• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Politik Perempuan dalam Pemerintahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hak Politik Perempuan dalam Pemerintahan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Mata Kuliah Hukum dan HAM

Hak Politik Perempuan dan Turut Serta dalam Pemerintahan: Analisis Terhadap Persyaratan Pemimpin di Nanggroe Aceh Darussalam dalam Qanun

tentang Pokok-Pokok Syariat Islam Ditinjau dari Sudut Pandang Kesetaraan Gender dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Oleh:

MEIDANA PASCADINIANTI 1306 3806 13

Pembimbing: Mutiara Hikmah

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM SARJANA REGULER

(2)

Kata Pengantar

Puji syukur atas kehadirat Allah swt atas rahmat dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Hak Politik Perempuan dan Turut Serta dalam Pemerintahan: Analisis Terhadap Persyaratan Pemimpin di Nanggroe Aceh Darussalam dalam Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam Ditinjau dari Sudut Pandang Kesetaraan Gender dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, yang mana makalah ini disususun bertujuan untuk memenuhi Tugas Akhir mata kuliah Hukum dan HAM di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman.

Demikian makalah ini penulis susun, apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dan banyak terdapat kekurangan, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Depok, 28 Mei 2016

(3)

Daftar Isi

Kata Pengantar……… i

Daftar Isi……….. ii

BAB I Pendahuluan………

1.1Latar Belakang………..

1.2Instrumen Hukum yang Mengatur Hak Politik Perempuan…………..

1.3Rumusan Masalah……….

1 1 2 8 BAB II Pembahasan

2.1Kedudukan Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam di Aceh ditinjau dari Paham Kesetaraan Gender………..……….. 2.2Legalitas Pengaturan tentang Pengisian Jabatan Pemimpin di Aceh Yang Terdapat dalam Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam Ditinjau Dari Sudut Pandang Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Teori Ketatanegaraan………

9

9

14 BAB III Penutup………..………… 16

Daftar Pustaka………...……….. 17

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan zaman telah banyak mengubah pandangan tentang Perempuan, mulai dari pandangan yang menyatakan bahwa Perempuan hanya berhak mengurus rumah dan selalu berada di rumah, sedangkan laki-laki adalah makhluk yang harus berada di luar rumah, kemudian dengan adanya perkembangan zaman dan emansipasi menyebabkan Perempuan memperolah hak yang sama dengan laki-laki.1 Perjuangan untuk memeroleh hak yang sama secara tegas dimulai dari R.A. Kartini, walaupun banyak Perempuan-Perempuan lain di Indonesia yang mengusung perjuangan yang sama, tetapi perjuangannya merupakan cita-cita agar Perempuan memiliki pemikiran dan tindakan yang modern. Dengan demikian, adanya persamaan hak di berbagai bidang kehidupan telah menggeser pandangan terdahulu, sebagaimana dikemukakan Wilakusuma2 sebagai berikut:

Perempuan dan laki-laki mempunyai tempatnya masing-masing di dalam kehidupan kemasyarakatan. Kedua jenis manusia tersebut dapat menempati tempatnya masing-masing tanpa menjadi kurang hak-sama, karena pikiran, kecerdasan, menentukan nilai yang sama antara laki-laki dan Perempuan. Memang banyak pekerjaan yang dikerjakan oleh laki-laki dan Perempuan dengan tidak meninggalkan sifat-sofat asli Perempuan. Malah menjadi kepala jawatan atau presidenpun tidak akan meninggalkan sifat-sifat kePerempuanan tai. Karena jabatan-jabatan ini, kecerdasan dan pikiranlah yang memegang peranan banyak.

Dari pernyataan tersebut, terlihat jelas bahwa kaum Perempuan memiliki kedudukan yang sama dalam berusaha dan bekerja, hanya saja budaya masyarakat

1 Gurniwan K. Pasya, Peranan Perempuan Dalam Kepemimpinan dan Politik dalam JURNAL WANITA, hlm. 3.

(5)

yang menganggap Perempuan harus berada di rumah mengurus rumah tangga. Tetapi, dengan adanya kemajuan zaman, maka Perempuan dan laki-laki dapat bekerjasama dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan kata lain, bahwa Perempuan perlu mendapat kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya dalam mengisi pembangunan sesuai dengan yang dicita-citakan bersama, dalam hal ini turut terlibat dalam pemerintahan dan kegiatan politik.

