KEPASTIAN HUKUM PENGATURAN
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN TERHADAP
TANAH ADAT DI BALI
I Nyoman Satia Negara
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
Diajukan Untuk Ujian Terbuka
KEPASTIAN HUKUM PENGATURAN
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN TERHADAP
TANAH ADAT DI BALI
I Nyoman Satia Negara NIM : 1290971014
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
Promotor,
Prof. Dr. IGN. Wairocana, SH, MH
NIP. 19530401 198003 1 004
Ko-Promotor I, Ko-Promotor II,
Dr. I Gede Artha, SH, MH Dr. Putu Gede Arya Sumerta Yasa, SH, MH NIP. 195810127 198503 1 002 NIP. 19640915 199003 1 004
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,
Kedudukan N a m a Tanda Tangan
Ketua : Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH
Sekretaris : Dr. I Gede Artha, SH.,MH
Anggota : Dr. I Putu Gede Arya Sumerta Yasa, SH.,MH
Anggota Penguji Eksternal Prof. Dr. Sudarsono, SH.,MS
Anggota Prof. Dr. I Wayan P Windia, SH.,MSi
Anggota Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH, MHum
Anggota Dr. I Ketut Wirawan, SH.,MHum
Anggota Dr. I Gede Yusa, SH.,MH
PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM Kode Dok : F-PRO-036.02
Revisi : 0 PERSETUJUAN PERBAIKAN UJIAN AKHIR TAHAP I (TERTUTUP) Nama Mahasiswa : I Nyoman Satia Negara, SH, MH
NIM : 1290971014
Program Studi : Doktor Ilmu Hukum Tanggal Ujian : 01 April 2016
Judul Disertasi : Kepastian Hukum Pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan Terhadap Tanah Adat di Bali
Promotor : Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH, MH Co-Promotor I : Dr. I Gede Artha, SH, MH
Co-Promotor II : Dr. I Putu Gede Arya Sumerta Yasa, SH, MH
Kedudukan N a m a Tanda Tangan
Ketua : Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH
Sekretaris : Dr. I Gede Artha, SH.,MH
Anggota : Dr. I Putu Gede Arya Sumerta Yasa, SH.,MH
Anggota Penguji Eksternal Prof. Dr. Sudarsono, SH.,MS
Anggota Prof. Dr. I Wayan P Windia, SH.,MSi
Anggota Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH, MHum
Anggota Dr. I Ketut Wirawan, SH.,MHum
KATA PENGANTAR
Puja dan Puji syukur kehadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa atas Asung Kerta
Wara Nugrahenya, saya dapat mempersembahkan karya tulis dalam penelitian yang berjudul: “Kepastian Hukum Pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Tanah Adat di Bali” dengan baik sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Dalam penelitian dan penulisan ini, banyak kendala dan hambatan yang dialami
sebagai bagian dari proses pembelajaran mahasiswa Universitas Udayana. Kendala dan
hambatan tersebut menjadi pemicu untuk dapat menyelesaikan penelitian ini dengan waktu
yang telah ditentukan dengan baik. Penyelesaian penelitian ini juga mendapat bantuan dan
kerjasama dari pihak-pihak yang berwenang untuk melengkapi hal-hal yang berguna terhadap
tema penelitian. Bantuan kerjasama yang diberikan menjadikan penelitian ini lebih baik
walaupun masih perlu untuk mendapatkan masukan-masukan baik berupa pendapat, saran
dan kritikanuntuk lebih sempurnanya penulisan dalam penelitian ini.
Ucapan terimakasih saya sampaikan kepaapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana,
SH, MH sebagai Promotor, Bapak Dr. I Gede Artha, SH, MH, sebagai Ko-Promotor I, Bapak
Dr. Putu Gede Arya Sumerta Yasa, SH, MH sebagai Ko-Promotor II dan Bapak-bapak Tim
Penguji yang telah membimbing dan mengarahkan sehingga penulisan dalam penelitian ini
dapat disempurnakan. Begitu pula para informan atau semua pihak yang memberikan bantuan
dan kerjasamanya, sehingga penelitian inidapat diselesaikan dengan baik. Semoga amal baik
Bapak/Ibu yang telah dilakukan, mendapatkan imbalan kerahayuan dan kedamaian dari Ida
Shang Hyang Widhi Wasa, astungkara. Semoga hasil penelitian inijuga dapat berguna dan
ada manfaatnya.
Denpasar, April 2016
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara untuk kepentingan rakyat
dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan yang bertujuan untuk meningkatkan
pembangunan nasional dan pemerintahan, dalam arti sebagai pelaksanaan dan peningkatan
kesejahteraan dan pembangunan serta menumbuhkan peranserta masyarakat. Pelaksanaan
penerimaan negara dari sektor pajak yang bersumber dari kekayaan alam saat ini semakin
berkurang mengingat sudah semakin terbatas dan tidak dapat diperbaharui, untuk itu
pemerintah berkewajiban mencari sumber penerimaan diluar kekayaan alam. Pada umumnya
negara mempunyai sumber-sumber penerimaan yang terdiri atas 1) Bumi, air dan kekayaan
alam, 2) pajak-pajak, Bea dan Cukai, 3) Penerimaan Negara Bukan pajak (non-tax), 4) hasil
perusahaan negara, dan 5) sumber-sumber lain seperti percetakan uang dan pinjaman.1 Sumber penghasilan tersebut diharapkan dapat berperan sebagai sumber penerimaan untuk
mengisi kas negara dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan pengamalan
Pancasila, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 selanjutnya ditulis UUD NRI Tahun 1945.
Ketentuan pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, disebutkan bahwa “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Bumi, air dan kekayaan alam
merupakan kekayaan nasional dan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, termasuk dalam
pengertian dikuasai adalah mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan,
persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur yang dapat dipunyai atas bagian
dari bumi, air dan kekayaan alam, menentukan dan mengatur hubungan hukum antara
1
orang (subjek hukum) dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
kekayaan alam di Indonesia. Dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
merupakan tujuan negara untuk mensejahterakan masyarakatnya. Pada hakekatnya tugas
negara bersama rakyat mempunyai tanggung jawab bersama untuk mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur, memberikan perlindungan terhadap rakyatnya dan menciptakan suatu
kepastian hukum dan kedudukan hukum yang jelas. Untuk menciptakan suatu kepastian
hukum didalam pengaturan dan pemungutan pajak kepada masyarakat sebagai wajib pajak,
harus berdasarkan Undang-undang dan berbagai regulasi yang berhubungan dengan tata cara
pelaksanaannya, agar nantinya tidak menimbulkan sengketa hukum dikemudian hari.
