• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keuangan Negara

Dalam dokumen BAB IV PEMBANGUNAN EKONOMI (Halaman 54-57)

D. KERANGKA EKONOMI MAKRO 1. Arah Kebijakan Ekonomi Makro

5. Keuangan Negara

Ekspor 51,2 61,1 63,9 69,8 75,9 83,5 Migas 10,3 14,6 12,2 12,3 11,9 11,5 Nonmigas 41,0 46,5 51,6 57,4 64,0 72,0 (Pertumbuhan) -4,6 13,5 11,0 11,2 11,5 12,5 Impor -30,6 -35,6 -39,3 -45,3 -52,3 -59,3 Migas -4,0 -4,9 -4,2 -4,7 -5,1 -5,1 Nonmigas -26,6 -30,6 -35,1 -40,6 -47,2 -54,2 (Pertumbuhan) -8,4 15,0 14,4 16,0 16,1 14,9 Jasa-jasa -14,9 -17,9 -17,3 -20,5 -23,7 -27,5 Pembayaran Bunga Pinjaman Pemerintah -3,2 -3,5 -3,6 -3,4 -3,3 -3,2

Transaksi Berjalan 5,8 7,6 7,2 3,9 -0,1 -3,3

Neraca Arus Modal -7,4 -11,3 -6,4 0,6 3,7 5,1 Pemerintah 2,5 -0,1 -0,5 -1,8 -1,7 -1,6 Arus Masuk 6,6 4,3 4,9 4,1 4,1 4,0 Arus Keluar -4,1 -4,4 -5,5 -5,9 -5,8 -5,6 Swasta -9,9 -11,2 -5,9 2,4 5,4 6,7 PMA Neto -2,7 -5,3 -3,1 2,0 3,0 4,0 Lainnya -7,2 -5,8 -2,8 0,4 2,4 2,7 Exceptional Financing 2,9 3,9 2,8 -0,4 -1,3 -0,7 IMF Neto 1,4 1,5 -0,2 -1,1 -1,3 -0,7 Penjadwalan Hutang 1,5 2,4 3,0 0,7 0,0 0,0 (Rescheduling) Surplus/Defisit 1,2 0,2 3,6 4,1 2,3 1,1 (Overall Balance) Cadangan Devisa 2) 27,1 27,2 30,8 34,9 37,3 38,4 (Dalam Bulan Impor) 7,1 6,1 6,5 6,4 5,9 5,3 Cadangan Devisa Bersih 16,9 18,2 22,1 27,3 30,9 32,7 Utang Luar Negeri 148,1 137,6 133,9 134,1 136,6 141,0 Pemerintah 3) 4) 75,9 77,8 80,0 77,8 74,9 72,6 Swasta 72,2 59,8 53,9 56,3 61,7 68,4

1) Perbedaan satu digit di belakang koma terhadap angka penjumlahan adalah karena pembulatan.

2) Mulai tahun 2000, cadangan devisa (reserve assets) menggantikan aktiva luar negeri bruto (gross foreign assets).

3) Termasuk pinjaman IMF.

4) Pada bulan Maret 2000 dilakukan revaluasi stok utang luar negeri oleh Bank Indonesia sebagai akibat menguatnya dolar AS terhadap yen Jepang. Revaluasi ini menurunkan stok utang luar negeri pemerintah yang seharusnya sebesar US$ 77,1 miliar menjadi US$ 75,3 miliar.

Secara keseluruhan, neraca pembayaran hingga tahun 2004 diperkirakan tetap surplus. Neraca arus modal yang masih defisit pada tahun 2001 akan ditutup oleh surplus pada neraca transaksi berjalan. Dengan gambaran neraca transaksi berjalan dan arus modal seperti tersebut di atas, cadangan devisa (reserve assets) diperkirakan terus meningkat dan menjadi peredam (cushion) bagi kemungkinan gejolak rupiah. Dengan pelunasan pinjaman pemerintah dan swasta, posisi utang luar negeri diperkirakan menurun, tidak saja sebagai persentase dari PDB, tetapi juga secara absolut.

