• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN / KAJIAN TEORITIK

2.2. Kerangka Konseptual

Konseptual atau conceptual berasal dari kata sifat yang berarti “dengan

konsepsi/pengertian” 104

Di dalam konseptual terkandung kata konsep yang dapat berarti konsepsi atau pengertian yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu, yaitu tentang maksud atau makna dari sesuatu. Sehingga dengan kerangka konseptual dapat dijelaskan tentang sesuatu dari

102

Ali Chaidir, 1993, Hukum Pajak Elementer, Eresco, Bandung, h. 98

103

Ibid

104

pokok-pokok pengertian yang hendak dijelaskan dalam disertasi ini. Selain pengertian tersebut, konsep juga berasal dari kata “concept” yang berarti “rancangan, draf, wawasan, atau naskah” 105

,maka konseptual juga berarti tindakan untuk membuat rancangan, draf atau tulisan yang bertujuan untuk memberikan pandangan dan wawasan terhadap topik atau isu hukum yang hendak diteliti. Dari pendapat tersebut, maka konsep merupakan sebuah gagasan atau pengetahuan yang bertujuan untuk member informasi mengenai sesuatu dalam hukum dan dapat dijadikan alat dalam membangun teori hukum, mengembangkan teori hukum, atau sebagai doktrin hukum.

Konsep menurut Satjipto Raharjo dengan mengutip Kaplan, mengatakan, bahwa :

“Konsep adalah suatu pengetahuan. Pengetahuan ini bertujuan untuk yang demikian itu harus mempunyai basis empiris. Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.” 106

Disamping itu, Soetandyo juga mengatakan, bahwa :

“Konsep berasal dari kata latin “conceptus” yang berarti buah gagasan berhubungan dengan benda atau gejala, bukan gejala atau benda faktual itu sendiri, melainkan gambaran yang diimijinasikan didefinisikan saja. Demikian juga halnya dengan konsep hukum. Dari konsep dasar mengenai apa yang disebut hukum ini seluruh bangunan teori hukum dikembangkan, mungkin sebagai doktrin dan mungkin pula sebagai teori grounded on (empirical) data. Tergantung dari konsep yang ditegaskan apakah hukum itu konsep doctrina/normative ataukah konsep yang diangkat dari realitas non doctrina/empiris itulah teori-teori hukum akan dikualifikasikan.” 107

2.2.1. Tanah Adat di Bali

Tanah adat di Bali dalam hubungannya dengan masyarakat hukum adat (di Bali disebut Desa Pakraman), dimana tanah adat yang dikuasai demikian erat dan bersifat religio magis. Pada prinsipnya masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk menguasai tanah dimaksud,

105 Marjane Termorshuizen, 2002,

Kamus Hukum Belanda Indonesia, Djambatan, Jakarta, h. 209

106

Satjipto Raharjo, 2006, Op Cit, 312-313

107

Soetandyo Wignyosoebroto, 2002, Hukum-paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma, Jakarta, h. 179

memanfaatkan tanah itu memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah itu, juga berburu binatang-binatang yang hidup disitu. Hak masyarakat hukum adat (Desa Pakraman) atas tanah ini oleh Van Vollenhoven disebut “beschikingsrecht” yang kemudian diterjemahkan menjadi hak ulayat atau hak pertuanan, di Bali dikenal dengan istilah hak prabumian.108Hak ini menjadi hak penguasaan dan memanfaatkan tanah adat sebagai “druwe atau due desa” yang dipergunakan dan dinikmati sebagai pemenuhan kewajiban warga desa adat (krama desa adat) terhadap kahyangan desa serta kewajiban dalam pergaulan sosial Desa Pakraman.

