BAB III
KEHIDUPAN MASYARAKAT “KAMPUNG IDIOT”
Pada bab ini akan dipaparkan temuan data yang peneliti dapatkan pada saat proses wawancara mendalam yang dilakukan oleh beberapa informan. Dalam bab ini meliputi pemaparan yang meliputi profil informan, kondisi lingkungan “Kampung Idiot”, stigma negatif kampung idiot, adaptasi masyarakat lokal atas stigma “kampung idiot”, keuntungan dan kerugian atas stigma “kampung idiot”.
Penelitian ini informan diklasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi antara lain: Masyarakat Desa Sidoharjo, orang yang mengalami keterbelakangan mental(Retardasi Mental), pihak keluarga penderita serta tokoh masyarakat Desa Sidoharjo. Informan dipilih selain memiliki kesesuaian dengan kriteria yang telah peneliti tentukan sebelumnya, juga memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti sehingga menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian ini.
Selanjutnya, data-data pada bab ini akan diolah dan dianalisis sehingga dapat menjawab permasalahan penelitian yakni bentuk-bentuk stigmatisasi dan perilaku diskriminatif serta reaksi dari masyarakat atas stigma dan perilaku diskriminatif tersebut.
III.1. Profil Informan
III.1.1. Informan Pertama, MAD
MAD mendapatkan pendidikan SD di SD MI Krebet, SMP Negeri 1 Jambon, SMK Negeri 1 Jenangan Ponorogo dan sekarang beliau belum menyelesaikan pendidikannya di Universitas Merdeka Ponorogo.
Pada akhirnya beliau tinggal di Desa Sidoharjo setelah menikah dengan seorang wanita dari desa tersebut dengan dikaruniai seorang putri yang masih berusia 3 tahun, kemudian menjabat sebagai sekretaris desa atau carik pertama yaitu pada tahun 2006 sampai sekarang. Selain menjabat sebagai sekretaris desa kesibukan lainnya adalah sebagai petani dengan mengurus beberapa lahan yang ada di desa tersebut. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang pekerja keras dan ramah kepada masyarakatnya.
III.1.2. Informan Kedua, INU
Informan kedua, berinisial INU adalah seorang tokoh masyarakat berusia 55 tahun di Desa Sidoharjo. INU adalah mantan kepala Desa pertama di Desa Sidoharjo. INU termasuk warga asli di Desa Sidoharjo tepatnya di Dukuh Klitik RT.01/RW.01, INU menempuh pendidikan pertama di SD Negeri 1 Krebet kemudian melanjutkan SMP di SMP Negeri 1 Badegan, itu menjadi pendidikan terakhir beliau yang telah beliau lalui. Samapai sekarang beliau dikaruniai satu orang putri yang sekarang telah menikah dan satu orang putra yang sekarang juga telah menikah yang menjabat sebagai seorang polisi di Kabupaten Ponorogo. III.1.3. Informan Ketiga, DEV
kedua masih 18 bulan. DEV termasuk sosok orang yang beragama islam yang sangat religius. DEV bukan warga asli yang lahir di desa ini, beliau berasal dari Kota Blitar yang menikah dengan orang Desa Sidoharjo yang akhirnya menetap di desa ini tepatnya di Dukuh Karangsengon.
DEV saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Universitas Muhammadiyah Ponorono, selain kuliah dan bekerja sebagai kaur kesra di balai desa beliau juga sibuk mengajar di yayasan pendidikannya, karena beliau mempunyai sebuah yayasan pendidikanMadrasah Iftidaiyah di Desa Sidoharjo ini, yang ia bangun dan kelola sendiri dengan jumlah pengajar 7 orang. Walaupun masih ada 2 kelas, yaitu kelas 1 dan kelas 2 yayasan pendidikan yang ia bangun ini cukup mendapat respon yang baik dari masyarakat sekitar, karena putra-putri mereka selain belajar ilmu umum juga mendapatkan pendidikan agama yang baik. III.1.4. Informan keempat, ARI
Meskipun ARI hanya lulusan SD di salah satu SD di Desa Krebet, Beliau seorang yang sangat memperhatikan agama dan pendidikan anaknya, beliau menginginkan anaknya selain mendapat pendidikan umum juga mendapat pendidikan agama, lewat sekolah dan TPA(Taman Pendidikan Al-Quran. ARI sesosok orang yang ramah dan sangat terbuka. Disaat peneliti melakukan wawancara denga ARI, beliau sangat komunikatif dan sangat lancar menjawab semua peretanyaan-pertanyaan dari peneliti.
