• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fishery resources management institution of the “Lelang Lebak Lebung” and fishing community poverty

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fishery resources management institution of the “Lelang Lebak Lebung” and fishing community poverty"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA

PERIKANAN “LELANG LEBAK LEBUNG”

DAN KEMISKINAN MASYARAKAT NELAYAN

(Studi Kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan)

ZAHRI NASUTION

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Kelembagaan

Pengelolaan Sumberdaya Perikanan “Lelang Lebak Lebung” dan Kemiskinan

Masyarakat Nelayan; (Studi Kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir,

Sumatera Selatan) merupakan karya saya sendiri yang belum diajukan dalam

bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar

Pustaka di bagian akhir penulisan disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Zahri Nasution

(3)

ABSTRACT

Institutional management of open water fisheries resources "lelang lebak lebung" has an important role in the utilization of open water fishery resources (lebak lebung) in South Sumatra. Institutionalization has been being practiced since the establishment of clan government. The institution was gradually changed since the Governor of South Sumatra delegates the authority to manage such the resource to the Regencial adminidtration level or even to the district administration level. This study aimed at analyzing the effectiveness of institutional management of open water fisheries resources "lelang lebak lebung" during the period of clan goverment and in the period of district administration. The study was also assessed the impact of the institution practices on the condition of open water fishery resources and the poverty of fishing communities. This research was considered a field of sociology with the study focus on institutional, open water fishery resources and fishing communities. A case study method was used in this study. Data collection were carried out during the period July to December 2009. Primary data were collected through interview method. Interviews were conducted using both structured and unstructured questionnaires and guided by the data subject. Data were analyzed qualitatively. Result of the study showed that the institutional management of fisheries resources practiced in the study site is less effective than the prevailing institutional during the clan governance. These, in turn, will impact on fostering degradation rate of the open water fishery resources. This situation resulted on declining a high economic value fish caught and growing dominance of low economic value fish caught by fishers. Finally, these accumulated conditions will cause poverty within fishing communities which indicating by lower income from fishing and higher food consumption on fishermen household. Policy recommendation can be drawn from this study is to develop an institutional enabling to eliminate the negative impact of an auction practiced so that conserve the resources and fishing communities prosperity can be ensured.

(4)

“Lelang Lebak Lebung” dan Kemiskinan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir - Sumatera Selatan). Dibimbing: TITIK SUMARTI sebagai Ketua, SOERYO ADIWIBOWO dan SEDIONO M. P. TJONDRONEGORO sebagai Anggota.

Perairan umum lebak lebung (PULL) di Sumatera Selatan (Sumsel) merupakan penghasil ikan air tawar utama bagi kebutuhan masyarakat. Hak usaha penangkapan ikan di PULL ini diatur dengan sistem pelelangan yang dilakukan oleh pemerintah setempat dan telah berlangsung sejak lama, dan dikenal dengan

nama ”lelang lebak lebung”. Namun demikian, pada saat ini kelembagaan tersebut lebih diarahkan untuk meningkatkan Pendapatan Aasli Daerah (PAD) daripada untuk kepentingan masyarakat nelayan. Padahal, di lain pihak, usaha penangkapan ikan di PULL tersebut merupakan sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat nelayan.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan menganalisis efektifitas

kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa

pemerintahan Marga dan masa pemerintahan kabupaten dalam kaitannya dengan akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya perikanan PULL. Kemudian, memahami dan menganalisis terjadinya degradasi kondisi sumberdaya perikanan PULL dan kemiskinan masyarakat nelayan dalam kaitannya dengan perubahan

kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa

pemerintahan Marga dan Kabupaten. Akhirnya, mencari alternatif kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan PULL yang dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi Pemerintah Desa yang pro rakyat, dapat diakses masyarakat nelayan dengan mudah dan murah, serta mampu mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan PULL.

Penelitian ini merupakan penelitian sosiologi dengan bidang kajian kelembagaan, sumberdaya perikanan perairan umum lebak lebung (PULL) dan masyarakat nelayan. Kasus penelitian ini yaitu kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan lelang lebak lebung di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, dan perubahannya sejak awal terbentuk hingga saat dilakukannya penelitian ini. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan yang dipedomani dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan PULL ini adalah Perda No. 9 Tahun 2005 tentang Lelang Lebak Lebung di wilayah Kabupaten OKI, Sumatera Selatan beserta perubahan dan keterkaitannya.

Berdasarkan 8 (delapan) prinsip keberlanjutan kelembagaan, kelembagaan

pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa

pemerintahan Marga masih berada pada kondisi yang efektif jika dibandingkan

(5)

pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan PULL. Di sisi lain, pada tahun penangkapan ikan 2009 dan 2010 kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan pada PULL dibagi dua kategori yaitu ada yang dilelang dan ada perairan yang tidak dilelang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penyempitan akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya perikanan pada masa pemerintahan kabupaten jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Marga. Dalam hal ini, nelayan hanya mendapatkan akses untuk menangkap ikan dari para pengemin (pemenang lelang) dengan harga yang lebih tinggi daripada harga pelelangan. Untuk itu, nelayan akan berusaha menangkap ikan dengan segala daya upaya, menggunakan semua teknik penangkapan ikan yang mereka kuasai untuk memperoleh hasil sebesar-besarnya.

Degradasi sumberdaya perikanan terlihat dengan semakin langkanya beberapa jenis ikan tertentu dan semakin kecilnya ukuran individu ikan dan produktivitas ikan yang berhasil ditangkap oleh masyarakat nelayan. Disamping itu, kemiskinan masyarakat nelayan terlihat dengan besarnya pangsa pengeluaran konsumsi pangan yang mereka keluarkan yang memperlihatkan bahwa rata-rata pangsa pangan masyarakat nelayan adalah sebesar 62,3%, dan ini menunjukkan bahwa masyarakat nelayan masih termasuk kategori miskin.

Adapun bentuk kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan (termasuk dalam mengalokasi dan mengatur pengelolaan) yang diusulkan adalah berupa kelembagaan komunitas nelayan (Kelompok Nelayan) yang tujuan utamanya mengurangi intervensi pemerintah. Pengambilan keputusan pada

Kelompok Nelayan dilakukan dengan cara “musyawarah dan mufakat” dalam

rangka penyusunan konsepsi pengelolaan (termasuk pencadangan areal perlindungan perikanan) dan pengalokasian hak penangkapan ikan pada sumberdaya perikanan.

Secara teoritis, penggunaan teori Ostrom tentang prinsip keberlanjutan

kelembagaan untuk menganalisis efektifitas kelembagaan pengelolaan

sumberdaya perikanan ”lelang lebak lebung” tidak cukup mampu menjelaskan

fakta yang ada di lapangan. Dalam hal ini, harus ditambah dengan penggunaan teori akses dari Ribbot dan Peluso terkait dengan adanya kekuasaan yang dalam hal ini mengatur alokasi sumberdaya perikanan PULL tersebut terhadap masyarakat. Dengan perpaduan dua teori tersebut untuk membedah kelembagaan

pengelolaan sumberdaya perikanan ”lelang lebak lebung” akan tertangkap

bagaimana hubungan kekuasaan yang dimainkan oleh pedagang dalam

pelaksanaan ”lelang lebak lebung”.

(6)

meliputi dua desa atau lebih maka koordinasi antar desa menjadi penting pula. Dengan demikian efektifitas kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan PULL dapat dilakukan dengan menggunakan 8 (delapan) prinsip keberlanjutan kelembagaan yang dikemukakan oleh Ostrom dan teori akses Ribot dan Peluso ditambah dengan dua unsur yang digali dari kelembagaan lokal dan prinsip pengelolaan bersama (ko-manajemen) yaitu partisipasi dan koordinasi.

(7)

@ Hak Cipta Milik IPB Tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(8)

(Studi Kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan)

ZAHRI NASUTION

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Perikanan

“Lelang Lebak Lebung” dan Kemiskinan

Masyarakat Nelayan (Studi Kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan);

N a m a : Zahri Nasution

N R P : I.361060031

Program Studi : Sosiologi Pedesaan (SPD)

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Titik Sumarti, M.S. Ketua

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Prof. Dr. Sediono M. P. Tjondronegoro Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi SPD, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB,

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

1962 sebagai anak sulung dari pasangan ayahanda Bustami Nasution dan ibunda

Mardiah Lubis. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Pembangunan

Pertanian pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas

Jambi, lulus pada tahun 1986. Pada bulan September 1998 diterima untuk

Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor (IPB), dan lulus pada bulan Juni

2000. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Sosiologi

Pedesaan, IPB pada tahun 2006 dan mulai melaksanakan penelitian disertasi pada

bulan Juli-Desember 2009.