Tanah adat di Bali merupakan bagian dari kekayaan Desa Pakraman meliputi tanah drue desa adat (tanah adat) ada beberapa jenis tanah druwe desa atau tanah desa, yaitu :

1. Tanah Desa yaitu tanah yang dipunyai yang bisa didapat melalui usaha-usaha pembelian maupun usaha lainnya;

2. Tanah Laba Pura, yaitu tanah yang dulunya milik desa atau dikuasai oleh desa yang khusus dipergunakan untuk keperluan pura;

3. Tanah Pekarangan Desa (PKD), adalah tanah yang dikuasai oleh desa yang diberikan kepada krama desa untuk tempat mendirikan perumahan yang lasimnya ukuran luas tertentu dan hampir sama setiap keluarga;

4. Tanah Ayahan Desa (AYDS), adalah tanah-tanah yang dikuasai atau dimiliki oleh desa yang penggarapannya diserahkan kepada masing-masing krama desa disertai hak untuk menikmati hasilnya.109

Jenis-jenis tanah adat tersebut dengan penyebutan sesuai dengan hasil dari perolehan di masing-masing Desa pakraman, hal ini berbeda-beda penyebutan terhadap tanah adat. Pada umumnya tanah drue desa adat adalah sebagaimana hal tersebut diatas.

Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), tanah adat diartikan pada tanah-tanah ulayat yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman

108

Surojo Wignyodiputro, 1979, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Edisi Ketiga, Alumni Bandung, h.248

109

Suasthawa Dharmayuda I Made, 2001, Desa Adat, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar, h. 136

Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menyebutkan dalam Pasal 1 ayat (2), bahwa : Tanah Ulayat adalah bidang tanah diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.

Munculnya istilah tanah adat tidak bisa dilepaskan dari sejarah hukum yang pernah ada, artinya dengan berlakunya dua sistem hukum yang pernah berlaku di Indonesia dan selanjutnya menjadi dasar bagi hukum pertanahan sebelum berlakunya UUPA, yaitu hukum adat dan hukum Barat. 110 Sehingga ada dua macam tanah yaitu Tanah Adat yang biasa disebut Tanah Indonesia dan Tanah Barat yang biasa disebut Tanah Eropa. Tanah dengan hak Barat atau lazim disebut dengan tanah-tanah Eropa, hampir semuanya terdaftar pada kantor pendaftaran tanah. Tanah- tanah Eropa ini tunduk pada hukum Eropa atau hukum Barat, sedangkan tanah Indonesia seperti tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan, tanah bengkok dan lain diatur dengan hukum adat. Tanah adat yang dirumuskan sebagai tanah-tanah milik masyarakat hukum adat yang diatasnya berlaku aturan-aturan hukum adat sebagaimana dinyatakan oleh Vareline Jaqueline Leonoere Kriekhoff. 111 Saat berlakunya hukum Agraria di Hindia Belanda (Indonesia) ditemukan adanya 5 (lima) perangkat hukum yaitu Hukum Agraria Adat, Hukum Agraria Barat, Hukum Agraria Administratif, Hukum Agraria Swapraja, Hukum Agraria Antar Golongan. 112

Hukum Agraria adat dirumuskan sebagai keseluruhan dari kaedah hukum agraria yang bersumber dari hukum adat dan berlaku terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum adat, yang selanjutnya sering disebut tanah adat atau tanah Indonesia. Hukum Agraria ini terdapat hukum adat tentang tanah dan air (bersifat intern), yang

110

K. Watjik Saleh, 1979, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 8

111

Vareline Jaqueline Leonoere Kriekhoff, 1991, Kedudukan Tanah Dati sebagai tanah adat Maluku Tengah, suatu kajian dengan memanfaatan pendekatan Antropogi hukum, Disertasi, Universitas Indonesia, h. 24

112

I Made Suwitra, 2010, Eksistensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat di Bali (Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional), Logoz Publishing, Bandung, h.68

memberi pengaturan bagi sebagian terbesar tanah dalam Negara. Diberlakukannya bagi tanah- tanah yang tunduk pada hukum adat seperti tanah (hak) ulayat, tanah milik perseorangan yang tunduk pada hukum adat. 113 Apabila hak atas tanah berada pada sekelompok orang dan diatur pemanfaatannya oleh pimpinan dari kelompok, maka hak bersama tersebut dikenal dengan hak ulayat, jadi tanah ulayat sama dengan tanah adat. 114

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dalam Pasal 5, disebutkan bahwa :

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasrkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan- peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundang- undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar

pada hukum agama ”.

