• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYERTAAN DALAM HUKUM ISLAM A. Konsep Penyertaan dalam Tindak Pidana

2. Keturutsertaan tidak langsung

2. Keturutsertaan tidak langsung.

Menurut Abdul Qadir Audah, keturutsertaan tidak langsung,

َعَم َتا ْ م ا َسَتم اكْي َش َتْعَي َلَع ناَعإ ْ َأ ْيَغ ضْ َح ْ مَ ، ْيَلَع اَعم ّْعف اَكتْ إ َلَع ْيَغ

ْلا َلَع َ َناَعإا ْ َأ َضْي ْحَتلا ْ َأ َ اَتإا ادصاَ َ ْ كَي ْ َأ كْي شلا ْيف طْ َتْشَيَ ،ّْع ْلا اَ َ َ ْي َج

Artinya: “setiap orang yang bersepakat dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman atasnya, orang yang menghasut (menggerakkan) orang lain atau membantu dalam perbuatan tersebut, dengan disyaratkan adanya kesengajaan dalam kebersepakatan, penghasutan, dan pemberian bantuan tersebut“.15

Mutasabbib adalah pihak yang melakukan suatu tindakan yang biasanya bisa mengakibatkan kerusakan atau kebinasaan sesuatu. Tindakan itu sendiri sebenarnya bukan yang secara langsung memunculkan kebinasaan tersebut, akan tetapi melalui perantara sesuatu yang lain yaitu tindakan orang lain yang melakukannya dengan keinginan sendiri.16

Apabila tindakan pihak mutasabbib dianggap sebagai tindakan yang melanggar dan melampaui batas, maka hanya dirinya saja yang bertanggung

14

Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu juz VII, hlm. 561.

15

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz

I, hlm. 365-366

16

jawab. Hal ini berdasarkan kaidah, “mutasabbib tidak dituntut

bertanggungjawaban kecuali jika ia melakukan tindakan yang melanggar“ apakah itu memang sengaja atau tidak. Atau berdasarkan kaidah, “suatu

tindakan disandarkan atau dinisbatkan kepada mutasabbib apabila tidak ada

perantaraan yang menengahi“ yaitu ketika tidak dimungkinkan untuk

menuntut pertanggungjawaban dari pelaku langsung karena pelaku langsung adalah orang yang tidak mungkin diminta pertanggung jawaban atau pelaku langsungnya tidak ada atau tidak diketahui, atau tindakan mutasabbib lebih kuat efek dan lebih dominan dari pada tindakan pelaku langsung. Kesimpulannya, pihak mutasabbib adalah yang harus bertanggung jawab apabila tindakannya yang menjadi sebab itu lebih dominan daripada tindakan pelaku langsung.17

Menurut Jumhur selain ulama Hanafiah, dalam kasus pembunuhan pelaku langsung dan pelaku tidak langsung dapat bersama-sama dijatuhkan hukuman. Dalam kasus paksaan untuk melakukan pembunuhan, baik pihak yang memaksa maupun pihak yang dipaksa keduanya sama-sama dikisas, karena pihak yang dipaksa pada faktanya adalah pihak yang menjalankan pembunuhan secara langsung, sedangkan pihak yang memaksa adalah pihak yang menjadi penyebabnya (mutasabbib).

Dalam kasus pembunuhan lain, dimana terdapat pelaku yang berjumlah dua orang, salah satunya memegangi korban dan yang satunya yang

17

melakukan pembunuhan terhadap korban, ulama Malikiyah memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat ulama madzhab yang lain, yaitu kedua-duanya sama-sama dikisas, karena pelaku yang bertugas memegangi korban adalah sebagai mutasabbib dan rekannya yang bertugas membunuh adalah sebagai pelaku langsung. 18

Yang dianggap turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain, atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam persepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.19

Unsur-unsur keturutsertaan tidak langsung ada tiga, yaitu sebagai berikut:

1. Perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman pidana(tindak pidana). 2. Cara mewujudkan perbuatan tersebut, yaitu mengadakan

persepakatan, penghasutan, atau pemberian bantuan.

3. Niat dari pelaku tidak langsung agar perbuatan yang dimaksudkan dapat terjadi.20

Unsur pertama, untuk terjadinya keturutsertaan disyaratkan adanya perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman dan perbuatan tersebut harus terjadi meskipun tidak harus selesai secara sempurna. Karena itu, dalam percobaan

18

Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu juz VII, hlm. 576.

19

A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, hlm. 162-163

20

tindak pidana, pelaku tidak langsung dapat dijatuhi hukuman. Demikian juga, untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku tidak langsung, pelaku langsung tidaklah harus dijatuhi hukuman. Hal ini karena terkadang pelaku langsung memiliki niat yang baik sehingga ia tidak dijatuhi hukuman, tetapi pelaku tidak langsung tetap dijatuhi hukuman atau pelaku langsung diampuni karena ia masih di bawah umur atau gila sedangkan pelaku tidak langsung tetap dijatuhi hukuman.21

Unsur ketiga, turut berbuat tidak langsung bisa terjadi dengan jalan: 1. Persepakatan.