Pajak sebagai penerimaan negara dari rakyatnya dapat ditinjau dari dua aspek yakni,
aspek hukum dan aspek pajak. Dari aspek hukum, perpajakan merupakan masalah hukum
karena menyangkut kaidah hukum, yakni bagaimana ketentuan perpajakan dapat
diberlakukan serta hasil pungutan pajak yang diatur dalam ketentuan perpajakan dapat
bermanfaat bagi segenap warga negara Indonesia. John L. Hutagaol mengemukakan sebagai
berikut:
“Since the income tax law of 1983 was enacted, there are some basic principle which
were followed under taxation in Indonesia. One of the basic principles is self assessment, which means the taxpayer is given the truth and responsibility to compute, pay report their tax obligation. In relation to the implementation of self assessment,
the tax officials should establish and supervise the accomplishment of the principle.” (Sejak hukum pajak pendapatan tahun 1983 ditetapkan, ada beberapa princip dasar yang diikuti dalam perpajakan di Indonesia. Salah satu prinsip-prinsip dasar itu adalah penilaian individu/pribadi, yang berarti pembayar pajak diberi hak dan tanggungjawab pajak yang dibayarkan. Dalam hubungannya dengan penilaian individu/pribadi, para petugas pajak harus hadir dan membimbing keberhasilan dari princip itu). 2
Selanjutnya ditekankan hal yang penting, bahwa tidak cukup kepercayaan itu
diberikan kepada wajib pajak, hal yang lebih esiensial adalah bagaimana pemerintah
2
memberikan pelayanan yang harus berpegang kepada ketentuan yang berlaku yakni adanya
kepastian hukum. Sedangkan dari aspek perpajakan, untuk mendorong kepatuhan wajib pajak
melaksanakan ketentuan perpajakan hendaknya memperlakukan wajib pajak sebagai subjek
pajak bukan diperlakukan sebagai objek, yaitu dengan menumbuhkan kesadaran akan
kewajiban dilakukam secara tertib. Makna dari kata tertib tersebut menurut pendapat Frans
Limahelu yang mengemukakan “istilah tertib dalam pemahaman hukum merupakan elemen
pertama dan penting yaitu tertib hukum yang bermuara pada kepastian hukum”. 3
Sebagai negara hukum, maka semua ketentuan dan tata cara pelaksanaan kegiatan
penerimaan sumber-sumber pendapatan berdasarkan atas undang-undang, hal ini
mengamanatkan agar peraturan perundang-undangan dalam pemungutan pajak seharusnya
memberikan kepastian hukum. Untuk menjamin kepastian hukum terhadap pengaturan
perpajakan sebagaimana dinyatakan dalam UUD NRI Tahun 1945 yakni Pasal 23 A, yang
menyatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan undang-undang”. Ketentuan ini mengandung konsekuensi secara mendalam
terhadap negara apabila akan mengatur dan memungut pajak kepada rakyatnya, harus
berdasarkan undang-undang dan tidak dibenarkan tanpa berdasarkan undang-undang, begitu
pula pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang. Disamping itu asas legalitas tetap ada bahkan dipertegas keberadaannya, sehingga
negara didalam melakukan pengaturan dan pemungutan pajak tidak bertentangan dengan
dasar hukum yang menjiwai.
Pasal 23 A tersebut pada hakekatnya, merupakan dasar konstitusional bagi negara
untuk mengatur dan memungut pajak yang bersifat memaksa kepada warga negara Indonesia,
termasuk warga negara asing yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia yang
menerima dan/atau memperoleh penghasilan, atau memiliki hak atas bumi dan/atau
3
memperoleh manfaat atas bumi, memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat terhadap
bangunan. Ketentuan ini mengandung alasan pembenaran pengaturan dan pemungutan pajak
oleh negara, sehingga tidak dianggap melakukan perampasan atau perampokan terhadap
kekayaan warga negara sebagai wajib pajak.
Pengaturan dan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan pada jaman kolonial tertuang
dalam :
1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 (Personeele Belasting Ordonnantie 1908,
Staatsblad Tahun 1908 Nomor 13),
2. Ordonansi Verponding Indonesia 1923 ( Inlandsche Verpondings Ordonnantie 1923,
Staatsblad Tahun 1923 Nomor 425), sebagaimana telah diubah dengan Algemeene
Verordiningen Binnenlandsche Bestuur Java en Madoera (Staatsblad Tahun 1931
Nomor 168) ;
3. Ordonansi Verponding Indonesia 1928 (Verpondings Ordonnantie 1928, Staatsblad
Tahun 1928 Nomor 342) sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor
29 Tahun 1959;
4. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Ordonnantie op de Vermorgens Balasting 1932,
Staatsblad Tahun 1932 Nomor 405), sebagaimana terakhir diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara
Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925;
5. Ordonansi Pajak Jalan 1942 (Weggeld Ordonnantie 1942, Staatsblad Tahun 1941
Nomor 97), sebagaimana terakhir diubah dengan Algemeene Verordening
Oologsmisdrijven (Staatsblad Tahun 1946 Nomor 47) ;
6. Undang-Undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah,
7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang
Pajak Hasil Bumi.
Peraturan tersebut diatas dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dan diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam ketentuan peralihan dari
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 disebutkan bahwa Iuran Pembangunan Daerah
(IPEDA), Pajak kekayaan (PKk), Pajak Jalan dan Pajak Rumah Tangga (PRT) yang terhutang
untuk tahun pajak 1985 dan sebelumnya berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang lama sampai dengan tanggal 31 Desember 1990. Dengan berlakunya
undang-undang ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada dibidang IPEDA berdasarkan
Undang Undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak Hasil bumi tetap berlaku sampai
dengan tanggal 31 Desember 1990, sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan
peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan undang-undang ini. Sejarah perkembangan
perpajakan yang berlaku di Indonesia mengalami perubahan dari masa kemasa sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan negara.
Perkembangan perpajakan itu sendiri pada mulanya belum merupakan suatu pungutan,
tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara
kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara terhadap serangan musuh dari luar,
membuat jalan untuk umum, membiayai pegawai kerajaan dan lain sebagainya. Sejalan
dengan perubahan masa saat ini, masyarakat yang menjadi wajib pajak didalam memenuhi
kewajibannya merupakan pungutan iuran kepada negara.Untuk memenuhi kepentingan negara
tersebut kewajiban rakyat yang dulu hanya bersifat sukarela, dengan perubahan regulasi
tentang perpajakan saat ini, rakyat berkewajiban membayar pajak demi kelangsungan
Prinsip-prinsip yang berdasarkan pada perubahan dalam sistem pemungutan pajak
menurut Undang Undang Nasional yang tertuang dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yakni :
1. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dilandasi falsafah . Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan.
2. Sejalan dengan perkembangan ekonomi, teknologi informasi, sosial, dan politik, disadari bahwa perlu dilakukan perubahan Undang-undang. Perubahan tersebut bertujuan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta mengantisipasi kemajuan dibidang teknologi informasi.
3. Sistem, mekanisme dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana.
4. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, arah dan tujuan perubahan ini mengacu pada kebijakan pokok yaitu meningkatkan efisiensi pemungutan pajak, meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Undang-undang ini sebagai suatu undang-undang dibidang perpajakan yang dilandasi
falsafah Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, jelas berbeda dengan undang-undang pajak
yang lama. Perbedaan tersebut akan nyata terlihat dalam sistem dan mekanisme serta cara
pandang terhadap wajib pajak, dimana dalam undang-undang pajak yang baru wajib pajak
tidak dianggap sebagai objek, tetapi merupakan subjek yang harus dibina dan diarahkan agar
mau dan sadar memenuhi kewajiban kenegaraan, dengan demikian keikutsertaan masyarakat
dibidang pembiayaan pembangunan dapat dihasilkan penerimaan pajak yang nantinya juga
diarahkan dalam pembangunan di daerahnya.
Masyarakat disisi lain dalam tuntutannya terhadap adanya aparatur perpajakan yang
makin mampu dan bersih, dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan
dalam undang-undang perpajakan ini. Perubahan dalam pelaksanaan perpajakan bukan saja
aparatur pelaksana perpajakan yang dapat memberikan pelayanan yang baik sesuai harapan
masyarakat.