Persamaan hak antara Perempuan dan laki-laki ini sangat penting kedudukannya, karena sebagaimana diketahui persamaan merupakan pilar bagi setiap masyarakat demokratis yang bercita-cita mencapai keadilan sosial dan hak asasi manusia. Perlu diketahui bahwa sesungguhnya hak asasi perempuan merupakan bagian dari penegakkan hak asasi manusia. Sesuai dengan komitmen internasional dalam Deklarasi PBB 1993, maka perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi perempuan adalah tanggung jawab semua pihak baik lembaga-lembaga Negara (eksekutif, legislatif, yudikatif ) maupun Partai politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan warga Negara secara perorangan punya tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi perempuan. Berangkat dari paham persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, maka keduanya memiliki kedudukan yang setara atau sama dalam kegiatan sosial masyarakatnya serta politik.

1.2. Instrumen Hukum yang Mengatur Hak Politik Perempuan

(6)

ditemui di dalam UUD 1945, KUHPidana, KUHPerdata, UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Peradilan HAM dan berbagai peraturan lainnya. Penegakannya dilakukan oleh institusi negara dan para penegak hukum. Salah satu sumber utama adalah UU No. 7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. UU tersebut secara jelas mengadopsi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.3 Adapun di level internasional, pengakuan terhadap hak perempuan sebagai hak asasi manusia berakar pada Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diterbitkan pada tahun 1948 dan disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini merupakan awal kodifikasi tentang standar pengakuan hak manusia yang di dalamnya termasuk hak perempuan. Deklarasi ini diakui sebagai standar umum bagi semua masyarakat dan semua bangsa untuk berjuang bagi kemajuan martabat manusia.4 Hak-hal yang dideklarasikan adalah hak atas persamaan, kebebasan, dan keamanan setiap orang, kebebasan dari perbudakan, siksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia, pengakuan sebagai seorang pribadi di depan hukum mencari keadilan, dan kebebasan untuk berekspresi dan partisipasi politik.5 Selain itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah menetapkan suatu deklarasi yang dinamakan Deklarasi Beijing Platform of Action pada tahun 1995 yang melahirkan program-program penting untuk mecapai keadilan gender.6 Ringkasan pokok mengenai langkah-langkah yang dapat dilakukan pemerintah dalam bidang Pengambilan Keputusan, antara lain:

1) Mengambil langkah-langkah untuk memastikan akses yang setara dan partisipasi penuh perempuan dalam struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan.

3 Sri Wiyanti Eddyono, “Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW”, diakses dari http://www.elsam.or.id/article.php?id=270&lang=in pada 15 Mei 2016.

4 Women, Law and Development, Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan, terjemahan dan terbitan LBH APIK Jakarta, 2001, hlm. 13.

5ibid., hlm 14.

6 Meisy K.P.S., Hak Politik Perempuan dalam Kerangka CEDAW dan

(7)

2) Meningkatkan kapasitas perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan

Instrumen-instrumen hukum di atas sesungguhnya telah banyak mengakomodir hak-hak dasar perempuan. Sebab di dalam konvensi-konvensi itu disebutkan pula prinsip non-diskriminasi. Namun, dalam hal ini CEDAW mengaturnya secara lebih rinci. CEDAW yang merupakan singkatan dari Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, mengatur upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pasal 1 CEDAW menyatakan bahwa:

“Diskriminasi terhadap perempuan, berarti segala pembedaan,pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,sipil, atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara lelaki dan perempuan”.

Sejatinya, hak politik Perempuan juga telah diatur dalam ICCPR (Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik) yang membuatnya setara dengan laki-laki. Namun, secara praktik, kesetaraan yang dicita-citakan tersebut sulit untuk tercapai mengingat konstruksi budaya yang meletakkan perempuan sebagai pihak yang subordinat, sehingga CEDAW mengatur secara lebih tegas konstruksi hak-hak politik dari perempuan tersebut.