5. Keuangan Negara

Dalam tahun 2001 kebijakan keuangan negara diarahkan untuk menciptakan stimulus fiskal terbatas guna mendukung pemulihan ekonomi. Dalam tahun-tahun berikutnya kebijakan

diarahkan untuk mewujudkan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability). Arah kebijakan tersebut tercermin dari defisit anggaran yang cukup besar pada tahun-tahun awal proyeksi, kemudian secara bertahap beralih ke surplus pada tahun 20044 (lihat Tabel 4).

Di sisi penerimaan, upaya peningkatan penerimaan pajak terus dilanjutkan. Penerimaan pajak diharapkan meningkat sekitar 5 persen dari PDB antara tahun 1999-2004. Langkah yang ditempuh adalah menyederhanakan administrasi pajak, menghilangkan berbagai pengecualian pajak dan meningkatkan penegakan hukum. Sementara itu, peranan migas (pajak dan bukan pajak) akan menurun5.

Di sisi pengeluaran negara, langkah pokok yang ditempuh untuk mendukung fiscal

sustainability adalah sebagai berikut.

1. Menekan biaya restrukturisasi perbankan. Proses rekapitalisasi perbankan yang dibiayai oleh pemerintah diharapkan selesai dalam tahun 2000 ini. Selanjutnya melalui kebijakan untuk menjaga stabilitas harga diharapkan terwujud tingkat suku bunga yang rendah sehingga memperingan pembayaran bunga obligasi dalam rangka rekapitalisasi perbankan. Upaya penyehatan kembali industri perbankan ini sangat penting untuk memungkinkan penyaluran kembali kredit guna mendukung kegiatan ekonomi.

2. Menghapuskan subsidi secara bertahap. Subsidi BBM selama ini tidak terarah pada rakyat miskin. Penghematan pengeluaran ini dapat digunakan untuk pengeluaran pembangunan yang lebih terarah pada golongan masyarakat kurang mampu tersebut. Dalam perkiraan ini masih disediakan subsidi yang terarah pada kelompok masyarakat miskin (targeted subsidy). 3. Mengendalikan peningkatan anggaran untuk belanja pegawai. Meskipun perbaikan

pendapatan PNS sangat penting dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, kemampuan APBN sangat terbatas untuk membiayainya. Oleh karena itu, peningkatan belanja pegawai tersebut perlu disertai dengan reformasi birokrasi.

4. Membatasi pengeluaran pembangunan. Pengeluaran pembangunan dibatasi pada kegiatan yang produktif, penting, dan mendesak. Dalam kaitan itu skala prioritas pengeluaran pembangunan harus dipertajam.

Di sisi pembiayaan defisit, dengan arah kebijakan mengurangi beban utang luar negeri, maka perlu dihimpun pembiayaan domestik. Berdasarkan UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, sumber pembiayaan dari bank sentral untuk pemerintah tidak dimungkinkan lagi. Oleh karena itu, sumber pembiayaan akan dihimpun dengan:

1. Mengupayakan penjualan aset hasil restrukturisasi perbankan (asset recovery) semaksimal mungkin mencapai 70 persen sampai dengan tahun 2004.

2. Mengoptimalkan pendapatan dari privatisasi dengan tujuan utama meningkatkan kesehatan perusahaan pada khususnya dan perekonomian pada umumnya.

3. Menerbitkan obligasi. Dalam penerbitan obligasi ini, akan dipersiapkan secara matang infrastrukturnya dan dipertimbangkan secara seksama kondisi makro nasionalnya. Penerbitan obligasi pemerintah diperkirakan dimulai tahun 2004.

4 Dalam Tabel 4 terlihat bahwa dalam tahun 2001 diperkirakan terjadi stimulus fiskal yang ditandai oleh fiscal impulse yang positif. Pada tahun-tahun berikutnya kontraktif (perwujudan dari upaya mencapai fiscal sustainability). Meskipun bersifat kontraktif pemulihan ekonomi tidak akan terganggu seiring dengan pulihnya sektor perbankan dan sektor riil.

5 Dengan asumsi nilai tukar rupiah yang secara bertahap menguat dan harga ekspor minyak bumi yang secara bertahap menurun, penerimaan migas, sebagai persentase terhadap PDB, terus menurun.

