• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYERTAAN DALAM HUKUM ISLAM A. Konsep Penyertaan dalam Tindak Pidana

1. Turut berbuat langsung

Menurut Abdul Qadir Audah, turut berbuat langsung adalah,

اََجْلا ددَعَت َلاَح ْيف دَجْ ي كاَ تْشإْلا َ م عْ لا اَ َ َأ ّْصَأْلا : َ ْي شَ ْلا َكَ َتْشإ ْك َ ْ شَي َ ْي لا

داَ ْلا َ ْي َجْلا

6

Artinya: “Turut berbuat langsung pada dasarnya baru terjadi apabila orang yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari seseorang atau

berbilangnya jumlah pelaku“.7

Turut berbuat langsung dapat terjadi, manakala seorang melakukan sesuatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah yang sudah cukup disifati sebagai maksiat dan yang dimaksudkan untuk melaksanakan jarimah itu. Dengan istilah sekarang yaitu apabila ia telah melakukan percobaan, baik jarimah yang diperbuatnya itu selesai atau tidak, karena selesai atau tidaknya suatu jarimah tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai orang yang turut berbuat langsung. Pengaruhnya hanya terbatas pada besarnya hukuman, yaitu apabila jarimah yang diperbuatnya itu selesai, sedang jarimah itu berupa jarimah had, maka pembuat dijatuhi hukuman had, dan kalau tidak selesai maka hanya dijatuhi hukuman takzir.8

Di dalam turut berbuat langsung ini terdapat istilah yang dikenal dengan tawafuq dan tamallu‘. Mayoritas fukaha membedakan antara

tanggung jawab pelaku langsung pada kasus kebetulan atau spontanitas (tawafuq) dan kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya (tamalu). Pada kasus kebetulan, setiap pelaku langsung hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatannya dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain.

7

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jina’i fi Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i, juz

II, hlm. 360.

8

Tawafuq bermakna niat orang-orang yang turut-serta dalam tindak pidana adalah untuk melakukannya, tanpa ada kesepakatan (pemufakatan) sebelumnya di antara mereka. Dengan kata lain, masing-masing pelaku berbuat karena dorongan pribadinya dan pikirannya yang timbul seketika itu. Dalam kasus tamalu, para pelaku telah sepakat untuk melakukan suatu tindak pidana dan menginginkan bersama terwujudnya hasil tindak pidana itu. 9

Perlu dicatat bahwa fuqaha berbeda pendapat dalam mendefinisikan makna at-tamallu‘. Ulama Hanafiah, Ulama Syafi’iyyah, dan Ulama

Hanabillah berdasarkan pendapat yang lebih raajih menurut mereka, mengatakan bahwa at-tamallu‘ menurut istilah mereka adalah kesamaan keinginan para pelaku dalam suatu tindakan meskipun tidak didahului dengan adanya kesepakatan di antara mereka sebelumnya, sekiranya mereka bersama-sama melakukan tindakan kejahatan itu secara spontan meski tanpa didahului dengan adanya rencana atau kesepakatan sebelumnya (pengeroyokan yang terjadi spontan). Jadi menurut mereka, at-tamallu‘ memiliki makna lebih luas, mencakup pengeroyokan yang berarti tidak ada kesepakatan atau perencanaan sebelumnya, dan mencakup perkomplotan atau konspirasi yang berarti sebelumnya telah ada kesepakatan.10

9

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jina’i fi Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i, juz

II, hlm. 360-361.

10

Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu juz VII, (Damaskus: Daarul Fikr, 2007), hlm. 564.

Sementara itu, ulama Malikiyah mengatakan, at-tamallu’ adalah bersepakat dan berkomplot, yaitu ada dua orang atau lebih yang bermaksud untuk membunuh seseorang dan memukulinya. Jadi, at-tamallu‘ menghendaki adanya kesepakatan yang dilakukan sebelumnya untuk melakukan suatu aksi bahwa at-tawafuq (pengeroyokan yang terjadi secara spontan dan kebetulan) dalam suatu aksi pelanggaran tidak dianggap sebagai at-tamallu‘. Akan tetapi, mereka semua tetap dihukum bunuh apabila mereka memiliki maksud dan niat untuk melakukan serta hadir dalam aksi tersebut, meskipun akhirnya yang melaksanakan aksinya hanya salah satu saja dari mereka sedangkan yang lainnya hanya melihat dan mengawasi saja misalnya, namun dengan syarat jika memang seandainya waktu itu mereka dimintai untuk membantu dalam melaksanakan aksi itu, maka mereka akan membantu.