Tanah dari masyarakat hukum adat disebut sebagai hak ulayat yang diakui sepanjang masih ada, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, hal ini tertuang dalam Pasal 3 UUPA yaitu :

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi .

Begitu eratnya hubungan tanah adat dengan masyarakat hukum adat dan dengan negara dalam peraturan perundang-undangan khususnya mengenai hak masyarakat hukum adat yang dikenal dengan hak ulayat. Hak masyarakat hukum adat terhadap tanah adatnya, sebagai bagaian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tunduk dan taat kepada peraturan-peraturan dibidang pertanahan termasuk didalamnya peraturan tentang pajak bumi dan bangunan. Untuk

113

Urip Santoso, 2006, Hukum Agraria, Hak-Hak Atas Tanah, Cetakan Kedua, Prenada Media, Jakarta, h.8

114

memahami secara jelas pengaturan pajak bumi dan bangunan terhadap tanah adat di Bali sebagaimana uraian dibawah ini.

2.2.2. Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya. Dasar pengenaan pajak dalam pajak bumi dan bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Penentuan NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar perwilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh Menteri Keuangan. Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang cukup besar dalam hal cakupan masyarakat yang terkena pajak, karena paling banyak melibatkan masyarakat yang terkena pajak. Pajak ini merupakan pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang secara nyata memiliki hak dan/atau memperoleh manfaat atas tanah dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan/atau bangunan, dan/atau memiliki, menguasai atas bangunan. Pembayaran pajak bumi dan bangunan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan, yang diterbitkan setiap tahun dan harus dilunasi paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT tersebut. SPPT Pajak Bumi dan Bangunan menerangkan tentang letak objek pajak, nama dan alamat wajib pajak, objek pajak, luas meter persegi, kelas, NJOP per meter persegi, dan total NJOP yang harus dibayarkan. Sedangkan pembayaran pajak bumi dan bangunan telah ditentukan tanggal jatuh tempo dan tempat pembayaran pajak serta tanggal penetapan pajak. Dibalik SPPT juga dicantumkan „perhatian‟ untuk wajib pajak, agar memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan kewajiban wajib pajak beserta sanksi yang dapat dikenakan. Proses pengenaan pajak kepada masyarakat tersebut, merupakan pengertian hukum pajak dalam arti luas dan arti sempit. Hukum pajak dalam arti luas adalah hukum yang berkaitan dengan pajak.

Hukum pajak dalam arti sempit adalah seperangkat kaidah hukum tertulis yang mengatur hubungan antara pejabat pajak dengan wajib pajak yang memuat sanksi hukum.115

Pandangan dari R. Santoso Brotodihardjo, bahwa hukum pajak, yang disebut hukum fiskal adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan- hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak). 116 Sebagaimana diketahui bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum, bukan hanya dalam bentuk kaidah tertulis, tetapi harus tercermin dalam pelaksanaannya. Demikian pula halnya terhadap hukum pajak yang diadakan oleh negara sebagai hukum positif yang mengandung pula tujuan berupa keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum.

Tujuan hukum pajak tidak hanya sekedar tertulis atau sebagai kaidah hukum tertulis dalam Undang-undang pajak, harus kelihatan dalam penerapannya sehingga hukum pajak betul- betul merupakan hukum fungsional yang mengabdi kepada negara sebagai negara hukum dengan menampakkan tujuan keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum bagi wajib pajak.

