• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketidaksetaraan Sosial dan Kemiskinan Masyarakat Nelayan

Dalam konteks kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan ”lelang

lebak lebung” dapat disoroti keterkaitan antara pemerintah daerah dan masyarakat

nelayan perairan umum lebak lebung. Untuk itu, dalam setiap masyarakat di luar yang paling primitif dapat dibedakan dua kategori masyarakat, yakni kelas yang berkuasa dan satu atau lebih kelas yang dikuasai. Kemudian, ada konflik terus- menerus antara kelas yang berkuasa dan atau kelas-kelas yang dikuasai, dimana sifat dan jalannya konflik dipengaruhi oleh perkembangan kekuatan-kekuatan produksi, misalnya oleh perubahan-perubahan teknologi dan modal. Garis pemisah dapat ditarik secara tegas pada masyarakat kapitalis modern, karena dalam masyarakat tersebut pemindahan kepentingan-kepentingan ekonomi terlihat paling nyata.

Legitimasi suatu struktur kepemimpinan melalui nilai dan norma bersama sering sangat penting dalam memudahkan suatu kelompok untuk menuju tujuan- tujuan jangka panjang. Kemajuan dalam bergerak menuju tujuan-tujuan jangka panjang sering menuntut penundaan kepuasan sekarang ini. Seorang pemimpin yang usaha-usaha pengaruhnya diperkuat oleh nilai-nilai dan norma kelompok

akan mampu meyakinkan anggota-anggota untuk mengeluarkan biaya (cost)

dalam mencapai tujuan jangka panjang tanpa reward yang berlangsung apapun,

kecuali kepuasan internal dan kepercayaan sosial yang merupakan hasil dari konformitas normatif (Johnson, 1986).

Berkaitan dengan proses perubahan sosial dan modernisasi dalam kehidupan masyarakat, sistem kapitalis memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, Sanderson (2003) mengemukakan bahwa masyarakat pra-kapitalis diorganisir melalui berbagai aktivitas dimana produksi barang untuk nilai guna adalah perhatian satu-satunya produsen. Pertumbuhan masyarakat industri dapat dilukiskan sebagai suatu pergeseran dari sistem kelas kepada suatu sistem kelompok-kelompok elite, dan hierarki sosial yang didasarkan atas pewarisan hak milik kepada hierarki yang didasarkan atas prestasi

dan kemampuan. Pengertian masyarakat industri modern sebagai masyarakat yang sepenuhnya mendasarkan diri pada nilai-nilai ekonomi, seperti rasionalisasi, universalitas, dan nilai-nilai berprestasi. Tanpa nilai-nilai budaya ekonomi ini, suatu masyarakat tidak akan mungkin berubah dari nilai-nilai tradisional ke nilai- nilai dinamis rasional. Terkait dengan hal ini, agama merupakan sesuatu yang memiliki fungsi sosial untuk merumuskan seperangkat nilai luhur yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk membangun tatanan moral masyarakat (Suwarsono dan Alvin, 2000).

Perubahan sosial dan modernisasi dalam kehidupan masyarakat juga tidak terlepas dengan adanya gejala ketidaksetaraan (inequality). Menurut Runciman, dalam Beteille (1977), ketidaksetaraan, dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yakni ekonomi (ketidaksetaraan dalam hal kelas), sosial (ketidaksetaraan status) dan politik (ketidaksetaraan kekuasan). Ketidaksetaraan kelas berkaitan dengan aspek ekonomi yakni kepemilikan atas peralatan produksi dan dalam konteks yang lebih luas menyangkut kepemilikan barang yang dianggap berharga (kekayaan). Ketidaksetaraan dalam status berkaitan dengan atribut dan gaya hidup yang meliputi gengsi (prestise) tinggi dan rendah. Dalam hal ini bukan yang berkaitan dengan aspek ekonomi, misalnya menyangkut pendidikan, gaya berpakaian dan lainnya. Ketidaksetaraan dalam aspek kekuasaan biasanya berhubungan dengan status dan kelas dalam masyarakat. Dalam konteks ini ada sekelompok orang yang menguasai dan sebagian besar lainnya berada dibawah kekuasaan pihak pertama tersebut.

Dalam kaitannya dengan pendapatan usaha penangkapan pada masyarakat nelayan, maka tidak terlepas dari berfungsinya kelembagaan pengelolaan sumber

daya perikanan ”lelang lebak lebung”. Dengan berfungsinya kelembagaan

pengelolaan sumber daya perikanan ”lelang lebak lebung” seharusnya diharapkan

dapat tersedianya sumber pendapatan usaha bagi masyarakat nelayan melalui alokasi hak penangkapan ikan yang didapatkannya dari proses pelelangan. Dalam proses pelelangan inipun, pemerintah kabupaten memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari sumber daya perikanan PULL.

