oleh PBB, Bank Dunia dan IMF.1 Sekalipun MDGs merupakan sebuah
karakteristik masing-masing negara sehingga lebih mudah untuk diaplikasikan. Beberapa hal penting
yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan MDGs adalah sebagai berikut: Pertama, MDGs
bukan tujuan PBB, sekalipun PBB merupakan lembaga yang aktif terlibat dalam promosi global untuk
merealisasikannya.83
Demikian juga, tanpa kemitraan dan kerja sama antara negara miskin dan negara maju, seperti
yang disebut pada Tujuan 8, negara-negara miskin akan sulit mewujudkan ketujuh tujuan lainnya.
Keempat, dengan dukungan PBB, terjadi upaya global untuk memantau kemajuan, meningkatkan
perhatian, mendorong tindakan dan penelitian yang akan menjadi landasan intelektual bagi reformasi
kebijakan, pembangunan kapasitas dan memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai
semua target. Kelima, 18 belas target dan lebih dari 40 indikator terkait ditetapkan untuk dapat dicapai
dalam jangka waktu 25 tahun antara 1990 dan 2015. Masing-masing indikator digunakan untuk
memonitor perkembangan pencapaian setiap tujuan dan target.
MDGs adalah tujuan dan tanggung jawab dari semua negara yang berpartisipasi dalam KTT
Milenium, baik pada rakyatnya maupun secara bersama antar pemerintahan. Kedua, tujuh dari
delapan tujuan telah dikuantitatifkan sebagai target dengan waktu pencapaian yang jelas, hingga
memungkinkan pengukuran dan pelaporan kemajuan secara obyektif dengan indikator yang sebagian
besar secara internasional dapat diperbandingkan. Ketiga, tujuan-tujuan dalam MDGs saling terkait
satu dengan yang lain. Misalnya, Tujuan 1—menanggulangi kemiskinan dan kelaparan yang parah—
adalah kondisi yang perlu tapi belum cukup bagi pencapaian Tujuan 2 hingga Tujuan 7.
84
83
Administrator MetroTV, Sejarah singkat Millennium Development Goals (MDGs) dalam
84
2. MDG’s SEBAGAI KERANGKA ACUAN BAGI PEMBANGUNAN MASYRAKAT DUNIA
Penting untuk disampaikan bahwa MDG’s bukanlah tujuan PBB, sekalipun PBB adalah
lembaga yang aktif terlibat dalam promosi global untuk merealisasikannya. MDG’s adalah tujuan dan
tanggung jawab dari semua negara yang berpartisipasi dalam KTT Milenium, baik pada rakyatnya
maupun bersama antar pemerintah. Tujuh dari delapan tujuan telah dikuantitatifkan sebagai target
dengan waktu pencapaian yang jelas, hingga memungkinkan pengukuran dan pelaporan kemajuan
secara objektif dengan indikator yang sebagian besar secara internasional dapat diperbandingkan.85
Dengan dukungan PBB, terjadi upaya global untuk memantau kemajuan, peningkatan
perhatian, mendorong tindakan dan penelitian yang akan menjadi landasan intelektual bagi reformasi
kebijakan, pembangunan kapasitas dan memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai
semua target. 18 target dan lebih dari 40 indikator terkait ditetapkan untuk dapat dicapai dalam jangka
waktu 25 tahun antara 1990 dan 2015. Masing-masing indikator digunakan untuk memonitor
perkembangan pencapaian setiap tujuan dan target.
Tujuan-tujuan MDG saling terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai contohnya, tujuan pertama--
menanggulangi kemiskinan dan kelaparan yang parah—adalah kondisi yang diperlukan tapi belum
cukup bagi pencapaian tujuan-tujuan lainnya. Demikian pula, tanpa kemitraan dan kerja sama antara
negara miskin dan negara maju, seperti yang disebutkan pada tujuan 8, negara-negara miskin akan
sulit mewujudkan ketujuh tujuan lainnya.
86
1) Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan
Seandainya tidak ada orang miskin, hampir semua masalah kita praktis terselesaikan. Ketika anda
punya uang, anda tentu bisa memeriksakan diri ke dokter yang baik. Anda juga bisa memperoleh
sambungan jaringan air minum serta makanan berkualitas. Karena itu, tujuan pertama dalam MDG’s
adalah mengurangi jumlah penduduk miskin. Tujuan pertama ini, memang merupakan tujuan paling
85
Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Kita Suarakan MDG’s Demi Pencapaiannya di Indonesia, Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2008, hal 4.
86
penting. Namun, jangan melihatnya sebagai hal yang terpisah dari tujuan MDGs yang lain. Pada
dasarnya, semua tujuan berkaitan satu sama lain. Benar bahwa jika anda memiliki uang, anda bisa
mendapatkan perawatan kesehatan yang baik. Namun hal sebaliknya, bisa juga terjadi. Jika anda sakit,
bisa membuat anda menjadi lebih miskin – anda akan kehilangan waktu kerja atau harus
membelanjakan uang untuk obat-obatan. Artinya, perbaikan kesehatan otomatis mengurangi
kemiskinan. Demikian pula dengan pendidikan. Anak-anak yang menikmati pendidikan bakal
terbantu memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih baik.87
Target nya pada tahun 2015 adalah Mengurangi setengah dari penduduk dunia yang
berpenghasilan kurang dari 88
a. Persentase penduduk dengan pendapatan di bawah US$1 (PPP) per hari.
Sedangkan indikatornya
adalah menurunkan proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan di bawah US$1 (PPP) per hari
menjadi setengahnya dalam kurun waktu 1990-2015 merupakan target MDGs terkait dengan
pengurangan tingkat kemiskinan. Dalam kasus Indonesia, indikator yang digunakan adalah sebagai
berikut:
b. Persentase penduduk dengan tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan nasional. c. Indeks kedalaman kemiskinan.
d. Indeks keparahan kemiskinan.
e. Proporsi konsumsi penduduk termiskin (kuantil pertama).89
Tingkat kemiskinan atau proporsi jumlah orang miskin dibandingkan dengan jumlah
penduduk keseluruhan pada tahun 1990 tercatat 15,10 persen, yang terus meningkat menjadi 17,75
persen pada tahun 2006. Dengan menggunakan basis data tahun 1990, tingkat kemiskinan yang
menjadi sasaran MDGs pada tahun 2015 ialah sekitar 7,5 persen. Di sisi lain, krisis ekonomi yang
87
Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Loc. Cit.
88
. ………, Sasaran Pembangunan Millenium, dalam //http:
Kamis, 27 Oktober 2010.
89
terjadi dalam kurun 1997-1998 berakibat pada melonjaknya tingkat kemiskinan menjadi 24,1 persen
pada tahun 1998. Karena itu, akan lebih realistis apabila sasaran kemiskinan MDGs untuk tahun 2015
adalah setengah dari kondisi tahun 1998, yakni 12 Per sen. Kemungkinan lain adalah dengan
membuat kisaran yang menggabungkan sasaran berbasis tahun 1990 dan sasaran berbasis tahun 1998.
Dengan demikian, sasaran tingkat kemiskinan MDGs Indonesia pada tahun 2015, dengan
menggunakan garis kemiskinan nasional, adalah berkisar pada 7,5 -12 persen.