III.1.5. Informan Kelima, TIN
III.1.6. Informan keenam, IIM
Informan keenam, berinisial IIM adalah warga asli Desa Sidoharjo RT.01/RW.10 Dukuh Karangsengon. IIM tidak mempunyai keluarga yang keterbelakangan mental namun rumah IIM sesekali didatangi salah seorang yang keterbelakangan yang hanya sekedar makan atau minta uang. IIM adalah ibu rumah tangga yang saat ini berusia sekitar 50 tahun yang mempunyai dua orang putra yang masih-masing bekerja di luar negeri, putra yang pertama bekerja di Taiwan, putra yang kedua bekerja di Malaysia dan satu orang putri yang masih sekolah di salah satu SMP di Kecamatan Jambon. Kesibukan IIM selain sebagai ibu rumah tangga, beliau juga membantu suaminya di sawah.
III.1.7.Informan Ketujuh, WAR
Informan ketujuh, berinisial WAR ini adalah salah seorang tokoh masyarakat, WAR adalah seorang ulama masyarakat yaitu sebagai seorang Modin yang ada di Desa Sidoharjo. Beliau saat ini berusia 46 tahun. WAR bukan warga asli yang lahir di Desa Sidoharjo namun, beliau adalah warga yang berasal dari Desa Badegan. Namun, setelah menikah dengan salah seorang di Desa Sidoharjo akhirnya beliau mengikuti istrinya untuk tinggal di Desa Sidoharjo, yang saat ini tinggal di Dukuh Klitik, RT.08/RW.02. WAR mempunyai tiga orang putra, putra pertama Aliyah kelas 3 dan putra kedua Aliyah kelas 2 yang sama-sama menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Darul Hudha Mayak Ponorogo, sedangkan putra ketiga SD kelas 5.
III.1.8.Informan Kedelapan, SOI
memperhatinkan, SOI seorang diri mengurus dua anggota keluarganya yang keterbelakangan mental, yaitu seorang anak perempuannya yang berusia 13 tahun dan seorang keponakan perempuannya yang berusia sekitar 30 tahun. Keponakannya tersebut adalah yatim piatu dia adalah anak dari kakak perempuan SOI.SOI memberikan penjelasan bahwa anaknya tersebut lahir dalam keadaan normal seperti bayi pada umumnya namun, pada usia tujuh bulan anaknya terkena panas yang sangat tinggi atau dalam istilasnya „step‟, yang ketika itu tidak
langsung mendapat penanganan secara langsung. III.1.9. Informan Kesembilan, DAR
Informan kesembilan, berinisial DAR adalah seorang laki-laki yang berusia 29 tahun dan penduduk asli Desa Sidoharjo yang juga menikah dengan orang Desa Sidoharjo, WAR sangat ini masih dikaruniai satu orang putri yang berusia 3 tahun. DAR adalah seorang tokoh masyarakat, yang saat ini menjabat sebagai kamituwo Desa Sidoharjo tersebut.Pekerjaan sampingan DAR adalah seorang fotografer yang sering diundang untuk acara pernikahan maupun foto keluaraga.Karena DAR belum memiliki studio foto sendiri dia masih bergabung dengan temannya untuk menjalankan usahanya tersebut.
III.1.10.Informan Kesepuluh, TUN
berketerbelakangan mental tersebut semuanya adalah saudara laki-laki dari suami informan yang tinggal dirumahnya.Karena sejak lahir sudah berketerbelakangan mental dan orangtuanya telah meninggal dunia, maka mereka ikut dan tinggal dengan keluarga TUN tersebut.
III.1.11.Informan Kesebelas, MAN
Informan kesebelas, berinisial MAN adalah laki-laki berusia 26 tahun yang bekerja sebagai sopir truk. MAN bukan warga Desa Sidoharjo asli, MAN tinggal di Desa Sidoharjo sekitar 6 bulan yang lalu setelah menikah dengan warga Desa Sidoharjo, sehingga MAN tinggal di desa tersebut. Sekarang ini MAN dikaruniai satu orang putri berusia 2 tahun. Keluarga MAN termasuk salah satu keluarga dalam kategori menengah kebawah, yang sering menerima bantuan dari pemerintah.