Besaran pendapatan usaha yang didapatkan oleh masyarakat nelayan akan tergantung dari struktur pembiayaan usaha yang terjadi sesuai berfungsinya kelembagaan ”lelang lebak lebung”. Dalam hal ini dapat saja dipengaruhi secara langsung oleh adanya standar harga yang tinggi dari objek lelang yang ditetapkan

oleh pemerintah kabupaten ataupun tingginya harga objek lelang sebagai hasil dari proses pelelangan yang terjadi. Beban pembayaran yang bersifat tunai juga menjadi permasalahan tersendiri bagi masyarakat nelayan, yang umumnya tidak memiliki uang tunai dalam jumlah yang besar. Di sisi lain, pendapatan rumah tangga dalam masyarakat nelayan terutama dipengaruhi oleh besaran dan struktur pengeluaran konsumsi. Konsumsi dalam hal ini memiliki pengertian yang luas (tidak hanya makanan dan minuman) yaitu barang dan jasa akhir yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia (Sugiarto, 2008). Barang dan jasa akhir adalah barang dan jasa yang sudah siap dikonsumsi oleh konsumen (Nopirin, 1997). Barang konsumsi ini terdiri dari barang konsumsi sekali habis dan barang konsumsi yang dapat dipergunakan lebih dari satu kali. Namun demikian, Badan Pusat Statistik (2006) mengemukakan bahwa pengeluaran rumah tangga dapat dibedakan atas pengeluaran konsumsi makanan dan pengeluaran konsumsi non makanan.

Struktur pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator tingkat kemiskinan rumah tangga. Dalam hal ini rumah tangga dengan pangsa pengeluaran pangan tinggi (lebih dari 50%) tergolong rumah tangga miskin dibanding yang lainnya. Meskipun demikian, setiap rumah tangga memiliki pola tertentu dalam pengeluaran atau membelanjakan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagai contoh, pengeluaran konsumsi tidak hanya ditentukan oleh tingkat pendapatan, tetapi banyak lagi faktor lain yang mempengaruhi tingkat konsumsi yaitu jumlah anggota keluarga, tingkat usia mereka dan faktor-faktor lainnya seperti harga-harga barang konsumsi (Sicat, 1991).

Perubahan karakteristik keluarga mempunyai dampak sangat penting pada perubahan pola kebutuhan atau konsumsi keluarga misalnya makanan, perlengkapan alat-alat rumah tangga, pelayanan kesehatan, perumahan dan pendidikan (Akmal, 2003). Faktor-faktor yang ikut menentukan pola konsumsi keluarga antara lain tingkat pendapatan keluarga, ukuran keluarga, pendidikan kepala keluarga dan status kerja wanita. Untuk mendukung pernyataan tersebut, telah banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat

semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga semakin rendah persentasi pengeluaran untuk konsumsi makanan (Sumarwan, 1993). Berdasarkan teori klasik ini, maka keluarga bisa dikatakan lebih miskin bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih besar dari persentase pengeluaran untuk bukan makanan.

2.6 Teori Pengelolaan Kolaboratif Sumber daya Alam

Sistem pengelolaan sumber daya perikanan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) tipe yang ekstrim, yaitu:

(1) Pengelolaan sumber daya ikan oleh pemerintah atau dikenal dengan

istilah pengelolaan sentralistis (Government Centralized Management = GCM).

Pengelolaan sentralistis adalah rezim pengelolaan sumber daya alam dengan pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan dan wewenang dalam memanfaatkan sumber daya alam, sehingga pemerintah mempunyai hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur, hak eksklusif dan hak mengalihkan sumber

daya alam. Kebijakan ini bersifat top-down, yang menempatkan masyarakat

nelayan sebagai obyek sasaran kebijakan.

(2) Pengelolaan sumber daya ikan berbasis masyarakat (Community Based

Management = CBM) (dalam Arsyad, 2007). Model pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat adat terdapat di beberapa daerah di Indonesia dengan aturan- aturan lokalnya atau tradisi (adat-istiadat) masyarakat yang diwarisi secara turun temurun. Pengaturan ini telah dipandang efektif sebagai pengendalian pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, dan menjaga pelestarian sumber daya dari aktivitas yang merusak. Arsyad (2007) mengemukakan bahwa aturan-aturan lokal dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal diantaranya adalah Sasi di Maluku, Panglima Laot di Nanggroe Aceh Darussalam.

Sistem pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat merupakan suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya ikannya sendiri dengan memperhatikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya (Nikijuluw, 2002). Dengan model

community base management (CBM) ini, masyarakat akan bertanggung jawab dalam menjalankan kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan, karena

masyarakat ikut terlibat dalam membuat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi pengelolaan sumber daya perikanan. Partisipasi masyarakat merupakan wujud kepentingannya terhadap kelangsungan sumber daya perikanan sebagai mata pencaharian hidup sehari-hari (Satria et al., 2002).