Persepakatan bisa terjadi karena adanya rasa saling memahami dan karena kesamaan kehendak untuk memperbuat tindak pidana. Kalau tidak ada persepakatan sebelumnya, maka tidak ada “keturutsertaan“. Jadi tidak ada “keturutsertaan“ kalau sudah ada persepakatan sebelumnya, tetapi bukan atas jarimah yang terjadi dan dikerjakan bersama. Jika seseorang bersepakat dengan orang lain untuk mencuri kerbau, kemudian pembuat langsung memukul pemilik kerbau atau mencuri kerbau bukan milik orang yang dituju, maka di sini tidak ada persepakatan atas jarimah yang terjadi. Akan tetapi tidak adanya keturutsertaan tidak berarti bahwa persepakatan itu tidak

21

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz

dihukum, sebab persepakatan itu sendiri sudah merupakan perbuatan maksiat.22

Dalam hal keturutsertaan tidak langsung, Imam Malik mempunyai teori yang berbeda dengan fukaha lainnya. Ia menganggap orang yang bersepakat dengan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dan orang tersebut menyaksikan tindak pidana itu berlangsung, orang tersebut dianggap

sebagai “pelaku penyerta langsung“, bukan pelaku tidak langsung.

Demikianlah teori Imam Malik mengenai pelaku tidak langsung secara mutlak, baik cara mewujudkan perbuatan tidak langsung tersebut melalui persepakatan, penghasutan, atau bantuan.23

2. Menghasut

Yang dimaksud dengan menghasut ialah membujuk orang lain untuk memperbuat jarimah, dan bujukan itu menjadi pendorong untuk diperbuatnya jarimah. Apabila tidak ada bujukan atau hasutan, niscaya tidak mungkin bujukan atau hasutan dikatakan sebagai pendorong seseorang untuk melakukan tindak pidana itu, baik hasutan itu berpengaruh maupun tidak, karena menghasut itu sendiri adalah suatu perbuatan maksiat dan perintah untuk melakukan kemungkaran.24

22

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz

I, hlm. 366-367.

23

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz

I, hlm. 367.

24

Perintah (bujukan) atau paksaan untuk membunuh dapat dianggap sebagai hasutan. Perbedaan antara perintah (bujukan) dan pemaksaan, perintah tidak memengaruhi kebebasan kehendak orang yang diperintah untuk memilih sehingga ia bisa melaksanakan tindak pidana itu atau meninggalkannya, sedangkan pemaksaan memengaruhi kebebasan kehendak orang tersebut. Artinya, ia hanya bisa memilih antara dua hal, melakukan tindak pidana atau menuai apa yang diancamkan kepadanya dan bersabar atasnya.25

Apabila orang yang memerintahkan (membujuk) itu memiliki kekuasaan atas orang yang diperintah, seperti kekuasaan ayah terhadap anaknya atau guru terhadap muridnya, perintah tersebut bisa disebut pemaksaan. Akan tetapi, apabila orang yang diperintah itu bukan anak kecil di bawah umur, tidak dungu atau gila, dan orang yang memerintah tidak memiliki kekuasaan atas dirinya, perintah tersebut dianggap bujukan biasa yang bisa menimbulkan tindak pidana atau tidak.

Pada kasus adanya kekuasaan pada diri orang yang memerintahkan, para fukaha membedakan antara orang yang diperintahkan itu sudah mumayiz atau belum. Jika orang yang diperintahkan itu belum mumayiz dan tidak mungkin baginya menentang orang yang memerintahnya, berarti ia adalah alat bagi orang yang memerintahnya meskipun ia yang melakukan tindak pidana secara langsung. Dalam kasus seperti ini, orang yang memerintahkan itu

25

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz

dianggap sebagai pelaku langsung dan ia tidak dianggap sebagai pelaku tidak langsung.

Imam Malik berpendapat bahwa apabila orang yang menghasut turut menyaksikan dan berada di tempat kejadian perkara itu berlangsung, ia dianggap sebagai pelaku asli, baik ia turut membantu pelaku langsung maupun tidak, dengan syarat sekiranya pelaku langsung tidak melakukan tindak pidana tersebut, ia sendiri yang akan melakukannya.26

3. Bantuan

Orang yang membantu orang lain dalam melakukan suatu tindak pidana dianggap sebagai pelaku tidak langsung meskipun sebelumnya ia tidak bersepakat untuk melakukan tindak pidana tersebut. Misalnya orang yang mengawasi jalan untuk memudahkan pencurian atau pembunuhan bagi orang lain (pelaku), ia dianggap sebagai orang yang memberi bantuan kepada pelaku. Demikian pula dengan orang yang menggiring korban ke tempat kejadian perkara kemudian ia meninggalkannya untuk kemudian dibunuh atau dirampas oleh pelaku tindak pidana, ia dianggap juga sebagai orang yang memberi bantuan kepada si pelaku.

