• Tidak ada hasil yang ditemukan

III.5. Keuntungan Atas Stigma “Kampung Idiot”

III.5.1. Keuntungan dari Pihak Keluarga

Stigma yang diterima oleh anggota keluarganya maupun pihak penyandang keterbelakangan itu sendiri bukan selamanya berpengaruh buruk maupun negatif kepada mereka. Namun, stigma tersebut ternyata berpengaruh baik atau positif bagi keluarga maupun bagi penyandang keterbelakangan itu sendiri.

Hal tersebut dibuktikan melalui salah satu pernyataan informan SOI, yang mempunyai dua anggota keluarga penyandang keterbelakangan mental.SOI menyadari dengan stigma atau sebutan Desa Sidoharjo ini sebagai “Kampung Idiot” disatu sisi memberikan dapak positif kepada desanya, karena akhirnya setelah terkenal sebagai desa miskin yang masyarakatnya banyak yang berkebutuhan khusus yang akhirnya banyak bantuan yang datang ke desanya. Misalnya saja, dengan melihat kondisi keluaraga SOI pemerintah tidak hanya tinggal diam, SOI mengaku anaknya masih mendapat bantuan rutin dari pemerintah sebesar Rp.300.000,00 setiap bulannya.

Kan iki wes terkenal mbak kampong miskin mangan karat ngono, tapi yo akhirre akeh sumbangan-sumbangan, bantuan-bantuan ngoten niku, koyo niku(menunjuk anaknya yang sedang tidur) per

bulan nggeh tasek bayaran 300 rutin per bulan”.

(SOI, 2015)

Artinya:

“Kan ini sudah terkenal mbak Kampung Idiot miskin makan singkong begitu, tapi ya akhirnya banyak sumbangan-sumbangan, bantuan-bantuan seperti itu, seperti itu (menunjuk anaknya yang

sedang tidur)per bulan masih dapat bayaran 300 (tiga ratus) rutin setiap bulan”.

(SOI, 2015)

Menurut argumen SOI tersebut dapat disimpulkan bahwa, dengan stigma dan sebutan desa mereka sebagai “Kampung Idiot”, yang banyak orang diluar sana memberikan pandangan dan penafsiran bahwa masyarakatnya semua mengalami keterbelakangan mental. Padahal yang termasuk penyandang keterbelakangan mental tersebut hanya sebagian kecil saja dari sekian populasi penduduk yang ada di Desa Sidoharjo. Pada akhirnya stigma tersebut tidak hanya memberikan dampak buruk pada keluarganya namun juga memberikan dampak positif tersendiri, berupa bantuan tunjangan hidup untuk penyandangnya sendiri.

Selain informan SOI, salah satu tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama yaitu informan DEV juga memberikan pernyataan bahwa, para keluarga penyandang keterbelakangan mental yang ada di desa tersebut mendapatkan bantuan berupa ternak kambing maupun ayam dari pemerintah daerah, sebagai bentuk program pemberdayaan ekonomi bagi keluarga penyandang keterbelakangan mental.

...”kita berikan bantuan dari pemerintah kita salurkan yakni berupa

ternak kambing, ada yang ternak ayam, dan yang lainnya ini sudah berjalan ada yang bagus ada yang kurang bagus ada yang sama sekali tidak ada perubahanya, ya tadi kendalanya banyak sekali karna harus senantiasa dipantau...”

(DEV, 2015)

Menurut argumen kedua informan tersebut dapat disimpulkan bahwa, keluarga penyandang keterbelakangan mental yang ada di Desa Sidoharjo tersebut mendapat bantuan tunjangan hidup berupa uang sebesar Rp.300.000,00 yang rutin diberikan setiap bulannya kepada penyandang dan selain itu juga

mendapatkan bantuan program pemberdayaan ekonomi berupa hewan ternak seperti kambing dan ayam. Sehingga stigma atau label tidak hanya memberikan dampak negatif maupun pengaruh buruk kepada individu atau kelompok yang menerimanya, namun juga memberikan banyak pengaruh positif bahkan menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi penerimanya. Seperti halnya yang dialami oleh Desa Sidoharjo yang mendapat stigma sebagai “Kampung Idiot” memberikan pengaruh besar dan berdampak positif bagi keluarga penyandang itu sendiri. III.5.2. Keuntungan dari Lingkungan Sekitar

Keuntungan atas stigma “Kampung Idiot” tidak hanya dirasakan oleh pihak keluarga saja namun juga dari lingkungann sekitarnyanya, dalam kata lain keuntungan atau dampak positif tersebut tidak hanya dirasakan oleh pihak keluarga penyandang kerbelakangan saja, namun juga mereka-mereka yang tidak mempunyai keluarga penyandang keterbelakangan mental.

Informan ARI salah satunya yang merasakan keuntungan dari label desa sebagai “Kampung Idiot” ini. Menurut ARI semua warga masyarakat Desa Sidoharjo ini setiap tahun rutin samapai saat ini mendapatkan bantuan berupa garam yodium dari pemerintah daerah melalui dinas kesehatan setempat selain itu juga pernah mendapatkan beberapa paket makanan seperti: Susu, roti dan biskuit yang diberikan rutin setiap bulan kepada seluruh masyarakatnya, namun kalau untuk bantuan ini berhenti samapai tahun lalu saja. Bantuan garam yodium tersebut tidak hanya diberikan kepada mereka-mereka yang mempunyai anggota keluarga penyandang keterbelakangan mental, namun juga kepada keluarga yang tidak mempunyai anggota keluarga penyandang keterbelakangan mental.

“Garam niku ta? Nggeh niku rutin niku satu tahun sekali niku mbak, nek dulu itu satu bulan sekali itu kayak susu, roti, biscuit kayak gitu lo. Tapi sekarang nggak ada”.

(ARI, 2015)

Artinya:

“Garam itu ya? Ya itu rutin itu satu tahun sekali itu mbak, kalau

dulu itu satu bulan sekali itu seperti susu, roti, biskuit seperti itu.

Tapi sekarang tidak ada”.

(ARI, 2015)

Bukan hanya dari pernyataan informan ARI, salah satu informan DEV yang menjadi salah anggota relawan BASNAS Jawa Timur mengungkapkan bahwa pihaknya telah banyak menyalurkan bantuan dari BASNAS Jawa timur kepada masyarakat yang ada di Desa Sidoharjo tersebut. Bantuan tersebut tidak hanya dirasakan dan diberikan kepada keluarga penyandang saja, namun juga seluruh warga masyarakat Desa Sidoharjo dapat merasannya. Menurut pernyataan DEV bantuan tersebut berupa perbaikan rumah warga yang rusak, pembuatan beberapa sumur sebagai penampuan air bersih sehingga kebutuhan air bersih warga masyarakatnya tercukupi.

...”progam perbaikan rumah tinggal atau yang disingkat property

dari BASNAS dengan struktur dan bentuk yang sama itu bisa kita lihat sebanyak 62 rumah, diseluruh Desa Sidoharjo ini, serta pembuatan sumur yang mana sumur itu nanti dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan air dimasyarakat, artinya kebutuhan sehari- hari untuk mandi, masak dan mencuci...”

(DEV, 2015)

Selain perbaikan rumah atau tempat tinggal dan pembuatan sumur atau penampungan air bersih, BASNAS Jatim melalui relawannya yaitu informan DEV

sendiri memberikan bantuan berupa program pengembangan pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan non-formal yang ada di Desa Sidoharjo tersebut. Program pengembangan pendidikan dari BASNAS ini, DEV sendiri yang mengatur dan mengurus segalanya keperluannya, mengingat DEV sebagai salah satu relawannya dan yang kebetulan tinggal di Desa Sidoharjo.

“Dan yang ketiganya adalah untuk memajukan pendidikan,

pendidikan masyarakat baik pendidikan formal maupun non formal, yakni seperti pengadaan majelis taklim, taman pendidikan al-quran, madrasah diniyah lha ini yang terbaru adalah madrasah iftidaiyah untuk melengkapi lembaga pendidikan tingkat dasar di Desa

Sidoharjo ini”.

(DEV, 2015)

Menurut argumen DEV tersebut dapat diketahui bahwa, beberapa bantuan yang diberikan BASNAS berupa perbaikan rumah, pembuatan sumur, dan program pengembangan pendidikan bagi masyarakat Desa Sidoharjo tersebut memberikan manfaat yang besar bagi warga masyarakatnya Desa Sidoharjo.Dengan stigma bahwa Desa Sidoharjo sebagai desa yang keterbelakang, pinggiran, desa miskin, desa yang masyarakatnya banyak yang menderita cacat fisik maupun cacat mental hingga sampai pada munculnya label “Kampung Idiot”, banyak pihak-pihak yang peduli tentang situasi dan keadaan desa tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa stigma “Kampung Idiot” tidak selamanya membawa dampak buruk bagi masyarakatnya, namun justru sebaliknya malah membawa dampak posistif atau pengaruh baik bagi warga masyarakat Desa Sidoharjo.

Dokumen terkait