III.1.12.Informan Keduabelas, LAN
Informan keduabelas, berinisial LAN adalah seorang ketua RT. 4 Dukuh Klitik Desa Sidoharjo yang saat ini berusia 48 tahun.Informan LAN juga warga asli Desa Sidoharjo tersebut.Pekerjaan sehari-harinya adalah seorang petani dan mencari rumput untuk beberapa ekor kambing miliknya.Informan LAN saat ini mempunyai tiga orang anak, yang kedua anaknya sudah berkeluarga sedangakan anaknya yang terakhir masih bekerja di Surabaya.Sehingga saat ini LAN hanya tinggal dengan istrinya, yang sesekali istrinya juga membantu LAN di sawah. III.1.13.Informan Ketigabelas, INA
tahun yang sedang kuliah di Universitas Muhammadyah Ponorogo, anak kedua berusia 17 tahun yang saat ini masih duduk di bangku SMA, sedangkan anak yang terakhir masih kelas 5 Sekolah Dasar.Informan INA mengaku sering mendengar kabar mengenai “Kampung Idiot” yang berada di Kecamatan Jambon tersebut,
namun beliau belum pernah melihat daerahnya secara langsung. III.1.14.Informan Keempatbelas, WAN
Informan keempatbelas, berinisial WAN adalah seorang laki-laki berusia 35 tahun, yang saat ini memiliki tiga orang putra dan putri yang masih kecil, anak pertama masih SD, anak kedua TK sedangkan yang terakhir masil play group. WAN saat ini bekerja sebagai seorang satpam atau petugas keamanan di Kantor Pemerintahan Kota Ponorogo. WAN tinggal di JL.A. Yani Kota Ponorogo.WAN mengaku pernah ke Kecamatan Jambon, namun dia belum pernah mengunjungi langsung Desa yang disebut “Kampung Idiot” tersebut. “Kampung Idiot” menurut
WAN sudah sangat terkenal dimana-mana, yang menurut WAN sebagai bentuk kejadian yang turun-temuran dari nenek moyang mereka.
III.1.15. Informan Kelimabelas, ENA
Informan Kelimabelas, berinisial ENA adalah seorang perempuan yang berusia 25 tahun dan saat ini ENA belum menikah atau berkeluaraga. ENA bekerja sebagai seorang pelatih kursus mengemudi di daerah Ponorogo.ENA tinggal di daerah Jenangan Ponorogo. ENA mengaku belum pernah pergi ke Desa Sidoharjo, walaupun belum pernah melihat secara langsung keadaan atau kondisi “Kampung Idiot” itu seperti apa namun ENA sering mendengar istilah daerah
III.1.16.Informan Keenambelas, YAH
Informan keenambelas, berinisial YAH adalah salah satu pedagang jeruk di Pasar Songgolangit Ponorogo.Informan perempuan ini berusia 50 tahun.YAH mengaku pernah membeli jeruk dari seorang petani yang ada di Kecamatan Balong Ponorogo, yang juga salah satu kecamatan yang sebagian penduduknya ada yang penyandang keterbelakangan mental. Walaupun YAH belum pernah melihat salah satu penyandang yang ada disana namun, YAH mengetahui pada waktu itu daerah tersebut dekat dengan hutan dan pegunungan yang banyak batu kapurnya, yang sangat jauh dengan pusat kota Ponorogo, sehingga menurut YAH daerahnya sangat gersang dan panas.
III.2. Kondisi Lingkungan Sosial “Kampung Idiot”
Kondisi lingkungan sosial merupakan representatif dari lingkungan sekitar kampung idiot, kondisi tersebut meliputi kondisi sosial yang ada di dareah kampung idiot baik dari segi perlakukan yang positif maupun yang negatif bagi para penderita keterbelakangan mental, selain kondisi sosial juga meliputi kondisi ekonomi dan juga kondisi politik.
Studi ini menemukan, dimana masyarakat Desa Sidoharjo yang mengalami keterbelakangan mental menerima beberapa bentuk diskriminasi misalnya:Tidak mendapatkan kesamaan hak yang sama dalam PEMILU, menerima penolakan dari lingkungan sosialnya serta tidak mendapatkan kesamaan yang sama dalam memperoleh pekerjaan.
III.2.1. Kondisi Sosial
terjadi saling mempengaruhi.Kondisi sosial dalam masyarakat “Kampng Idiot”
pastinya akan terjadi saling berhubungannya antara penyandang keterbelakangan mental dengan masyarakat yang ada disekitarnya, termasuk dalam hal ini juga adalah tokoh masyarakatnya.
Berdasarkan dari pernyataan dari Informan TIN yang mempunyai keluarga keterbelakangan dua orang ini, mengatakan bahwa belum pernah keluarganya yang penyandang tersebut menerima tawaran atau bantuan obat dari tetangganya disaat keluarganya yang penyandang keterbelakangan mental tersebut sakit, bahkan keluarganya yang penyandang tersebut disaat sakit langsung meminta obat ke pukesmas.
“Mboten, mboten mbak. Nek sakit nggeh kadang teng Pukesmas
piyambak”.