Para fukaha membedakan antara pelaku langsung dan pembantu. Menurut mereka pelaku langsung adalah orang yang melakukan atau mencoba melakukan perbuatan yang dilarang, sedangkan pembantu adalah orang yang

26

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz

tidak melakukan atau mencoba melakukan, tetapi hanya membantu pelaku asli dengan perbuatan-perbuatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan yang dilarang. Karena itu, ia tidak dianggap sebagai pelaku perbuatan tersebut.

Para fukaha berbeda pendapat mengenai hukum orang (pertama) yang memegang korban sehingga orang ketiga dapat membunuhnya. Sebagian dari mereka, yaitu Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan dan pendapat pertama

madzhab Hanbali, berpendapat bahwa orang yang memegang tersebut adalah pelaku penyerta sebagai pembantu, bukan pelaku langsung. Mereka beralasan bahwa meskipun orang yang memegang itu menyebabkan terjadinya pembunuhan karena perbuatannya tersebut, orang lain yang melakukannya. Dalam hal ini, perbuatan langsung mengalahkan sebab jika perbuatan langsung tersebut bukan didasari oleh paksaan absolut.27

Sementara itu, sebagian fukaha yang lain, yaitu Imam Malik dan pendapat kedua madzhab Hanbali, berpendapat bahwa orang yang memegang dan orang yang membunuh keduanya sama-sama dianggap sebagai pelaku langsung pembunuhan. Mereka beralasan bahwa orang yang membunuh itu yang melakukan pembunuhan, sedangkan orang yang memegang itu menjadi penyebab terjadinya pembunhan. Adapun perbuatan langsung dan sebab berkedudukan sama dalam hal menciptakan akibat perbuatan itu, yaitu

27

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz

pembunuhan, karena suatu akibat tidak akan terjadi jika salah satu dari dua perbuatan tidak terpenuhi.

Imam Malik menganggap orang yang memberikan bantuan sebagai pelaku langsung pada kasus pidana yang sudah direncanakan dan ada persepakatan sebelumnya, jika orang yang membantu tersebut hadir dan menyaksikan tindak pidana di tempat kejadian perkara atau berada di dekatnya, di mana sekiranya ia dimintai bantuan untuk melakukan pidana tersebut, ia tidak terlambat untuk melakukannya. Akan tetapi, apabila tindak pidana itu dilakukan tanpa ada persepakatan sebelumnya dan orang yang membantu tersebut hadir di tempat kejadian perkara, tetapi ia tidak siap melakukan tindak pidana sekiranya ia dimintai tolong untuk melakukannya, ia hanya dianggap sebagai pelaku tidak langsung. Adapun para fukaha lainnya menganggap orang yang membantu tersebut sebagai pelaku tidak langsung pada semua kasus apabila ia tidak melakukan tindak pidana secara langsung.28

Pada dasarnya, kaidah hukum Islam menetapkan bahwa hukuman-hukuman yang jumlahnya telah ditentukan, yakni dalam tindak pidana hudud dan kisas, dijatuhkan kepada pelaku langsung tindak pidana, bukan kepada pelaku tidak langsung. Berdasarkan perintah tersebut, siapa saja yang turut serta dalam tindak pidana hudud dan kisas, tidak dijatuhi hukuman hudud

28

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz

yang telah ditentukan jumlahnya, bagaimanapun bentuk kesertaannya. Dalam hal ini, ia dijatuhi hukuman takzir.

Jika perbuatan pelaku tidak langsung bisa dipandang sebagai pelaku langsung itu hanya sekedar alat yang digerakkan oleh pelaku tidak langsung, ia dijatuhi hukuman hudud atau kisas karena ia dikategorikan sebagai pelaku langsung, bukan sebagai pelaku tidak langsung.

Menurut teori Imam Malik, pelaku tidak langsung, bagaimanapun cara dan bentuk keturutsertaannya, dianggap sebagai pelaku langsung, yakni bila ia hadir dan menyaksikan terjadinya tindak pidana tersebut. Hal ini karena apabila pelaku langsung/asli tidak sanggup melaksanakan, ia sendiri (pelaku tidak langsung) yang akan melaksanakan atau turut serta dengan orang lain dalam pelaksanaannya tersebut. Berdasarkan teori ini, pelaku tidak langsung akan dijatuhi hukuman hudud dan kisas seketika dirinya dianggap sebagai pelaku langsung.29

29

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz

50

BAB IV

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 959K/PID/2012 PERSPEKTIF

Dokumen terkait