Prinsip tersebut dalam sistem perpajakan yang diadakan oleh negara berupa peraturan
perundang-undangan sebagai kaidah hukum tertulis atau hukum positif mempunyai tujuan
berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Ketiga tujuan tersebut bukan hanya
dalam bentuk kaidah hukum tertulis dalam undang-undang pajak, harus tercermin juga dalam
pelaksanaannya atau penerapannya, sehingga hukum pajak betul-betul merupakan hukum
fungsional yang mengabdi kepada negara sebagai negara hukum dengan menampakkan tujuan
keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum bagi wajib pajak. 4 Dalam negara hukum yang menjadi pertanyaan dan diinginkan setiap orang adalah tujuan hukum itu sendiri apakah sudah
terkandung jaminan adanya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat
wajib pajak. Kenyataannya ketiga tujuan hukum tersebut sering berada dalam suasana kurang
harmonis, contohnya :
a). Keadilan yang diinginkan menjadi disharmonis dengan kemanfaatan dan kepastian
hukum, karena bukan subjek pajak yang dipungut pajak, contohnya bayi yang
mengkonsumsi susu (membutuhkan tambahan nutrisi, sedangkan harga jual susu
untuk bayi sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai).
b). Dalam mengakomodasi kemanfaatan sering berpotensi bersinggungan dengan
pesan keadilan dan kepastian hukum, karena yang bukan wajib pajak bisa
menikmati hasil pajak atau bahkan subjek pajak yang tidak membayar pajak juga
bisa memanfaatkan hasil pungutan pajak,(contohnya pengguna jalan, jembatan,
rumah sakit, fasilitas umum) belum tentu pembayar pajak yang patuh.
c). Kepastian hukum dapat berkurang seiring dengan aspek keadilan dan kemanfaatan
karena hanya terfokus pada ketentuan formal, contohnya dikenakan pajak kepada
4
penerima hadiah perlombaan (padahal hanya orang-orang tertentu saja bisa
berprestasi, sehingga bagi yang berprestasi sebaiknya diberi apresiasi dengan tidak
mengenakan pajak penghasilan).
Unsur dari suatu kepastian hukum adalah asas legalitas dimana undang-undang yang
mengatur tindakan yang berwenang sesuai dengan aturan dalam undang-undang yang
ditetapkan tersebut, sedangkan peraturan pelaksanaannya secara jelas dan tegas ditentukan
hal-hal yang menjadi hak, kewajiban dan sanksi bagi wajib pajak maupun petugas pajak yang
akan melaksanakan pemungutan dan pengurusan dibidang perpajakan, sehingga kepastian
hukum dapat dilaksanakan oleh masyarakat secara adil. Kepastian memiliki arti ketentuan,
ketetapan, sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan kata hukum menjadi
kepastian hukum, yang memiliki arti sebagai suatu ketentuan atau ketetapan hukum suatu
negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian hukum
tidak selalu mempersoalkan hubungan hukum antara warga negara dan negara, atau tidak
semata-mata berkaitan dengan negara, karena esensi dari kepastian hukum adalah masalah
perlindungan dari tindakan sewenang-wenang, tindakan tersebut tidak terbatas pada negara
saja, tetapi juga oleh sekelompok pihak lain selain negara.
Penyelenggaraa Pemerintahan daerah diatur dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Bab VII tentang Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah, Bagian Kedua tentang Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pada Pasal 58,
menyebutkan :
“Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, dalam menyelenggaraan Pemerintahan Negara yang terdiri atas” :
a. Kepastian Hukum;
b. Tertib Penyelenggaraan Negara; c. Kepentingan Umum;
h. Efisiensi; i. Efektivitas; dan j. Keadilan.
Asas penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut, salah satu bagian yang penting
adalah mengenai kepastian hukum. Dalam Penjelasan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014, pada Pasal 58 huruf a, disebutkan :
“Yang dimaksud dengan Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang undangan dan keadilan dalam
setiap kebijakan penyelenggara negara”.
Kepastian hukum dalam Undang undang tersebut, secara jelas berdasarkan atas asas
dalam negara hukum yang mengutamakan landasan perundangan dan keadilan dalam
kebijakan pemerintah. Pernyataan dari E. Fernando M. Manulang tentang kepastian hukum,
merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga
negara dari kekuasaan yang sewenang-wenang, sehingga hukum memberikan tanggungjawab
pada negara untuk menjalankannya, dalam hal ini tampak relasi antara persoalan kepastian
hukum dengan negara. 5 Soedikno Mertokusumo menyebutkan kepastian hukum sebagai perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang
akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. 6 Dengan demikian dalam pemungutan pajak hanya dilakukan oleh negara yaitu aparat selaku wakil negara yang
berwenang melakukannya adalah Direktorat Jenderal Pajak , sementara itu pihak ketiga atau
swasta tidak diperkenankan atau dilarang melakukan pemungutan pajak, sepanjang
undang-undang pajak memberi kekhususan atau perkecualian dan dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum.
5
E.Fernando M.Manulang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. 94-95
6
Pembaharuan sistem perpajakan melalui penyederhanaan yang meliputi
macam-macam pungutan tentang pajak bumi dan bangunan terhadap tanah dan/atau bangunan, tarif
pajak dan cara pembayarannya, dapat meningkatkan kesadaran perpajakan dari masyarakat,
sehingga penerimaan pajak akan meningkat pula. Ini dapat terjadi pada pemungutan pajak
bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
yang dilakukan oleh aparat Pemerintah Daerah dilingkungan Kementrian Dalam Negeri dan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), seperti pemungutan dan pemotongan pengenaan pajak
penghasilan kepada wajib pajak, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang
mewah.
Paham negara kesejahteraan (welfare state) yaitu konsep pemerintahan, dimana suatu
negara memegang peranan kunci dalam perlindungan dan pemenuhan kesejahteraan ekonomi
dan sosial warganya. Lemaire dalam kaitan ini mengemukakan pemerintah dalam negara
modern mengemban tugas “Bestuurszorg” yaitu tugas dan fungsi menyelenggarakan
kesejahteraan umum. 7Adanya campur tangan pemerintah dalam pemenuhan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat mengakibatkan lapangan pemerintahan menjadi sangat luas, yang
secara normatif dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik ditingkat
pusat maupun ditingkat daerah, sehingga pembangunan dan peran serta masyarakat dapat
dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi pengaturan mutlak
terselenggara dengan efektif, karena suatu pemerintahan negara diberi wewenang untuk
melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang ditentukan oleh lembaga
legislatif melalui berbagai ketentuan pelaksanaan dan kebijakan.