Menurut Sjamsiah7, konvensi ini bahkan mengarahkan negara untuk mengadakan upaya-upaya tambahan guna menangani permasalahan-permasalahan yang dihadapi perempuan di daerah pedesaan. Dalam hal ini, negara harus menjamin hak-hak perempuan, atas dasar persamaan antara lelaki dan perempuan, atas dasar persamaan antara lelaki dan perempuan, untuk berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari pembangunan desa. Konvensi CEDAW ini juga

7 Sjamsiah Achmad, “Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi

(8)

merupakan satu-satunya perjanjian internasional yang menegaskan hak reproduksi perempuan. CEDAW mewajibkan negara untuk memodifikasi pola-pola sosial budaya dari perilaku lelaki dan perempuan agar dapat menghapuskan prasangka-prasangka, kebiasaan-kebiasaan, maupun semua praktik-praktik lain yang berdasarkan pandangan inferioritas atau superioritas pada salah satu jenis kelamin. Selain itu konvensi ini juga mendorong terhapusnya peran-peran stereotip bagi lelaki dan perempuan. Di mana konvensi tersebut telah diratifikasi oleh sejumlah negara baik Barat, Timur, Utara, maupun Selatan. Bahkan isu tentang pemberdayaan perempuan pedesaan yang masuk di dalam konvensi ini, terjadi atas usulan wakil dari Indonesia dan India.8

Di Indonesia, hak turut serta dalam pemerintahan merupakan suatu bagian yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur mengenai hak turut serta dalam pemerintahan dalam Pasal 43 dan Pasal 44. Pasal 43 mengakomodir hak untuk dipilih dan memilih, serta hak untuk turut serta dalam pemerintahan secara langsung atau dengan perantaraan wakilnya. Hak-hak ini diberikan bagi setiap warga negara. Sedangkan, Pasal 44 mengakomodir hak untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan, dan hak untuk mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan/atau usulan kepada Pemerintah. Jadi, keempat hak-hak ini terkait dengan karakteristik dari demokrasi. Adapun penjelasan mengenai partisipasi masyarakat secara langsung dan tidak langsung dapat dilihat dalam General Comment dari Pasal 21 DUHAM yang menyatakan bahwa:9

The right of citizens to directly participate in their nation’s political affairs usually manifests in the form of referendums, where a political issue is submitted to all citizens for a vote. Generally,

8ibid.

9 UN Human Rights Committee (HRC), CCPR General Comment No. 22: Article

(9)

referendums are held on important constitutional matters involving fundamental changes to the nation’s laws and governing institutions. Constitutional referendums of this nature are held in nations like France and New Zealand, and are mandatory for constitutional amendments in nations like Australia.

Free elections are generally held periodically and without incident in established liberal democracies. Whilst largely fair, these elections may often contain minor irregularities like gerrymandering, or the deliberate redrawing of electoral districts in favor of a particular candidate, especially in countries like the United States. In other nations, however, elections are often marred by severe irregularities. In the worst authoritarian regimes, show elections are held where the incumbent dictator obtains overwhelming and impossible margins of victory through widespread voter intimidation and blatant fraud. The ruling Workers Party of Korea, for instance, has regularly obtained an implausible 99.9% of the vote in every election held since it consolidated power.

Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan berpartisipasi secara langsung adalah partisipasi masyarakat dalam referendum, yang berarti setiap warga negara, tidak termasuk yang dikecualikan oleh undang-undang, berpartisipasi secara langsung dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Sedangkan, yang dimaksud dengan aprtisipasti tidak langsung adalah warga negara tetap dapat ikut menentukan arah kebihakan pemerintahan melalui perwakilan yang dipilih melalui pemilihan umum yang demokratis.

CEDAW juga secara rinci mengatur mengenai hak perempuan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan negaranya. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 7 CEDAW yang menyatakan bahwa Perempuan memiliki hak-hak sebagai berikut:

1. Hak untuk memilih dan dipilih;

(10)

3. Hak untuk memegang jabatan dalam pemerintah dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di segala tingkat;

4. Hak berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara.

Sedangkan, Pasal 8 CEDAW mengatur mengenai hak Perempuan untuk mendapatkan kesempatan mewakili pemerintah pada tingkat internasional dan berpartisipasi dalam pekerjaan untuk mewakili pemerintah dalam tingkat internasional dan berpartisipasi dalam organisasi-organisasi internasional. Selain itu, CEDAW juga mengatur kewajiban-kewajiban negara untuk melindungi hak-hak politik perempuan, yaitu:

1) Membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan kemasyarakatan atas dasar persamaan dengan laki-laki.