2) Pendidikan Dasar untuk Semua
Begitu banyak anak-anak yang tidak dapat bersekolah dan menikmati masa anak-anak nya di
sekolah karena alasan kemiskinan. Di daerah Afrika dan beberapa Negara Asia dimana masihn
banyak Negara yang berkembang, pendidikan dasar bagi anak-anak adalah bukanlah sebuah
kebutuhan pimer. Pendidikan dasar menjadi terabaikan karena banyak masyarakat yang masih hidup
dibawah garis kemiskinan. Maka kemudian, masalah ini diangkat kedalam KTT PBB sehingga
menjadi salah satu tujuan negara-negara lewat MDG’s. Target untuk 2015 adalah Memastikan bahwa
setiap anak , baik laki-laki dan perempuan mendapatkan dan menyelesaikan taha
Memastikan semua anak laki-laki maupun perempuan di manapun untuk dapat menyelesaikan
pendidikan dasar pada tahun 2015 merupakan target MDGs yang utama di bidang pendidikan.
Pengukuran pencapaian target ini di Indonesia menggunakan indikator sebagai berikut:
a. Angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (7-12 tahun).
b. Angka partisipasi murni (APM) sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (13-15 tahun).
c. Angka melek huruf usia 15-24 tahun.90
3) Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
90
Ada baiknya kita meluruskan satu hal; kesetaraan gender bukan melulu mengenai perempuan,
tetapi mengenai perempuan dan laki-laki. Akan tetaopi, karena target ini menekankan pada
pemberdayaan perempuan, kita akan membahas lebih banyak mengenai hal ini dan issue terkait
lainnya. Dalam banyak hal, perempuan di Indonesia telah mencapai kemajuan pesat, meskipun, masih
cukup jauh dari pencapaian kesetaraan gender. Data tujuan ketiga MDGs menunjukkan hal tersebut
dengan cukup jelas. Tujuan ini memiliki tiga target. Pertama, menyangkut pendidikan. Untuk hal ini,
nampaknya kita cukup berhasil. Namun, terkait target kedua dan ketiga, yaitu lapangan pekerjaan dan
keterwakilan dalam parlemen, kesempatan yang dimiliki perempuan di negara-negara masih kurang.
Sehingga hal ini dirasa perlu menjadi salah satu tujuan pembangunan dari negara-negara.91
Target
2005 dan 2015: Mengurangi perbedaan da
menengah terutama untuk tahun 2005 dan untuk semua tingkatan pada tahun 2015. Target
menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di
semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015 dipantau dengan menggunakan indicator
sebagai berikut (dalam persen):
a. Rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar, lanjutan, dan tinggi,
yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki.
b. Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun, yang diukur melalui angka
melek huruf perempuan/laki-laki (indeks paritas melek huruf gender).
c. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK ) perempuan.
d. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan.
e. Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan.
f. Tingkat daya beli (Purchasing Power Parity, PP) pada kelompok perempuan.
g. Proporsi perempuan dalam lembaga-lembaga publik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).92
91
Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Op. Cit., hal 15.
92
4) Menurunkan Angka Kematian Anak
Kita semua ingin menikmati usia panjang dan hidup sehat. Kenyataannya, sekarang kita memang
hidup lebih lama. Antara 1970 dan 2005, usia harapan hidup di negeri ini rata-rata meningkat sekitar
15 tahun. Anak-anak yang lahir di Indonesia saat ini dapat mengharapkan hidup hingga usia 68 tahun,
Anda dapat memilih usia harapan hidup sebagai satu indicator kesehatan. Namun ada satu ukuran
lainnya yang sangat penting, yaitu jumlah anakanak yang meninggal. Anak-anak, terutama bayi, lebih
rentan terhadap penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat. Itulah sebabnya tujuan keempat MDGs
adalah mengurangi jumlah kematian anak.93
a. Angka Kematian Bayi (AKB) per 1.000 kelahiran hidup.
Target negara-negara penandatanga MDG’s untuk 2015:
Mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun. Indikator yang digunakan
untuk menilai target menurunkan angka kematian balita sebesar dua pertiganya dalam kurun waktu
1990-2015 adalah:
b. Angka Kematian Balita (AKBA ) per 1.000 kelahiran hidup.
c. Anak usia 12-23 bulan yang diimunisasi campak (%).
Kematian balita dan bayi. Pada tahun 1960, angka kematian bayi (AKB) masih sangat tinggi yaitu
216 per 1.000 kelahiran hidup. Dari tahun ke tahun, AKB ini cenderung membaik sebagai dampak
positif dari pelaksanaan berbagai program di sektor kesehatan. Pada tahun 1992 AKB tercatat 68 per
1.000 kelahiran hidup, kemudian menurun menjadi 57 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1994,
turun lagi menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1997, dan pada tahun 2002-2003
penurunannya sudah mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup.94
5) Meningkatkan Kesehatan Ibu
93
Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Op. Cit., hal 18.
94
Setiap tahun sekitar 20.000 perempuan di Indonesia meninggal akibat komplikasi dalam
persalinan. Melahirkan seyogyanya menjadi peristiwa bahagia tetapi seringkali berubah menjadi
tragedi. Sebenarnya, hampir semua kematian tersebut dapat dicegah. Karena itu tujuan kelima MDGs
difokuskan pada kesehatan ibu, untuk mengurangi “kematian ibu”. Meski semua sepakat bahwa angka
kematian ibu terlalu tinggi, seringkali muncul keraguan tentang angka yang tepat. Namun bisa ada
keraguan tentang penyebabnya. Anda, misalnya, tidak mungkin hanya mengacu pada informasi dalam
laporan kematian yang bisa saja disebabkan oleh berbagai alasan, terkait ataupun tidak terkait dengan
persalinan. Metode yang biasa digunakan adalah dengan bertanya pada para perempuan apakah ada
saudara perempuan mereka yang meninggal sewaktu persalinan.95
a. Angka kematian ibu melahirkan (AKI) per 100.000 kelahiran hidup.
Target untuk tahun 2015 ialah
mengurangi dua per tiga rasio kematian ibu dalam proses melahirkan. Indikator penilaian untuk
penurunan angka kematian ibu sebesar tiga-perempatnya dalam kurun waktu tahun 1990 sampai 2015
ialah sebagai berikut:
b. Proporsi kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan (%).
c. Proporsi wanita 15-49 tahun berstatus kawin yang sedang menggunakan atau memakai alat
keluarga berencana (%).
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia telah mengalami penurunan menjadi 307 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2002-2003 bila dibandingkan dengan angka tahun 1994 yang mencapai
390 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Tetapi akibat komplikasi kehamilan atau persalinan yang
belum sepenuhnya dapat ditangani, masih terdapat 20.000 ibu yang meninggal setiap tahunnya.
Dengan kondisi ini, pencapaian target MDGs untuk AKI akan sulit dicapai. BPS memproyeksikan
bahwa pencapaian AKI baru mencapai angka 163 kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2015, sedangkan target MDG pada tahun 2015 tersebut adalah 102.96
95
Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Op. Cit., hal 20.