Pelaksanaan dan kebijakan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
mencerminkan sebagai tatanan hukum yang berlaku di masyarakat, sehingga merupakan
perwujudan dari cita hukum yang dianut dalam masyarakat. Dirumuskan dan dipahaminya
7
cita hukum akan memudahkan penjabarannya kedalam berbagai perangkat aturan
kewenangan dan aturan perilaku dan memudahkan terjaganya konsistensi dalam
penyelengggaraan hukum.8 Dasar formal seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah UUD NRI Tahun 1945 pada pembukaan tercermin pokok-pokok pikiran meliputi
suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Pokok-pokok pikiran itu mewujudkan cita hukum yang menguasai hukum dasar
negara, baik hukum yang tertulis maupun yang tidak tertulis. 9 Tatanan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat berkaitan erat dengan cita hukum yang dianut dalam masyarakat
yang bersangkutan kedalam perangkat berbagai peraturan perundang-undangan, lembaga
hukum, perilaku penyelenggara negara. Cita hukum (rechts idee) mengandung arti bahwa
pada hakikatnya hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa,
karsa, cipta dan pikiran dari masyarakat itu sendiri.10 Berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum, yang dalam intinya terdiri atas tiga unsur : keadilan, kehasil-gunaan
(doelmatigheid) dan kepastian hukum,terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai
produk berpadunya pandangan hidup, keyakinan keagamaan dan kenyataan kemasyarakatan
yang diproyeksikan pada pemerintahan dan warga masyarakat.
Proses pengkaidahan perilaku warga masyarakat yang mewujudkan tiga unsur tadi,
dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan dan cita hukum akan berpengaruh, dan berfungsi
sebagai asas umum, mempedomani norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang
memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan, penerapan hukum) dan
perilaku hukum. Bangsa Indonesia memiliki suatu tata hukum nasional yang sesuai dengan
8
Bernard Arief Sidartha, 1996 Refeksi Tentang Fundasi dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, (Disertasi, Universitas Padjajaran), h. 214 – 215.
9
Atamimi.A, Hamid.S, 1996, Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia, dalam Pancasila sebagai Idiologi dalam berbagai bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, disunting Oetojo Oesman, BP 7 Pusat, Jakarta, h. 62, dinyatakan bahwa istilah cita sebagai padanan kata idiologi, dalam kaitan dengan hukum tidak tepat mempergunakan istilah idiologi hukum, karena isitilah idiologi mempunyai konotasi sosial politik, oleh karenanya lebih tepat dipakai istilah “cita hukum”
10 Rumusan hasil seminar, 1995, Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasional,
cita-citanya, yaitu hukum yang membawa keadilan sosial bagi seluruh rakyat, hukum yang
dapat mewujudkan suatu masyarakat adil makmur.11 Dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan sebagaimana dinyatakan tersebut, diperlukan adanya dana yang besar untuk
membiayai pembangunan dan pemerintahan, sementara itu sumber dana yang diperlukan
tidaklah dapat diandalkan dari kekayaan alam saja, melainkan ada sumber-sumber pendapatan
yang lain untuk penghasilan negara seperti pendapatan dari sektor pajak.
Sumber penghasilan negara dari sektor pajak yaitu pungutan pajak kepada rakyatnya
yang ada diwilayah negara, hal ini dipertegas oleh Rochmat Soemitro dan Dewi Kania
Sugiharti yang berpendapat seperti berikut :
“Pajak-pajak sebenarnya merupakan jiwa negara, sebab tanpa pajak negara tidak akan atau sukar hidup, kecuali apabila negara itu mempunyai pendapatan dari sumber-sumber alam (minyak, gas bumi, tambang emas, bijih besi, magnesium, dan sebagainya) dan/atau dari perdagangan/industry-industri. Jadi pajak-pajak pada hakekatnya mengenai hidup negara secara ekonomis, bukan hidup secara manusiawi. Banyak sedikitnya uang yang diperlukan oleh negara tergantung kepada tingkat ekonomi negara serta rakyatnya. Pajak-pajak ditangan pemerintah digunakan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, yang akan tercermin dalam tingkat kesejahteraan rakyat. Lebih sejahtera, lebih makmur masyarakat, lebih tinggi tingkat ekonominya. Maka dapat dikatakan bahwa pajak-pajak disamping untuk kelangsungan kehidupan negara (dengan anggaran rutinnya) juga digunakan untuk pembangunan yang akan mensejahterakan dan memakmurkan rakyat Indonesia (melalui anggaran pembangunan). Dengan ini mudah dimengerti bahwa pajak-pajak pungutannya selalu berdasarkan keadaan ekonomi rakyat dan hasilnya digunakan untuk meningkatkan ekonomi rakyat, dan penghasilannya yang hanya cukup kebutuhan primer, tidak wajar dikenakan pajak atas penghasilannya. Untuk itu berlaku asas daya pikul.”12
Penegasan dari pendapat tersebut, penerimaan pajak sudah seharusnya digunakan
sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, dengan demikian pajak
sebagai sumber pendapatan negara merupakan jiwa negara dan bagian yang sangat penting
didalam mensejahterakan rakyat. Dengan demikian pengertian pajak pada umumnya adalah
11 Pranarka,A.M.W, 1979, Suatu Konstruksi Filsafat Hukum Dengan Latar Belakang Evolusi Pengetahuan
Dewasa Ini, (Bandung: Majalah Pro Justitia Universitas Katolik Parahyangan, No. 7), h. 447.
12
iuran wajib dari orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.
Pendapat tentang pengertian pajak oleh para sarjana dalam mengkaji pendapatnya di
fokuskan pada pajak, seterusnya dilakukan analisa-analisa antara lain dikemukakan oleh :
a. J.A Adriani
“pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayar menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas pemerintah.”13
b. Rochmat Soemitro
“pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan Undang-Undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapatkan imbalan (tegenprestatie), yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat, atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang keuangan negara.”14
c. Soeparman Soemahamidjaya
“pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutupi biaya-biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”15
d. Fildmann, mengatakan bahwa
“belasting zijn aan de overhead, volgens algemene door haar vastgestelde normen, verschuldigde afdwingbare praestaties waar geen tegen-prestatie tegenstaat, en ultsluitend dienende totdekking van publieke ultgaven” (pajak adalah prestasi yang terutang pada penguasa dan dipaksakan secara sepihak menurut norma-norma yang ditetapkan oleh penguasa itu sendiri, tanpa ada jasa balik dan semata-mata guna menutup pengeluaran-pengeluaran umum). 16
e. Didik Budi Waluyo, berpendapat tentang pajak adalah
“Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” 17
13
Bohari, 1985, Pengantar Perpajakan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 31
14
Rochmat Soemitro, 1992, Hukum Pajak, PT. Eresco Bandung, h. 3
15
Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, 2013, Hukum Pajak : Teori, Analisis, dan Perkembangannya, Edisi 6, Salemba Empat, Jakarta, h. 6
16
Djafar Saidi. M,2011, Op Cit, h. 27
17
Didik Budi Waluyo, 2010, Susunan dalam Satu Naskah Undang-Undang Perpajakan Indonesia,
Para sarjana tersebut penekanan pengertian tentang pajak dari berbagai pandangan,
yaitu JA. Adriani menekankan pada iuran kepada negara, Rochmat Soemitro menekankan
pajak sebagai peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik, Soeparman
Soemahadidjaya menekankan pajak sebagai iuran wajib, Fildmann menekankan pada pajak
sebagai prestasi yang terutang, serta Didik Budi Waluyo menekankan pajak sebagai
kontribusi wajib kepada negara. Dari difinisi para sarjana tersebut, dapat disimpulkan dan
diklasifikasikan, bahwa unsur pajak sebagai berikut :
1. Iuran dari rakyat kepada negara, bahwa pajak itu adalah iuran atau kewajiban
menyerahkan sebagian kekayaan (pendapatan) kepada negara. Iuran tersebut
berupa uang (bukan barang).