Penulis mulai bekerja sebagai peneliti bidang sosial ekonomi pada Sub

Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Palembang pada tahun 1987. Pada tahun

1993 diangkat sebagai pejabat fungsional peneliti dengan tingkat Ajun Peneliti

Madya dan mencapai Peneliti Utama pada tahun 2004. Disamping itu,

berkesempatan menjadi Kepala Loka Penelitian Perikanan Air Tawar Palembang

(sekarang bernama Balai Riset Perikanan Perairan Umum) pada periode tahun

1995-1998. Sejak tahun 2001 pindah ke Pusat Riset Pengolahan Produk dan

Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan

sebagai Ahli Peneliti Madya. Sejak 2006 hingga saat ini sebagai Peneliti Utama

dan Ketua Kelompok Peneliti Sosial dan Kelembagaan pada Balai Besar Riset

Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBRSE KP), Badan Penelitian dan

Pengembangan Kelautan dan Perikanan pada Kementerian Kelautan dan

Perikanan.

Pada tahun 1982 penulis menikah dengan Herlina dan mendapat karunia

dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak laki-laki sulung bernama

Fransisca Octanta Wijaya Nasution, STP. (28 tahun) dan si bungsu Raja Agusta

Wijaya Nasution (10 tahun). Putri kedua adalah Deslina Zahra Nauli, S.Pi. (25

tahun) dan putri ketiga adalah Erni Febriani Nasution (20 tahun). Pada tahun 2011

(11)

selesainya disertasi ini. Disertasi ini merupakan sebagai salah satu syarat untuk

dapat menyelesaikan kegiatan studi pada Program Studi Sosiologi Pedesaan,

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB). Adapun topik penelitian

disertasi ini adalah Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan “Lelang

Lebak Lebung” dan Kemiskinan Masyarakat Nelayan.

Selesainya disertasi ini tidak terlepas dari komisi pembimbing yang telah

memberikan pemahaman dan pengarahan kepada penulis dalam memahami

bagaimana mengkaji sesuatu fenomena dalam bidang sosiologi pedesaan,

termasuk hal-hal penting yang berkaitan dengan metodologi penelitian.

Disamping itu, bimbingan kepada penulis juga diberikan dalam bentuk arahan

penulisan hasil penelitian yang berkaitan dengan penerapan teori dan konsep yang

digunakan dalam penelitian. Penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti, MS selaku ketua komisi

pembimbing; kepada Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS dan Bapak Prof. Dr.

Sediono M. P. Tjondronegoro sebagai anggota komisi pembimbing. Penulis

sangat berhutang budi kepada ibu bapak pembimbing. Bimbingan dan dorongan

beliau membuat saya kuat untuk menyelesaikan studi di sosiologi pedesaan ini.

Semoga Allah memberikan balasan pahala yang setimpal kepada beliau dan

semoga beliau diberi kesehatan dan lindungan-Nya. Amin Ya Robbal Alamin.

Ucapan terima kasih, juga disampaikan pula kepada Ketua Program Studi

Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr. yang telah banyak membantu

memberikan kemudahan selama pelaksanaan studi. Khususnya terkait dengan

disertasi ini, beliau sangat memonitor penulis dan teman-teman lainnya agar dapat

menyelesaikan studi sesuai dengan sisa waktu yang disediakan. Ucapan terima

kasih juga disampaikan pula kepada Bapak. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA dan

Bapak. Dr. Ir. Saharuddin yang telah memberikan masukan dan saran yang

berharga pada saat ujian kualifikasi doktor. Juga, saya ucapkan terima kasih

sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Sonny Koeshendrajana, M.Sc. dan Bapak

Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA yang telah memberikan masukan serta saran yang

(12)

Penulis juga menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

Bapak Kepala Badan Litbang Kelautan dan Perikanan dan Bapak Kepala Balai

Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan yang memberikan

kesempatan dan bantuan selama mengikuti pendidikan ini. Begitu pula kepada

teman sejawat penulis yang telah banyak pula memberikan dorongan dan bantuan

serta doanya; terutama kepada Manadiyanto, Tjahjo Tri Hartono; Bayu Vita Indah

Yanti, Nensyana Shafitri, Andrian Ramadhan; Istiana; dan Radityo Pramoda.

Kepada teman-teman di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ogan

Komering Ilir, tidak lupa saya ucapkan terima kasih atas bantuannya dalam

penyediaan dan pengumpulan data yang penulis perlukan selama studi ini. Juga

kepada Kepala Desa Berkat dan Bapak-bapak nelayan responden di desa Berkat,

Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kab. OKI, terutama kepada Sdr. Alam Taro.

Terima kasih yang sama juga penulis haturkan kepada para informan penulis di

wilayah Kab. OKI yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Kepada ayahanda dan ibunda serta seluruh keluarga; saya mengucapkan

terima kasih yang tak terhingga atas segala doa dan bantuannya. Begitu pula

kepada isteriku Herlina saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas

segala doa dan pengorbanannya dan anakku Fransisca Octanta Wijaya, STP;

Deslina Zahra Nauli, S.Pi.; Erni Febriani Nasution; dan Raja Agusta Wijaya

Nasution; doa mereka lah yang menyertaiku dan menjadikan aku kuat menjalani

studi ini.

Semoga disertasi ini dapat menjadi langkah awal bagi penulis dalam

memberikan kontribusi pada bidang studi yang penulis tekuni, khususnya dalam

pelaksanaan dan penyelesaian penelitian serta penulisan yang dilakukan yang

berkaitan dengan tugas penulis selanjutnya. Saran dan kritik sangat penulis

harapkan guna perbaikan selanjutnya.

Bogor, 5 Januari 2012

(13)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA.

Dr. Ir. Sonny Koeshendrajana, M.Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Andin H. Taryoto

(Dosen Senior pada Sekolah Tinggi Perikanan – Jakarta).

Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, M.Sc. (Kepala Balai Besar Penelitian Sosial

Ekonomi Kelautan dan Perikanan –

(14)

PRAKATA ………... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Kebaruan Penelitian ……… 9

1.6 Ikhtisar ……… 9

II TINJAUAN TEORITIS DAN HIPOTESA ... 11

2.1 Konsep, Fungsi dan Pengembangan Kelembagaan ... 11

2.2 Teori Sumberdaya Alam Milik Bersama ... 14

2.3 Teori Akses ... 18

2.4 Degradasi dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ……... 19

2.5 Ketidaksetaraan Sosial dan Kemiskinan Masyarakat Nelayan 25 2.6 Teori Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Alam …………. 28

2.7 Hasil Penelitian Terdahulu “Lelang Lebak Lebung” ... 31

2.8 Hipotesa …..……… 33

2.9 Ikhtisar ….……….. 33

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 36

3.1 Landasan Filosofis ... 36

3.2 Kerangka Pemikiran ……… 37

3.3 Paradigma, Pendekatan dan Metode Penelitian ... 40

3.4 Lokasi Penelitian dan Unit Analisis ... 43

3.5 Batas Analisis ... 44

3.6 Metode Pengumpulan Data ... 46

3.7 Metode Analisis Data ………... 48

3.8 Batasan Operasional Penelitian ... 49

(15)

IV KONDISI WILAYAH DAN KEBIJAKAN NASIONAL ………… 53

4.1 Kondisi Geografi dan Demografi ... 53

4.2 Kapal Penangkap Ikan dan Areal Pemeliharaan Ikan ………. 56

4.3 Produksi Perikanan ………... 58

4.4 Sumberdaya dan Pengawasan Perikanan ………... 59

4.5 Kelembagaan Penyuluhan Perikanan ………... 62

4.6 Desa Berkat; Gambaran Umum Desa Nelayan ………... 66

4.7 Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ….. 69

4.8 Ikhtisar ………... 73

V. EFEKTIFITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN “LELANG LEBAK LEBUNG”… 77 5.1 Masa Pemerintahan Marga ……….………... 77

5.2 Masa Pemerintahan Kabupaten ………... 81

5.3 Efektifitas Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ………. 86

5.4 Ikhtisar ………..……….. 99

VI. AKSES MASYARAKAT NELAYAN TERHADAP SUMBERDAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG ……… 101 6.1 Akses pada Masa Pemerintahan Marga ……….. 101

6.2 Akses pada Masa Pemerintahan Kabupaten ………... 105

6.3 Penyempitan Akses Masyarakat Nelayan …………... 107

6.4 Ikhtisar ……….………... 110

VII. DEGRADASI KONDISI SUMBERDAYA PERIKANAN PERAIRAN UMUM LEBAK LEBUNG DAN KEMISKINAN MASYARAKAT NELAYAN ………... 112 7.1 Kondisi Sumberdaya Perikanan ………... 112

7.2 Kemiskinan Masyarakat Nelayan ……….. 119

(16)

VIII. ALTERNATIF KELEMBAGAAN ADAPTIF UNTUK

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN PERAIRAN

UMUM LEBAK LEBUNG . ………...