2) Membuat peraturan-peraturan yang tepat menjadmin adanya kesempatan bagi perempuan untuk mewakili pemerintahan maupun bekerja di tingkat internasional.

3) Memberikan hak yang sama dengan pria untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya

4) Menjamin bahwa perkawinan dengan orang asing tidak akan mengubah status kewarganegaraan ataupun kehilangan status kewarganegaraan. 5) Memberi hak yang sama antara laki-laki dan perempuan menentukan

kewarganegaraan anak-anak mereka.

Berdasarkan uraian di atas, telah jelas bahwa Perempuan perlu mendapat kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya dalam mengisi pembangunan sesuai dengan yang dicita-citakan bersama. Bahkan, Suryohadiprodjo10 menyatakan bahwa kemampuan Perempuan makin terlihat dalam berbagai macam pekerjaan dan profesi. Hampir tidak ada lagi pekerjaan yang tak dapat dikerjakan oleh Perempuan seperti dikerjakan oleh pria. Dan kualitas pekerjaannya tidak

(11)

lebih rendang dari pria, kecuali kalau pekerjaan ini menuntut tenaga fisik yang besar, seperti pekerjaan buruh pelabuhan. Sebaliknya, ada pekerjaan yang lebih tepat dilakukan oleh Perempuan karena lebih menuntut sifat-sifat keperempuanannya. Oleh sebab itu, telah jelas bahwa Perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang setara atau sama dalam kegiatan sosial masyarakatnya serta politik.

1.3. Rumusan Masalah

Pada prakteknya, kesetaraan yang dicita-citakan tersebut sulit untuk tercapai mengingat masih terdapat konstruksi budaya yang meletakkan perempuan sebagai pihak subordinat sehingga rawan dilanggar hak-hak asasi perempuannya. Sebagai contoh, terdapat Qanun Hukum Jinayah di Aceh yang disebut-sebut merampas hak perempuan. Oleh sebab itu, dalam makalah ini, Penulis akan membahas mengenai

1) Bagaimanakah status dari ketentuan Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam di Daerah Istimewa Aceh apabila ditinjau dari sudut pandang kesetaraan gender?

2) Bagaimanakah legalitas dari pengaturan tentang pengisian jabatan pemimpin di Aceh yang terdapat dalam Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam ditinjau dari sudut pandang Undang-Undang Dasar 1945 dan Teori Ketatanegaraan?

BAB II PEMBAHASAN

(12)

Istimewa Aceh yang dianggap sebagian pihak melanggar hak-hak asasi dari perempuan, khususnya hak politik.

2.1 Kedudukan Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam di Aceh ditinjau sari Paham Kesetaraan Gender

Qanun Jinayat merupakan ketentuan hukum Islam yang berlaku di Daerah Istimewa Aceh. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh diamanatkan dalam beberapa Undang-Undang, antara lain Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dana Kepulauan Nias Sumatera Utara Sebagai Undang-Undang.

Apabila dicermati, ternyata Qanun Jinayat Pasal 53 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam melanggar hak-hak politik dari perempuan. Pasal 53 Qanun Jinayat tentang Pokok-Pokok Syariat Islam tersebut mengatur bahwa syarat menjadi seorang pemimpin di Aceh adalah harus mampu membaca Al-Qur’an, mampu khutbah Jumat, dan khutbah shalat Ied, serta bisa memimpin shalat berjamaah. Sebagaimana diketahui seorang perempuan tidaklah dapat menjadi pemimpin atau imam dalam shalat berjamaah yang makmumnya laki-laki. Hal ini secara tidak langsung berarti hanya laki-laki saja yang dapat menjadi pemimpin di Aceh.

Dasar hukum Islam yang melarang seorang perempuan menjadi seorang imam dalam shalat yang makmumnya laki-laki, antara lain:

Rasulullah Bersabda: “Janganlah seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki” (HR. Ibnu Majah).

(13)

hanya wanita, seperti yang dilakukan oleh A’isyah dan Ummu Salamah r.a. (Tuhfah al-Ahwazi li-al-Mubarakfuri).

Bahkan, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa Nomor 9/MUNAS VII/MUI/13/2005 tentang Wanita Menjadi Imam Shalat11 yang pada intinya memutuskan bahwa:

(1) Wanita menjadi imam shalat berjama’ah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah.