2. Berdasarkan undang-undang, perpindahan atau penyerahan iuran ini berdasarkan
Undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang berlaku umum.
Sekiranya pemungutan pajak tidak didasarkan pada Undang-undang atau
peraturan, maka ini tidak sah dan dianggap sebagai perampasan hak.
3. Tanpa jasa timbal atau kontra prestasi dari negara yang secara langsung dapat
ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi
individual oleh pemerintah, artinya bahwa antara pembayaran pajak dengan
prestasi dari negara tidak ada hubungan secara langsung. Prestasi tidak ditujukan
secara langsung kepada individu pembayar pajak, tetapi ditujukan secara kolektif
atau kepada masyarakat secara keseluruhan.
4. Bersifat memaksa, artinya perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat
wajib, dalam arti bahwa bila kewajiban itu tidak dilaksanakan maka dengan
sendirinya dapat dipaksakan, artinya hutang itu dapat ditagih dengan
5. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni uang yang
dikumpulkan oleh negara digunakan untuk membiayai pembiayaan umum yang
berguna untuk rakyat, seperti pembuatan jalan, jembatan, gedung dan sebagainya.
Meskipun difinisi atau batasan pajak yang telah dikemukakan oleh para pakar tidak
sama, namun pada dasarnya bermaksud merumuskan pengertian pajak sehingga mudah
dipahami. Perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang digunakan oleh
masing-masing pihak pada saat merumuskan pengertian pajak. Rochmat Soemitro memandang pajak
dapat ditinjau dari aspek ekonomis dan aspek hukum. Adapun pengertian pajak dari aspek
ekonomis adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan
undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapatkan imbalan (tegenprestatie), yang
secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan
yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat, atau pencegah untuk mencapai tujuan
yang ada diluar bidang keuangan negara.
Pengertian pajak dari aspek hukum adalah perikatan yang timbul karena
undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang (tatsbentand)untuk membayar sejumlah uang kepada (kas) negara yang dapat
dipaksakan, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (rutin dan pembangunan), dan
yang digunakan sebagai alat (pendorong atau penghambat) untuk mencapai tujuan diluar
bidang keuangan negara. Pengertian pajak tersebut sebagai perikatan oleh wajib pajak dengan
negara tanpa tegenprestasi secara langsung dan bersifat memaksa dan merupakan perikatan
yang lahir dari undang-undang yang bernuansa publik sehingga bersifat memaksa, maka
penagihannya dapat bersifat dipaksakan, juga dengan ancaman hukuman berupa sanksi
administrasi maupun sanksi pidana. 18 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
18
perubahan Ketiga atas Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, dalam Pasal 1 angka 1, menyebutkan : Pajak adalah kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak berada dalam pengawasan dan pembinaan pejabat pajak sebagai pihak yang
mewakili negara, dan tidak ada tegenprestasi secara langsung kepada wajib pajak. Rumusan
pengertian pajak secara tegas memisahkan antara pajak yang bersifat memaksa dengan
pungutan yang bersifat retribusi. Pajak dan retribusi merupakan saudara kembar yang
merupakan bagian dari pemungutan kepada wajib pajak yang bersifat memaksa.
Memperhatikan unsur-unsur yang melekat pada pajak yang bersifat memaksa dengan
pungutan yang bersifat retribusi, dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Pada pajak sifatnya berlaku umum, artinya berlaku bagi setiap orang yang
memenuhi syarat untuk dapat dikenakan pajak, sedangkan pada retribusi hanya
berlaku bagi orang-orang tertentu yang langsung ditunjuk.
2. Pada pajak unsur paksaannya bersifat pidana dan administratif, sedangkan retribusi
unsur paksaannya bersifat ekonomis artinya kalau tidak membayar iuran maka
orang yang bersangkutan tidak diperkenankan memperoleh atau menikmati jasa
dari negara. Misalnya retribusi pasar, bagi mereka yang tidak membayar retribusi,
maka kepadanya tidak akan diperkenankan masuk dipasar menjual barang
dagangannya.
3. Pada pajak tegen prestasinya bersifat tidak langsung dalam arti bahwa meskipun
wajib pajak telah membayar pajak belum tentu dapat langsung menikmati jasa
dari negara. Misalnya wajib pajak bayar pajak untuk membiayai salah satu irigasi
dengan pembayaran pajak tadi boleh dikatakan tidak ada hubungannya karena kita
selaku pembayar pajak belum tentu dapat manfaat atau kegunaan dari irigasi itu.
Irigasi itu dibangun bukan ditujukan kepada mereka yang membayar pajak saja,
tetapi ditujukan untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Jadi tampak
bahwa mereka yang tidak bayar pajakpun dapat menikmati irigasi yang dibiayai
dengan pajak itu, sedangkan retribusi tegen prestasi bersifat langsung, dalam arti
bahwa siapa yang membayar iuran maka ia berhak menikmati jasa negara,
sedangkan mereka yang tidak membayarnya tidak diperkenankan menikmati jasa
negara.
Pengertian retribusi tersebut diatas, ternyata ditinjau dari aspek ekonomis bukan dari
aspek hukum, padahal yang dibutuhkan adalah pengertian retribusi ditinjau dari aspek hukum
yang tidak berbeda dengan sarana hukum dari pemungutan pajak itu sendiri, yaitu berupa
sanksi administrasi dan sanksi pidana, walaupun dalam retribusi, wajib pajak mendapatkan
tegenprestasi secara langsung dan dapat dipaksakan penagihannya, dengan demikian pajak
merupakan sumber penerimaan negara yang sangat besar, yang berpotensi untuk menambah
(kas) negara didalam membiayai kegiatan rutin dan pembangunan.
Pajak merupakan sumber penerimaan yang besar, salah satunya adalah dari Pajak
Bumi dan Bangunan yang diatur dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang telah
diubah dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam penjelasan dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994, disebutkan :
Hakekat pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu sarana
perwujudan kewajiban kenegaraan sebagai peran serta masyarakat dalam membiayai
pembangunan, sehingga dalam pengenaannya harus memperhatikan prinsip kepastian hukum,
keadilan dan kesederhanaan serta ditunjang oleh sistem administrasi perpajakan yang
memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak.
Undang-undang Pajak, baik dalam kedudukan sebagai pengganti maupun sebagai
pengubah tidak boleh mengesampingkan perlindungan hukum bagi wajib pajak, hal ini
dimaksudkan agar wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya dan hak-haknya tidak
mengalami kendala atau hambatan. Bahkan pejabat pajak dapat memberikan bantuan dan
pembinaan yang dibenarkan secara yurudis, sehingga tujuan reformasi hukum khususnya
dibidang hukum pajak dapat tercapai. Sebenarnya reformasi dibidang hukum pajak adalah
meningkatkan kesadaran hukum bagi wajib pajak untuk memenuhi kewajiban membayar atau
melunasi pajak yang terutang, guna dapat dipergunakan untuk pembiayaan pemerintahan dan
pembangunan tetap berlangsung secara berkelanjutan.
Pergeseran paradigma dalam mendifinisikan pajak, dalam Kongres Pajak sedunia
pada bulan September 2005 di Buenos Aires, Argentina, beberapa poin penting di antaranya
adalah :
1. Pajak tidak boleh memaksa, karena prinsipnya pajak merupakan wujud kesadaran masyarakat dalam memberikan kontribusi terhadap negara. model pemungutan pajak tidak boleh memaksa, sehingga difinisi pajak lebih netral dan tidak berkonotasi negatif (untuk membedakan antara negara merdeka dan negara yang masih terjajah yang harus membayar pajak kepada negara yang menjajah).