Disamping pengertian hukum pajak tersebut diatas, Rochmat Soemitro mengemukakan hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Lain perkataan, hukum pajak menerangkan :

1. Siapa-siapa wajib pajak (subjek pajak);

2. Kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah; 3. Hak-hak pemerintah;

115

M. Dafar Saidi, 2010, Pembaruan Hukum Pajak, Edisi Revisi, h. 1

116

4. Objek-objek apa yang dikenakan pajak; 5. Cara penagihan;

6. Cara pengajuan keberatan dan sebagainya. 117

Dalam negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyat dan perekonomiannya sebagian besar bercorak agraris, bumi termasuk perairan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya mempunyai fungsi penting dalam membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu bagi mereka yang memperoleh manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, karena mendapat sesuatu hak dari kekuasaan negara, wajar menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang diperoleh kepada negara melalui pembayaran pajak.

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena itu perlu dikelola dengan meningkatkan peran-serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya. Bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak.

Sistem perpajakan yang berlaku selama ini, menimbulkan beban pajak berganda bagi masyarakat, dan oleh karena itu perlu diakhiri melalui pembaharuan sistem perpajakan yang sederhana, mudah, adil, dan memberi kepastian hukum. Dalam memahami mengapa seseorang

117 Rochmat Soemitro, 1979,

Dasar-dasar Hukum dan Pajak Pendapatan 1944, PT. Eresco, Bandung, h. 24-25

harus membayar pajak sebagaimana uraian tersebut diatas, maka perlu dipahami terlebih dahulu tentang pengertian pajak itu sendiri. Seperti diketahui bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan, negara mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun mencerdaskan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan negara yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea keempat yang berbunyi : “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial”

Negara dalam hal ini memerlukan dana untuk kepentingan rakyat, dana yang akan dikeluarkan ini tentunya didapat dari rakyat itu sendiri melalui pemungutan yang disebut dengan pajak. Pemungutan pajak terlebih dahulu harus disetujui oleh rakyat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23 A UUD NRI Tahun 1945 (dalam amandemen ketiga) tersurat : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

Pemungutan pajak yang harus berlandaskan undang-undang, ini berarti pemungutan pajak telah mendapatkan persetujuan dari rakyat melalui perwakilannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang biasa disebut berasaskan yuridis. Dengan asas ini berarti pemerintah telah memberi jaminan hukum yang tegas (kepastian hukum) akan hak negara dalam memungut pajak. Hukum pajak bumi dan bangunan yang berlaku di Indonesia sejak jaman kolonial tertuang dalam :

1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 (Personeele Belasting Ordonnantie 1908, Staatsblad Tahun 1908 Nomor 13),

2. Ordonansi Verponding Indonesia 1923 ( Inlandsche Verpondings Ordonnantie 1923, Staatsblad Tahun 1923 Nomor 425), sebagaimana telah diubah dengan Algemeene

Verordiningen Binnenlandsche Bestuur Java en Madoera (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 168) ;

3. Ordonansi Verponding Indonesia 1928 (Verpondings Ordonnantie 1928, Staatsblad Tahun 1928 Nomor 342) sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959;

4. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 (Ordonnantie op de Vermorgens Balasting 1932, Staatsblad Tahun 1932 Nomor 405), sebagaimana terakhir diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925;

5. Ordonansi Pajak Jalan 1942 (Weggeld Ordonnantie 1942, Staatsblad Tahun 1941 Nomor 97), sebagaimana terakhir diubah dengan Algemeene Verordening Oologsmisdrijven (Staatsblad Tahun 1946 Nomor 47) ;

6. Undang-Undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961;

7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi.

Peraturan tersebut diatas dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, diundangkan pada tanggal 27 Desember 1985, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986 dan diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Perubahan undang-undang ini diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1995.