Tabel 4

Perkiraan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1) 2)

(% PDB)

Proyeksi

1999 2000 2001 2002 2003 2004

A. Penerimaan Negara dan Hibah 15,9 19,4 17,3 17,9 18,6 19,3

1. Penerimaan Pajak 10,6 11,3 12,3 13,6 14,8 16,0 a. PPh 6,0 5,8 6,7 7,2 7,8 8,6 Migas 1,2 1,6 1,3 1,1 1,0 0,8 Bukan Migas 4,8 4,2 5,4 6,1 6,9 7,7 b. PPN 2,9 3,3 3,3 3,7 4,1 4,5 c. Lainnya 1,7 2,2 2,3 2,7 2,8 2,9 2. Penerimaan Bukan Pajak 5,3 7,9 4,9 4,3 3,8 3,3 a. Migas 3,8 6,0 3,5 3,2 2,7 2,4 b. Bukan Migas 1,5 1,9 1,4 1,2 1,2 0,9

B. Pengeluaran Negara 19,8 22,8 21,0 20,1 19,3 17,9

1. Pengeluaran Rutin 15,3 17,9 16,1 15,3 14,2 13,4 a. Restrukturisasi Perbankan 2,1 3,7 4,0 3,5 3,1 2,6 b. Belanja Pegawai (pusat dan daerah) 4,6 5,1 5,4 6,4 6,9 7,2 c. Subsidi 5,5 5,5 3,4 2,4 1,5 1,2 d. Lainnya 3,1 3,6 3,3 2,9 2,8 2,6 2. Pengeluaran Pembangunan 4,5 4,9 4,8 4,8 5,0 4,4 C. Surplus/Defisit -3,9 -3,4 -3,7 -2,2 -0,7 1,5 D. Pembiayaan 3,9 3,4 3,7 2,2 0,7 -1,5 1. Dalam Negeri 1,8 1,7 2,3 2,6 1,3 -1,4 a. Perbankan -0,0 -0,5 0,0 0,0 0,0 0,0 b. Non Perbankan (neto) 1,8 2,2 2,3 2,6 1,3 -1,4 Penjualan Aset Perbankan 3) 1,5 1,9 1,9 2,4 2,0 1,8 Penjualan Aset u/ Pengurangan

Obligasi 4) --- --- --- --- --- 9,3

Privatisasi 0,3 0,3 0,4 0,5 0,5 0,5 Amortisasi (-) 0,0 0,0 0,0 -0,3 -1,2 -3,7 Tambahan Pengurangan Obligasi 4) --- --- --- --- --- -9,3 2. Luar Negeri (neto) 2,1 1,7 1,4 -0,4 -0,6 -0,1 a. Penyerapan Pinjaman 3,8 2,6 2,6 1,9 1,6 1,6 b. Amortisasi -1,7 -0,9 -1,1 -2,3 -2,2 -1,7

Memorandum

- Pengaruh Kebijaksanaan Fiskal terhadap 0,5 -0,5 0,2 -1,5 -1,4 -2,0 Perekonomian (Fiscal impulse) 5) - Utang Pemerintah 101,2 99,2 86,3 76,3 63,9 45,7

1) Perbedaan satu digit di belakang koma terhadap angka penjumlahan adalah karena pembulatan.

2) Sesuai dengan tahun anggaran (TA). Tahun 1999 mencerminkan TA 1999/2000, berlaku dari 1 April 1999 s/d 31 Maret 2000. TA 2000 dari 1 April s/d 31 Desember (9 bulan). Mulai tahun 2001 dan seterusnya sama dengan tahun kalender, berlaku dari 1 Januari s/d 31 Desember.

3) Berdasarkan asumsi tingkat pemulihan aset (recovery aset) sebesar 30%.

4) Diperoleh dari tambahan tingkat pemulihan aset sebesar 40% dalam upaya semaksimal mungkin mencapai tingkat pemulihan aset sebesar 70%.

5) Positif menunjukkan pengaruh perubahan kebijakan menjadi relatif lebih ekspansif. Sebaliknya (negatif) berarti lebih kontraktif.

