• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

E 3 Ketinggian pohon 6-12 meter

E4 = Ketinggian pohon > 12 meter

+ = Nilai Kesulitan - = Nilai Kemudahan

Dari Tabel 8 dapat dilihat faktor kesulitan topografi untuk flat sebesar 0.00 sementara rolling sebesar 0.31. Angka ini menunjukkan verifikasi tandan lebih mudah dilakukan pada topografi flat dibandingkan dengan rolling. karena bentuk topografi flat yang datar sementara pada topografi rolling memiliki bentuk seperti bukit dengan kemiringan yang cukup tinggi. Hal ini yang menyebabkan waktu mengidentifikasi tandan matang (Ve) pada rolling lebih sulit daripada flat dikarenakan selain memerhatikan pohon yang akan dipanen. pekerja pun memerhatikan kondisi topografi rolling yang miring.

Faktor kesulitan ketinggian pohon dari Tabel 8 dapat dilihat untuk variasi ketinggian pohon kurang dari 3 meter (E1). ketinggian pohon antara 3-6 meter (E2). ketinggian pohon antara 6-12 meter (E3) dan ketinggian pohon lebih dari 12 meter (E4) masing-masing memiliki nilai sebesar 0.000 ; 0.007 ; 0.013 ; 0.148. Hal ini menunjukkan verifikasi tandan lebih mudah dilakukan untuk pohon dengan ketinggian < 3 meter dibandingkan dengan ketinggian lainnya. Bila dilihat dari tabel tersebut nilai faktor kesulitan cenderung naik dengan adanya pertambahan tinggi pohon yang diidentifikasi. sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pohon yang akan diidentifikasi maka semakin besar yang mengakibatkan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi tandan pada pohon tersebut.

Elemen Kerja Menyiapkan Alat Panen (Pr)

Elemen kerja menyiapkan alat panen ini memiliki waktu normal sebesar 7.00 detik. Elemen kerja ini pun dipengaruhi oleh faktor topografi dan ketinggian pohon di lokasi studi. Sehingga terdapat faktor kesulitan untuk setiap variasi kerja yang nantinya akan memberikan pengaruh terhadap lamanya waktu dalam pemanjangan fiber yang akan digunakan untuk memanen. Faktor kesulitan pada elemen kerja ini dapat dilihat dari Tabel 9.

25

Tabel 9 Faktor kesulitan elemen kerja Pr dengan variasi kerja

Elemen

Kerja Kondisi Lahan FK

Pr Lahan F 0.00 R -0.17 Ketinggian D - E1 0.00 E2 0.45 E3 0.93 E4 1.01

Dari Tabel 9 dapat dilihat faktor kesulitan topografi untuk flat sebesar 0.00 sementara rolling sebesar -0.17. angka ini menunjukkan kegiatan menyiapkan alat panen lebih mudah dilakukan pada topografi rolling dibandingkan dengan flat. karena bentuk topografi rolling yang miring sementara pada topografi flat memiliki bentuk datar. serta dengan ketinggian pohon yang sama memberikan keuntungan dalam penyiapan alat panen (Pr) pada lahan rolling. Hal ini yang menyebabkan waktu pada topografi rolling lebih cepat daripada flat dalam menyiapkan alat panen hingga dapat melakukan proses selanjutnya. Selain menyiapkan alat panen yang dibutuhkan. pekerja pun memerhatikan posisi alat panen tersebut pada tandan buah yang segera dipanen.

Faktor kesulitan ketinggian pohon dari Tabel 9 dapat dilihat untuk variasi ketinggian pohon kurang dari 3 meter (E1). ketinggian pohon antara 3-6 meter (E2). ketinggian pohon antara 6-12 meter (E3) dan ketinggian pohon lebih dari 12 meter (E4) masing-masing memiliki nilai sebesar 0.00 ; 0.45 ; 0.93 dan 1.01. angka ini menunjukkan menyiapkan alat panen lebih mudah dilakukan untuk pohon dengan ketinggian < 3 meter dibandingkan dengan ketinggian lainnya. Pada ketinggian pohon lebih dari 12 meter. nilai faktor kesulitan melebihi dari angka 1.00. Ini disebabkan data pada elemen menyiapkan alat panen untuk pohon tersebut sedikit bila dibandingkan dengan variasi ketinggian pohon lainnya. Dilihat dari tabel tersebut nilai faktor kesulitan cenderung naik dengan adanya pertambahan tinggi pohon yang dipreparasi sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pohon yang akan dipreparasi maka semakin besar nilai kesulitan yang mengakibatkan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan alat panen untuk pohon tersebut.