2. Pajak harus dikembalikan kepada masyarakat, sehingga seharusnya hasil penerimaan pajak tidak boleh digunakan untuk membayar utang atau menutup defisit negara.
4. Pajak juga memiliki pengukuran benefit, misalnya secara transparan pemerintah menunjukkan bahwa hasil pajak digunakan untuk membangun infrastruktur, subsidi pendidikan, dan sebagainya. 19
Para guru besar yang tergabung dalam European Association of Tax Law Professors
(EATLP) menyelenggarakan pertemuan tahunan dengan tema “the concept of tax”.
Pertemuan yang diadakan di Caserta (Naples) pada tanggal 27 sampai dengan 29 Mei 2005
tersebut menghasilkan laporan akhir yang kemudian dibukukan dengan judul yang sama.
Beberapa poin penting yang dituangkan dalam buku tersebut antara lain simpulan bahwa
konsep pajak seharusnya tidak statis melainkan harus terus dikembangkan menyesuaikan
dengan perubahan. Tidak akan diketemukan difinisi pajak yang paling baik sepanjang masa
dan untuk semua negara, karena perubahan yang terjadi dalam masyarakat menyebabkan
maksud dan tujuannya juga berubah. 20
Perubahan pada undang-undang perpajakan tersebut lebih dapat memberikan
peningkatan pelayanan kepada masyarakat sebagai wajib pajak dan transparansi administrasi
perpajakan termasuk pelaksana yang baik dan jujur dalam pemungutan pajak. Tujuan ini
tidak dapat dicapai bila pelaksana perpajakan dengan wajib pajak tidak mengikuti
perkembangan dari tujuan reformasi dimaksud, dengan demikian kewenangan pengaturan
dan pemungutan pajak harus diwujudkan untuk tercapainya keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Pajak bumi dan bangunan dalam hal ini tanah dan bangunan diatasnya
berkaitan erat dengan aspek ekonomi, yakni hukum sebagai sehimpunan sistem kaidah yang
berkaitan erat dengan ilmu ekonomi.
Roscoe Pound, hal ini dijelaskan seperti berikut “...hukum dapat mencukupkan
keperluan sendiri telah ditinggalkan, dan orang mulai mencoba menghubungkan ilmu hukum
dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, yang lebih dulu menonjol ialah hubungan dengan ilmu
19
Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, 2012, Pengantar Ilmu Pajak, Kebijakan dan Implementasi di Indonesia, Rajawali Pers, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 26-27
20
ekonomi”.21 Untuk selalu menjaga agar perkembangan perekonomian dan hukum dapat
berjalan sesuai dengan kebijakan pembangunan, maka aspek perpajakan harus mendapatkan
suatu kepastian hukum dan keadilan dalam pengaturannya yang dituangkan kedalam
peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan kegiatan penerimaan dari sektor Pajak Bumi dan
Bangunan didaerah, ditetapkan dengan undang-undang dengan tujuan dalam rangka
meningkatkan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah, dimana daerah diberikan
kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi
urusan Pemerintah, dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, aspek
kewenangan, memperhatikan kekhususan, aspek hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, dilaksanakan secara adil dan
selaras dalam sistem negara kesatuan republik Indonesia. Kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan dimaksudkan untuk kesejahteraan masyarakat. Konsep
ini didasari oleh prinsip-prinsip persamaan kesempatan, distribusi kemakmuran secara wajar
dan tanggung jawab publik dalam pembiayaan pembangunan dan pemerintahan.
Konsep pajak dalam perspektif politik perpajakan di Indonesia, disampaikan secara
nyata oleh Edi Slamet Irianto melalui disertasinya yang berjudul “Desentralisasi Perpajakan
dalam Perspektif Demokratisasi di Indonesia”. Menurut Irianto dalam perspektif pajak, pajak
adalah saham politik rakyat atas negara sehingga rakyat memiliki hak-hak istimewa dalam
setiap proses politik untuk menentukan kebijakan negara. 22 Gagasan demokratisasi perpajakan menjadi penting untuk dikembangkan karena berbagai alasan. Pertama, semakin
terbukanya iklim politik di Indonesia dan perkembangan pasar bebas. Kedua, meningkatnya
21
Roscoe Pound, diterjemahkan oleh Mohamad Radjab, 1982, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta, Bratara Karya Aksara, hal. 31
22
kesadaran masyarakat sehingga meningkatkan tuntutan adanya transparansi dalam
pengelolaan pajak. Ketiga, menguatnya sistem ekonomi yang demokratis. 23
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional,
dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya, guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,
maka pemerintah Indonesia dituntut untuk turut serta secara aktif (proaktif) dalam semua
aspek kehidupan dan penghidupan rakyat dalam kerangka sistem negara kesatuan. Negara
kesatuan yakni negara tunggal artinya terdiri dari satu negara, keluar atau kedalam
merupakan satu kesatuan, dengan demikian negara kesatuan itu pula hanya terdiri atas satu
kepala negara. Dalam negara kesatuan hanya ada satu pusat pemerintahan/kekuasaan dari
pusat sampai kedaerah-daerah, sehingga segala sesuatu dapat diatur secara sentral. Walaupun
demikian tidaklah berarti bahwa didalam negara kesatuan seluruh daerah dalam
segala-galanya hanya diatur dan diperitah langsung dari pusat, tetapi masih ada tempat bagi inisiatif
dan peranan daerah yang menentukan daerahnya masing-masing.
Penegasan seperti ini juga dikemukakan oleh Sunindhia Y.W yang berpendapat
“Negara Kesatuan bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dengan mendasarkan atas persatuan mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. 24
Indonesia sebagai negara kesatuan merupakan negara
hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan
tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera dan berkeadilan. Untuk mendukung tata
kehidupan bangsa yang aman dan tertib, dalam ketentuan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945,
BAB VI tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan : “Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
23
Ibid 24
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur
dengan undang-undang”.