96
6) Memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan Penyakit Menular Lainnya
Tujuan keenam dalam MDGs menangani berbagai penyakit menular paling berbahaya. Pada
urutan teratas adalah Human Immunode_ ciency Virus (HIV), yaitu virus penyebab Acquired Immuno
De_ ciency Syndrome (AIDS) – terutama karena penyakit ini dapat membawa dampak yang
menghancurkan, bukan hanya terhadap kesehatan masyarakat namun juga terhadap negara secara
keseluruhan. Indonesia beruntung bahwa HIV belum mencapai kondisi seperti yang terjadi di Afrika
dan beberapa negara Asia Tenggara. Jumlah penduduk Indonesia yang hidup dengan virus HIV
diperkirakan antara 172.000 dan 219.000, sebagian besar adalah laki laki.97 Jumlah itu merupakan 0,1% dari jumlah penduduk. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA), sejak 1987
sampai Juni 2008, tercatat 12.686 kasus AIDS – 2.479 di antaranya telah meninggal. HIV masih
menjadi ancaman utama, seperti yang dapat kita amat terjadi di tempat lain. Di negara-negara lain,
penularan awalnya menyebar dengan cepat di antara dua kelompok berisiko tinggi, yaitu para
pengguna Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif Lainnya (Napza) suntik (penasun) dan pekerja seks.
Dari sana HIV menyebar ke penduduk lainnya sehingga menyebabkan ”epidemi yang menyebar ke
populasi umum (generalised epidemy)”.98
Sehingga target untuk 2015yaitu menghentikan dan
memulai pencegahan penyebaran
mengendalikan penyebaran HIV dan mulai menurunnya jumlah kasus baru HIV pada tahun 2015
dinilai dengan indikator-indikator sebagai berikut:
a. Prevalensi HIV dan AIDS.
b. Penggunaan kondom pada hubungan seks beresiko tinggi.
c. Penggunaan kondom pada pemakai kontrasepsi.
97
KPA, 2006. Rencana Aksi Nasional untuk HIV/AIDS 2007-2010. Komisi Penanggulangan AIDS.
98
d. Persentase penduduk usia muda 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif
tentang99
Prevalensi HIV/AIDS pada penduduk usia 15-29 tahun diperkirakan masih di bawah 0,1 persen.
Namun angka prevalensi pada sub-populasi perilaku beresiko telah melebihi 5 persen. Bahkan di
Papua, HIV dan AIDS telah masuk pada populasi umum (usia 15-49 tahun) dengan prevalensi 2,4
persen. Epidemi AIDS sekarang telah terjadi hampir di seluruh Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari
adanya laporan tentang kasus AIDS dari setiap provinsi. Jika pada tahun 2004 hanya 16 provinsi yang
melaporkan adanya kasus AIDS, maka pada tahun 2007 AIDS telah dilaporkan di 32 provinsi. Jumlah
kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan juga meningkat cukup tajam, yaitu dari 2.682 kasus pada
tahun 2004, menjadi 10,384 kasus hingga akhir September 2007. Target mengendalikan penyakit
malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit lainnya pada tahun 2015
menggunakan indikator sebagai berikut:
a. Prevalensi malaria per 1.000 penduduk.
b. Prevalensi tuberkulosis per 100.000 penduduk.
c. Angka penemuan pasien tuberkulosis BTA positif baru (%).
d. Angka keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis (%).100
7) Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup Targetnya adalah sebagai berikut:
a. Mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan setiap
negara dan program serta mengurangi hilangnya sumber daya lingkungan
99
Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007 (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Op. Cit, hal 61.
100
b. Pada tahun 2015 mendatang diharapkan mengurangi setengah dari jumlah orang yang
tidak memiliki akses air minum yang sehat
c. Pada tahun 2020 mendatang diharapkan dapat mencapai pengembangan yang signifikan
dalam kehidupan untuk sedikitnya 100 juta orang yang tinggal di daerah kumuh101
Target MDGs ke-9, yaitu memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan
kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang,
merupakan bagian dari pencapaian pelaksanaan pembangunan lingkungan hidup. Pembangunan
lingkungan hidup dalam konteks ini dipahami dari dua pendekatan, yaitu perlindungan fungsi
lingkungan hidup dan penanggulangan penurunan fungsi lingkungan hidup. Indikator yang digunakan
mencakup Green Indicator dan Brown Indicator, sebagai berikut:
Green Indicator
a. Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan Satelit Landsat terhadap
luas daratan (%).
b. Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan luas kawasan hutan, kawasan lindung,
dan kawasan konservasi termasuk kawasan perkebunan dan hutan rakyat terhadap luas
daratan (%).
c. Rasio luas kawasan lindung terhadap luas daratan (%).
d. Rasio luas kawasan lindung perairan (marine protected area) terhadap luas daratan (%).
Brown Indicator
a. Jumlah emisi karbondioksida (CO2) (metrik ton).
b. Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) (ton).
c. Rasio jumlah emisi karbondioksida (CO2) terhadap jumlah penduduk Indonesia (%).
d. Jumlah penggunaan energi dari berbagai jenis (setara barel minyak, SBM): Fosil dan
Non-Fosil.
101
e. Rasio penggunaan energi (total) dari berbagai jenis terhadap Produk Domestik Bruto (%)
f. Penggunaan energi dari berbagai jenis secara absolut (metrik ton).102
8) Membangun Kerjasama Global untuk Pembangunan Target dari tujuan MDG’s Kedelapan ini adalah:
a. Mengembangkan lebih jauh lagi perdagangan terbuka dan sistem keuangan yang
berdasarkan aturan, dapat diterka dan tidak ada diskriminasi. Termasuk
komitmen terhadap pemerintahan yang baik, pembangungan dan pengurangan
tingkat kemiskinan secara nasional dan internasional.
b. Membantu kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara kurang berkembang, dan
kebutuhan khusus dari negara-negara terpencil dan kepulauan-kepulauan kecil.
Ini termasuk pembebasan-tarif dan -kuota untuk ekspor mereka; meningkatkan
pembebasan hutang untuk negara miskin yang berhutang besar; pembatalan
hutang bilateral resmi; dan menambah bantuan pembangunan resmi untuk negara
yang berkomitmen untuk mengurangi kemiskinan.
c. Secara komprehensif mengusahakan persetujuan mengenai masalah utang
negara-negara berkembang.
d. Menghadapi secara komprehensif dengan negara berkembang dengan masalah
hutang melalui pertimbangan nasional dan internasional untuk membuat hutang
lebih dapat ditanggung dalam jangka panjang.
e. Mengembangkan usaha produktif yang layak dijalankan untuk kaum muda
f. Dalam kerja sama dengan pihak "pharmaceutical", menyediakan akses obat
penting yang terjangkau dalam
102
g. Dalam kerjasama dengan pihak swasta, membangun adanya penyerapan
keuntungan dari teknologi-teknologi baru, terutama teknologi informasi dan
komunikasi.103
Tujuan ke-8 dari MDGs adalah untuk mendorong kerjasama internasional dalam rangka
mendukung negara-negara di dunia mencapai target-target MDGs mereka. Banyak target dan
indikator pencapaian Tujuan 8 MDGs terkait erat dengan upaya-upaya di tingkat global, sehingga
tidak mudah menilai kemajuan upaya di tingkat global berkaitan dengan pencapaian MDGs di suatu
negara. Uraian di bawah ini secara spesifik melihat bidang-bidang utama dalam kerjasama
internasional yang paling relevan dan secara potensial memiliki keterkaitan kuat dengan pencapaian
MDGs Indonesia. Oleh karena itu, beberapa indikator dicoba untuk dipilah-pilah, sehingga
indikator-indikator tersebut dapat menggambarkan sejauh mana pencapaian Indonesia terkait dengan Tujuan 8
tersebut. Laporan ini juga akan menguraikan perkembangan singkat yang berkaitan dengan “tema”
target-target terkait, yaitu keuangan dan perdagangan (Target 12), ODA/pinjaman luar negeri (Target
15), pengangguran usia muda (Target 16), dan akses kepada teknologi baru (Target 18). Status umum
tujuan ini sulit dijabarkan karena status tersebut melibatkan berbagai sektor dan juga persoalan yang
bersifat global. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa untuk tujuan ini Indonesia telah mencapai
kemajuan pada beberapa bidang. Ke depannya, masih banyak hambatan dan tantangan yang harus
dihadapi.104
103
………, Sasaran Pembangunan Millenium, Op, Cit
104
Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007 (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Op. Cit, hal 71.
Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapa t
diprediksi, dan tidak diskriminatif. Sasaran kedelapan ini mengamanatkan agar setiap negara
mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan (rule-based), dapat diprediksi, dan tidak diskriminatif. Di dalamnya termasuk pula komitmen untuk melaksanakan
a. Rasio antara jumlah Ekspor dan Impor dengan PDB. Rasio ini menunjukkan tingkat
keterbukaan suatu Ekonomi (%).
b. Rasio antara Kredit dan Tabungan (LDR) Bank Umum (%). Rasio ini menunjukkan
peningkatan atau pengurangan fungsi intermediasi bank umum.
c. Rasio antara Kredit dan Tabungan (LDR) Bank Perkreditan Rakyat (%). Rasio ini
menunjukkan peningkatan atau pengurangan fungsi intermediasi Bank Prekreditan Rakyat.
Dalam menangani hutang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional agar
pengelolan hutang berkesinambungan dalam jangka panjang. Indikator yang digunakan dalam
menangani hutang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional agar pengelolaan
hutang berkesinambungan dalam jangka panjang adalah:
a. Rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB.
b. Debt-to-Service Ratio (DSR).
Dalam bekerjasama dengan negara lain untuk mengembangkan dan menerapkan strategi
penciptaan lapangan kerja yang baik dan produk tif bagi penduduk usia muda . Target 16,
bekerjasama dengan negara lain untuk mengembangkan dan menerapkan strategi penciptaan lapangan
kerja yang baik dan produktif bagi penduduk usia muda, indikator yang digunakan adalah sebagai
berikut:
a. Tingkat pengangguran usia muda (15-24 tahun);
b. Tingkat pengangguran usia muda (15-24 tahun) menurut jenis kelamin;
c. Tingkat pengangguran usia muda (15-24 tahun) menurut provinsi.
B. KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM MDG’s.
Ada baiknya kita meluruskan satu hal; kesetaraan gender bukan melulu mengenai perempuan,
tetapi mengenai perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, karena target ini menekankan pada
lainnya. Dalam banyak hal, perempuan di dunia telah mencapai kemajuan pesat, meskipun, masih
cukup jauh dari pencapaian kesetaraan gender. Data tujuan ketiga MDGs menunjukkan hal tersebut
dengan cukup jelas. Tujuan ini memiliki tiga target.
Pertama, menyangkut pendidikan. Untuk hal ini, nampaknya Indonesia cukup berhasil. Namun,
terkait target kedua dan ketiga, yaitu lapangan pekerjaan dan keterwakilan dalam parlemen,
kesempatan yang dimiliki perempuan Indonesia masih kurang. Mari kita mulai dengan kabar baik.
Saat ini, semakin banyak anak perempuan yang bersekolah. Bahkan terjadi kemajuan yang cukup
mengejutkan, antara anak laki-laki dan perempuan di berbagai jenjang pendidikan Pada sekolah dasar
jumlah antara anak perempuan dan laki-laki terbilang seimbang, di mana rasio yang ditunjukkannya
mendekati 100% sejak 1992.105
Sekarang di jenjang sekolah lanjutan pertama, garisnya berada diatas 100%, artinya terdapat lebih
banyak anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Meskipun ada penurunan pada tahun lalu, anak
perempuan sepertinya berada di depan pada sekolah lanjutan pertama. Ini mungkin karena kakak
laki-laki mereka meninggalkan sekolah untuk bekerja. Biasanya terdapat lebih banyak kesempatan kerja
bagi anak laki-laki daripada untuk anak perempuan. Namun, di sekolah menengah atas, situasinya
kembali lebih seimbang. Cara lain mengukur kemajuan adalah dengan melihat berapa banyak anak
putus sekolah. Kenyataannya, di sekolah dasar, jumlah anak putus sekolah antara anak laki-laki dan
perempuan sama. Namun, di sekolah lanjutan, terlihat bahwa lebih sedikit anak perempuan yang
putus sekolah. Hal tersebut, lagi-lagi mungkin karena anak laki-laki memilik lebih banyak
kesempatan kerja. Menariknya, baik keluarga miskin maupun kaya, sama giatnya yang bersekolah.
Sekarang situasi sudah semakin setara. Untuk mereka yang berusia 15 hingga 24 tahun, tingkat melek
huruf baik untuk laki-laki dan perempuan hampir mendekati 100%.
106
105
Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Op. Cit., hal 15.
106
Ibid, hal 16.,
Selain dibidang pendidikan,
indikator MDG’s untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan adalah rasio melek huruf,
C. HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM MDG’s DAN UPAYA PERLINDUNGAN HAK POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA LEWAT MDG’S.
1) MDG’S DI INDONESIA
Perkembangan pencapaian MDGs sesungguhnya bukanlah hal yang baru bagi Indonesia. Sebagai sebuah bentuk orientasi pembangunan, MDGs dalam tataran implementasi sesungguhnya telah dipraktekkan oleh Pemerintah Indonesia sejak masa Pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid hingga Presiden Megawati Sukarnoputri, dalam berbagai bentuk kebijakan dan program yang sesuai dengan kondisi masa itu. Pada masa Presiden Soekarno, misalnya, Pemerintah menerbitkan dokumen perencanaan pembangunan yangdiberi nama Garis-garis Besar Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960 dan Pokok-pokok Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 1961-1969. Merujuk pada dua dokumen pembangunan tersebut, diketahui bahwasanya Indonesia waktu itu telah mencoba menangani persoalan pembangunan milenium. Ini ditunjukkan, antara lain, pada kurun 1956-1960 ketika pembangunannasional berorientasi pada peningkatan pendapatan nasional yang membentuk kemakmuran rakyat Indonesia.
dilakukan jauh sebelum MDG’s disepakati sebagai komitmenglobal. Sayang, pelaksanaan program tersebut terhenti di tengah jalan akibat krisis politik tahun 1965.
Sejak tahun 1970-an pemerintah menggulirkan kembali program-program peningkatan kesejahteraan yang meliputi pendidikan, kesehatan perorangan, kesehatan reproduksi, dan penanggulangan kemiskinan. Hal ini dilakukan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), khususnya Repelita I-IV, yang ditempuh secara reguler melalui program sektoral dan regional. Pada Repelita V-VI, pemerintah melaksanakan programprogram yang selaras dengan MDGs saat ini, dengan orientasi menuntaskan masalah kesenjangan sosial dan ekonomi. Jalur pembangunan yang ditempuh adalah dengan menyinergikan program reguler sektoral dan regional.