Elemen Kerja Memotong Pelepah dan Tandan (CuE/CuD)

Elemen kerja ini memiliki waktu normal 20.25 detik untuk memotong tandan dan pelepah. Elemen kerja ini membutuhkan tenaga yang besar serta keterampilan pada pemanen dalam memotong tandan dan pelepahnya di mana pemanen harus mengetahui posisi yang aman saat memanen agar tidak terjadi kecelakaan seperti tertimpa pelepah atau tandan. Beberapa hal yang menghambat gerakan pemotongan yang menyebabkan waktu pada elemen kerja menjadi lama diantaranya yaitu tandan terjepit diantara pelepah atau tandan memiliki tangkai yang pendek dan kedua pemanen memotong tandan atau pelepah dalam beberapa kali tarikan egrek atau dorongan untuk dodos. Selain itu pula. ada hal lain yang mempengaruhi waktu kerja pada elemen ini menjadi lebih cepat yang biasanya

dikenal dengan istilah mencuri buah. Di mana mencuri buah tersebut yaitu pemanen memotong tandan langsung tanpa memotong pelepah terlebih dahulu. Bila ini dilakukan akan menyulitkan pemanen dalam memanen tandan matang berikutnya. Tingkat kesulitan dalam memotong pelepah atau tandan dapat dilihat pada faktor kesulitan ini yang dapat dilihat dari Tabel 10.

Tabel 10 Faktor kesulitan elemen kerja Cu dengan variasi kerja

Elemen

Kerja Kondisi Lahan FK

Cu Lahan F 0.00 R 0.02 Ketinggian D -0.07 E1 0.00 E2 0.12 E3 0.45 E4 0.64

Dari Tabel 10 dapat dilihat faktor kesulitan topografi untuk flat sebesar 0.00 sementara rolling sebesar 0.02. Angka ini menunjukkan memotong tandan/ pelepah lebih mudah dilakukan pada topografi flat dibandingkan dengan rolling. karena bentuk topografi flat yang datar sementara pada topografi rolling memiliki bentuk seperti bukit dengan kemiringan cukup tinggi. Pada topografi flat. pemanen dapat langsung memanen tanpa memerhatikan bentuk topografi dengan aman sementara pada topografi rolling pemanen setelah menyiapkan alat panen. pemanen mencari posisi yang nyaman dan tepat dengan menyesuaikan topografi lahan rolling yang miring sebelum pemanen tersebut memutuskan untuk memotong tandan/pelepah.

Faktor kesulitan ketinggian pohon dari Tabel 10 dapat dilihat untuk variasi dodos (D). ketinggian pohon kurang dari 3 meter (E1). ketinggian pohon antara 3- 6 meter (E2). ketinggian pohon antara 6-12 meter (E3) dan ketinggian pohon lebih dari 12 meter (E4) masing-masing memiliki nilai sebesar -0.07 ; 0.00 ; 0.12 ; 0.45 dan 0.64. Nilai minus ini menunjukkan memotong tandan/pelepah lebih mudah dilakukan pohon yang ketinggian kurang dari 3 meter dengan menggunakan dodos dibandingkan dengan pohon yang ketinggian kurang dari 3 meter dengan menggunakan egrek. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan alat panen yang digunakan yaitu dodos dan egrek. Dodos dilakukan dengan cara mendorong sementara egrek dilakukan dengan cara tarikan. Di mana kekuatan dorongan lebih besar bila dibandingkan dengan tarikan. Selain itu. biasanya untuk pohon yang menggunakan dodos pemanenan dilakukan langsung pemotongan pada tandan tanpa memotong pelepah sebelumnya. Pada pohon yang menggunakan alat panen egrek. dari tabel tersebut nilai faktor kesulitan cenderung naik dengan adanya pertambahan tinggi pohon yang dilakukan pemotongan pelepah/tandan. Hal ini dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pohon maka semakin besar nilai kesulitannya. Selain itu. semakin tinggi pohon maka pemanen harus dapat mengendalikan egrek yang digunakan agar tidak terlepas dari tandan.