Model CBM lebih efektif dan efisien karena proses pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat lokal, sehingga dapat mengakomodir setiap aspirasi masyarakat serta pembuat kebijakan lebih memahami kondisi daerahnya (Satria et al., 2002). Selain itu, kelestarian sumber daya ikan dapat terjaga dengan adanya proses pengawasan oleh masyarakat yang dilakukan setiap saat. Namun demikian, model CBM ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain adalah tidak mampu mengatasi masalah-masalah inter-komunitas, sehingga hanya berlaku pada daerah tertentu atau bersifat spesifik lokal, dan rentan terhadap perubahan- perubahan eksternal. Kedua bentuk model atau rezim pengelolaan perikanan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Selain itu, kedua rezim masih sangat sulit mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam

perkembangan pengelolaan sumber daya perikanan (Arsyad, 2007).

Pengintegrasian kedua rezim ini dikenal dengan nama manajemen kolaborasi,

kooperasi manajemen, atau ko-manajemen (co-management). Ko-manajemen

perikanan merupakan rezim derivatif yang berasal dari rezim Pengelolaan Sumber daya Perikanan Berbasis Masyarakat (CBM) dan rezim Pengelolaan Sumber daya Perikanan oleh Pemerintah.

Ko-manajemen perikanan dapat diartikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya perikanan. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa dalam ko-manajemen terjadi pembagian tanggung-jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam (Pomeroy and Williams, 1994). Tujuan utarna ko-manajemen adalah pengelolaan perikanan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata (Nikijuluw, 2002). Namun demikian, prinsip kelembagaan dalam ko-manajemen yang menyatakan bahwa setiap aturan permainan dapat saja diubah asalkan telah merupakan suatu kesepakatan bagi pengguna dan pembuat aturan itu sendiri

(Pomeroy, 1991). Oleh karena itu, ada 3 (tiga) hal yang sangat menentukan variasi bentuk ko-manajemen serta hierarkhinya, yaitu:

1. Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan.

2. Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama

oleh pemerintah dan masyarakat atau didistribusikan diantara kedua pihak,

3. Tahap proses manajemen ketika secara aktual kerjasama pengelolaan akan

diwujudkan (perencanaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi).

Nikijuluw (2002) memaparkan beberapa contoh ko-manajemen perikanan artisanal yang diambil dari kasus-kasus yang terjadi di negara yang mempunyai budaya dan ekosistem yang berbeda. Dikemukakan lebih lanjut bahwa contoh ko- manajemen perikanan artisanal ada 5 (lima) tipe, yaitu ko-manajemen instruktif,

ko-manajemen konsultatif, ko-manajemen kooperatif, ko-manajemen

pendampingan, dan ko-manajemen informatif.

Pada ko-manajemen instruktif, pertukaran informasi terjadi timbal balik masih sangat kurang antara pemerintah dan masyarakat pesisir, karena peran pemerintah sangat mendominasi setiap informasi. Namun hal ini berbeda dengan model sentralistis yang sama sekali tidak ada dialog antara pemerintah dengan masyarakat nelayan. Artinya, dalam bentuk ini pemerintah yang membuat rencana kebijakan dan menginformasikannya kepada masyarakat nelayan untuk dilaksanakan.

Pada ko-manajemen konsultatif, menempatkan masyarakat nelayan hampir sama dengan pemerintah, dimana terjadinya proses konsultasi pemerintah ke masyarakat. Namun keputusan mengenai kebijakan yang akan ditetapkan sepenuhnya ada di tangan pemerintah, artinya masyarakat hanya sebatas

memberikan masukan saja. Sementara pada ko-manajemen kooperatif

menempatkan masyarakat nelayan dan pemerintah pada tingkat yang sama atau sederajat. Dengan demikian, pada semua tahapan pembuatan dari perencanaan hingga pengambilan keputusan kedua belah pihak mempunyai kekuatan yang sama. Artinya, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra yang mempunyai kedudukan yang sama.

Pada ko-manajemen pendampingan atau advokasi, peran masyarakat lebih besar daripada pemerintah, masyarakat memberikan masukan kepada pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan. Lebih dari itu, dalam bentuk ini masyarakat dapat mengajukan rancangan yang akan dilegalisasi atau disahkan oleh pemerintah. Artinya, peran pemerintah lebih banyak bersifat mendampingi atau memberikan advokasi tentang sesuatu yang sedang dikerjakan.

Kemudian, pada ko-manajemen informatif merupakan manajemen dimana

peran masyarakat lebih besar dari pemerintah dibanding keempat bentuk sebelumnya. Dalam hal ini pemerintah hanya memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa seharusnya dikerjakan masyarakat. Artinya, setiap pembuatan kebijakan, mulai dari perumusan hingga pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat.

Dokumen terkait