Pelaksanaan Repelita V-VI ini pun terpaksa terhenti saat Indonesia menderita akibat dampak krisis ekonomi dan politik yang hebat di tahun 1997. Menjelang berakhirnya abad ke-20, Indonesia mulai menapaki masa transisi. Kebijakan pembangunan selamakurun itu, antara tahun 1998-2000, bersifat transisi pula. Salah satu kebijakan yang selaras dengan MDGs adalah pelaksanaan kebijakan Jaring Pengaman Sosial (JPS ), yang diantaranya adalah JPS bidang pendidikan, kesehatan, danpembangunan daerah sebagai upaya penanggulangan kemiskinan.
keputusan penyusunan dokumen RPJMN 2004-2009 maupun dokumen-dokumen RKP. Dokumen-dokumen tersebut secara khusus juga mengukur dan menelaah kemajuan pencapaian yang diperoleh, termasuk mengenali tantangan dan mengkaji program serta kebijakan ke depan untuk mencapai sasaran MDGs. Permasalahan dan tantangan pembangunan yang diuraikan dalam dokumen RPJMN 2004-2009 adalah:
a. masih rendahnya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan rendah dan menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat dan munculnya berbagai masalah sosial yang mendasar; b. kualitas sumber daya manusia Indonesia Masi h rendah karena pembangunan
pendidikan belum sepenuhnya mampu memenuhi hak-hak dasar warga negara;
c. tidak menyatunya kegiatan perlindungan fungsi lingkungan hidup dengan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam sehingga sering melahirkan konflik kepentingan antara ekonomi sumber daya alam (pertambangan, kehutanan) dengan lingkungan; d. kesenjangan pembangunan antardaerah masih lebar, seperti antara Jawa-luar Jawa,
antara kawasan barat Indonesia kawasan timur Indonesia, serta antara kota-desa; e. berkurangnya kualitas dan pelayanan dan tertundanya pembangunan infrastruktur
baru telah menghambat pembangunan nasional;
f. kerawanan sosial dan politik yang berpotensi mengganggu stabilitas dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
g. masih tingginya kejahatan konvensional dan trans-nasional;
h. adanya potensi ancaman baik dari luar maupun dalam negeri yang tidak ringan berkaitan dengan wilayah yang sangat luas, serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang beragam;
j. rendahnya kualitas pelayanan umum kepada masyarakat antara lain karena tingginya penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan; rendahnya kinerja sumber daya aparatur; belum memadainya sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan; rendahnya kesejahteraan PNS; serta banyaknya peraturan perundangundangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan;
k. belum menguatnya pelembagaan politik lembaga penyelenggara negara dan lembaga pemasyarakatan.
Tantangan-tantangan ini selaras dengan tantangan dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium. Dalam rangka menjawab semua tantangan dalam pembangunan Indonesia 2004-2009, Pemerintah Indonesia telah menetapkan tiga agenda pembangunan jangka menengah yaitu:
1) menciptakan Indonesia yang aman dan damai,
2) menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis, serta
3) meningkatkan kesejahteraan rakyat. Khusus agenda yang ketiga, prioritas pembangunan dan arah kebijakannya mencakup:
a) Penanggulangan kemiskinan dan pengurangan pengangguran, b) Peningkatan investasi,
c) Revitalisasi pertanian, d) Perikanan dan kehutanan,
e) Pembangunan perdesaan dan pengurangan ketimpangan antarwilayah,
f) Peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan dan layanan kesehatan yang berkualitas,
h) Pembangunan kependudukan yang berkualitas, dan i) Percepatan pembangunan infrastruktur.
Walaupun permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia masih cukup banyak, Pemerintah Indonesia telah bertekad untuk memenuhi komitmen pencapaian target MDGs pada 2015 mendatang. Bahkan, penanggulangan kemiskinan dalam pembangunan jangka menengah (RPJMN) ditargetkan lebih cepat daripada target MDGs sendiri. MDGs telah menjadi salah satu bahan masukan penting dalam penyusunan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional. Upaya dialog dengan berbagai pihak akan terus diupayakan untuk mencari kesepahaman dan langkah kerjasama kongkrit di masa yang akan datang. Hal ini penting dilakukan, mengingat pencapaian MDGs akan lebih mudah dicapai melalui dukungan dan partisipasi aktif dari swasta dan masyarakat.
2) HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM MDG’s
Kaum perempuan hampir diseluruh negara diabad 20 telah memperoleh hak pilih. Kesenjangan
dalam hak pilih semakin mengecil, terutama di negara yang sebagian besar penduduknya memberikan
suara. Namun, ketimpangan besar masih saja terjadi dalam berbagai bentuk partisipasi politik yang
lebih aktif seperti demonstrasti dan boikot. Perempuan secara signifikan kurang menyukai diskusi
politik dibandingkan dengan laki-laki, terutama mereka yang berasal dari kelompok tua dan kurang
pendidikan.107
Selain itu masih saja ada kesenjangan gender yang besar dalam partisipasi dan keterwakilan
politik disemua level pemerintahan, dari majelis di tingkat lokal sampai majelis tingkat nasional,
maupun kabinet. Perempuan tetap tidak terwakili secara luas dalam kantor pemilihan. Disemua
kawasan kecuali Asia dan Pasifik sertaEropa dan Asia Tengah, rata-rata perempuan hanya menduduki
kurang dari sepuluh persen (10%) kursi parlemen antara tahun 1975 sampai 1995. Di Asia Timur,
keterwakilan perempuan di parlemen tetap hanya berkisar dibawah 20 persen. Perubahan paling
mencolok terjadi di Eropa Timur dan Asia Tengah, dimana tingkat keterwakilan perempuan
(dibandingkan dengan negara-negara lainnya) merosot drastis diakhir tahun 1980an dari 25% menjadi
hanya 7% akibat terjadinya transisi politik dan ekonomi. 108
Perempuan juga massih tidak terwakili secara luas dibadan eksekutif pemerintahan. Tak satupun
dikawasan negara-negara berkembang perempuan dengan jabatan menteri bisa mencapai 8% ditahun
1998.
Dispartasi gender yang cukup tinggi juga
ditemui di majelis tingkat lokal dan regional.
109
107
Ronald Inglehart, World Values Surveys, 1981-1984, 1990-1993, and 1995-1997, Datbase ICPSR version. Ann Arbor, Mich: Inter-University Consortium for Political and Social Research, 2000.
108
Data time series kurang tersedia di kebanyakan negara Eropa Timur, sehingga pola ini hanya didasarkan apada lima negara yaitu: Albania, Bulgaria, Hungaria, Polandia, dan Rumania. Penurunan tajam dalam keterwakilan perempuan diparlemen disebabkan oleh penghapusan kuota perempuan sebesar 25-33% di Eropa Timur. Penurunan dalam keterwakilan perempuan ini berlangsung tepat saat parlemen nasional mulai memainkan peranan aktif dalam pengambilan kepustusan dan tatalaksana pemerintahan di negara-negara itu.
109
UNDP (United Nations Development Programme), Human Development Report 2000 New York: Oxford University Press, 2000.