(2) Wanita menjadi imam shalat berjama’ah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah.

Berdasarkan uraian di atas, telah jelas bahwa seorang perempuan tidaklah dapat menjadi imam shalat berjama’ah apabila terdapat makmum laki-laki di dalamnya. Hal ini dianggap mengabaikan hak-hak politik perempuan sebagaimana telah dijelaskan dalam BAB I.

Memang konflik kepemimpinan perempuan di Kesultanan Aceh Darussalam sudah terlihat ketika pengangkatan sultanah pertama yang menggantikan suaminya Sultan Iskandar Tsani tahun 1641 M. Konflik ini terus berlanjut sampai masa pemerintahan perempuan ke empat Sultanah Kamalat Syah tahun 1699 M. Meskipun telah ada persetujuan ulama kesultanan yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin, tetapi tidak semua mendukung seperti kelompok wujudiyah yang menentang kepemimpinan perempuan di Kesultanan Aceh Darussalam.12 Pada dasarnya, memang konflik kepemimpinan perempuan yang terjadi di Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1641-1699 M harus dilihat dari banyak faktor seperti politik, agama, dan ekonomi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kombinasi dari berbagai faktor seperti tidak adanya putera mahkota, merosotnya kekuasaan para sultan ditandai dengan meningkatnya kekuasaan para orang kaya serta pembagian Aceh ke dalam tiga segi yang kuat ini merupakan faktor-faktor penentu muncul dan bertahannya pemerintahan

11 Fikih Kontemporer, Wanita Menjadi Imam Shalat Lelaki: Fatwa, diakses dari

http://www.fikihkontemporer.com/2013/05/wanita-menjadi-imam-shalat-lelaki-fatwa.html pada 16 Mei 2016.

12 Supriyono, Konflik Tentang Kepemimpinan Perempuan di Kesultanan Aceh

(14)

perempuan di Aceh.13 Namun demikian, juga terdapat kelompok yang mendukung pemerintahan perempuan yang menyatakan bahwa perempuan juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, seahingga perempuan boleh menjadi pemimpun. Kelompok ini didukung oleh ulama besar Aceh seperti Nuruddin al-Raniri dan Abdurrauf Singkel, kedua ulama ini memberikan fatwa pemisahan urusan agama dan negara, dengan demikian ulama ini memberikan toleransi bagi perempuan Aceh untuk menduduki tahta di Kesultanan Aceh Darussalam.

Apabila ditinjau dari paham kesetaraan gender, keterwakilan politik perempuan pada hakekatnya harus diperjuangkan oleh semua kalangan dan perjuangan tersebut juga harus ditingkatkan dari setiap kalangan mulai dari kalangan elitenya sampai dengan masyarakat. Terkait hal ini, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat dan mengamanatkan perlunya pendidikan politik dan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Bahkan Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 secara nyata mengatur bahwa:

(1) Setiap partai politik beserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD, Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen;

(2) Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah pemilihan.

Ketentuan tersebut memberikan peluang kepada perempuan untuk berkiprah di bidang politik khususnya menjadi calon legislatif. Dengan sistem kuota sedikitnya 30% perwakilan perempuan Indonesia dalam pengambilan keputusan diharapkan akan membawa perubahan pada kualitas legislatif yang berspektif perempupan dan gender yang adil, dan mengubah cara pandang dalam melihat dan menyelesaikan berbagai permasalahan politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara-cara anti kekerasan. Karena, pada dasarnya perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk meraih posis strategis di parlemen maupun sebagai eksekutif.

(15)

Dalam hal ini, Perumus Kebijakan di Aceh membuat kebijakan yang mendiskreditkan perempuan dalam Qanun-nya. Karena, apabila dibenturkan dengan instrumen-instrumen hukum yang lain, maka Qanun tersebut telah melanggar hak-hak perempuan dalam berpolitik. Padahal, ketentuan Deklarasi Beijing Platform of Action pada tahun 1995 yang memberikan ringkasan pokok mengenai langkah-langkah yang dapat dilakukan pemerintah dalam bidang Pengambilan Keputusan, antara lain:

1) Mengambil langkah-langkah untuk memastikan akses yang setara dan partisipasi penuh perempuan dalam struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan.