126

8.1 Pembelajaran Dari Sistem Lelang Lebak Lebung ………... 126

8.2 Kelembagaan Adaptif Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ………. 129

8.3 Ikhtisar ……….………... 138

IX. KESIMPULAN DAN SARAN ………..……… 142

9.1 Kesimpulan ………. 142

9.2 S a r a n ……….………... 144

DAFTAR PUSTAKA ………. 146

(17)

No

. Judul Tabel Halaman

1 Konsep dan teori yang digunakan dalam penelitian kelembagaan

pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” dan kemiskinan masyarakat nelayan ………

40

2 Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian kelembagaan

pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” dan

kemiskinan masyarakat nelayan ………

42

3 Sebaran informan pada penelitian kelembagaan pengelolaan

sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” dan kemiskinan

masyarakat nelayan

………...

46

4 Topik data penelitian kelembagaan pengelolaan sumberdaya

perikanan “lelang lebak lebung” dan kemiskinan masyarakat nelayan 47

5 Luas daerah dan jumlah desa atau kelurahan per kecamatan

berdasarkan kecamatan dalam kabupaten Ogan Komering Ilir, Tahun

2008 ………

54

6 Luas daerah, jumlah dan kepadatan penduduk menurut kecamatan

dalamwilayah kabupaten OKI, Tahun 2008 ………..……… 55

7 Jumlah perahu atau kapal penangkap ikan darat di Kabupaten Ogan

Komering Ilir Tahun 2007 ………....……….……… 57

8 Luas areal pemeliharaan ikan di Kab OKI Tahun 2007 ……… 57

9 Produksi perikanan perairan umum dalam Kabupaten Ogan Komering

Ilir, Tahun 2007 ……… 58

10 Jumlah produksi perikanan darat di perairan umum dalam Kabupaten

OKI, Tahun 2007 …..……… 58

11 Produksi perikanan budidaya dalam Kabupaten Ogan Komering Ilir

Tahun 2007 ……… 59

12 Pokok pengaturan pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum lebak lebung berdasarkan masa pemerintahan marga dan kabupaten

87

13 Efektifitas kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum lebak lebung yang dibedakan berdasarkan komponen analisis

pada masa pemerintahan marga dan kabupaten ……..………..

91

14 Analisis akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya perikanan perairan umum lebak lebung berdasarkan 3 (tiga) periode

pemerintahan ……….………

109

15 Harga standar, nilai lelang dan selisih nilai lelang terhadap harga standar menurut kecamatan dalam Kabupaten Ogan Komering Ilir,

Sumatera Selatan ………...

112

16 Pendapat masyarakat nelayan responden tentang kondisi populasi beberapa jenis ikan hasil tangkapan nelayan di perairan umum lebak

lebung di desa Berkat, Kab. OKI, Sumsel ……….………

(18)

Halaman

17 Pendapat masyarakat nelayan responden tentang ukuran rata-rata beberapa jenis ikan hasil tangkapan nelayan di perairan umum lebak

lebung di desa Berkat, Kab. OKI, Sumsel (Ekor per kg) ………..

116

18 Pendapat masyarakat nelayan responden tentang kondisi produksi

ikan pada PULL di desa Berkat, Kab. OKI, Sumsel ……….

116

19 Pendapat masyarakat nelayan responden tentang kondisi ekosistem

perairan umum lebak lebung wilayah desa Berkat, Kab. OKI, Sumsel. 117

20 Perbandingan kondisi ukuran individu ikan di wilayah perairan umum

Sungai Lempuing, Sumatera Selatan ………. 118

21 Perbandingan kondisi produktivitas hasil tangkapan nelayan pada

perairan umum Sungai Lempuing, Sumatera Selatan ………... 118

22 Penerimaan, biaya dan keuntungan usaha nelayan di desa Berkat,

Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan (dalam Rupiah) … 120

23 Rata-rata pangsa pengeluaran konsumsi pangan pada masyarakat nelayan desa Berkat, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera

Selatan Tahun 2009 ………..……….

(19)

No .

Keterangan Gambar Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian kelembagaan sumberdaya perikanan

“lelang lebak lebung” dan kemiskinan masyarakat nelayan …... 39

2 Lokasi penelitian kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan

“lelang lebak lebung” dan kemiskinan nelayan ………. 44

3 Struktur pengorganisasian pengelolaan sumberdaya perikanan

(20)

No .

Teks Lampiran Halaman

1 Salinan Peraturan Desa Berkat No. 01 Tahun 2009 Tentang

(21)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perairan umum sungai dan rawa adalah perairan umum air tawar yang

memiliki ciri spesifik, yang berbeda dengan perairan umum air tawar lainnya.

Perairan umum sungai dan rawa merupakan habitat perairan tawar yang berupa

sungai dan daerah banjirannya yang membentuk satu kesatuan fungsi dan terdiri

dari beberapa tipe ekologi yang dapat dibedakan secara jelas antara musim

kemarau dan musim penghujan (Welcomme, 1979).

Di Sumatera Selatan (Sumsel), secara umum perairan umum sungai dan

rawa dikenal dengan nama perairan umum lebak lebung (PULL). Arifin dan

Ondara (1982) mengemukakan bahwa berdasarkan perbedaan kondisi ekologinya,

PULL dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) tipe ekologi, yaitu tipe sungai

utama, lebak kumpai, talang dan rawang. Keempat tipe ekologi tersebut secara

keseluruhan di Indonesia luasnya mencapai 12,0 juta ha (Sukadi and

Kartamihardja, 1994), dan 65% dari luas totalnya berada di Kalimantan, 23% di

Sumatera, 7,8% di Papua, 3,5% di Sulawesi, dan 0,7% di Jawa, Bali dan Nusa

Tenggara (Sarnita, 1986).

Perairan Umum Lebak Lebung (PULL) di Sumsel merupakan penghasil

ikan air tawar utama bagi kebutuhan masyarakat. Tipe perairan ini terluas terdapat

di Kabupaten Ogan Komering Ilir (Kab. OKI), yaitu sekitar 65% wilayahnya

berupa rawa, payau, lebak, dan sungai. Hak usaha penangkapan ikan di PULL ini

diatur dengan sistem pelelangan yang dilakukan oleh pemerintah setempat dan

telah berlangsung sejak lama, dan dikenal dengan nama ”lelang lebak lebung”.

Kelembagaan ”lelang lebak lebung” ini menjadi penting terutama bertujuan agar tidak terjadi konflik diantara nelayan yang akan melaksanakan usaha penangkapan

ikan (Nasution, 1990), sehingga menjadi wadah pengaturan alokasi hak usaha

penangkapan ikan. Disamping itu, juga berfungsi sebagai sumber Pendapatan Asli

Daerah (PAD).