Di Timur Tengah daan Afrika Utara, jumlah perempuan dalam kabinet hanya mencapai 2%
sedangkan di Asia Timur dan Pasifik sebesar 4%, dan di Asia Selatan dan Afrika Sub Sahara kira-kira
kursi menteri antara 7-8%. Keterwakilan perempuan pada posisi dibawah menteri canderung sedikit
lebih besar, sementaradi Asia Selatan presentase representasi untuk posisi sejenis ini lebih kecil.110 Perempuan dengan jabatan menteri pun biasanya lebih banyak bertugas dalam kementerian
urusan peranan perempuan atau kementerian sosial daripada kementerian keuangan, ekonomi, atau
perencanaan yang berperan besar dalam penetapan pengarusutaaan kebijakan dan anggaran belanja.
Dari 466 menteri perempuan di 151 negara pada awal tahun 2000, ada sekitar 95 (20%) adallah
menteri urusan perempuan dan sosial, sementara hanya kurang 22 (kurang dari 5%) yang memimpin
menteri keuangan dan ekonomi dan pembangunan.
111
3) UPAYA PERLINDUNGAN HAK POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA LEWAT MDG’S.
Minimnya kedudukan dan keterwakilan perempuan dalam bidang publik terkhusus dikancah
politik, membuka pikiran perwakilan negara untuk memajukan hal ini dalam MDG’s. Negara-negara
memang sudah meratifikasi CEDAW tetapi tidak dijalankan sesuai dengan permintaan konvensi.
Sehingga negara-negara dirasa perlu untuk didorong agar lebih memperhatikan tentang kuota
perempuan dalam bidang politik. Sehingga MDG’s yanag salah satu tujuannya adalah persamaan
gender dan pemberdayaan perempuan, memasukkan hal tersebut menjadi target pencapaian di tahun
2015.
Pemerintah
110
Di Asia Selatan, perempuan memegang kurang dari 1% jabatan dibawah menteri. Bandingkan hal ini dengan sekitar 4% di Timur Tengah dan Afrika Utara, 6% di Asia Timur dan Pasifik, kira-kira 8% di Sub Sahara Afrika dan Eropa Timur serta Asia Tengah dan 13% di Amerika Latin dan Karibia.
111
UNDP Report, Op. Cit, hal 59.
perempuan lebih banyak sebagai alat mobilisasi politik untuk kepentingan partai, sedikit sekali perempuan yang menempati posisi-posisi strategis dalam pembuatan keputusan publik.
112
Pada pemilihan umum pertama tahun 1955 hanya ada 3,8 % perempuan di parlemen Indonesia dan tahun 1960-an ada 6,3 %. Angka tertinggi ada pada periode 1987-1992 yaitu 13 %. Tetapi turun lagi menjadi 12,5 peratus tahun 1992-1997, 10,8 % menjelang Soeharto jatuh, dan hanya 9 % pada periode 1999-2004. Sedangkan pada tahun 2004-2009, hanya ada 11,4 % atau sekitar 63 perempuan saja yang menjadi anggota parlemen (DPR) periode 2004-2009. Padahal jumlah anggota legislatif di Indonesia mencapai 500 orang.113
Undang-Undang tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan Undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum adalah contoh konkrit keseriusan pemerintah dalam memperjuangkan hak politik perempuan di Indonesia. Undang-Undang tersebut mewajibkan
Perempuan hanya menduduki 9,6% jabatan tinggi dalam birokrasi pemerintahan. Perempuan juga kurang terwakili di bidang politik. Ibu Megawati Soekarnoputri pernah menjadi Presiden RI, hal itu menunjukkan Indonesia lebih maju dibandingkan banyak negara lain. Namun, dalam jenjang jabatan politik di bawahnya, perempuan kurang terlihat. Hanya sedikit yang terpilih menjadi anggota parlemen. Demikian juga yang menjadi bupati atau gubernur. Indikator MDG’s untuk ini adalah proporsi perempuan yang menjadi anggota DPR. Angka rata-rata dunia untuk hal ini cukup rendah, yaitu sekitar 15%. Proporsi Indonesia bahkan lebih rendah, yaitu 13% (1992), 9% (2003), dan 11,3% (2005).
Realisasi yang jauh dari harapan inilah yang kemudian menjadi sorotan MDG’s. Pemerintah yang telah menyadari timpangnya keterwakilan perempuan di parlemen dan minimnya presentase kedudukan perempuan pemerintahan kemudian mulai menunjukkan komitmennya untuk menjalankan tujuan pembangunan yang telah ditandatanganinya.
112
Ahmad Wahid, Op. Cit.
113
Partai Politik untuk sedikitnya memiliki 30% calon perempuan. Tidak semua partai politik bisa mewujudkan hal tersebut. Bahkan umumnya menaruh perempuan di urutan terbawah dalam daftar calon legislatif (caleg), posisi di mana caleg tidak akan terpilih. Meskipun demikian, kewajiban tersebut ada dampaknya. Yang menarik, dalam Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di mana para calon tidak mewakili partai politik, perempuan menduduki sepertiga dari kursi yang ada–dan lebih dari 30% perempuan yang mencalonkan diri, terpilih dalam pemilihan anggota DPD.114
114 Agoes Soehardjono MD,
Peran Pemerintah Daerah Dalam Upaya Menyukseskan Tujuan
Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals), dalam //http: agoessmd.blogspot.com//, diakses pada Rabu, 7 Juli 2010.
BAB IV
PENCAPAIAN INDONESIA DALAM MELINDUNGI HAK-HAK POLITIK PEREMPUAN MELALUI MDG’s
A. HAK POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA DAN REALISASI PERLINDUNGAN INDONESIA TERHADAP HAK POLITIK PEREMPUAN.
1. HAK POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA
Dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1984 (UU No.7/1984), Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW) disahkan.115 Menurut aturan hukum internasional dikenal dengan istilah pacta sunt servanda, perjanjian internasional yang telah disahkan wajib dilaksanakan. Negara negara dunia tidak boleh dikecualikan dari kewajiban itu bersandarkan ketentuan hukum nasional mereka. Melainkan, jika hukum nasional mengurangi pelaksanaan sesuatu perjanjian internasional, hukum nasional itu wajib diubah.116 Kewajiban tersebut ditambah dengan pasal CEDAW yang menyatakan Negara Negara Peserta CEDAW wajib mengubah hukum nasional agar menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita.117
115
UU No.7/1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discirmination Against Women).
116
Pasal 26 yo. Pasal 27 Konvensi Wina Terhadap Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969); Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, SH, Hukum Internasional (1998), hal.65; Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa Bangsa (1989), hal.81. Sebagaimana demikian, lihat Bagian III, butir 2 yo. butir 3 Penjelesan Atas UU No.5/1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) maupun Bagian I Angka 2 Penjelesan Atas UU No.29/1999 Tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) dll. Bandingkan Bagian I Penjelesan Atas UU No.7/1984.
117
Pasal 2 butir a s/d butir c serta butir f yo. butir g, Pasal 3, Pasal 6 dan Pasal 24 CEDAW .
selanjutnya, hukum Islam dan hukum Adat akan diubah juga. Itu karena hukum di Indonesia merupakan tiga sistem, yaitu hukum negara, hukum Islam dan hukum Adat.