2) Meningkatkan kapasitas perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan

Hak politik perempuan ini juga terdapat dalam Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur mengenai hak turut serta dalam pemerintahan dalam Pasal 43 dan Pasal 44. Pasal 43 mengakomodir hak untuk dipilih dan memilih, serta hak untuk turut serta dalam pemerintahan secara langsung atau dengan perantaraan wakilnya. Hak-hak ini diberikan bagi setiap warga negara. Sedangkan, Pasal 44 mengakomodir hak untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan, dan hak untuk mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan/atau usulan kepada Pemerintah. Sedangkan, Pasal 7 CEDAW yang menyatakan bahwa Perempuan memiliki hak-hak sebagai berikut:

1) Hak untuk memilih dan dipilih;

2) Hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan implementasinya;

3) Hak untuk memegang jabatan dalam pemerintah dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di segala tingkat;

(16)

Berdasarkan uraian, di atas, telah jelas bahwa perempuan juga memiliki hak untuk turut serta dalam pemerintahan, dan berhak menjadi seorang pemimpin. Namun demikian, Qanun Jinayat tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, telah merampas hak-hak asasi perempuan tersebut. Dalam hal ini, Penulis berpendapat bahwa, seharusnya perumus kebijakan di Aceh mempertimbangkan hal-hal di atas dan juga memperhatikan perkembangan zaman, terlepas dari kewenangannya membuat kebijakan syariat islam sebagai sebuah daerah istimewa maupun konstruksi budaya di daerah tersebut. Selain itu, Penulis berpendapat bahwa perumus kebijakan di Aceh tidak memperhatikan konstruksi Pasal 18 B UUD 1945 yang secara implisit mengandung perintah bagi negara untuk melindungi hak dari daerah istimewa. Namun, juga perlu dicermati bahwa bagi pemerintah daerah Pasal ini juga menimbulkan hak-hak yang wajib dilindungi oleh pemerintah daerah itu sendiri, dalam hal ini memperhatikan perkembangan masyarakat. Lagipula, persyaratan yang secara tidak langsung mengharuskan seorang pemimpin di Aceh haruslah dari kaum laki-laki, Penulis nilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat yang tengah dalam usahanya untuk menyetarakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.

Namun demikian, terlepas dari hal-hal di atas, tetap harus dipahami bahwa Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang unsur budaya, keyakinan, dan hal-hal metafisik yang sangat kental, sehingga, kesetaraan gender yang dicita-citakan mungkin akan lebih sulit untuk tercapai di Daerah Istimewa Aceh ini, mengingat masyarakat Aceh mengacu pada norma-norma keyakinan yang dianutnya.

2.2 Legalitas Pengaturan tentang Pengisian Jabatan Pemimpin di Aceh Yang Terdapat dalam Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam Ditinjau Dari Sudut Pandang Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Teori Ketatanegaraan

(17)

baik ayat (1) dan ayat (2) dengan tegas diakui adanya daerah yang memiliki otonomi khusus yang istimewa tersebut14. Pasal tersebut menyatakan bahwa:

(1) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Kedua ayat dari Pasal 18B UUD 1945 tersebut mengandung norma-norma imperatif yaitu norma perintah sebagai kewajiban bagi negara untuk melindunginya. Namun, di lain pihak, bagi pemerintah daerah menimbulkan hak-hak yang wajib dilindungi.15

Menurut Jimly Asshiddiqie, Pasal 18B tersebut memungkinkan dilakukannya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistik dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dalam dinamika hubungan antara pusat dan daerah itu, dimungkinkan pula dikembangkan kebijakan otonomi yang bersifat pluralis. Dalam arti bahwa setiap daerah dapat diterapkan pola otonomi yang berbeda-beda.16 Dalam hal ini, Daerah Istimewa Aceh memiliki format kelembagaan pemerintahan yang berbeda dari pemerintahan daerah lain pada umumnya.

Sedangkan menurut Prof. Faisal, Qanun ditetapkan oleh instansi bentukan negara, sehingga produk hukum lembaga itu juga sah dan mengikat secara hukum, bahkan dalam konsiderans Qanun Aceh tentang Hukum Jinayah juga terdapat pernyataan bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki keistimewaan dan otonomi khusus, salah satunya kewenangan untuk melaksanakan syariat Islam, dengan menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan,

14 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia (Alumni: Bandung, 2002), hlm. 90.