Pembagian daerah atas daerah provinsi, kabupaten dan kota, pemerintah daerah diakui
berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan. Otonomi pada hakekatnya mempunyai makna kebebasan atau
kemandirian dalam mengatur dan mengurus pemerintahan (zelfwetgeving dan zelfbestuurs)
yang berdimensi pertanggungjawaban.25 Pengertian pertanggungjawaban itu sendiri meliputi dua aspek, yakni berkaitan dengan pemberian tugas dalam arti melaksanakannya dan
berkaitan dengan pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan
menetapkan sendiri bagaimana menyelesaikan tugas itu.26 Adanya otonomi, menuntut kepada Pemerintah Daerah untuk lebih kreatif didalam menggali sumber-sumber pendapatan daerah
untuk dapat membiayai pengeluaran atau belanja daerah serta diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat, melalui peningkatan pelayanan, pembangunan dan
pemberdayaan peran serta masyarakat, sehingga mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan pemerataan keadilan serta potensi dan
keanekaragaman daerah. Dengan demikian antara kewenangan dengan penerimaan daerah
memiliki hubungan timbal balik seperti dikemukakan Saukani, yakni “Kalau tidak ada
kewenangan, bagaimana memobilisasi sumber daya, termasuk sumber daya keuangan dan
tentu saja termasuk meningkatkan pendapatan keuangan daerah”. 27
Pemerintahan secara etimologis dalam Hukum Administrasi Negara diartikan sebagai
“tindakan yang terus menerus atau kebijaksanaan, yang dengan menggunakan suatu rencana
maupun akal (rasio) dan tata cara tertentu, untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang
25
Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Media Sarana Press, Jakarta, h.10, lihat juga RDH Koesoemahatmadja, 1979, Pengantar Kearah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia,
Binacipta, Bandung, h. 9 26
Moh. Mahmud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, h. 93 27
dikehendaki”. 28
Sedangkan terhadap hukum administrasi menurut Philipus M Hadjon dalam
konsep negara hukum kemasyarakatan (sosiale rechtsstaat) hukum administrasi didifinisikan
sebagai instrument yuridis yang memungkinkan pemerintah mengendalikan kehidupan
masyarakat dan pada sisi lain memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam pengendalian
(pemerintahan) tersebut. Dari pengertian tersebut, maka unsur pokok hukum administrasi
adalah Sturen (Sturing) hukum mengenai kekuasaan pemerintah, partisipasi (peran serta)
masyarakat, dan hukum mengenai organisasi publik sebagai perlindungan hukum bagi
masyarakat terhadap kekuasaan pemerintahan. 29 Ketiga unsur pokok hukum administrasi tersebut sekaligus merupakan dimensi normatif hukum administrasi sebagai hukum publik
berlandaskan pada prinsip-prinsip negara hukum (rechtsstaat), prisip demokrasi, karakter
instrumen. 30
Pengertian dan hakekat hukum administrasi yang diuraikan oleh Philipus M Hadjon
diatas sejalan dengan pendapat P.P. Craig dalam bukunya berjudul “Admitrative Law”,
bahwa pengertian hukum administrasi berfariasi, untuk itu dia tidak memberi pengertian
hukum adminstrasi secara pasti, namun secara diskriptif yang menunjukkan fariasi penekanan
dalam mengartikan hukum administrasi, dikatakannya :
“For some it is the law relating to the control of government power, the main object of which is to protectindividual right. Others plese greater emphasis up on the rules which are designed to unsure that the administration effektiveley performs the task assigned to it. Yet other see the principal objectif of administrative law as ensuring governmental accountability, and fostering participatioan by interested parties in the
decision making prosses”. (Sebagian berpendapat bahwa hukumlah yang
berhubungan dengan kontrol kekuatan pemerintah, yang objek utamanya adalah hak perlindungan individual, yang lain memberi penekanan pada aturan-aturan yang dibuat harus memberi keyakinan bahwa pemerintah secara efektif melakukan tugas yang diberikan kepadanya. Bahkan yang lainnya lagi berpendapat bahwa tujuan dasar
dari hukum administrasi adalah sebagai pemberi keyakinan akuntabilitas pemerintah, dan mengasuh partisipasi yang diberikan oleh pihak-pihak terkait dalam proses pembuatan keputusan). 31
PP Craig dalam pengertian tersebut diatas, tampak bahwa hukum administrasi adalah
hukum yang mengontrol kewenangan pemerintah, dan juga hukum yang dibentuk untuk
menjamin agar pemerintah dapat bekerja secara efektif sesuai dengan tugas yang telah
ditentukan dengan tujuan untuk melindungi hak-hak individu. Penyelenggaraan fungsi
pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada
daerah dengan mengacu kepada Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Semua sumber keuangan yang melekat setiap
urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah.
Pemerintah Daerah sebagai pemerintah daerah otonom mendapatkan sumber
pendapatan dari pemanfaatan sumber alam yang ada, serta sumber dari sektor pajak, sehingga
mendorong upaya pemerintah untuk peningkatan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Peningkatan penerimaan
sumber-sumber pendapatan daerah tersebut, dilakukan guna meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, dengan memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah. Pemerintah Daerah juga memperhatikan hubungan dan keserasian
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam aspek hubungan keuangan, pelayanan
umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, dilaksanakan secara serasi,
adil dan selaras. Disamping itu, terdapat bagian urusan pemerintahan yang bersifat
Concurrent artinya urusan pemerintah yang penanganannya dilaksanakan sesuai dengan
kewenangannya, ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, dan ada
pula kewenangan diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.
31
Kewenangan Pemerintah Daerah untuk mendapatkan sumber keuangan adalah dari
kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang
diserahkan sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Sumber keuangan dan
pendapatan daerah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah mengatur dan
memungut dari pajak daerah dan retribusi daerah, hak untuk mendapatkan bagi hasil dari
sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah, dana perimbangan lainnya, hak untuk
mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan sumber-sumber pembiayaan, kesemuanya itu
diatur dengan undang-undang.
Sumber keuangan daerah dari penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997, yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Undang undang ini mengatur tentang kewenangan pemerintah daerah dan jenis-jenis pajak
daerah dan retribusi daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah provinsi,
kabupaten dan kota. Dari jenis pajak daerah dan retribusi daerah, pemerintah daerah wajib
untuk memperhatikan hubungan timbal balik pemerintah dengan masyarakat, karena hakekat
pembayaran pajak itu merupakan kewajiban masyarakat sebagai wajib pajak serta mendapat
perlindungan dari pemerintah.
Sejalan dengan pengertian pajak pada umumnya, Pajak Daerah sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1 angka 10 disebutkan Pajak Daerah yang
selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib pajak kepada Daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak
mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut diatas, telah menggariskan kebijakan
dalam Peraturan Daerah dapat ditetapkan jenis pajak yang memberikan keleluasan kepada
daerah dalam mengantisipasi situasi dan kondisi serta perkembangan perekonomian daerah
pada masa yang akan datang, yang mengakibatkan potensi pajak dengan tetap memperhatikan
kesederhanaan jenis pajak dan aspirasi masyarakat, serta memenuhi kreteria yang telah
ditetapkan. Adapun kreteria yang dimaksudkan adalah :
a. Bersifat sebagai pajak bukan retribusi, bahkan pajak yang ditetapkan harus sesuai
dengan pengertian pajak ;
b. Obyek dan pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum, ini
berarti bahwa pajak dimaksud untuk kepentingan bersama yang lebih luas antara
pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan aspek ketentraman dan
kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan ;
c. Potensinya memadai, berarti bahwa hasil pajak cukup besar sebagai salah satu
sumber pendapatan daerah dan laju pertumbuhan diperkirakan sejalan dengan laju
pertumbuhan ekonomi daerah ;
d. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif, bahwa pajak tidak mengganggu
alokasi sumber-sumber ekonomi secara efisien dan tidak merintangi arus sumber
daya ekonomi antara daerah maupun kegiatan ekspor-impor ;
e. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, artinya obyek dan
subyek pajak harus jelas sehingga dapat diawasi pemungutannya, jumlah
pembayaran pajak dan dapat diperkirakan oleh wajib pajak yang bersangkutan,
dan tarif pajak ditetapkan dengan memperhatikan keadaan wajib pajak,
sedangkan memperhatikan aspek kemampuan masyarakat adalah kemampuan
subyek pajak untuk memikul beban tambahan pajak ;
f. Menjaga kelestarian lingkungan, bahwa pajak harus bersifat netral terhadap
kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk merusak lingkungan yang akan
menjadi beban bagi pemerintah dan masyarakat.