27

Elemen Kerja Memungut Brondolan (Br)

Waktu normal yang dibutuhkan untuk memungut brondolan ini adalah 15.50 detik. Pekerjaan ini juga dipengaruhi faktor topografi lahan dan ketinggian pohon. Ada beberapa hal yang menyebabkan waktu elemen kerja ini menjadi bervariasi yaitu jumlah brondolan yang berada di tanah dan jumlah serasah dan kotoran yang tercampur dengan brondolan sehingga menyebabkan bervariasinya waktu yang dibutuhkan dalam mengambil brondolan tersebut. Faktor kesulitan untuk elemen kerja Br dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Faktor kesulitan elemen kerja Br dengan variasi kerja

Elemen

Kerja Kondisi Lahan FK

Br Lahan F 0.00 R -0.08 Ketinggian E1 0.00 E2 0.27 E3 0.12 E4 -0.17

Dari Tabel 11 dapat dilihat faktor kesulitan topografi untuk flat sebesar 0.00 sementara rolling sebesar -0.08. Angka ini menunjukkan memungut brondolan lebih mudah dilakukan pada topografi rolling dibandingkan dengan flat. karena bentuk topografi rolling yang miring sementara pada topografi flat memiliki bentuk datar serta dengan ketinggian pohon yang sama memberikan keuntungan dalam memungut brondolan (Br) pada topografi rolling. Ini yang menyebabkan nilai kesulitan minus pada topografi rolling sehingga waktu pada topografi pada rolling lebih cepat daripada flat. Hal ini dapat dikarenakan pada lahan rolling yang miring ini memberikan peluang brondolan yang jatuh dari pohon menggelinding ke tempat yang lebih datar sehingga pada saat pemanen memungut brondolan. hanya brondolan yang berada disekitar pohon saja dipungut/diambil. Berbeda pada topografi flat yang datar sehingga brondolan jatuh mengenai tanah dan harus dipungut seluruhnya oleh pemanen. jika tidak. pemanen akan mendapat teguran dari pengawas.

Faktor kesulitan ketinggian pohon dari Tabel 11 dapat dilihat untuk variasi ketinggian pohon kurang dari 3 meter (E1). ketinggian pohon antara 3-6 meter (E2). ketinggian pohon antara 6-12 meter (E3) dan ketinggian pohon lebih dari 12 meter (E4) masing-masing memiliki nilai sebesar 0.00 ; 0.27 ; 0.12 dan -0.17. Angka ini menunjukkan pola yang unik. untuk ketinggian E1 dan E2 terlihat nilai faktor kesulitan cenderung naik sehingga dapat dikatakan pada waktu memungut brondolan pada ketinggian E2 lebih lama dibandingkan dengan E1. sementara pada ketinggian E3 dan E4 nilai faktor kesulitan cenderung semakin menurun. Hal ini dapat disebabkan jatuhnya brondolan dari pohon menyebar luas di tanah akibat ketinggian pohon yang mengakibatkan brondolan tersebut berada jauh disekitar pohon sehingga pemanen hanya memungut brondolan yang terlihat dan berada disekitar pohon.

Waktu Baku

Waktu baku merupakan waktu yang telah ditetapkan berdasarkan waktu normal dan faktor kesulitan dalam melakukan aktivitas pemanenan kelapa sawit. Waktu baku ini memiliki fungsi sebagai perencanaan jumlah pekerja yang harus dipekerjakan pada bagian atau proses tertentu agar dapat meningkatkan produktivitas perusahan itu sendiri. Hal ini diharapkan dapat memberikan keuntungan lebih kepada perusahaan karena pengalokasian sumber daya manusia diletakkan ke tempat atau bagian yang memang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan kerja yang efektif. Waktu baku didapatkan dari waktu normal dikali dengan (1 + faktor kesulitan). sehingga waktu baku untuk memanen kelapa sawit untuk masing-masing elemen kerja bervariasi dengan penyesuaian waktu terhadap topografi dan ketinggian pohon. Total waktu baku memanen satu tandan dari berbagai variasi topografi dan ketinggian pohon dapat dilihat pada Tabel 12, sementara waktu baku tersebut dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 12 Total waktu baku memanen satu tandan dari berbagai variasi topografi dan ketinggian pohon.

No Elemen Kerja Waktu Baku (s)

F-K-D F-K-E1 F-K-E2 F-K-E3 F-K-E4 R-K-E2 R-K-E3 R-K-E4

1 Ve 8.20 8.20 8.26 8.31 9.41 10.81 10.85 11.96 2 Pr - 7.00 10.16 13.49 14.06 8.99 12.32 12.90 3 Cu 18.89 20.25 22.63 29.40 33.21 23.06 29.82 33.64 4 Ba 15.67 15.67 15.67 15.67 15.67 15.67 15.67 15.67 5 Ck 6.15 6.15 6.15 6.15 6.15 6.15 6.15 6.15 6 Br 15.50 15.50 19.63 17.43 12.92 18.45 16.26 11.74 7 Lo 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67 8 MoT 7.00 7.00 7.00 7.00 7.00 7.00 7.00 7.00 MoAT 24.25 24.25 24.25 24.25 24.25 24.25 24.25 24.25 9 Un 3.50 3.50 3.50 3.50 3.50 3.50 3.50 3.50 10 UD (K) 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67 4.67 UD (A) 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 11 AD 11.57 11.57 11.57 11.57 11.57 11.57 11.57 11.57 Total waktu baku

95.81 104.18 113.90 121.85 122.83 114.53 122.48 123.46 per tandan tanpa

angkong Total waktu baku

114.40 122.76 132.48 140.43 141.42 133.11 141.06 142.04 per tandan dengan

angkong

Keterangan : F = Topografi Flat

R = Topografi Rolling

K = Lahan Kering

E1 = Ketinggian pohon < 3 meter

E2 = Ketinggian pohon 3-6 meter

E3 = Ketinggian pohon 6-12 meter

29

Tabel 13 Waktu baku masing-masing elemen kerja dengan variasi kondisi kerja. No Elemen

Kerja Waktu Normal (s)

Variasi Kerja

Faktor Kemudahan

FK Total Waktu Baku (s) Topografi Ketinggian Pohon

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (5)+(6) (3)*[1+(7)] 1 Ve 8.20 F-K-H1 0 0.000 0.00 8.20 F-K-H2 0 0.007 0.01 8.26 F-K-H3 0 0.013 0.01 8.31 F-K-H4 0 0.148 0.15 9.41 R-K-H2 0.31 0.007 0.318 10.81 R-K-H3 0.31 0.013 0.323 10.85 R-K-H4 0.31 0.148 0.46 11.96 2 Pr 7.00 F-K-D - F-K-E1 0.00 0.00 0.00 7.00 F-K-E2 0.00 0.45 0.45 10.16 F-K-E3 0.00 0.93 0.93 13.49 F-K-E4 0.00 1.01 1.01 14.06 R-K-E2 -0.17 0.45 0.28 8.99 R-K-E3 -0.17 0.93 0.76 12.32 R-K-E4 -0.17 1.01 0.84 12.90 3 Cu 20.25 F-K-D 0 -0.07 -0.07 18.89 F-K-E1 0 0.00 0.00 20.25 F-K-E2 0 0.12 0.12 22.63 F-K-E3 0 0.45 0.45 29.40 F-K-E4 0 0.64 0.64 33.21 R-K-E2 0.02 0.12 0.14 23.06 R-K-E3 0.02 0.45 0.47 29.82 R-K-E4 0.02 0.64 0.66 33.64 4 Ba 15.67 0 0 0 0 15.67 5 Ck 6.15 0 0 0 0 6.15 6 Br 15.50 F-K-E1 0 0.00 0.00 15.50 F-K-E2 0 0.27 0.27 19.63 F-K-E3 0 0.12 0.12 17.43 F-K-E4 0 -0.17 -0.17 12.92 R-K-E2 -0.08 0.27 0.19 18.45 R-K-E3 -0.08 0.12 0.05 16.26 R-K-E4 -0.08 -0.17 -0.24 11.74 7 Lo 4.67 0 0 0 0 4.67 8 UDA 6.00 0 0 0 0 6.00 9 MoT 7.00 0 0 0 0 7.00 10 MoAT 24.25 0 0 0 0 24.25 11 UDK 4.67 0 0 0 0 4.67 12 Un 3.50 0 0 0 0 3.50 13 AD 11.57 0 0 0 0 11.57

Dari Tabel 13 tersebut dapat disimpulkan waktu baku total memanen 1 tandan kelapa sawit lebih cepat menggunakan dodos bila dibandingkan dengan egrek. Hal ini disebabkan karena memanen dengan menggunakan dodos dapat dilakukan tanpa melakukan kegiatan elemen kerja menyiapkan alat panen. sementara memanen dengan menggunakan egrek pemanen melakukan kegiatan elemen kerja menyiapkan alat panen.

Waktu baku memanen kelapa sawit lebih cepat dilakukan pada topografi flat bila dibandingkan pada topografi rolling. Hal ini dikarenakan adanya faktor kesulitan pada topografi yang memiliki bentuk seperti bukit berbeda dengan topografi flat yang memiliki bentuk datar. Kondisi topografi rolling yang menyebabkan pemanen membutuhkan waktu lebih untuk mencari posisi yang nyaman dan aman untuk memanen tandan. sedangkan pada topografi flat pemanen tidak perlu mencari posisi yang nyaman dan aman karena bentuknya datar tidak miring seperti rolling.

Total waktu per tandan terbagi menjadi dua yaitu total waktu baku per tandan tanpa angkong yang didapat dari penjumlahan seluruh elemen kerja verifikasi (Ve) sampai dengan kelambatan yang dapat dihindari (avoidable delay) tanpa menjumlahkan elemen kerja perpindahan membawa tandan (MoT) dan perpindahan tanpa membawa apapun (UDK). Di mana total waktu baku per tandan tanpa angkong yang dimaksud disini yaitu pengevakuasi hingga meletakkan hasil pada TPH yang ditentukan terjadi dua kali. Kedua. total waktu baku per tandan dengan angkong yang didapat dari penjumlahan seluruh elemen kerja verifikasi (Ve) sampai dengan kelambatan yang dapat dihindari/avoidable delay (AD) tanpa menjumlahkan elemen kerja perpindahan membawa angkong (UDA) dan perpindahan membawa angkong bermuatan (MoAT). Di mana total waktu baku per tandan menggunakan angkong yang dimaksud disini yaitu pengevakuasi hingga meletakkan hasil pada TPH yang ditentukan terjadi satu kali. Jika dilihat dari Tabel 13 waktu yang dibutuhkan untuk memanen per tandan dengan angkong lebih lama bila dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk memanen per tandan tanpa angkong untuk setiap variasi kerjanya. Hal ini dikarenakan pemanen membutuhkan estimasi waktu untuk mengangkut hasil panen ke tempat pengumpulan hasil (TPH) dengan waktu memanen itu sendiri. sehingga waktu panen dengan angkong lebih lama dengan adanya penambahan waktu dengan angkong dibandingkan dengan waktu panen tanpa angkong.