Terkait dengan ”lelang lebak lebung”, seorang antropolog Inggris yang

bernama Julia Clare Hall mengemukakan bahwa kelembagaan ”lelang lebak

(22)

berkembang menjadi suatu strategi pengelolaan perikanan yang lebih rasional bagi

sumberdaya perikanan PULL (Hall, 1995). Namun demikian pada saat ini

kelembagaan tersebut lebih diarahkan untuk meningkatkan PAD daripada untuk

kepentingan masyarakat nelayan. Sebagai contoh pada tahun 2003 lelang lebak

lebung memberikan kontribusi sebesar Rp.3.526.272.500.- atau sebesar 38,75%

dari total pemasukan PAD Kab. OKI dan ini merupakan sumber PAD terbesar

(Nizar, 2005), dan pada tahun 2006 meningkat menjadi sebesar Rp.

4.623.560.500.- (Diskan Kab. OKI, 2007). Padahal, di lain pihak, usaha

penangkapan ikan di PULL tersebut merupakan sumber mata pencaharian utama

bagi masyarakat nelayan.

Pengelolaan sumberdaya perikanan”lelang lebak lebung” pada awalnya

hingga tahun 1982, dilaksanakan dan diatur oleh pemerintahan Marga yang

dipimpin oleh Kepala Marga (Pasirah), yang sekaligus merupakan pimpinan

administrasi pemerintahan. Setelah tahun 1982, dengan cara lelang yang sama

kewenangannya beralih kepada pemerintahan kabupaten. Hal ini sebagai akibat

diberlakukannya pembentukan desa-desa di seluruh wilayah Indonesia dengan

dasar UU RI No. 5 Tahun 1979, yang di Kabupaten Ogan Komering Ilir,

Sumatera Selatan selesai penataannya pada tahun 1982. Tujuan undang-undang

ini adalah menghapuskan pengertian dan nama satuan pemerintahan terkecil di

wilayah Republik Indonesia yang beraneka ragam, seperti marga (di Lampung,

Sumatera Selatan, Jambi), nagari (di Sumatera Barat), gampong dan mukim (di

Nanggroe Aceh Darussalam) (Soemardjan and Breazeale, 1993).

Pelimpahan kewenangan pengelolaan sumberdaya perikanan ”lelang lebak

lebung” kepada pemerintahan kabupaten di wilayah Propinsi Sumatera Selatan

dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

Sumatera Selatan No.705/KPTS/II/1982 tgl 5 Nopember 1982 (Pemda Tk I Prop.

Sumsel, 1982). Surat Keputusan ini hampir sama isinya dengan Perda

No.8/Perdass/1973/1974 (Pemda Tk I Prop. Sumsel, 1974), kecuali yang

berkaitan dengan penjelasan tentang pembagian hasil lelang, dimana 70% nilai

hasil lelang perairan umum lebak lebung menjadi penerimaan pembangunan

dalam APBD Tingkat II, yaitu sebagai Pendapatan Asli Daerah Tingkat II dari sub

(23)

Disamping itu panitia lelang bukan lagi Pasirah, tetapi diganti dengan Camat

Kepala Wilayah Kecamatan, sedangkan panitia pengawas adalah Bupati Kepala

Daerah Tingkat II Kabupaten, bukan Pasirah (Kepala Marga).

Sebagai tindak lanjut perubahan kewenangan tersebut, Pemerintah Kab.

OKI menetapkan Peraturan Daerah Tingkat II OKI Nomor 3 Tahun 1984 yang

mengatur tentang lelang lebak lebung di wilayah Kab. OKI (Pemda Tk II Kab.

OKI, 1984). Dalam hal ini tidak ada lagi peranan Pasirah karena sistem

pemerintahan Marga diganti Pemerintahan Kecamatan dan Desa. Perda ini telah

mengalami perubahan yaitu diganti dengan Perda No. 28 Tahun 1987 yang pada

prinsipnya terjadi perubahan terkait dengan peruntukan kas Pemda Tingkat II

menjadi Kas Desa namun nilainya sebesar 60%, dimana sebelumnya hanya 15%

(Utomo dan Nasution, 1996). Salah satu implikasi penting adalah

diberlakukannya standar harga objek lelang PULL (dan meningkat 10% tiap

tahun) yang dilelangkan pada setiap tahunnya. Perda ini disempurnakan menjadi

Perda No. 16 tahun 2003 (Pemerintah Kab. OKI, 2003), dan Perda No. 9 Tahun

2005 (Pemerintah Kab. OKI, 2005). Terakhir terjadi perubahan lagi menjadi Perda

No. 9 Tahun 2008 Tentang tentang Pengelolaan Lebak, Lebung, dan Sungai

dalam Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) (Pemerintah Kab.OKI, 2008), yang

berlaku hingga saat dilakukannya penelitian ini.

Di lain pihak, dari peran pemanfaat atau pengguna (user) terlihat bahwa

sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) kelompok pemanfaat yang berbeda terkait

dengan sumberdaya perikanan PULL yang pengelolaannya diatur melalui

kelembagaan “lelang lebak lebung”. Pemanfaat pertama adalah masyarakat

nelayan, yang memanfaatkan sumberdaya perikanan PULL sebagai sumber mata

pencahariannya. Pemanfaat kedua, adalah pemerintah kabupaten yang

menentukan sumberdaya perikanan PULL (melalui kelembagaan “lelang lebak

lebung”) sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dan, kelompok

pemanfaat ketiga adalah masyarakat swasta (pedagang) yang juga mengharapkan

sumberdaya perikanan PULL sebagai sumber perputaran modal yang diharapkan

lebih menguntungkan dari pada bunga bank, jika modal tersebut hanya disimpan

(24)

Lebih lanjut, hasil interaksi ketiga kelompok pemanfaat tersebut diatas

terhadap sumberdaya perikanan PULL akan berkaitan dengan kondisi sumberdaya

perikanan PULL dan juga akan berkaitan dengan kemiskinan masyarakat nelayan.

Hal ini terlihat antara lain dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dengan

diizinkannya warga yang bukan nelayan (pedagang atau pemilik modal) ikut serta

dalam pelelangan, maka hak usaha penangkapan ikan pada sebagian besar objek

lelang di Kab. OKI diperoleh oleh pedagang yang sama sekali tidak berprofesi

sebagai nelayan (Arifin, 1972; Nasution et al, 1992; Sripo, 2002). Selanjutnya,

masyarakat nelayan memperoleh hak usaha penangkapan ikan dari pedagang yang

memenangkan pelelangan sumberdaya perikanan PULL. Hak usaha penangkapan

ikan yang berasal dari pedagang harus dibayar nelayan menggunakan ikan hasil

tangkapannya hingga lunas. Pada kondisi demikian, ternyata, walaupun nilai ikan

hasil tangkapan yang diperoleh masyarakat nelayan cukup tinggi, namun

masyarakat nelayan menjadi miskin dengan rendahnya pendapatan mereka yang

berasal dari ikan hasil tangkapan (Nasution dan Dharyati, 1999; Sripo, 2002).

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka beberapa

pertanyaan penelitian yang utama adalah “bagaimana efektifitas kelembagaan

pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” yang ada di masa pemerintahan Marga dan masa pemerintahan kabupaten, serta bagaimana

dampaknya pada akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya perikanan

perairan umum lebak lebung?. Kemudian, apakah perubahan kelembagaan

tersebut mengakibatkan terjadinya degradasi kondisi sumberdaya perikanan

perairan umum lebak lebung dan mengakibatkan pula terjadinya kemiskinan

masyarakat nelayan”?. Dengan dasar pertanyaan tersebut, maka kelembagaan

pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” menjadi penting untuk

diteliti dan dikaji dalam rangka mencari alternatif kelembagaan adaptif dalam

kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan PULL

yang dapat mendukung upaya kelestarian sumber daya perikanan dan

(25)

1.2 Perumusan Masalah

Dalam rangka memudahkan pengelolaan perairan umum air tawar untuk

pembangunan perikanan, perairan mengalir dapat dibagi menjadi perairan sungai,

rawa, lebak, kanal, estuaria, danau dan waduk (Ilyas et al., 1990). Perairan umum

tersebut dapat dipengaruhi oleh aktivitas manusia, antara lain berupa kegiatan

pertanian, perkebunan dan lain-lain; penebangan kayu dan pengusahaan hutan;

bercocok tanam dan pemukiman. Termasuk pula pengaruh kegiatan penangkapan

ikan itu sendiri yang dilakukan menggunakan berbagai macam alat dan cara

penangkapan (Saanin, 1982). Untuk itu, pemanfaatan perairan umum untuk

keperluan di luar perikanan, seharusnya mempertimbangkan kepentingan

perikanan, karena meskipun perikanan tidak mengkonsumsi air, tetapi

memerlukan kualitas dan kuantitas air tertentu (Ilyas et al., 1990) untuk

mendukung kehidupan ikan, organisme akuatik lainnya, dan tumbuhan tingkat

tinggi di PULL (Welcomme, 1983).

Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan umum

memerlukan beberapa tindakan ke arah pengelolaan mulai dari pengelolaan

lingkungan perairan, pengelolaan langsung perikanan dan pengelolaan tak

langsung (Welcomme, 1985). Namun kesemuanya ini tergantung kepada kemauan

politik pemerintah, karena “politics is the science and art of the government

(Dingell, 1972), yang menjadi dasar penetapan prioritas dan penerapannya.

Padahal, pemanfaatan perairan umum (termasuk sumberdaya perikanan PULL)

secara bersama harus menguntungkan semua pengguna, sehingga memerlukan

suatu usaha yang terpadu (integral) yang bertujuan mempertahankan dan/atau

memperbaiki agar struktur dan fungsi ekosistem secara menyeluruh tetap dapat

dipertahankan (NRC, 1992). Tambahan pula, dengan pengelolaan yang ada,

secara implisit harus telah memasukkan prinsip adanya manfaat sosial dan

ekonomi sumberdaya perikanan perairan umum tersebut (Pitcher and Hart, 1982).

Oleh karena itu, diharapkan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan

”lelang lebak lebung” dapat mencapai tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan

secara optimal bagi semua pengguna, dengan tetap mempertimbangkan

(26)

Pada perkembangannya, kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan

“lelang lebak lebung” menerapkan sistem lelang yang diadakan setiap tahun oleh pemerintah kabupaten, sistem ini memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan

tersebut antara lain adalah diizinkannya warga yang bukan nelayan ikut serta

dalam pelelangan (Arifin, 1972; Zain, 1982; Nasution et al., 1992). Hal ini

menyebabkan hak usaha penangkapan ikan pada sebagian besar perairan di Kab.

OKI diperoleh pedagang (bukan nelayan) (Arifin, 1972; Nasution et al, 1992;

Sripo, 2002). Selanjutnya, masyarakat nelayan memperoleh hak usaha

penangkapan ikan dari pedagang yang memenangkan pelelangan hak usaha

penangkapan ikan atau hak untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan PULL.

Pada prakteknya, hak usaha penangkapan ikan yang berasal dari pedagang

harus dibayar nelayan menggunakan ikan hasil tangkapannya hingga lunas. Pada

kondisi tersebut, ternyata, walaupun nilai ikan hasil tangkapan yang diperoleh

masyarakat nelayan cukup tinggi, namun pendapatan mereka masih tetap saja

rendah (Nasution dan Dharyati, 1999; Sripo, 2002). Hal ini antara lain sebagai

akibat tingginya harga hak usaha penangkapan ikan yang harus dibayar oleh

nelayan terhadap pedagang. Padahal, menangkap ikan atau menjadi nelayan

dengan memanfaatkan sumberdaya perikanan PULL di wilayah Kab. OKI ini,

merupakan pekerjaan sebagian terbesar masyarakat yang sudah berlangsung sejak

lama, sehingga menjadi ”way of life” bagi mereka. Oleh karena itu, perubahan

kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan ”lelang lebak lebung” diduga

mengakibatkan terjadinya degradasi sumberdaya perikanan, dan mengakibatkan

kemiskinan masyarakat nelayan.

Sebagai contoh, keberadaan kelembagaan lelang lebak lebung saat ini

mengakibatkan masyarakat nelayan harus membayar biaya hak usaha

penangkapan ikan secara tunai pada awal tahun menjadi semakin meningkat dari

tahun ke tahun (Nasution et al, 1995). Pemerintah dalam hal ini, dapat saja

menginginkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui pemanfaatan

sumberdaya alam dan lingkungan semaksimum mungkin, yang dalam

pelaksanaannya banyak mengakibatkan kerusakan sumberdaya dan permasalahan

lingkungan (Woodhouse, 1972; Little, 2000). Oleh karena itu, berdasarkan

(27)

rumusan masalah pokok yang terkait dengan kelembagaan pengelolaan

sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” yaitu;

a) Perubahan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak

lebung” dari masa pemerintahan Marga ke masa pemerintahan Kabupaten, diduga tidak efektif dalam pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan

sumberdaya perikanan perairan umum lebak lebung, sehingga diduga

mengakibatkan semakin sempitnya akses masyarakat nelayan terhadap

sumberdaya perikanan PULL.

b) Perubahan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak

lebung”, dari masa pemerintahan Marga ke masa pemerintahan Kabupaten, di duga mengakibatkan terjadinya degradasi kondisi sumberdaya perikanan

PULL dan mengakibatkan terjadinya kemiskinan masyarakat nelayan.

c) Perlu dirumuskan alternatif kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan

PULL yang dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi Pemerintah Desa

yang pro rakyat, dapat diakses masyarakat nelayan dengan mudah dan murah,

serta mampu mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan PULL.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis kelembagaan pengelolaan

sumberdaya perikanan “lelang1 lebak lebung” dan keterkaitannya terhadap akses

masyarakat nelayan terhadap sumberdaya perikanan PULL, degradasi kondisi

sumberdaya perikanan PULL dan kemiskinan masyarakat nelayan PULL. Secara

rinci tujuan penelitian ini adalah;

a) Mengidentifikasi dan menganalisis efektifitas kelembagaan pengelolaan

sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa pemerintahan Marga

dan masa pemerintahan kabupaten dalam kaitannya dengan akses masyarakat

nelayan terhadap sumberdaya perikanan PULL.

1

(28)

b) Memahami dan menganalisis terjadinya degradasi kondisi sumberdaya

perikanan PULL dan kemiskinan masyarakat nelayan dalam kaitannya

dengan perubahan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa pemerintahan Marga dan Kabupaten.

c) Mencari alternatif kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan PULL

yang dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi Pemerintah Desa yang pro

rakyat, dapat diakses masyarakat nelayan dengan mudah dan murah, serta

mampu mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan PULL.

1.4Manfaat Penelitian

Pengetahuan berbagai aspek kelembagaan pengelolaan sumberdaya

perikanan “lelang lebak lebung” dan kaitannya dengan akses masyarakat nelayan, kondisi sumberdaya perikanan PULL, kemiskinan masyarakat nelayan,

diharapkan dapat memberikan manfaat dalam perumusan kebijakan pengelolaan

sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung”. Rumusan tersebut diharapkan telah

sesuai terhadap kondisi sumberdaya perikanan PULL dan kondisi masyarakat

nelayan saat ini. Rumusan tersebut telah pula didasarkan pada kajian ilmiah dalam

suatu kerangka teoritis dan empiris di lapangan. Dalam hal ini, manfaat utama

adalah menyediakan hak penangkapan ikan bagi masyarakat nelayan, sehingga

nelayan memperoleh pendapatan yang layak dari penangkapan ikan yang mereka

lakukan terhadap sumberdaya perikanan PULL.

Bagi pemerintah daerah Kab. OKI Propinsi Sumatera Selatan, diharapkan

bermanfaat dalam penyediaan rumusan alternatif perbaikan atau penguatan

kelembagaan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak

lebung” yang diharapkan dapat mendukung keberlanjutan sumberdaya perikanan PULL dan keberlanjutan usaha masyarakat nelayan. Bagi pemerintah, diharapkan

dapat bermanfaat sebagai pertimbangan yang mendasar dalam pembuatan

pedoman umum yang terkait dengan penguatan kelembagaan pemanfaatan dan

pengelolaan sumberdaya perikanan PULL di wilayah lainnya di Indonesia, yang

memiliki tipe ekosistem yang sama dengan wilayah penelitian. Dalam hal ini,

(29)

perikanan itu sendiri, baik sebagai sumber pendapatan masyarakat nelayan

maupun sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah.