(TIN, 2015)
Artinya:
“Tidak, tidak mbak. Kalau sakit ya kadang ke Pukesmas sendiri”.
(TIN, 2015)
Menurut keterangan TIN tersebut dapat diketahui bahwa, kepedulian masyarakat terhadap keluarga penyandang tersebut tidak seintens dengan keluarga yang lain. Dimana dapat dilihat bahwa sikap yang diberikan oleh salah satu tetangga dari keluarga penyandang menunjukkan sikap yang berbeda dengan keluarga mereka yang tidak memiliki keluarga penyandang.
Berbeda dengan informan IIM, informan ini mengaku tidak pernah mengundang orang yang mempunyai keterbelakangan mental dalam acara-acaranya seperti acara rutin yasinan maupun acara selamatan dirumahnya.
“Mboten. Mboten mbak, kula mboten nate ngundang nek mriki wonten slametan nopo yasinan “.
Artinya:
“Tidak, tidak mbak, kalau saya tidak pernah mengundang kalau sini
ada selamatan atau yasinan(tahlilan)”.
(IIM, 2015)
Menurut keterangan IIM tersebut dapat diketahui bahwa ada perbedaan sikap antara orang-orang yang normal dengan mereka-mereka yang mengalami keterbelakangan mental. Hal ini dapat dilihat dari sikap informan kepada keluarga penyandang yang memberikan perilaku diskriminatif kepada keluarga penyandang keterbelakangan mental tersebut.
Bukan hanya itu saja, informan IIM juga pernah melihat keluarga dan kerabat mereka sendiri memberikan perlakuan yang kurang menyenangkan kepada salah satu penyandang yang datang kerumahnya.
..”nggeh kadang niku mriki niku tiyangnge katah wonten lare
kadang niku nyuwun nopo ngoten kadang-kadang nek mboten disukani niku nesu kadang niku lare-lare niku, ndang gek diweh i
gek ngaleh. ngoten mbak ngoten niku mbak paling”.
(IIM, 2015)
Artinya:
“…”ya kadang itu sini itu orangnya banyak ada anak kadang itu
minta apa gitu kadang-kadang kalau tidak diberi itu marah kadang itu anak-anak itu, cepet dikasih terus pergi, gitu mbak gitu itu
mungkin”.
(IIM, 2015)
Menurut keterangan IIM tersebut dapat diketahui bahwa, adanya penolakan dari masyarakat tertentu terhadap penyandang keterbelakangan mental tersebut. Penolakan tersebut berupa tidak adanya penerimaan sosial atas kehadiran penyandang keterbelakangan mental tersebut.
agustusan yang melibatkan penyandang keterbelakangan mental. INU juga memastikan bahwa tidak akan melibatkan warga penyandang dalam masalah lomba-lomba seperti agustusan tersebut.
“Nek kegiatan-kegiatan lomba-lomba nopo ngoten niku ngantos sak meniko mriki nik sak meniko dereng enten. Yo sing jelas nek
masalah agustusan niku mboten mbak, mboten diikutkan”.
(INU, 2015)
Artinya:
“Kalau kegiatan-kegiatan lomba-lomba apa gitu sini sejauh ini sini sejauh ini belum ada. Ya yang jelas kalau masalah acara lomba
agustus itu tidak mbak, tidak diikutkan”.
(INU, 2015)
Menurut pernyataan informan INU tersebut secara rasional memang mereka-mereka yang keterbelakangan mental akan sulit mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, namun secara moral mereka juga mempunyai hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam hidup bermasyarakat seperti orang-orang normal lainnya.
Informan DEV adalah seorang tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama yang ada di Desa Sidoharjo ini, DEV juga aktif mengajar mengaji disalah satu masjid yang DEV dan keluarga DEV dirikan. Menurut pernyataan DEV mengenai soal pendidikan inklusi atau sekolah inklusi khususnya di Desa Sidohajo sendiri belum ada. Menurut DEV hal tersebut dikarenakan tidak adanya pengajar yang khusus mampu menangani anak-anak yang berkebutuhan khusus.
“Kalau yang inklusi kita tidak bisa menjawab sepenuhnya, artinya
begini, memang inklusi ini membutuhkan penanganan dan layanan khusus ya, jadi harus ada guru khusus yang ahli dibidangnya..”
(DEV, 2015)
kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan termasuk didalamnya adalah kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Dari pernyataan informan DEV tersebut dapat dilihat bahwa pemerintah daerah khususnya perangkat desa dalam hal ini kurang memberikan perhatian kepada warga masyarakatnya yang berkebutuhan khusus, padahal mereka mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan kondisi mereka tersebut.