Kreteria tersebut dapat disimak bahwa pengawasan terhadap pengaturan pajak bumi
dan bangunan yang telah diserahkan pusat kepada Kabupaten/Kota sangat diperhatikan,
karena dampak kegiatan tersebut menimbulkan pengaruh terhadap tanah-tanah adat di Bali
yang penguasaannya dikuasai oleh desa pakraman. Sebagaimana diketahui bahwa desa
pakraman memanfaatkan tanah adatnya adalah untuk memenuhi kewajiban dalam rangka
kegiatan upacara keagamaan dan kegiatan lainnya serta dilakukan untuk pemenuhan
kesejahteraan angota/krama desa pakraman tersebut.
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, merupakan kewenangan daerah pada tingkat
Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam pengaturan dan pemungutan yang dapat dilaksanakan di
masing-masing daerah sesuai dengan jenis-jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
diaturnya. Pajak dan retribusi ini juga sebagai pemasukan pendapatan daerah guna
membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah dan pembangunan, hal ini sebagai salah satu
sumber pendapatan yang penting. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali
mengawali pelaksanaan otonomi daerah dibidang perpajakan, menetapkan produk hukum
berupa Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
sebagai pelaksanaan dari perundang-undangan yang mengatur atau lebih tinggi, beberapa
Peraturan Daerah kabupaten/kota yang telah dibuat seperti Peraturan Daerah Kabupaten
Badung Nomor 3 Tahun 2012, Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem Nomor 12 Tahun
2012, Peraturan Daerah Kabupaten Bangli Nomor 4 Tahun 2013, Peraturan Daerah
Kabupaten Jembrana Nomor 12 Tahun 2011, Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor
10 Tahun 2011, Peraturan Daerah Kabupaten Tabanan Nomor 4 Tahun 2012, Peraturan
Daerah Kabupaten Klungkung Nomor 9 Tahun 2012, Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, serta Perubahan Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah dan Keputusan-keputusan Kepala Daerah dalam rangka
menjabarkan peraturan daerah yang bersangkutan.
Peningkatan pelayanan dan kemandirian daerah disesuaikan dengan kebijakan
berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, peranserta masyarakat, akuntabilitas
dengan memperhatikan potensi daerah dapat dioptimalkan melalui pengaturan dan
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009, membagi jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah pada tingkat Provinsi
dan Kabupaten/Kota ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), yaitu :
(1) Jenis Pajak Provinsi terdiri atas : a. Pajak Kendaraan Bermotor ;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ; d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok
(2) Jenis Pajak Kabupaten/Kota, terdiri atas : a. Pajak Hotel;
b. Pajak Hiburan ; c. Pajak Reklame ;
d. Pajak Penerangan Jalan ;
e. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ; f. Pajak Parkir ;
g. Pajak Air Tanah ;
h. Pajak Sarang Burung Walet;
i. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan perkotaan ; dan j. Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah meliputi pajak-pajak yang menjadi kewenangan daerah yang telah diatur
sebelumnya, dan menjadi kewenangan baru kabupaten/kota untuk melaksanakan dan
memungut Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) serta Bea
BPHTB sebelumnya adalah pajak pusat, berarti pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah
Pusat, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 telah beralih pengelolaannya
kepada Kepala Daerah karena telah menjadi Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Jenis-jenis pajak
atau penggolongan pajak daerah dan retribusi daerah telah bersifat final, karena telah diatur
dalam Undang Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Pengaturan dan pemungutan tentang pajak bumi dan bangunan sudah menjadi bagian
dari jenis pajak daerah di Kabupaten/Kota, juga menganut prinsip tertutup artinya daerah
dilarang memungut pajak dan retribusi selain jenis atau penggolongan pajak dan retribusi
yang telah diatur diatas. Dalam arti daerah tidak boleh mengatur dan mengadakan pajak
daerah dan retribusi daerah selain yang diatur dalam undang-undang. Ketika daerah mengatur
dan mengadakan pajak daerah dan retribusi daerah selain dari jenis pajak dan retribusi yang
ditetapkan undang-undang dalam bentuk peraturan daerah, berarti suatu perbuatan hukum
yang tidak sah, konsekwensi hukum yang timbul adalah peraturan daerah tentang pajak
daerah dan retribusi daerah itu batal demi hukum, berarti dari semula tidak pernah ada.
Peraturan Daerah yang dibuat berdasarkan atas Undang-undang Nomor 28 Tahun
2009 yang memuat tentang nama, objek pajak dan subjek pajak, dasar pengenaan, tarif, dan
tata cara penghitungan pajak, wilayah pemungutan, masa pajak, penetapan, tata cara
pembayaran dan penagihan, kedaluwarsa, sanksi administratif, pembetulan, pembatalan,
pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administratif, ketentuan
penyidikan, ketentuan pidana, dan ketentuan penutup, serta penjelasan atas Peraturan Daerah.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan sesuai dengan Pasal 77
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, adalah : Bumi dan/atau bangunan yang
dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan
Sedangkan dalam Pasal 77 ayat (3) disebutkan Objek pajak yang tidak dikenakan
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang :
a. Digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan Pemerintahan ; b. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah,
sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan ;
c. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau sejenis dengan itu ;
d. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum dibebani suatu hak ;
e. Digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas timbale balik ; dan
f. Digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Untuk memahami siapa yang merupakan subjek pajak dan wajib pajak bagi pajak
bumi dan bangunan, terdapat rumusan atau ketentuan dalam Pasal 78 yaitu :
(1) Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat bangunan.
(2) Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Ketentuan Pasal 78 ini tidak membedakan subyek pajak dari pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan dengan wajib pajak dari pajak bumi dan bangunan
perdesaan dan perkotaan. Dalam arti tidak ada substansi hukum yang membedakannya,
misalnya muatan hukum tertuju kepada wajib pajak dari pajak bumi dan bangunan perdesaan
dan perkotaan untuk dikenakan pajak ketika telah memenuhi syarat-syarat objektif. Dengan
demikian terdapat perbedaan kedudukan antara subjek pajak dari pajak bumi dan bangunan
perdesaan dan perkotaan dengan wajib pajak dari pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
Wajib pajak bagi pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah orang
pribadi atau badan yang dikenakan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan,
karena secara nyata :
a. Mempunyai hak atas bumi (tanah); dan/atau
b. Memperoleh manfaat atas bumi (tanah); dan/atau
c. Memiliki bangunan; dan/atau
d. Menguasai bangunan; dan/atau
e. Memperoleh manfaat bangunan.
Apabila ada objek pajak dari pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan yang
belum diketahui siapa subjek pajak atas objek pajak tersebut, pejabat pajak berwenang
menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak. Kewenangan pejabat pajak untuk menetapkan
subjek pajak sebagai wajib pajak bertujuan agar objek pajak itu dikenakan pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan. Akan tetapi subjek pajak tersebut dapat memberikan
keterangan kepada pejabat pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak yang
dimaksud.
Semua tanah dan bangunan yang berada diwilayah negara Indonesia ini bisa
dimasukkan sebagai objek pajak, namun terhadap tanah dan bangunan tertentu dapat
dikecualikan atau tidak dikenakan pungutan pajak bumi dan bangunan. Adapun objek pajak
atau tanah dan bangunan yang dikecualikan/tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan itu
adalah sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan, telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c menyebutkan : “merupakan hutan lindung, hutan
suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan