• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETUA RAPAT: Ya

Dalam dokumen BIDANG ARSIP DAN MUSEUM (Halaman 53-69)

F-PG (H. RAMBE KAMARUL ZAMAN, M.Sc.,M.M.):

Itu ngga ada urusannya dengan itu. Urusan disini adalah … persyaratan yang kaitannya dengan apa yang sudah kita perbincangkan sebelumnya. Bahwa untuk

jadi Presiden begitu ya, syaratnya ada ya menjadi Presiden begitu ya harus ada dukungan politik. Jadi itu termasuk persyaratan. Oleh karena itu di ayat berikutnya di pasal Ayat 6A tatacara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang. Undang-undang inilah yang mengaturnya. Jadi jangan kita pertentangkan apa kalau yang pakai ini bertentangan dengan konstitusi, nda ada yang bertentangan. Ini kita mengatur syaratnya. Syarat itu sekarang ya kita berpendapat sebagaimana yang diajukan oleh pemerintah dua puluh persen dan dua puluh lima persen. Tidak menafikan partai politik yang baru. Partai politik yang baru itu boleh disini dinyatakan boleh gabung dengan partai politik peserta Pemilu sebelumnya. Dan dia kan juga ikut mengajukan, tapi tidak dihitung melalui juga syarat dua puluh persen dan dua puluh lima persen. Jadi kesimpulannya Saudara Ketua yang kita atur syarat ini tidak ada bertentangan dengan konstitusi, ya tidak ada bertentangan dengan konstitusi. Itu adalah kewenangan kita untuk mengatur didalam undang-undang ini, karena itu juga perintah Undang-Undang Dasar. Dan perintah Undang-Undang Dasar itu syaratnya tidak ada yang menyatakan juga nol, tidak ada juga menyatakan presentasenya begini tapi kenyataannya kan sudah kita lakukan untuk apa Bupati, Walikota untuk Guberunur gitu untuk Gubernur. Makanya PPP tadi kita ajukan saja syarat yang lebih tinggi daripada, saya kira disitu ketua jangan apa perdebatan kita syarat ini bertentangan dimana konstitusi tidak saya kira tidak. Nda ada pertentangan, memang ini perintah Undang-Undang Dasar persyaratan itu harus kita atur begitu, undang-undanglah yang mengaturnya.

KETUA RAPAT:

Ya. Kalau Pansus ini saya ini saja solusi saja ini. Kalau Pansus ini membikin dua varian saja bagaimana, varian paket threshold dan tanpa threshold. Nanti kalau misalnya pilihan kita itu adalah paket threshold baru angkanya kita perdebatkan. Karena kan ini kutubnya sebenarnya ini ini dua ini, seperti usulan Pak Fandi tadi. Maksudnya lebih sederhana gitu.

F-PD (Ir. FANDI UTOMO):

Nah Demokrat itu pernah ngalami didukung oleh kurang dari sepuluh persen dan jadi Presiden, tetapi pada putaran keduanya tidak hanya didukung oleh sepuluh persen, putaran keduanya itu didukung oleh presentase yang cukup baik. Justru yang kami maksudkan tadi untuk starting itu justru batas atasnya yang kita atur gitu. Jadi saya kira pengalaman-pengalaman kita sudah cukup banyak untuk kita gunakan gitu.

Ya saya kira gitu ya. KETUA RAPAT:

Pak Agun silahkan.

F-PG (DRS. AGUN GUNANJAR SUDARSA, Bc.IP, M.Si):

Ya. Saya tidak sependapat kalau rumusannya itu diarahkan kepada menggunakan presidensial threshold atau tidak, ini jadi mengaburkan. Ini pengaburan betul dari substansi dari konten. Kalau mau tidak dikatakan apa

pengingkaran, ini pengaburan betul. Karena secara filosofis ngga ada apapun yang akan kita kerjakan kita rumuskan ini adalah memang mandat konstitusi, lihat di Pasal 6A ayat yang terakhir. Syarat-syarat dan tatacara pemilihan Presiden diatur, wong jadi kepala desa saja ada syaratnya, jadi PNS ada syaratnya, jadi pemilih saja ada syaratnya. Apapun ada syaratnya. Persyaratan konstitusional kita memberi rambu, rambu keterpilihan lima puluh persen, dua puluh persen tersebar di setengah jumlah provinsi, karena kita Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita tidak ingin menggunakan murni populer vote seperti di Amerika, di berbagai negara. Mereka menggunakan elektoral college, kita menggunakan popular vote. Tapi filosofi elektoral college kita terjemahkan dengan dua puluh persen di lebih setengah jumlah provinsi, supaya Presiden itu legitimate bukan hanya Presiden orang Jawa, karena lima puluh persen penduduk ada di Jawa. Tapi kalau dua puluh persen tidak terpenuhi ya bukan, ngga memenuhi persyaratan harus diulang Pak. Ini rambu, sebelum Pemilu itu rambu, perintahnya syarat-syarat dan tatacara itu perintah konstitusi. Jadi bukan persoalan pakai presidensial threshold atau tidak, bukan itu. Kita lagi membicarakan tentang syarat-syarat dan tatacara ini. Nah syaratnya ya ada persyaratan keterpilihan legitimasinya seperti itu, kenapa karena kita tahu sistem presidensil itu punya karakteristik yang harus kita jaga apa, legitimate makanya harus dipilih langsung, punya kekuasaan yang penuh, walaupun kita agak koasi dengan parlemennya, tidak punya hak veto di kita. Dengan pertimbangan itulah pada akhirnya betapa Presiden kita itu banyak terkerangkeng oleh parlemen, sehingga disainnya itu disain koalisi. Makanya muncul angak dua puluh persen. Dulu malah kami mengusulkan tiga puluh lima persen Pak minimal. Ya supaya satu putaran dan tidak ada partai satupun yang sanggup waktu itu, tiga puluh persen itu kami usulkan, tiga puluh lima, Andi Matalata. Tapi akhirnya ketemu angka dua puluh persen dan dua puluh lima persen yang sampai saat sekarang. Dengan ruang supaya partai-partai politik yang baru sekalipun kalau sekarang sudah jadi serentak ya dia punya hak, tapi modalnya kosong, modalnya nol. Orangnya darimana ya tergantung partai-partai politik, bisa saja orang partai politik bisa saja anggota partainya, bisa juga anggota partai yang lain yang penting dia Warga Negara Indonesia yang sehat jasmani dan rohani, ngga perlu lagi macam-macam. Nah jadi menurut hemat saya Pak Ketua biarkanlah rumusannya seperti yang ada dalam DIM ini. Yang mau dua puluh persen silahkan, yang minta nol persen silahkan. Karena pada akhirnya tetap harus ada syarat, tidak mungkin tanpa syarat Pak. Syarat legitimasi itu penting. Makanya saya menangkap isyarat yang disampaikan oleh sahabat saya Bung Irfan dari Demokrat ini saya nangkap sebetulnya bagaimana agar penyelenggaraannya itu yang dikatakan nol persen itu bukan berarti mutlak nol persen. Tapi jadi mungkin karena ada angka tapi ada batas maksimum yang membuat koalisi itu terjadi karena nanti akan ada korelasinya ke parlemen. Nah perdebatan-perdebatan ini Pak Menteri menurut saya Pak Ketua biarkanlah apa adanya yang ada ini kita dalami lagi dikuyek-kuyek di Panja lah.

Terima kasih pimpinan. KETUA RAPAT:

F-NASDEM (Drs. T. TAUFIQULHADI, M.Si.):

Kalau menurut kami, tentu saja bahwa pemilihan Presiden itu dengan syarat yang ketat karena kita ingin mencari seorang yang memimpin sebuah Indonesia yang sangat luas. Jadi bukan seorang pencari dan pencuri panggung, sekedar tampil itu menurut saya tidak bertanggung jawab kita. Jadi kalau kita bertanggung jawab kita itu adalah dengan persyaratan tersebut kita akan mendapatkan seorang yang memiliki kualifikasi yang tepat didalam konteks kita berbangsa dan bernegara tetapi juga harus kita lihat bukan hanya didalam konteks kepentingan jangka pendek. Hanya begini, mungkin saya berpikir kemungkinan adalah dari bisa tampil pimpinan ataupun dari Nasdem saat ini maka saya berpikir ada bagaimana meloloskan itu saja, menurut saya itu tidak bertanggung jawab. Kita melihat lebih luas daripada itu. Karena itu menurut saya kenapa rumusannya dua puluh persen, itu adalah menurut saya sebuah angka yang moderat, moderat itu sepanjang kita itu adalah melihat sesuatu kedepan yang lebih baik maka angka tersebut itu kita akan bisa gunakan terus-menerus. Jadi tidak bisa kita kemudian trial and error, jangan kita mencoba-coba lagi. Kita ingin mengatakan pengalaman yang lalu seperti ini dan sebagainya. Pengalaman kita sudah cukup lama menurut saya, ya. Dan dengan pengalaman kita yang cukup lama itu sebetulnya kita telah menemukan rumusan yang cocok untuk ini, tetapi kita ingin selalu melakukan perombakan perubahan dan terus-menerus. Menurut saya itu adalah cara berpikir seperti itu kita hentikan saat ini.

Mungkin demikian dari saya, Wassalamualaikum

WarahmatullahiWabarakatuh.

KETUA RAPAT:

Terima kasih. Saya kira Pak Menteri inilah apa namanya dinamika di Pansus ya untuk presidensial threshold itu ada empat varian, tanpa presidensial threshold, kemudian sesuai dengan parlementary threshold syaratnya. Jadi kalau parlementary threshold ini tiga setengah, maka presidensial threshold juga tiga setengah. Kalau parlementary threshold lima persen maka presidensial threshold juga lima persen. Kemudian yang ketiga dua puluh lima persen sampai dengan atau tiga puluh persen, ya dua puluh lima persen atau tiga puluh persen suara. Kemudian dua puluh persen ini sesuai dengan pemerintah.

Kami persilahkan kepada pemerintah untuk menyampaikan pertimbangan-pertimbangan dan masukan-masukannya. Kami persilahkan.

PEMERINTAH/MENDAGRI:

Terima kasih Saudara Ketua, Saudara Wakil Ketua dan Bapak Ibu sekalian. Saya menyampaikan sedikit pembukaan, nanti teman-teman dari pemerintah akan mencoba melengkapi. Saya mulai dari apapun komitmen kita sebagaimana ketentuan yang ada pelaksanaan Pileg dan Pilpres serentak itu kan harus ada aturan main. Aturan mainnya bagaimana, ya di Undang-Undang Dasar, itu perinsip satu. Keputusan MK yang saya pahami pada MK itu kan membuat keputusan tarsirnya MK yang final dan mengikat tidak boleh digugat, tetapi kadang-kadang kok ya tidak sama dengan Undang-Undang Dasar 1945. Loh iya dong kita karena baca

saja. Ini yang menjadi suatu masalah. Nah dalam konteks tadi mungkin Nasdem tadi lebih panjang, Mas Fandi dari Demokrat panjang. Bukan kami menafikan yang ingin nol persen itu oke itu sah-sah saja. Tetapi pengujian sebuah partai politik yang diakui sebagaimana ketentuan konstitusi kita, itu kan tidak hanya cukup sekedar dia bikin partai memenuhi verifikasi. Bapak Ibu sekalian sebagai anggota partai politik sudah lolos, lolos tahap partai baru dulu dibentuk dan lolos di pilih oleh rakyat. Sebuah partai politik yang mempunyai legitimasi itu kan tidak semata-mata dia lolos masuk Kementerian Hukum dan HAM terus lolos kan tidak. Tetapi ada dukungan real di masyarakat. Nah dukungan real di masyarakat itulah yang menjadi sebuah proses untuk menentukan pemilihan yang ada, itu. Nah yang kedua, ibarat kita main catur itu kalau sudah baku permainan catur, yang pegang bidak catur itu kan boleh ada skondan-skondannya yang ada. Lah ini yang harus diatur disini, dirinci disini. Apalagi ini pengertian hari yang sama pemilihan legislatif dan pemilihan Pres Wapres. Kalau memasuki putaran kedua dari partai baru itu ada yang lolos yang nanti mau kita sepakati mau tiga setengahkah atau empat setengah ataukah tujuh ataukah sepuluh, nah itu bisa berproses. Tapi inti daripada Nasdem saya tangkap tadi dukungan itu juga bagian daripada proses ini, itu yang yang. Nah soal varian-variannya oke mari kita rumuskan. Ada masukan dair Mas Fandi tadi ini varian bagaimana, PKS tadi juga menyinggung sedikit, saya kira PPP, PAN. Itu sedikit pembukaan nanti akan saya lengkapi lagi saya silahkan Pak Sekjen untuk lebih detail variannya itu.

TIM PEMERINTAH:

Terima kasih Pak, izin Pak Menteri. Ibu Bapak kami kira diputusan MK 14 tahun 2013 ini memang tidak ada satu putusan yang membatalkan Pasal 9, yang membatalkan threshold itu nda ada. Nda ada jadi Pasal 3, Pasal 12 jadi yang terkait dengan penyelenggaraan timing ya waktu itu. Jadi Pasal 9 betul-betul nda tahu saya kalau saya salah lihat. Jadi amar putusan MK ini memang tidak menyinggung Pasal 9 Undang-Undang 42 ini, itu satu Pak. Jadi Pak Yandri kami cek memang nda ada secara eksplisit di MK ini. Mengapa pemerintah merumuskan kembali merumus ulang tentang threshold daripada presidensial threshold. Yang kedua, memang Pasal 6A Undang-Undang Dasar 45 itu yang Pak Menteri sampaikan apakah sudah dipertimbangkan ada rumusan sebelum pelaksanaan Pemilu. Artinya apa, bahwa sebelum hari H itu sudah disiapkan pasangan itu oleh partai atau gabungan partai. Nah yang ketiga, mengapa dengan rumusan seperti ini bahwa MK memutuskan ini bersamaan. Nah ini juga referensinya ke Undang-Undang 42sebelumnya. Tadi disampaikan Pak Menteri masalah varian, BKP sampaikan dengan kesamaan dengan parlementary threshold. Yang penting Pak Agun katakan tadi itu ada syarat ya syarat untuk masuk kesitu. Bisa saja ini varian Pak ini bukan usulan pemerintah Pak Menteri mohon izin. Kita bisa tinggalkan presidensial threshold itu dengan keterwakilan di DPR. Jadi partai politik yang punya suara, yang sudah dipilih rakyat sebelumnya. Jadi bukannya dua puluh, dua lima bisa saja, dua puluh lima. Jadi yang betul tidak hanya secara administratif partai politik pengusung itu tetapi memang sudah diakui memiliki legitimasi yang telah dipilih rakyat. Kalau tidak akan mengkaitkan dengan perhitungan parlementary threshold atau keterwakilan di DPR, yang DPR-nya sendiri sudah tidak ada, yang kemarin. Tetapi suara rakyat itu sudah bisa terekam yang kita perhitungkan dalam kasus ini bisa dua puluh lima atau tiga puluh lima persen. Dan ini akan berlanjut periode lima tahunan dan

seterusnya. Dan mengingatkan kepada partai politik pendatang baru itulah aturan mainnya setiap kita akan menyelenggarakan Pemilu.

Saya kira demikian Pak tambahan. KETUA RAPAT:

Sebelum kita tutup rapat ini kayaknya sudah clear ini ya. Apa namanya saya hanya mengingatkan waktu itu memang saya yang mimpin rombongan ke MK menanyakan soal ini. Jadi jawaban MK tidak menjawab, MK tidak menjawab karena dia tahu betul ini akan menjadi objek JR oleh siapapun. Begitu ada thresholdnya pasti jadi JR. Bagaimana MKK menjawab kalau ada yang menJR ya belum bisa jawab MK-nya, tunggu dulu orang menJR katanya gitu. Apakah ini bertentangan dengan konstitusi atau tidak, nah itu jawaban dari MK.Kita kan rombongan datang, dan kalau apa bahkan waktu itu Ketua MK bilang saya bisa sebutkan siapa yang mau menJR gitu. Mungkin sudah dapat gambaran gitu kan. Saya kalau mau tahu saya sebutkan, kita bilang ya ngga usah dikasih tahulah. Kita juga tahu siapa yang mau GR saya bilang gitu. Jadi posisinya seperti ini tergantung pilihan politik kita memang. Dan semua pilihan kita berimplikasi ya. Kalau misalnya pilihan kita nol tanpa threshold ya dapat itu ada yang menJR, tapi kalau pilihan kita nanti sepakat kita dengan ada threshold dua puluh sampai dua puluh lima persen MK sudah bilang bahwa kami siap-siap menerima Judicial Review dari orang yang akan menJR ini, sudah kita terima saja itu nanti ya.

Saya kira itu Pak Menteri.

F-PG (H. RAMBE KAMARUL ZAMAN, M.Sc.,M.M.):

Karena saya waktu itu ikut konsultasi di Mahkamah Konstitusi. Apapun undang-undang yang kita buat potensi untuk di JRitu pasti. Jadi kita nda kuatir, sama saja dengan ini pengantarnya Pak apa Saudara Menteri, menJR perlukah rapat konsultasi dengan DPR KPU begitu itu kan di JR juga sekarang itu, oleh KPU-nya sendiri. Yang kita mengatakan bahwa yang ngga tahu tatanegara, ya kekuasaan yang menyangkut kehakiman dan hukum itu kan ada sama MA, ada sama MK. Kekuasaan membentuk undang-undang itu adalah ada sama DPR, ya kalau KPU itu adalah yang melaksanakan kekuasaan ini semua, bukan dia punya kekuasaan tersendiri lagi yang kita katakan Kupenas, gitu. Silahkan di JR gitu, ngga apa-apa. Jadi inipun tadi saya merasa cocok betul Undang-Undang Dasar kita kan menempatkan partai politik ini dengan fungsi yang sangat mulia. Kita sudah setuju semua pilar demokrasi. Saudara Menteri tadi mengatakan bahwa ya kalau mau mencalonkan jadi Presiden itu ya disamping lolos dari urusan hukum Kementerian Hukum dan HAM juga lolos mendapat dukungan rakyat, jadi clear dulu itu. Ini belum apa-apa mau mencalonkan, jadi kita nol kan begitu, jadi kita turunkan lagi. Saya tadi mengatakan ini untuk menjadi pemimpin republik kita gitu loh. Kalau mau kita inikan ya bagaimana padahal sudah diberikan di pasal oleh pemerintah ya gabung kepada partai politik yang sudah ikut sebelumnya. Ini kan ada pasal yang sudah mengatur itu bukan meniadakan tapi gabung. Oleh karenanya Saudara Ketua kita firmlah. Mau di JR nanti silahkan JR, jadi republik ini mau kita apakan kalau kedepan tanpa ada syarat dukungan publik yang mencalonkan, kan kita nyatakan partai politik yang mencalonkan. Bukan Pak ya kalau mau ini kita langgar saja