Secara ringkas, perkiraan di atas sesuai dengan amanat GBHN 1999-2004 untuk mewujudkan APBN yang semakin sehat dengan mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri. Dalam perkiraan tersebut perlu dicatat bahwa proses transisi menuju perimbangan keuangan pusat dan daerah akan diupayakan agar dapat berlangsung sesuai dengan prinsip pengelolaan kebijakan yang menjamin stabilitas ekonomi. Pertama, penyerahan penerimaan negara dari pusat ke daerah baik berupa transfer maupun penyerahan kewenangan pengelolaannya harus didahului oleh penyerahan tanggung jawab terhadap kewajiban atas

pengeluarannya. Kedua, pinjaman keuangan daerah dibatasi pada tingkat yang tidak membahayakan stabilitas ekonomi makro dan selaras kesinambungan anggaran pemerintah secara nasional. Dengan prinsip tersebut, gambaran ekonomi secara makro tidak berubah (misalnya dalam hal defisit anggaran dan utang luar negeri pemerintah). Hanya komposisi penerimaan dan pengeluaran yang mungkin berubah.

6. Moneter

Besaran moneter yang disajikan di sini bukan merupakan sasaran melainkan suatu gambaran yang konsisten dengan perkiraan perekonomian nasional antara lain mencakup tingkat inflasi, suku bunga, dan nilai tukar rupiah.

Dalam tahun 2001 Bank Indonesia menetapkan sasaran laju inflasi inti (core inflation) pada kisaran 4-6 persen. Sasaran ini diperkirakan sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi dan secara langsung dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter. Dengan rencana pemerintah untuk menaikkan gaji PNS, mengurangi subsidi BBM, dan menyesuaikan tarif jasa pelayanan yang dikendalikan oleh pemerintah, tingkat inflasi pada tahun 2001 diperkirakan antara 6-8 persen. Pada tahun-tahun selanjutnya sumbangan kenaikan harga akibat kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan (non-core inflation) diperkirakan akan semakin kecil, sehingga besaran inflasi akan lebih dipengaruhi oleh core inflation. Dengan pelaksanaan kebijakan moneter yang makin konsisten, core inflation diperkirakan akan menurun. Seiring dengan laju inflasi yang terus menurun, tingkat suku bunga dalam negeri akan cenderung menurun, terutama didorong oleh turunnya premium suku bunga (interest rate premium).

Pada saat krisis tahun 1998 premium suku bunga di Indonesia melonjak. Hal ini didorong oleh penilaian (rating) yang dikeluarkan lembaga pemeringkat internasional, antara lain Standard & Poors, yang memberikan kode CCC+ untuk pinjaman dalam valuta asing. Secara umum rating ini menyatakan bahwa Indonesia diragukan kemampuannya untuk bisa membayar. Pada bulan April 2000, country risk rating Indonesia diturunkan menjadi SD (Selected Default). Artinya bahwa Indonesia dianggap tidak dapat membayar sebagian utangnya. Dalam awal bulan Oktober 2000, peringkat utang baik dalam jangka panjang maupun pendek serta dalam valuta asing maupun mata uang lokal meningkat. Peringkat Indonesia untuk long

term dan short foreign currency rating masing masing meningkat dari SD menjadi B- dan dari

SD menjadi C. Sementara itu untuk local currency rating meningkat dari B- menjadi B. Di samping itu S&P juga memberikan predikat stable outlook terhadap keseluruhan peringkat tersebut.

Perkembangan ekonomi pada tahun 1999 membaik tercermin dari menurunnya suku bunga deposito 6 bulan menjadi 21,5 persen. Dalam tahun 2000 suku bunga deposito 6 bulan diperkirakan sekitar 12,0 persen. Hal ini memperkuat indikasi mulai berlangsungnya proses stabilisasi. Dengan kesungguhan dalam menjalankan reformasi ekonomi, maka premium suku bunga Indonesia dalam jangka menengah diperkirakan akan terus menurun yang selanjutnya akan menurunkan tingkat suku bunga secara bertahap. Perkembangan suku bunga juga tidak terlepas dari pergerakan nilai tukar rupiah. Melalui pengendalian inflasi, nilai tukar rupiah diperkirakan secara bertahap menguat dan stabil dalam kisaran Rp 6.500 – Rp 7.500 per dolar AS.

Dalam dokumen BAB IV PEMBANGUNAN EKONOMI (Halaman 54-57)

Dokumen terkait