1.5Kebaruan Penelitian (Novelty)

Pada penelitian ini diperlihatkan bagaimana akses dan kontrol masyarakat

nelayan untuk dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan PULL, hingga saat ini

di Indonesia belum pernah diungkapkan bagaimana kaitan hal tersebut dengan

kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung”, yang

secara langsung maupun tidak langsung merupakan faktor utama yang

mempengaruhinya. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa kelembagaan

pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” mengakibatkan

terjadinya degradasi kondisi sumberdaya perikanan PULL dan secara bersamaan

juga mengakibatkan terjadinya kemiskinan masyarakat nelayan PULL. Pada

akhirnya ditunjukkan bahwa dalam kelembagaan pengelolaan sumber daya

perikanan PULL yang dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi Pemerintah

Desa yang pro rakyat, sehingga masyarakat nelayan dapat mengakses sumberdaya

perikanan dengan mudah dan murah, serta kelembagaan tersebut juga diharapkan

mampu mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan PULL.

1.6 Ikhtisar

Perairan umum lebak lebung (PULL) di Sumatera Selatan (Sumsel)

merupakan penghasil ikan air tawar utama bagi kebutuhan masyarakat, khususnya

di Kabupaten Ogan Komering Ilir (Kab. OKI), dengan 65% wilayahnya berupa

sungai, rawa, dan lebak. Hak usaha penangkapan ikan di PULL ini diatur dengan

sistem pelelangan yang dilakukan oleh pemerintah setempat dan telah berlangsung

sejak lama, dan dikenal dengan nama ”lelang lebak lebung”. Pada saat ini

kelembagaan tersebut lebih diarahkan untuk meningkatkan PAD daripada untuk

kepentingan masyarakat nelayan. Padahal, di lain pihak, usaha penangkapan ikan

di PULL tersebut merupakan sumber pencaharian utama bagi masyarakat nelayan.

Pelimpahan kewenangan pengelolaan sumberdaya perikanan lelang lebak

lebung kepada pemerintahan kabupaten di wilayah Propinsi Sumatera Selatan

(30)

Selatan No.705/KPTS/II/1982 tgl 5 Nopember 1982. Untuk menindaklanjuti

perubahan kewenangan tersebut, Pemerintah Kab. OKI menetapkan Peraturan

Daerah Kabupaten OKI yang mengatur tentang ”lelang lebak lebung” di wilayah

Kab. OKI.

Penelitian ini bertujuan menganalisis efektifitas kelembagaan pengelolaan

sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” dan kaitannya terhadap akses

masyarakat nelayan terhadap sumberdaya perikanan PULL, kondisi sumberdaya

perikanan PULL, dan kemiskinan masyarakat nelayan. Akhirnya mencari

alternatif kelembagaan yang adaptif, sehingga mampu mempertahankan

kelestarian sumber daya perikanan PULL. Dengan pengetahuan berbagai aspek

kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan “lelang lebak lebung” dan

kaitannya dengan akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya perikanan

PULL, degradasi kondisi sumberdaya perikanan PULL, serta kemiskinan

masyarakat nelayan, diharapkan dapat memberikan manfaat dalam perumusan

(31)

II. TINJAUAN TEORITIS DAN HIPOTESA

2.1 Konsep, Fungsi dan Pengembangan Kelembagaan

Istilah kelembagaan merupakan terjemahan dari kata institution yang

terdapat dalam setiap kehidupan masyarakat, baik pada masyarakat yang masih

memegang nilai-nilai budaya atau pada masyarakat yang sudah modern (Soekanto,

2003). Kelembagaan dapat pula diistilahkan dengan lembaga kemasyarakatan atau

lembaga sosial, yang memiliki makna sebagai suatu bentuk yang abstrak dengan

norma dan aturan-aturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut. Kemudian,

kelembagaan dapat pula diartikan sebagai pranata sosial, yaitu suatu sistem tata

kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas manusia untuk memenuhi

kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat,

1997). Sistem tata kelakuan ini diwujudkan dalam sejumlah peranan dan sistem

nilai yang mengatur hubungan antar manusia. Hal ini sejalan dengan prinsip

bahwa disamping tanggung jawab (kewajiban) harus pula diimbangi dengan

hak-hak (Schmid, 1972), termasuk pula bahwa dalam suatu koordinasi kelembagaan

perlu suatu aturan permainan (Braun and Feldbrugge, 1998).

Kelembagaan dapat merupakan konsep yang meliputi keseluruhan tingkat

baik secara lokal atau tingkat masyarakat, unit pengelola proyek, badan-badan

pemerintah dan sebagainya (Israel, 1987). Dalam kelembagaan, perencanaan

secara umum termasuk penggambaran tujuan dan metoda perencanaan dalam

rangka pemilihan alternatif untuk mencapai suatu tujuan khusus (Martin, 1971).

Dalam hal ini, difusi informasi yang paling umum dan disetujui adalah informasi

yang dihasilkan dari penelitian (McDermott, 1971). Hal ini sesuai dengan

pengertian bahwa kerangka kerja secara konsepsi, kelembagaan dapat

digambarkan melalui teori sistem, teori kontingensi dan ekonomi secara politik

(Breinkerhoff et al., 1990). Kelembagaan juga merupakan konsep yang digunakan

manusia dalam kondisi yang berulang yang diorganisasi oleh aturan (rules), norma

(norms) dan strategi-strategi (strategies) (Ostrom, 1999).

Scott (2008) menambahkan pula bahwa kelembagaan merupakan hasil

interaksi dan perpaduan dari tiga elemen yang berkaitan dengan pengaturan,

(32)

kegiatan atau aktivitas dan sumber daya, yang memberikan kestabilan dan makna

terhadap kehidupan sosial. Hal ini berkesesuaian dengan fungsi kelembagaan

sebagai sesuatu yang memberi pedoman berperilaku kepada

individu-individu/masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di

dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama yang terkait

dengan kebutuhan-kebutuhan mereka. Oleh karena itu, kelembagaan berfungsi

menjaga keutuhan masyarakat dengan adanya pedoman yang dapat diterima secara

bersama. Kelembagaan juga berfungsi memberikan pegangan kepada masyarakat

untuk mengadakan kontrol sosial (social control), sehingga ada suatu sistem

pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. Akhirnya, fungsi yang

utama adalah memenuhi kebutuhan pokok manusia atau masyarakat.

Pengembangan kelembagaan (institutional development) dapat diartikan

sebagai pembinaan kelembagaan, dan didefinisikan sebagai proses untuk

memperbaiki kemampuan lembaga guna mengefektifkan penggunaan sumber

daya manusia dan sumber dana yang tersedia. Proses ini secara internal dapat

digerakkan oleh manajer sebuah lembaga atau dicampurtangani dan dipromosikan

oleh pemerintah atau badan-badan pembangunan.

Terkait dengan pengembangan kelembagaan, kelembagaan dapat

meningkatkan pertumbuhan ekonomi sepanjang dalam fungsinya memungkinkan

adanya pembagian kerja secara seimbang, peningkatan pendapatan, perluasan

usaha dan kebebasan untuk memperoleh peluang ekonomi. Terkait dengan hal ini,

Agrawal (2002) dalam Smajgl dan Larson (2006) mengemukakan bahwa

kelembagaan harus dianalisis sesuai dengan konteksnya, karena dengan aturan

yang sama dapat saja mengakibatkan suatu dampak yang berbeda jika dilihat

dalam konteks yang berbeda. Sebaliknya, dikemukakan pula, perubahan konteks

dapat mengakibatkan suatu dampak yang berbeda, bahkan untuk suatu

kelembagaan yang sudah berperan dalam jangka waktu yang panjang sekalipun.

Dalam kelembagaan termasuk bertujuan mempertimbangkan politik secara

khusus, legal, yang dipengaruhi dinamika pertumbuhan ekonomi, dan evolusi

kelembagaan merupakan suatu proses yang tiada akhir (never ending process)

(Blase, 1971). Namun demikian, suatu hal yang perlu dibedakan adalah, jika

(33)

adalah pemainnya (Braun dan Feldbrugge, 1998). Untuk itu, tingkatan aktivitas

dan pengambilan keputusan dapat dimulai pada tingkat internasional, nasional,

regional (negara atau propinsi), kabupaten (district), kecamatan (sub district),

tingkatan lokal, tingkat komunitas, tingkatan kelompok (group), rumah tangga dan

tingkat individu (Uphoff, 1986). Kemudian, dijelaskan pula bahwa pengertian

kelembagaan lokal dalam hal ini adalah kelembagaan yang sering disamakan

dengan tingkatan masyarakat (community level), yang terkait dengan tingkatan

aktivitas dan pengambilan keputusan.