Namun demikian, di Indonesia penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan hak wanita maupun perubahan hukum jadi lebih rumit dari perkataan aturan hukum internasional tersebut. Pelaksanaan CEDAW mengandung persoalan di bidang politik, terutama setelah penggantian pemerintah Orde Baru dengan pemerintah Era Reformasi.118
Selain dalam jaminan konstitusi dan jaminan UU, keterlibatan perempuan dalam politik juga dijamin dalam sejumlah kebijakan pemerintah seperti Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender/PUG (Gender Mainstreaming). Dalam laporan ini, yang dimaksud proses politik dan kehidupan publik perempuan adalah proses pengambilan keputusan mulai dari penentuan prioritas masalah, perumusan masalah, analisis masalah sampai dengan pengambilan keputusan; perencanaan sampai pada
Persoalan politik ditambah dengan masalah sosial, yaitu perkembangan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai kebudayaan dan agama.
Keterlibatan perempuan dalam politik dan kehidupan publik ini dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang tertuang dalam Pasal 27 ayat 1 tentang persamaan kedudukan di depan hukum dan Pasal 28 H ayat 1 tentang perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persmaan dan keadilan. Keterlibatan perempuan dalam politik ini juga mendapat jaminan hukum melalui UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang ratifikasi kovenan Sipil dan Politik, UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik dan UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu.
118
pengalokasian anggaran serta perumusan kebijakan publik mulai dari tingkat desa sampai tingkat nasional. Sementara itu, partisipasi perempuan dalam kehidupan publik adalah partisipasi perempuan sebagai warga Negara dalam melaksanakan tanggungjawab publiknya.
Keterwakilan merupakan proses dari berbagai aktor dalam posisi pengambilan keputusan/ menyampaikan agenda politik mewakili suatu kelompok, organisasi atau partai politik Proses politik dan kehidupan publik perempuan berdasar pada keberadaan perempuan dalam proses politik bukan sekedar jumlah. Tiada demokrasi tanpa keterwakilan perempuan. Dan Tindakan Khusus Sementara (TKS) mutlak dilakukan untuk mewujudkan kemitraan yang setara dan adil antara perempuan dan laki-laki. Ketiga aspek tersebut menjadi dasar pemahaman yang paling penting karena keterlibatan perempuan tidak saja menekankan pada keterwakilan perempuan semata dalam proses politik, tetapi juga bagaimana perempuan mempunyai kualitas sehingga dapat mempengaruhi pola pikir para anggota parlemen tentang pentingnya kesetaraan gender dalam kebijakan publik yang dihasilkan oleh parlemen.
Secara umum, hak politik perempuan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hanya saja belum ada realisasi dan keseriusan pemerintah dalam menggalakkan hak politik perempuan di Indonesia. Jadi hal ini menjadi seperti hanya jalan ditempat dan tidak ada kemajuan signifikan yang dapat diperoleh.
2. PERMASALAHAN PEREMPUAN DALAM POLITIK DAN KEHIDUPAN POLITIK
Sampai saat ini masih ada peraturan perundangan di tingkat daerah yang berdampak pada hilangnya akses perempuan dalam proses politik dan kehidupan publik, seperti yang terjadi di DKI Jakarta dan di Nanggroe Aceh Darrusalam (NAD). Di Jakarta, aturan pemilihan dewan kelurahan menyatakan bahwa pemilihan dilakukan oleh kepala keluarga. Padahal dalam UU perkawinan yang dimaksud dengan kepala keluarga adalah laki-laki. Ketentuan ini tertuang dalam perda Nomor 5 tahun 2000 di DKI Jakarta dan SK Gubernur DKI Jakarta nomor 15 tahun 2001 Sementara itu di Nanggroe Aceh Darussalam Perda tentang pemilihan kepala daerah tahun 2006 mengatur tentang syarat-syarat kepala daerah adalah sebagai Imam.
jabatan di eselon I misalnya, dari 645 PNS, hanya 63 PNS perempuan atau sekitar 9,77% sisanya 582 atau 90,23% adalah laki-laki. Pada pemilihan kepala daerah langsung, keterlibatan perempuan dalam proses politik juga masih belum terbangun. Dalam periode tahun 2005-2006, hanya 17 perempuan yang terpilih menjadi Bupati. Hasil ini menunjukkan sistem pemilihan kepala daerah belum dapat membuka peluang secara luas bagi perempuan untuk terlibat dalam politik.
3. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI HAK POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA
Didorong rasa tanggungjawab terhadap perlindungan hak-hak asasi perempuan, pemerintah Indonesia turut serta dengan masyarakat internasional memperjuangkan hak-hak asasi perempuan, dengan meratifikasi beberapa konvensi internasional. Konvensi internasional yang sudah diratifikasi antara lain adalah :
1. Konvensi tentang Hak-hak Politik Wanita Tahun 1952 menjadi Undang-undang Nomor 68 Tahun 1958.
2. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita Tahun 1979 (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman) menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984.
3. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
pemerintah Indonesia tersebut pertama-tama dapat dilihat dalam UUD 1945. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan :
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Kemudian di dalam Pasal 28 C ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 menyebutkan, bahwa :
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 28 D ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945 mengatakan :
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Berdasarkan bunyi UUD 1945 sebagaimana dikemukakan di atas, terlihat bahwa UUD 1945 tidak membedakan laki-laki dengan perempuan. Hal itu tercermin dari bunyi awal kalimat, yang selalu menyebutkan “Segala warga negara, “Setiap orang”, Setiap warga negara”. Permasalahannya adalah bahwa apa yang sudah dirumuskan di dalam UUD 1945 tersebut di dalam praktek penyelenggaraan negara tidaklah demikian. Kaum perempuan masih saja termarjinalkan baik dalam kehidupan rumah tangga, bidang politik, pemerintahan, maupun dalam mendapatkan pekerjaan.
Keterlibatan perempuan dan laki-laki di bidang politik adalah bagian tidak terpisahkan dalam proses demokratisasi. Mengkaitkan issu gender dengan proses demokratisasi adalah sesuatu yang sudah lazim diterima oleh masyarakat, oleh karena di dalamnya terintegrasi hak-hak politik baik bagi laki-laki maupun perempuan yang merupakan hak asasi manusia paling mendasar.119
119
Suharizal dan Delfina Gusman, Suatu Kajian Atas Keterwakilan Perempuan di DPRD Provinsi
Sumatera Barat,dalam
//http:google.com-kajian-atas-keterwakilan-perempuan-DPRD-Provinsi-Sumatera-Barat-pdf-php// diakses pada Jumat, 29 Oktober 2010.
1) Undang-Undang Nomor. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Secara umum pengaturan mengenai perempuan diatur dalam bagian sembilan pasal empat puluh lima sampai lima puluh satu. Pada pasal empat puluh lima disebutkan bahwa hak wanita dalam undang-undang ham ini adalah hak asasi manusia. Hal ini menguatkan bahwa hak wanita adalah hak asasi manusia yang harus dihormati dan tidak bolah dikotak-kotakkan serta didiskriminasi. Secara khusus undang-undang ini mengatur mengenai hak politik perempuan pada pasal empat puluh enam, yaitu:
Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.
Pasal ini jelas memberikan perlindungan hak politik perempuan dari diskriminasi yang mengatasnamakan sistemn pemilihan umum, kepartaian, pemilihan badan legislatif dan sistem pengangkatan. Semua sistem dalam kehidupan perpolitikan harus menjamin keterwakilan perempuan didalamnya.