Walaupun undang-undang pajak masih diberlakukan, tetapi tidak tertutup kemungkinan akan ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan substansi yang terkandung dalam Pasal 23 A UUD NRI Tahun 1945. Peninjauan kembali undang-undang pajak adalah searah dengan tujuan reformasi agar hukum pajak tidak hanya memihak kepada pejabat pajak, tetapi juga terhadap wajib pajak selaku pembayar pajak. Sebenarnya tujuan reformasi dibidang pajak adalah meningkatkan kesadaran hukum bagi wajib pajak untuk memenuhi kewajiban membayar atau melunasi yang terutang agar pembiayaan pemerintahan dan pembangunan tetap berlangsung secara berkelanjutan. Dalam mewujudkan bentuk undang-undang pajak sesuai amanat UUD NRI Tahun 1945 dalam kedudukannya baik sebagai pengganti maupun sebagai mengubah akan memberikan suatu kepastian hukum. Adapun undang-undang pajak bumi dan bangunan dalam kedudukan sebagai pengganti adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) terhadap Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Undang-undang ini termasuk pula Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pengaturan pajak bumi dan bangunan merupakan pajak bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dan/atau dikuasai, dan/atau memberi manfaat kepadanya. Tidak semua tanah (bumi) dan bangunan dikenakan pajak bumi dan bangunan, ada beberapa objek pajak yang dikecualikan dari pengenaan pajak bumi dan bangunan, yaitu sebagai berikut :

a. Tanah atau bangunan yang semata-mata digunakan untuk melayani kepentingan umum dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan misalnya : tempat ibadah, sarana kesehatan pemerintah, pendidikan dan kebudayaan nasional serta tanah kuburan. b. Tanah atau bangunan yang dipergunakan oleh perwakilan diplomatik atau konsulat

berdasarkan asas perlakuan timbal balik serta badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

c. Tanah yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, dan taman nasional. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau kemanfaatan

tanah dan/atau bangunan. Ketentuan tentang pajak bumi dan bangunan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985.

d. Menguasai objek baik atas bumi atau atas bangunan atau salah satu diantaranya. Klasifikasi dan besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun sekali oleh Menteri Keuangan kecuali bagi daerah yang perkembangan nilai jualnya cukup besar, maka ditetapkan setahun sekalai. 118

Penetapan pengaturan pajak bumi dan bangunan ditentukan terlebih dahulu terhadap objek pajak dan subjek pajak, yang nantinya menjadi wijib pajak terhadap pajak bumi dan bangunan. Untuk mengetahui subjek pajak bumi dan bangunan, diuraikan seperti dibawah ini. 2.2.3. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan

Hukum pajak tidak berbeda dengan hukum lainnya yang memiliki subjek hukum selaku pendukung kewajiban dan hak. Dalam hukum pajak, bukan subjek pajak sebagai pendukung kewajiban dan hak melainkan adalah wajib pajak. Secara hukum, subjek pajak dengan wajib pajak memiliki perbedaan karena subjek pajak bukan subjek hukum, melainkan hanya wajib pajak sebagai subjek hukum. Mengingat, subjek pajak tidak memenuhi syarat-syarat, baik syarat- syarat subjektif atau syarat-syarat objektif untuk dikenai pajak, sehingga bukan subjek hukum. Sebaliknya, wajib pajak pada awalnya berasal dari subjek pajak yang dikenakan pajak karena memenuhi syarat-syarat subjektif dan objektif yang telah ditentukan. Dengan demikian, ada keterkaitan antara subjek pajak dengan wajib pajak, walaupun keduanya dapat dibedakan secara hukum karena keberadaan wajib pajak bermula dari subjek hukum. 119 Subjek Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 adalah “orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.”

118

Adrian Sutedi, 2013, Hukum Pajak, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h. 117-118

119

Memahami orang atau badan dalam pengertian subjek pajak bumi dan bangunan, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan atau pemotongan pajak tertentu. Menurut M. Djafar Saidi, mengemukakan pada hakekatnya, wajib pajak tidak boleh terlepas dari konteks perorangan dalam kedudukannya sebagai pribadi. Sementara itu badan, sebagai wajib pajak dapat berupa badan yang tidak berstatus badan hukum, atau badan yang berstatus badan hukum, baik yang tunduk kepada hukum privat maupun tunduk pada hukum publik.120 Pengertian badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan lainnya, badan usaha milik negara,

Dokumen terkait