Ketinggian memberikan pengaruh terhadap waktu baku. terutama bagian atau elemen kerja yang dipengaruhi oleh ketinggian seperti Verifikasi (Ve). Preparasi (Pr). Cutting (Cu) dan Memungut brondolan (Br) yang menyebabkan nilai waktu baku yang berbeda. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pada keempat elemen kerja ini dipengaruhi oleh faktor kesulitan baik topografi lahan dan ketinggian pohon yang menyebabkan waktunya berbeda. Hal ini terlihat pada penelitian sebelumnya oleh Putranti (2012) di mana waktu memanen untuk kondisi kerja F-K-E1 sebesar 128.97 detik dan F-K-E2 sebesar 140.01 detik dan F-K-E1 dan F-K-E2 pada perkebunan Pasangkayu terlihat memang ada pengaruh faktor kesulitan terhadap waktu baku tersbut. Pada verifikasi terlihat semakin tinggi pohon maka waktu yang dibutuhkan untuk mengidentifakasi tandan cenderung lebih lama hal ini disebabkan pemanen memerlukan waktu lebih lama dalam mengamati secara teliti. Begitupula dengan preparasi semakin tinggi pohon maka waktu untuk menyiapkan alat cenderung lebih lama karena pemanjangan

31

fiber dan meletakkan egrek terhadap pelepah dan tandan bergantung terhadap ketinggian pohon tersebut. Begitupun yang terjadi pada cutting. Semakin tinggi pohon maka waktu yang dibutuhkan cenderung semakin lama. Hal ini dikarenakan beban pada egrek dan kelenturan egrek akibat panjangnya egrek yang digunakan untuk pohon yang memiliki ketinggian berbeda yang menyebabkan pemanen harus dapat mengendalikan dengan ketrampilan dan kemampuan yang dimiliki oleh pemanen. Hal ini berbeda dengan memungut brondolan. pada ketinggian pohon kurang dari 3 meter hingga 6 meter waktu yang dibutuhkan cenderung lebih lama sementara ketinggian pohon lebih dari 6 meter keatas waktu yang dibutuhkan cenderung lebih kecil.

Waktu baku yang diperoleh untuk setiap variasi kerja berbeda. Tentu ini disebabkan kondisi lahan dan ketinggian pohon yang menyebabkan beberapa elemen kerja yang memiliki waktu baku yang berbeda. Hal ini yang menyebabkan adanya variasi kerja dalam memanen sehingga waktu yang dibutuhkan untuk memanen satu tandan bervariasi mengikuti variasi kerjanya.

Kondisi kerja memberikan pengaruh terhadap waktu kerja di mana kondisi kerja ini meliputi topografi lahan dan ketinggian pohon. Waktu kerja yang dibutuhkan pemanen pada topografi lahan terdiri dari dua lahan yaitu lahan flat dengan lahan rolling. Tentunya waktu kerja yang dibutuhkan berbeda. karena terdapat faktor kesulitan yang mempengaruhi waktu kerja kedua lahan tersebut. Begitupula terhadap ketinggian pohon yang memiliki keragaman ketinggian sehingga waktu kerja yang dibutuhkan untuk setiap ketinggian berbeda. Sama halnya dengan topografi lahan. ketinggian pohon dipengaruhi oleh faktor kesulitan yang menyebabkan waktu kerjanya yang berbeda.

Kapasitas Panen Berdasarkan Waktu Baku

Kapasitas merupakan jumlah tandan maksimum yang dihasilkan oleh pekerja dalam aktifitas pemanenan kelapa sawit selama waktu kerja. Biasanya dinyatakan dalam tandan buah yang dihasilkan per satuan waktu. Perencanaan kapasitas ditujukan untuk mengetahui jumlah sumber daya yang dimiliki sehingga dapat meningkatkan produktivitas kinerja dari masing-masing sumber daya tersebut.

Kapasitas panen ini yang akan digunakan berdasarkan waktu baku dihasilkan pada lokasi studi tersebut. Tujuan kapasitas panen ini yaitu sebagai acuan untuk perusahaan sehingga dapat mengoptimalkan kembali sumber daya yang dimiliki. Dengan membandingkan lamanya waktu baku dari masing-masing kondisi (tandan/s) maka didapatkan jumlah tandan dalam satu jam (tandan/jam). Kegiatan pemanenan dalam satu hari memiliki waktu efektif sekitar 4 jam/hari (Pradita 2013). sehingga jumlah tandan yang dipanen dalam satu hari (tandan/hari) dapat diketahui.

Berdasarkan Tabel 14 dibawah ini. kapasitas (jumlah tandan) yang dipanen terbagi menjadi dua yaitu kapasitas panen dengan angkong yang didapat dari hasil total waktu baku dengan angkong dan kapasitas panen tanpa angkong yang didapat dari hasil total waktu baku tanpa angkong. Jika dilihat dari Tabel 14 kapasitas panen dengan menggunakan angkong memiliki jumlah kapasitas yang lebih kecil dibandingkan dengan kapasitas panen tanpa menggunakan angkong

untuk setiap variasi kondisi kerjanya. Hal ini dikarenakan total waktu dengan angkong lebih besar dibandingkan total waktu tanpa angkong sehingga ini akan berpengaruh terhadap frekuensi memanen terhadap dua kondisi tersebut.

Pada Tabel 14 ini pun dapat dilihat kapasitas panen kelapa sawit dengan menggunakan dodos lebih besar bila dibandingkan dengan kapasitas panen menggunakan egrek. Hal ini dapat diakibatkan karena waktu yang dibutuhkan dengan dodos lebih sedikit dibandingkan dengan egrek. Selain itu. ukuran tandan yang dihasilkan oleh pohon yang akan dipanen berbeda. tentunya memberikan pengaruh terhadap frekuensi memanen. sehingga jumlah tandan yang dipanen lebih banyak dilakukan dengan menggunakan dodos bila dibandingkan frekuensi memanen tandan yang dilakukan dengan menggunakan egrek.

Kondisi kerja memberikan pengaruh terhadap kapasitas panen kelapa sawit. Pada lokasi studi kondisi kerja kerja terdiri dari ketinggian pohon dan topografi lahan. Hal ini disebabkan total waktu baku yang didapat berbeda untuk dua variasi kondisi kerja tersebut. Dilihat pada Tabel 14. jumlah kapasitas panen untuk lahan flat dan rolling relatif sama. Berdasarkan hasil perhitungan. ketinggian pohon memberikan pengaruh terhadap jumlah kapasitas yang dipanen. Tabel 14 Kapasitas panen kelapa sawit berdasarkan waktu baku untuk masing-

masing variasi kondisi kerja. No Kondisi

Lahan

Waktu Baku 1 tandan (s) Tandan/jam Waktu kerja

Efektif Kapasitas (tandan/hari) tanpa angkong dengan angkong tanpa angkong dengan angkong (Jam/hari) tanpa angkong dengan angkong 1 F-K-D 95.81 114.40 38 31 4 150 126 2 F-K-E1 104.18 122.76 35 29 4 138 117 3 F-K-E2 113.90 132.48 32 27 4 126 109 4 F-K-E3 121.85 140.43 30 26 4 118 103 5 F-K-E4 122.83 141.42 29 25 4 117 102 6 R-K-E2 114.53 133.11 31 27 4 126 108 7 R-K-E3 122.48 141.06 29 26 4 118 102 8 R-K-E4 123.46 142.04 29 25 4 117 101

Analisis Optimasi Tata Laksana Kerja

Optimasi tata laksana kerja merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk memperoleh sistem kerja dalam rangka penyelesaian suatu pekerjaan yang lebih baik. Tujuan optimasi ini untuk meningkatkan produktifitas kerja sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejehteraan pekerja selain menguntungkan pula untuk perusahaan.

Pada optimasi tata laksana kerja yang akan dianalisis merupakan aktivitas pemanenan kelapa sawit pada perkebunan Pasangkayu. Sulawesi Barat. Sesuai dengan batasan masalah yang telah diuraikan yaitu mengidentifikasi buah matang hingga membongkar dan merapikan TBS di TPH. Dalam analisis optimasi ini dilakukan berdasarkan waktu baku masing-masing elemen kerja dengan variasi kerjanya. Oleh karena itu. untuk memudahkan dalam mengoptimasi diperlukannya kapasitas panen dalam satu jam untuk dapat mengetahui waktu

33

yang dibutuhkan untuk menghasilkan tandan tersebut. Hasil dari optimasi ini adalah efisiensi waktu kerja yang dihasilkan dari waktu kerja sebenarnya.

Pola yang sudah digunakan pada perkebunan Pasangkayu yaitu Ve-Pr-Cu- Ba-Ck-Ve-Pr-Cu-Ba-Ck-...-Mo-Lo-Br-Un atau disebut dengan pola acuan (Po). Pola tersebut menghasilkan waktu 3600 detik untuk 38 tandan tanpa menggunakan angkong dan 31 tandan dengan menggunakan angkong pada pemanenan dodos. Untuk ketinggian pohon kurang dari 3 meter dengan menggunakan egrek pada topografi flat (E1) jumlah tandan yang dapat dipanen berdasarkan kapasitas yaitu 35 tandan tanpa angkong dan 29 tandan dengan angkong. Pilihan Optimasi dapat dilihat pada Tabel 15 berikut.

Tabel 15 Total waktu hasil dari optimasi berdasarkan kapasitas (jumlah tandan) dalam 1 jam untuk pemanenan dodos dan egrek kurang dari 3 meter

Variabel Kondisi kerja D F-E1

∑ tandan tanpa angkong (1 jam) 38 35 ∑ tandan dengan angkong (1 jam) 31 29

Kesetaraan Waktu Baku (det) Po tanpa angkong 3600 3600 dengan angkong 3600 3600 P1 tanpa angkong 3177 3212 dengan angkong 3247 3272 P2 tanpa angkong 3177 2977 dengan angkong 3247 3074 P3 tanpa angkong 3011 3059 dengan angkong 3109 3143 P4 tanpa angkong 3001 3050 dengan angkong 3059 3096 P5 tanpa angkong 2836 2898 dengan angkong 2920 2967

Optimasi pertama (P1) pada pola tersebut dilakukan pada E1 yaitu meminimalisir kegiatan elemen AD sampai batas minimum yaitu satu kali. Kelambatan yang dapat dihindari (Avoidable Delay) seperti mengobrol. merokok. beristirahat terlalu lama. minum. menggunakan handphone.membetulkan helmet.bercanda. sebisa mungkin diminimalisir agar efektivitivas kerja meningkat. Perubahan waktu yang didapatkan pada optimai pertama ini sebesar 3212 detik tanpa menggunakan angkong dan 3272 detik dengan menggunakan angkong. Hasil optimasi pertama ini memiliki efisiensi waktu sebesar 11% tanpa angkong dan 9% dengan angkong. Efisiensi yang dimaksudkan yaitu pengurangan waktu dari waktu yang seharusnya (acuan) dengan adanya optimasi ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa waktu yang dapat dihemat untuk melakukan pekerjaan memanen dengan meminimalisir elemen AD adalah sebanyak 11% dan 9 % dari waktu keseluruhan dari pola acuan.

Optimasi kedua (P2) adalah meminimalisir elemen kerja yaitu preparasi (Pr) sampai batas minimum yaitu satu kali mengingat pohon yang akan dipanen memiliki ketinggian yang relatif sama. Perubahan waktu yang didapatkan pada

optimasi kedua ini didapatkan sebesar 2977 detik tanpa angkong dan 3074 detik dengan angkong. Hasil optimasi kedua ini memiliki efisiensi waktu sebesar 17% tanpa angkong dan 15% dengan angkong. Hal tersebut menunjukkan bahwa waktu yang dapat dihemat untuk melakukan pekerjaan memanen dengan meminimalisir elemen Pr adalah sebanyak 17% dan 15 % dari waktu keseluruhan dari pola acuan.

Optimasi ketiga (P3) adalah menggunakan tomasun yang ada di Riau sebagai pengganti parang di Sulawesi. Bila diadaptasikan pada perkebunan Pasangkayu dapat meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk elemen kerja Ck

Dokumen terkait