Menurut Ulama Malikiyah, orang-orang yang terlibat dalam suatu aksi pembunuhan yang sebelumnya tidak ada kesepakatan dan perkomplotan di antara mereka, maka mereka semua tetap dihukum bunuh, jika memang mereka ikut memukul secara sengaja dan aniaya dan korban mati di tempat itu juga, sementara pukulan-pukulan yang mereka lakukan tidak bisa terbedakan antara satu dengan yang lainnya, atau bisa terbedakan akan tetapi tidak diketahui mana pukulan yang mematikan dan yang membunuh.11

Hukuman pelaku langsung, pada dasarnya banyaknya pelaku tindak pidana tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang pantas dijatuhkan atas

11

mereka, yakni sama seperti melakukan tindak pidana sendirian. Karena itu, hukuman yang dijatuhkan atas orang yang turut melakukan tindak pidana (pelaku-penyerta) adalah sama seperti hukuman atas orang yang melakukan secara sendirian meskipun ketika sedang bersama dengan lainnya, mereka tidak melakukan seluruh perbuatan yang membentuk tindak pidana itu.12

Di dalam kasus pembunuhan, berdasarkan kesepakatan para imam

madzhab empat, secara syara‘ wajib menghukum kisas sekelompok orang

karena membunuh satu orang. Hal ini dalam rangka saddudz dzaraa’i

(menutup celah-celah yang bisa berpotensi dijadikan sebagai pintu masuk kepada sesuatu yang terlarang). Karena jika mereka tidak dikisas semuanya, tentunya itu akan berdampak pada pelaksanaan hukum kisas tidak bisa dilakukan. Sebab jika demikian, tindakan pembunuhan dengan cara dilakukan secara bersama-sama akan dijadikan sebagai trik dan rekayasa untuk terhindar dari jeratan hukuman kisas. Di samping itu, banyak kasus pembunuhan yang terjadi dilakukan secara bersama-sama oleh sekelompok orang, karena biasanya suatu kasus pembunuhan tidak terjadi kecuali dilakukan dengan cara bekerjasama oleh sekelompok orang.13

Para sahabat cepat tanggap dalam mengantisipasi permasalahan seperti ini, sehingga mereka mengeluarkan fatwa kisas menyeluruh terhadap semua anggota komplotan pembunuhan. Kejadian pertama kali kasus seperti ini

12

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jina’i fi Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i,

juz II, hlm. 363.

13

terjadi pada masa kekhalifahan Umar Ibnu Khattab, yaitu ada seorang suami

meninggalkan isterinya di kota Shan’a bersama dengan seorang anak dari

isterinya yang lain. Lalu si isteri memiliki pria idaman lain dan melakukan hal yang tidak baik. Perbuatan itu pun diketahui oleh si anak tersebut.

Si isteri itu kemudian berkata kepada pria idaman lainnya itu, “anak

ini telah mengetahui perbuatan kita, karena itu, bunuhlah ia.“ Namun, si laki-laki itu menolak, hingga menyebabkan si isteri itu pun “ngambek“ dan tidak

mau lagi berhubungan dengan si laki-laki itu, sehingga si laki-laki itu pun akhirnya memenuhi permintaan si isteri itu untuk membunuh anak tersebut. Lalu ia pun melakukan pembunuhan terhadap anak itu bersama-sama dengan seorang laki-laki lain, si isteri itu sendiri dan pembantunya dengan cara memutilasi si anak dan menceburkannya ke dalam sumur. Kemudian kejadian itu pun terungkap dan tersebar luas.

Setelah kejadian itu, Amir Yaman menangkap laki-laki itu dan ia pun mengakui perbuatannya, kemudian para pelaku yang lain pun ikut mengakui perbuatan mereka. Amir Yaman kemudian mengirim sepucuk surat kepada Umar ibn Khattab, lalu Umar Ibn Khattab mengirim surat balasan yang berisikan supaya mereka semua dihukum bunuh (kisas). Umar ibn Khattab

membunuh anak itu, sungguh aku pasti akan menghukum bunuh mereka

semua“.14

Dokumen terkait