Dalam konteks sumber daya alam, kelembagaan dapat bermakna

bagaimana manusia mengelola akses terhadap sumber daya dan pemanfaatannya

dan merupakan titik penting dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut

(Smajgl and Larson, 2006). Lembaga-lembaga lokal mencakup lembaga

pemerintah (sektor publik) maupun lembaga swasta (private sector), yang

aktivitasnya dihubungkan oleh intermediate sector, seperti organisasi-organisasi

kemasyarakatan (Uphoff, 1986). Terkait dengan kelembagaan lokal ini, Esman

dan Uphoff mengemukakan bahwa terdapat enam kategori utama lembaga lokal,

yaitu a). local administration atau LA, b). local government atau LG, c).

membership organizations atau MOs, d). Cooperatives atau CO-ops, e). service

organization atau SOs, dan f). private bussinesses atau PBs (dalam Uphoff,

1986).

Adapun yang dimaksud dengan local adminsitration adalah

instansi-instansi di daerah yang merupakan aparat departemen pemerintah pusat, yang

bertanggung jawab kepada atasan langsungnya (accountable to bureaucratic

superiors). Sementara local government adalah badan-badan perwakilan atau yang

disetujui yang memiliki kewenangan untuk menangani tugas-tugas pembangunan

dan pengaturan, yang bertanggungjawab kepada pemerintah daerah (accountable

to local residents).

Membership organization, merupakan local self-help associations yang

anggota-anggotanya mungkin menangani berbagai macam tugas, tugas-tugas

khusus, dan kebutuhan-kebutuhan anggota. Lembaga lokal yang menangani

berbagai macam tugas seperti perkumpulan pembangunan daerah atau komite

(34)

lembaga lokal yang menangani tugas khusus misalnya perkumpulan pemakai air

atau P3A, komite kesehatan desa seperti Posyandu, Dasa Wisma dan lain-lain.

Lembaga yang menangani kebutuhan anggota yang memiliki karakteristik atau

kepentingan yang sama, dapat saja berupa kelompok arisan, perkumpulan

pengajian, persatuan penyewa, dan sebagainya.

Di lain pihak, cooperatives adalah semacam organisasi lokal yang

menyatukan sumber daya ekonomi anggota-anggotanya untuk memperoleh

keuntungan, seperti koperasi pasar dan koperasi kredit. Sementara service

organization adalah organisasi lokal yang dibentuk terutama untuk memberikan

bantuan kepada orang-orang yang bukan anggota, seperti lembaga-lembaga

pelayanan, palang merah, dan sebagainya. Dan, private bussinesses, adalah

cabang-cabang atau kelompok pelaksana independen dari perusahaan ekstra-lokal

yang bergerak di sektor pabrik, jasa ataupun perdagangan.

Masing-masing kategori lembaga atau organisasi lokal yang telah

dikemukakan memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri, khususnya dalam

mendukung pelaksanaan pembangunan di pedesaan (Wibowo, 1993).

Keseluruhan organisasi tersebut merupakan kontinum yang merentang dari sektor

publik hingga sektor swasta dengan urutan LA, LG, MOs, CO-ops, SOs dan PBs.

Kemudian, dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam,

lembaga-lembaga lokal yang mana yang efektif dan berkelanjutan bagi pengelolaan sumber

daya alam tergantung dari beberapa hal, antara lain; (a). Sifat sumber daya yang

hendak dikelola, dan (b). Komposisi masyarakat pengguna sumber daya tersebut,

khususnya mengenai apakah mereka dapat diidentifikasikan (identifiable

community). Menurut Uphoff (1986), pada tingkat tertentu dimana sumber daya

dan penggunanya “dapat dibatasi” (dalam arti dapat diidentifikasi dan jelas batasannya), maka tugas-tugas pengelolaan akan lebih mudah dan lebih dapat

dipertanggungjawabkan jika dikerjakan oleh lembaga lokal.

2.2 Teori Sumber daya Alam Milik Bersama

Menurut Hardin (1968), sumber daya alam milik bersama yang aksesnya

bebas dan tidak diatur akan berakhir dengan terjadinya tragedi bagi semua warga

(35)

mengeksploitasi sumber daya alam tersebut hingga semaksimal mungkin,

sehingga akhirnya terjadi kerusakan yang mengakibatkan terjadinya tragedi

tersebut. Hardin mencontohkan pemanfaatan suatu padang penggembalaan ternak

yang luasannya terbatas dimanfaatkan secara terbuka untuk siapa saja. Dalam hal

ini, setiap penggembala akan berusaha untuk memaksimumkan pemanfaatan

padang penggembalaan tersebut bagi ternak yang dimilikinya. Dengan kondisi

demikian, selama pemanfaatan yang dilaksanakan masih berada dibawah ambang

batas daya dukung padang penggembalaan, maka tidak terdapat permasalahan

pakan bagi semua ternak yang ada. Namun, ketika jumlah ternak yang

digembalakan di padang rumput tersebut meningkat dan melampaui ambang batas

daya dukung padang penggembalaan, maka mulai ada permasalahan perebutan

sumber pakan yang berakhir pada tragedi ketidakseimbangan antara pakan dan

jumlah ternak yang ada, hingga akhirnya terjadi yang dimaksudkan dengan

tragedy of the common”. Dalam hal ini, prinsipnya, bagi Hardin, sumber daya bersama yang aksesnya bebas tanpa aturan hanya dapat dibenarkan dalam kondisi

kepadatan penduduk yang rendah. Dalam perkembangannya, jika terjadi

pertambahan penduduk, maka kebebasan dalam mengakses dan menggunakan

sumber daya bersama tidak dapat digunakan sebagai prinsip pemanfaatan sumber

daya milik bersama tersebut. Dikemukakan pula selanjutnya oleh Hardin (1968)

bahwa untuk mencegah sumber daya berkembang menjadi sumber daya bersama

dalam artian bebas akses tanpa aturan, dibutuhkan pengaturan sosial yang bersifat

memaksa, yang dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab. Pengertian memaksa

(coercion) yang dimaksudkan adalah „mutual coercion‟ yaitu pengaturan yang disepakati bersama oleh sebagian besar penduduk yang memanfaatkan sumber

daya tersebut.

Solusi kebijakan untuk mencegah terjadinya “tragedy of the commons”

yang ditawarkan G.Hardin adalah dengan mengalihkan status „bebas akses‟ dari

sumber daya bersama menjadi „private property.‟ Dalam hal ini, privatisasi akan

menginternalisasi biaya yang timbul dari akibat perilaku pemanfaatan sumber

daya tersebut, mengurangi ketidakpastian, dan dengan demikian meningkatkan

tanggung jawab individual atas sumber daya yang digunakannya. Alternatif

(36)

bersama sebagai „public property‟, tetapi diikuti dengan pengaturan alokasi hak untuk mengaksesnya. Pengaturan pengalokasian hak untuk mengakses tersebut

dapat saja didasarkan atas sistem lelang, penghargaan atas prestasi, sistem

undian, atau dengan menggunakan prinsip siapa yang datang terlebih dulu, maka

merekalah yang memiliki hak akses.

Menurut Ostrom (1990), tesis “the tragedy of the commons” Hardin

kurang memperhitungkan kemampuan orang untuk bekerjasama dalam berbagai

situasi sumber daya bersama. Kemudian, solusi pencegahannya dibatasi pada

argumen bagi peran yang lebih besar/kuat dari pemerintah dalam menangani

masalah-masalah kependudukan, kemasyarakatan dan lingkungan. Argumen

tersebut juga mengabaikan keberadaan dan potensi pengaturan dan pengelolaan

sumber daya bersama oleh kelompok atau komunitas setempat pengguna sumber

daya tersebut. Juga mengabaikan bukti-bukti empirik tentang keberadaan dan

peranan kelembagaan/institusi sosial yang ditumbuh-kembangkan oleh komunitas

atau kelompok masyarakat dalam rangka mengatur dan mengawasi penggunaan

sumber daya bersama, termasuk hubungan-hubungan sosial yang terkait dengan

penggunaan sumber daya tersebut.

Solusi kebijakan dilema sumber daya bersama berupa intervensi

pemerintah atau privatisasi, dapat melemahkan, bahkan menghancurkan

keberadaan dan peranan kelembagaan/institusi sosial komunitas pengguna sumber

daya yang bersangkutan yang telah terbukti efektif dalam mengendalikan

pemanfaatan sumber daya secara bijaksana dan berkelanjutan dalam periode

waktu yang relatif lama. Oleh karena itu, konsepsi sumber daya bersama sebagai

sumber daya bebas akses tanpa aturan maupun sumber daya yang diatur

komunitas masih relevan untuk memahami berbagai gejala penggunaan dan

penyalahgunaan sumber daya alam, sepanjang penerapan masing-masing konsepsi

tersebut memperhitungkan konteks sosial ekonomi politik dan ekologi dari gejala

yang bersangkutan.

Secara khusus, terkait dengan sumber daya alam milik bersama (

common-pool resources), Ostrom (1990) dalam Ostrom (1999) mengemukakan bahwa

(37)

harus dirancang agar kelembagaan tersebut dapat berlangsung secara

berkesinambungan. Prinsip-prinsip tersebut adalah (Ostrom, 2008);

(1) Prinsip batas yang dapat ditentukan dengan jelas untuk dapat menentukan

kepemilikan seseorang atau rumah tangga terhadap sumber daya tersebut;

dalam hal ini, termasuk pengaturan bagaimana mengakses sumber daya,

aturan penangkapan (panen), pengelolaan, dampak, kerjasama, serta

partisipasi, sehingga tidak mengalami kelebihan tangkap. Termasuk

didalamnya batas-batas sumber daya secara fisik agar tidak ada menjadi

“free rider”.

(2) Distribusi manfaat dari aturan yang tepat guna proporsional dengan

pembiayaannya; kemudian aturan yang tepat guna juga terkait dengan

pengaturan yang terkait waktu penangkapan, tempat penangkapan, teknologi

penangkapan, dan kuantitas unit sumber daya yang ditangkap terkait dengan

kondisi lokal. Dengan demikian akan terjadi pemanfaatan sumber daya yang

adil dan berkelanjutan.

(3) Pengaturan pilihan-kolektif, yaitu hampir semua individu dipengaruhi oleh

aturan operasional dalam kaitannya dengan rezim pemanfaatan sumber daya

yang dapat merubah partisipasinya dalam pelaksanaan pengaturan secara

konsisten;

(4) Adanya kegiatan yang bersifat memonitor kondisi sumber daya dan perilaku

penggunanya yang akuntabel. Dengan demikian diharapkan pelanggaran

terhadap pengaturan-pengaturan akan selalu menurun, sehingga kondisi

sumber daya tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

(5) Pemberian sanksi kepada pengguna yang melanggar aturan yang diterapkan

sesuai dengan tingkatan kesalahan dan konsteks kejadian pengguna tersebut

dari petugas yang akuntabel atau dari pengguna lainnya atau keduanya. Hal

ini terutama dilakukan terhadap masyarakat yang melakukan penangkapan

ikan secara illegal.

(6) Ada mekanisme penyelesaian konflik diantara pengguna dan antara

pengguna dan petugas yang dapat diakses secara cepat, biaya rendah dan

(38)

dipahami secara sama untuk setiap anggota masyarakat sehingga konflik

yang terjadi dapat diminimalkan atau dapat diturunkan.

(7) Ada pengorganisasian hak kepemilikan yang diakui oleh para pengguna dan

kelembagaannya tidak dapat dikuasai atau dicampurtangani oleh

pemerintah. Dalam hal ini akan mempengaruhi biaya transaksi yang

meningkat jika adanya pengorganisasian yang diatur oleh selain pemerintah

lokal.

(8) Jaringan usaha yang secara prinsip merupakan kegiatan pemerintah yang

dikelola pada berbagai tingkatan usaha. Dalam hal ini beberapa unit usaha

yang kecil agar tetap dapat dipertahankan menggunakan kelembagaan yang

ada, meskipun tetap dapat berhubungan dengan suatu kelembagaan yang

lebih luas cakupannya.

2.3 Teori Akses

Akses dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memperoleh

keuntungan dari sesuatu (ability to drive benefits from things) (Ribot dan Peluso,

2003), termasuk diantaranya dari objek material, orang lain, lembaga, dan simbol.

Akses dapat pula bermakna sebagai kemampuan dan karenanya, permasalahan

akses dapat dilihat dalam tatanan hubungan sosial yang lebih luas (bundle of

powers) yang mengakibatkan seseorang mampu memperoleh keuntungan dari

sumber daya tanpa mengindahkan ada tidaknya hubungan hak menguasai (bundle

of rights). Konsep akses seperti ini memfasilitasi analisis secara mendasar

mengenai siapa yang memanfaatkan (dan tidak memanfaatkan) sesuatu, dengan

cara seperti apa, dan kapan (dalam situasi seperti apa), termasuk perolehan tidak

syah (illegal access) (Ribot dan Peluso, 2003).

Analisis akses adalah suatu proses untuk mengidentifikasi dan memetakan

mekanisme perolehan, pemeliharaan, dan pengendalian akses. Oleh karena itu,

proses analisis akses meliputi:

a) identifikasi dan pemetaan alur keuntungan dari kepentingan masing-masing

aktor;

b) identifikasi mekanisme masing-masing aktor yang meliputi perolehan,

(39)

c) analisis hubungan kekuasaan yang mendasari mekanisme akses yang

melibatkan institusi-institusi dimana keuntungan diperoleh.

Dengan demikian analisis akses dapat digunakan untuk menganalisis

bagaimana sumber daya tertentu dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk

memperoleh pemahaman mengenai bagaimana akses tersebut dapat menjadi

sarana aktor yang berbeda-beda untuk memperoleh atau kehilangan keuntungan

dari sumber daya, baik yang tangible maupun intangible. Analisis akses juga

dapat digunakan untuk menganalisis kebijakan lingkungan tertentu yang membuat

peran aktor mampu atau tidak mampu memperoleh, memelihara, atau

mengendalikan akses sumber daya atau dinamika mikro dari siapa yang

mendapatkan keuntungan dari sumber daya serta bagaimana caranya. Keuntungan

untuk memperoleh sumber daya ditengahi dengan adanya pembatas-pembatas

yang telah ditetapkan dalam konteks politik ekonomi dan kerangka budaya saat

pencarian akses berlangsung. Hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai

“mekanisme akses struktural dan saling berhubungan” (structural dan relational mechanism of access). Terdapat beberapa mekanisme akses sumber daya berbasis

hak yaitu akses teknologi, kapital/modal dan lain-lain.

Dengan dasar bahwa kebanyakan sumber daya hanya dapat diekstraksi

dengan menggunakan teknologi, maka mereka yang memiliki akses terhadap

teknologi yang lebih tinggi akan memperoleh keuntungan yang lebih banyak

dibandingkan dengan yang tidak memiliki. Sementara, akses modal sering juga

disebut sebagai akses terhadap kekayaan dalam bentuk keuangan dan peralatan

(termasuk juga teknologi) yang dapat digunakan dalam proses ekstraksi, produksi,

konversi, mobilisasi buruh, dan proses lain yang sejalan dengan pengambilan

keuntungan dari sesuatu atau orang lain. Akses kapital/modal dapat digunakan

untuk mengendalikan atau memelihara akses sumber daya.

2.4 Degradasi dan Pengelolaan Sumber daya Perikanan

Tujuan pengelolaan sumber daya ikan di lndonesia adalah untuk mencapai

kondisi pemanfaatan sumber daya ikan secara berkelanjutan (sustainable) bagi

kesejahteraan seluruh masyarakat, yang sekaligus mencegah terjadinya degradasi

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Kelembagaan Pengelolaan
Gambar 2. Lokasi Penelitian Kelembagaan Pengelolaan Sumber daya Perikanan
Tabel 3. Sebaran informan pada penelitian kelembagaan pengelolaan sumber daya
Tabel 4. Topik Data Penelitian Kelembagaan Pengelolaan Sumber daya Perikanan
+7

Referensi

Dokumen terkait