2)Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 merupakan perubahan atas undang-undang nomor 12 tahun 2003. Undang-undang ini juga mengakomodir hak politik perempuan. Hal ini terlihat jelas dalam bab 2 tentang pembentukan partai politik pada pasal 2 ayat (2), yaitu:
Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
Kemudian dipasal 20 dinyatakan bahwa:
Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing.
Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan umum di dalam Pasal 20 UU No 2 Tahun 2008 ternyata ada yang pro dan kontra. Kelompok yang pro beranggapan, ketentuan untuk pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota harus memperhatikan keterwakilan perempuan 30% dianggap sebagai suatu kemenangan dalam memperjuangkan hak-hak asasi perempuan di lembaga legislatif. Melalui jumlah 30% untuk calon perempuan diharapkan dapat menambah jumlah perempuan di lembaga legislatif. Namun di pihak yang kontra berpendapat, bahwa pencantuman tersebut adalah suatu hal yang mubazir, dan justru bertentangan dengan prinsip yang dianut oleh UUD 1945, yang tidak membedakan antara perempuan dengan laki-laki.120
3) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Ketentuan itu juga bertentangan dengan prinsip demokratisasi sebagaimana saat ini sedang diperjuangkan di Indonesia.
121
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum adalah perubahan dari undang-undang pemilu yang lama yaitu undang-undang no. 31 tahun 2002. Sejak dari undang-undang yang lama pengaturan mengenai hak politik perempuan telah diakomodir. Di
120
Kesimpulan ini diambil dari ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2) Perubahan Kedua, dan Pasal 28 Db ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945.
121
undang-undang no. 10 tahun 2008 ini pengaturan mengenai kuota perempuan diatur dalam pasal 8 ayat (1) huruf d, yaitu:
menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
Pada huruf (d) jelas terlihat bahwa pengaturan mengenai kuota perempuan merupakan sebuah keharusan pada kepengurusan partai politik. Tetapi pada kenyataannya hal ini tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh undang-undang.
Lebih progresif lagi UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD karena mengatur pula tentang zipper system.122 Pasal 55 ayat (2) menyatakan bahwa; “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.”123
1. Rwanda dengan 48,8 % keterwakilan perempuan
Beberapa negara yang telah memberlakukan sistem zipper ini biasanya mengatur ketentuan itu dalam Ad/ART partai mereka. Hal ini karena tingkat kesadaran politik mereka yang tinggi. Menurut Women’s Environment and Development Organization, ada 13 negara yang menggunakan sistem pemilu representasi proporsional dengan sistem kuota zipper. Negara-negara tersebut berhasil mewujudkan komposisi parlemen dengan jumlah wanita yang melampaui criticall mass sebesar 30 %. Negara yang memberlakukan zipper sistem antara lain :
2. Swedia dengan 47,3 % keterwakilan perempuan 3. Finlandia dengan 42% keterwakilan perempuan 4. Norwegia dengan 37,9 % keterwakilan perempuan 5. Denmark dengan 36,9 % keterwakilan perempuan
122
Zipper system berarti bahwa gender kandidat dalam daftar dibuat berselang seling antara laki-laki dan perempuan
123
Siti Nur Solechah, Rekrutmen Politik Perempuan Bakal Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera
6. Belanda dengan 36,7 % keterwakilan perempuan 7. Argentina dengan 35 % keterwakilan perempuan 8. Mozambik dengan 34,8 % keterwakilan perempuan 9. Belgia dengan 34,7 % keterwakilan perempuan
10.Afrika selatan dengan 32,8 % keterwakilan perempuan 11.Austria dengan 32,2 % keterwakilan perempuan 12.Islandia dengan 31,7 % keterwakilan perempuan 13.Jerman dengan 31,6 % keterwakilan perempuan124
Namun demikian, UU Pemilu 2008 hanya membuka ruang terbatas bagi perempuan yakni sampai pada pencalonan beserta daftar pencalonannya,bukan pada calon jadi. Tetapi, pada tanggal 23 Desember 2008 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan yang isinya membatalkan pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 yang menurut MK memuat standar ganda dalam penetapan caleg. Dengan Putusan itu MK menetapkan suara terbanyak sebagai mekanisme tunggal.125
4) Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender/PUG (Gender Mainstreaming)
Putusan MK ini menyulitkan partai untuk menetapkan calon jadi dengan sistem zipper.
Upaya affirmative action untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik terus disuarakan, seperti pada pelaksanaan pemilu 2009, peraturan perundangundangan telah mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota legislatifnya. Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan
124
Siti Nur Solechah, Ibid, hal 70.
125
mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat.
Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3%). Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9%). Kampanye kuota ini adalah bentuk perjuangan politik lanjutan perempuan setelah tuntutan hak pilih bagi perempuan di awal abad 20 tercapai. Kampanye kuota bertujuan untuk melawan domestifikasi, perempuan (melawan politik patriarki), karena domestifikasi dan dominasi laki-laki atas perempuan dalam budaya patriarki bukanlah takdir. Untuk itu kampanye kuota tidak selesai dalam wujud keterwakilan perempuan dalam partai politik dan parlemen.
4. REALISASI PERLINDUNGAN INDONESIA TERHADAP HAK POLITIK PEREMPUAN
A) KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PARLEMEN INDONESIA
Menurut sensus Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, jumlah perempuan Indonesia adalah 101.525.816 atau 51% dari jumlah seluruh penduduk. Ini lebih banyak dari total jumlah penduduk di tiga negara; Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun jumlah besar tersebut tidak tercermin dalam jumlah dan persentase keterwakilan perempuan di lembaga pengambilan keputusan politik di Indonesia (parlemen).126
1) DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR)
126
Undang-undang Dasar Republik Indonesia tidak memberikan batasan akan partisipasi dan keterwakilan politik perempuan. Keterlibatan perempuan dalam kehidupan publik telah meningkat namun partisipasi dan keterwakilan mereka di lembaga legislatif tingkat nasional maupun provinsi, dan di seluruh lembaga pemerintahan masih rendah. Dalam upaya meminimalkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik bertalian dengan upaya meningkatkan peran perempuan di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dilakukan berbagai upaya. Terhadap hal ini, muncul keinginan agar representasi perempuan di lembaga DPR ditingkatkan. Keinginan untuk meningkatkan representasi perempuan di lembaga DPR didasarkan pada pengalaman di masa yang lalu bahwa representasi perempuan di DPR sangat minim sekali. Melalui Tabel di bawah ini dapat diketahui tentang representasi perempuan di DPR-RI, sebagai berikut :
Tabel 1
Representasi Perempuan di DPR RI127
Periode Anggota Perempuan Anggota Laki-laki 1950-1955 (DPR Sementara) 9 (3,8%) 236 ( 96,2%)
1955-1960 17 (6,3 %) 272 (93,7%)
1956-1959 (Konstituante) 25 (5,1%) 488 (94,9%)
1971-1977 36 (7,8%) 460 (92,2)
1977-1982 29 (6,3%) 460 (93,7%)
1982-1987 39 (8,5%) 460 (91,5%)
1987-1992 65 (13%) 435 (87%)
1992-1997 62 (12,5%) 438 (87,5%)
1997-1999 54 (10,8%) 446 (89,2%)
1999-2004 46 (9%) 454 (91%)
2004-2009 65 (11,6%) 435 (87%)
2009-2014 10