15 Christian Yulianto Kurniawan, et, al., Kajian Yuridis Pembentukan Pemerintah

Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta BerdasarkanUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta., hlm. 3.

(18)

dan kepastian hukum.17 Dengan demikian, ketentuan qanun tentang pokok-pokok syariat Islam yang secara tidak langsung mengharuskan pemimpin di Aceh berasal dari kaum laki-laki tersebut tetap dapat diakui secara hukum dan dapat diberlakukan. Namun demikian, dalam hal ini, Penulis berpendapat bahwa sebaiknya Perumus Kebijakan di Aceh tetap melakukan penyesuaian terkait Qanun tersebut dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

BAB III PENUTUP

Penulis berpendapat untuk menentukan apakah ketentuan Qanun Pokok-Pokok Syariat Islam ini melanggar hak-hak politik dari Wanita dapat ditinjau dari dua perspektif (hukum dan sosio historis), sehingga jawaban yang dihasilkan pun tentu berbeda. Secara teori, Pasal 53 Qanun Jinayat tentang Pokok-Pokok Syariat Islam tentu bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender dan hak-hak asasi perempuan, dalam hal ini adalah hak politik dan turut serta dalam pemerintahan. Namun, juga perlu dicermati kondisi dari daerah istimewa Aceh itu sendiri, sebagaimana diketahui, Aceh diberikan status istimewa bukan karena

(19)

alasan tertentu dan merupakan salah satu provinsi yang masih memiliki unsur budaya, keyakinan, dan hal-hal metafisik yang sangat kental. Selain itu, secara historis juga perlu diketahui bahwa prinsip kesetaraan gender adalah sebuah ajaran yang dimulai dari pemikiran tokoh-tokoh Barat. Terkait hal ini kemudian muncul pertanyaan, apakah hal ini bisa serta merta diterapkan di Indonesia yang notabene termasuk dalam negara Timur yang secara budaya saja sudah jauh berbeda.

Penulis berpendapat bahwa apabila prinsip dan nilai kesetaraan gender itu ingin diterapkan di Indonesia, tentu harus melalui penyesuaian terlebih dahulu. Dengan demikian, pengaturan Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam di Aceh yang secara tidak langsung mengharuskan bahwa seorang pemimpin di Aceh haruslah berasal dari kaum laki-laki memang telah melanggar hak-hak politik dari preempuan. Namun demikian, kita juga perlu memperhatikan value yang dipercaya oleh masyarakat Aceh, yang dalam hal ini adalah unsur budaya dan kepercayaan.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Sjamsiah. “Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan” dalam Makalah In-House Training Rahima, Mei 2008.

(20)

Eddyono, Sri Wyanti. “Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW”, diakses dari http://www.elsam.or.id/article.php?id=270&lang=in pada 15 Mei 2016.

Fikih Kontemporer. Wanita Menjadi Imam Shalat Lelaki: Fatwa, diakses dari http://www.fikihkontemporer.com/2013/05/wanita-menjadi-imam-shalat-lelaki-fatwa.html pada 16 Mei 2016.

HukumOnline, Qanun Hukum Jinayah: Kitab Pidana Ala Serambi Mekkah, diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d80e8854ee1 /qanun-hukum-jinayah--kitab-pidana-ala-serambi-mekkah pada 16 Mei 2016.

Kurniawan, Christian Yulianto et, al.. Kajian Yuridis Pembentukan Pemerintah Daerah Propinsi Daerah IstimewaYogyakarta BerdasarkanUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Meisy K.P.S., Hak Politik Perempuan dalam Kerangka CEDAW dan Pencapaiannya di Indonesia Melalui MDG’s (Skripsi, Universitas Sumatera Utara, 2010)

Pasya, Gurniwan K. Peranan Perempuan Dalam Kepemimpinan dan Politik dalam JURNAL WANITA.

S. Nilakusuma, Perempuan di Dalam dan di Luar Rumah Tangga (Nusantara: Michigan, 1960).

(21)

Suryohadiprojo, Sayidiman. Menghadapi Tantangan Masa Depan (Gramedia: Jakarta, 1987)

Supriyono. Konflik Tentang Kepemimpinan Perempuan di Kesultanan Aceh Darussalam Tahun 1641-1699 M (Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta).