Undang-Undang Dasar kita buat calon perorangan untuk calon Presiden, kumpul tanda tangan seperti calon gubernur, ya jadi ya ini saya kira nda usah ada kekuatiran kita ini mau di JR. Di JR silakan kita hadapi. Sama dengan KPU mau men JR setelah ada mau konsultasi, ya cabang kekuasaan kita berapa sih, jangan ada lagi cabang kekuasaan pelaksanaan penyelenggara, dia menyelenggarakan, dia tidak Kupenas, ini kita mau teranglah disini. Jadi kalau KPU saya terus-terang Saudara Menteri kalau ada syarat yang mendukung, kalau yang tidak mendukung JR itu tidak dilulusin oleh Pansel kemarin, ya kalau itu dibuat syaratnya kita akan kembalikan calon-calon KPU, Bawaslu dari Pansel itu kalau itu syaratnya. Sebab, ya bagaimana begitu, kita kan sudah sampaikan sebelumnya tapi kalau tatacara rapat konsultasi itu kita perbaiki ya oke, itu kan banyak juga kelemahan kita. Tapi bukan meniadakan kekuasaan pembentuk undang-undang itu masa nda mau konsultasi sama Pemerintah dan DPR. Itu ngga apa-apa di JR nanti kalau MK juga membatalkan itu ya sudah ada cabang kekuasaan pemerintahan yang baru di luar Undang-Undang Dasar. Itu malah saya kira nda cocok, gitu loh. Jadi lebih baik kami sampaikan, kami dari Fraksi Partai Golkar ngga usah takut kita. Menurut kami ngga usah takut kita ini di JR sebab kalau kita bikin tidak ada persyaratan apalagi kita melemahkan kembali partai politik yang sudah ada sekarang, yang sudah ada sekarang. Tadi malah kami pertanyakan tadi secara langsung, ini Keputusan MK itu dimana amar putusan begitu. Ternyata Pemerintah menjelaskan tidak ada amar putusan itu. Jadi ini saya kira menjadi pertimbangan. Jadi kalau menurut saya ya kita harus menyetujui ada syarat, itu. Jangan lagi tidak kita nyatakan untuk Calon Presiden tidak ada syarat. Yang menyangkut perbedaan kita sekarang adalah syaratnya itu saya kira angka berapa, itu saja sudah tinggal Ketua. Jangan nanti kita ada konstitusional inkonstitusional nda nda begitu nda begitu ceritanya. Ada kekuatiran kita ini di JR nda nda kesitu arahnya. Nda ada saya kira kekuatiran kita ini untuk di JR begitu. Saya kira

KETUA RAPAT:

Ya. Pak Yandri silakan.

WAKIL KETUA/F-PAN (H. YANDRI SUSANTO, S.Pt):

Ya saya kira apa yang disampaikan dalam opsi itu ngga apa-apa seperti dulu Pak Rambe, dan juga kita paksakan haruskan. Saya setuju dengan Pak Rambe tadi, misalkan kekuasaan hukum itu ada di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, itupun hasil kita dengan Pemerintah waktu amandemen misalkan kan di undang-undang. Nah sekarang pemahaman kita terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi bagaimana. Memang betul Pak Sekjen Pak Yus, itu memang ngga ada …misalnya nanti ada presidensial threshold tapi dari bunyi Mahkamah Konstitusi setiap peserta Pemilu, setiap partai politik pesert Pemilu boleh mengajukan calon Presiden. Artinya kan kalau ada partai baru kan belum punya kursi, memang ngga disebutkan dalam itu ngga ada presidensial threshold ngga ada. Syaratnya apa, makanya pemahaman kita terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dulu, kalau dia final dan mengikat maka kita ngga bisa kalau kita harus tunduk dengan Putusan Mahkamah Konstitusi harus tinggal menyadur sebenarnya, tinggal menyadur sama dengan waktu kita merevisi Undang-Undang Pilkada. Tinggal kita sadur saja, bahwa Anggota DPR harus mundur tinggal sadur. Pemerintah bersikukuh waktu itu sepuluh fraksi ngga setuju Anggota DPR harus mundur, tapi karena itu Putusan Mahkamah Konstitusi dengan

… terbuka di Prolegnas, kita sadur saja Putusan Mahkamah Konstitusi. Kenapa misalkan ini tidak kita sadur bunyi dari Putusan Mahkamah Konstitusi itu. Kalau menurut saya begitu pemahaman saya. Iya, kenapa misalnya tidak kita sadur, kalau itu menyangkut tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Seperti kita menyadur hasil perintah Mahkamah Konstitusi tentang bahwa Anggota DPR wajib mundur ketika mencalonkan sebagai peserta calon Pilkada.Masalah persyaratan yang lain ya kita buat tapi masalah presidensial threshold makna yang saya ambil bahwa karena dia setiap partai politik peserta Pemilu maka kalau ada partai apa namanya Pemilu yang

Dalam dokumen BIDANG ARSIP DAN MUSEUM (Halaman 53-69)

Dokumen terkait