UN Human Rights Committee (HRC), CCPR General Comment No. 22: Article 21 (The right to take part in government), 30 July 1993, CCPR/C/21/Rev.1 /Add.4, diakses dari http://www.refworld.org/docid/453883fb22.html, pada 15 Mei 2016.

(22)
(23)

LSM: Qanun Jinayat Hilangkan Hak Politik Perempuan di Aceh

BANDA ACEH, KOMPAS.com - Azriana, aktivis perempuan dari Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS) menyatakan prihatin Qanun Jinayat yang baru disahkan oleh DPRA dan Pemerintah Aceh pada rapat paripurna Sabtu (28/09/20014) lalu, mengabaikan hak-hak politik perempuan.

Menurut Azrina, dalam Qanun Jinayat Pasal 53 tentang pokok-pokok syariat Islam menyebutkan bahwa syarat menjadi pemimpin di Aceh harus mampu membaca Al Quran, mampu khutbah Jumat dan khutbah shalat Id, bisa memimpin shalat berjamah.

“Artinya ke depan tidak akan ada lagi pemimpin di Aceh yang berasal dari perempuan, sudah tutup buku karena perempuan tidak bisa menjadi imam shalat bagi kaum laki-laki, kecuali imam bagi perempuan sendiri," jelas Azrina, pada konferensi pers yang digelar oleh sejumlah LSM di Aceh yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil di Yellow Café di Banda Aceh, Selasa (30/9/2014) petang.

"Ini merupakan kemunduran hak politik bagi perempuan di Aceh, karena agama dijadikan legitimasi," lanjut Azriana.

Sementara itu, menurut Azrina, dalam Qanun Jinayat juga masih mengenal zina dengan anak. Padahal, menurut dia, korelasi anak dengan orang dewasa itu sangat jelas berbeda. Seharusnya, kata dia, di dalam Qanun tidak disebutkan zina terhadap anak, tetapi perkosaan terhadap anak.

“Kita khawatir pasal di dalam Qanun Jinayat ini akan menyebabkan anak-anak dan perempuan di Aceh akan berhadapan dengan hukum cambuk," paparnya.

(24)

terhadap anak. Bahkan, menurut Azrina, di Aceh juga ada Qanun perlindungan terhadap anak.

"Saya khawatir posisi anak-anak di Aceh ke depan ketika mengalami kasus pelecehan seksual yang tidak setara dengan zina yang dilakukan orang dewasa, akan di hukum cambuk," katanya.

Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS) dan sejumlah SM di Aceh rencananya akan menjumpai Gubernur dan Mendagri untuk meminta agar pengesahan Qanun Jinayat ditunda.

Sumber:

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan kelas generatif + AO lebih baik daripada peningkatan pada kelas generatif + scaff, namun perbedaan peningkatannya sangat tipis, sehingga dapat

Dalam beberapa hal membuktikan bahwa adanya pengaduan-pengaduan dari pasien kepada pihak rumah sakit yang berupa pelanggaran etik maupun kesalahan profesional (medical

Dari pengamatan peneliti bahwa siswa-siswi SMAN 1 Garum berasal dari kondisi sosial ekonomi keluarga yang berbeda, seperti: tingkat pendidikan, pendapatan, kekayaan

Berdasarkan keputusan yang diperolehi daripada pembangunan dan pengujian topologi, saiz kekisi 0.380m dan jarak ke akses paling hampir digunakan dalam analisa

Mengacu pada UUD 1945 Pasal 22 D ayat 3; Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan " setiap warga negara berhak memperoleh kes-empatan yang sama dalam

Metode Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur Melalui Pendekatan Model Dinamika Sistem (Kasus Hutan Alam Bekas Tebangan). Mendapatkan alternatif metode pengaturan hasil

Betty Anne Butcher Gheorghe Apostol Nanjappan Ardhanarisamy Arjan Arenja Rainer Arocena Emmanuveal Arulseelan John Arvanitis Narayana Asogan Behrouz Atrie Magdy Attia

pencapaian  yang  cukup  signifikan  baik  kondisi  steady  state  maupun  kondisi  acak.  Penelitian  ini  bisa  dikembangkan  untuk  struktur  yang  lebih