III.2.2. Kondisi Ekonomi
Kondisi ekonomi merupakan suatu kondisi yang menunjukkan pada kemampuan pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat. Kemampuan pemenuhan kebutuhan keluarga penyandang keterbelakangan mental merupakan salah satu yang menjadi perhatian utama, mengingat mayoritas keluarga yang mempunyai anggota yang keterbelakangan mental tingkat perekonomiannya sangat rendah, bahkan dapat dikatakan mereka tergolong miskin.
Berdasarkan dari pernyataan dari Informan DEV, bahwa mayoritas keluarga penyandang adalah keluarga yang tingkat perekonomiannya sangat rendah, mereka tergolong lebih dari miskin bahkan termasuk duafa fakir. Masyarakat fakir adalah masyarakat yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti makan, pakaian dan tempat tinggal yang merupakan kebutuhan primer manusia.
“Kalau dari aspek ekonominya sebagian besar mereka itu dari
golongan duafa mbak, miskin ya. Lebih dari miskin ya, duafa fakir, mereka menghidupi keluarganya mencari penghasilan untuk kebutuhan keluarganya itu juga asal-asalan. Satu hari saja kadang
gak cukup. Bekerja satu hari untuk makan sehari itu...” (DEV, 2015)
yang termasuk miskin adalah mereka yang memerlukan sesuatu, yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, sedangkan duafa fakir kondisinya lebih buruk daripada orang miskin karena duafa fakir adalah orang yang penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
Informan WAR mempunyai pernyataan yang hampir sama dengan informan DEV. Bedanya informan DEV menganggap bahwa mereka termasuk keluarga fakir duafa, sedangkan informan WAR menganggap mereka termasuk orang atau keluarga yang kurang mampu secara ekonomi. Mereka masih dapat mencari pekerjaan walaupun itu hanya dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari.
“Yowes rata-rata para penderita itu aspek ekonominya kurang ya
orang-orang yang min memang mbak. Yowes rata-rata ya seperti itu. Masalahnya ya kan penderita itu memang kan dulunya memang kekurangan zat atau gizi atau kurang zat yodium itu tadi”.
(WAR, 2015)
Artinya:
“Ya sudah rata-rata para penderita itu aspek ekonominya kurang
ya orang-orang yang kurang (minus) memang mbak. Ya suda rata-rata ya seperti itu. Masalahnya ya kan penderita itu memang kan dulunya memang kekurangan zat atau gizi atau kekurangan zat
yodium itu tadi”.
(WAR, 2015)
Menurut argumen WAR tersebut menunjukkan bahwa, mereka yang termasuk ekonomi kurang. Dalam hal ini mereka masih dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari namun, masih kurang dari standar rata-rata yang sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
karena ada salah satu anggota keluarganya yaitu ibunya yang bekerja di luar negeri sebagai TKI, sehingga menurut informan MAD mereka tidak termasuk keluarga yang miskin namun masih dalam kategori berekonomi sedang.
...”ada sing ibuk e TKI, dadi nek dianggap miskin mboten lah nek TKI niku miskin yo sedang ngono ae...”
(MAD, 2015)
Artinya:
...”ada yang ibuknya TKI, sehingga kalau dianggap miskin tidaklah
kalau TKI itu miskin ya sedang gitu saja...”
(MAD, 2015)
Menurut pendapat informan MAD tersebut, dapat diketahui bahwa sebagian dari mereka ada yang orang tuanya bekerja di luar negeri sebagai TKI. Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga mereka masih tergolong keluarga menengah kebawah. Dari pendapat informan MAD tersebut jika salah satu anggota keluarga yang bekerja di luar negeri, itu berarti masih ada anggota keluarganya yang bekerja mencari nafkah untuk keluarganya dengan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuahan sehari-hari keluarganya.
Disamping potret kehidupan keluarga penyandang keterbelakangan mental tersebut yang jauh dari berkecukupan namun, ada beberapa penyandang keterbelakangan yang dapat bekerja mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Seperti pernyataan salah satu informan MAD yang menyatakan bahwa, hasil kerja mencangkul salah satu penyandang keterbelakangan mental lebih bagus daripada orang normal lainnya.
...”ada tiga bagong sing semuanya pekerja teng mriki. Bagong sing
mriki niku biasane sadean godong jati, Bagong sing Klitik kaleh Bagong sing Sidowayah niku nek dikongkon macul jan macule sae mbak niku karo wong biasa ngono menurut kulo apik niku...”
Artinya:
...”ada tiga bagong yang semuanya pekerja disini. Bagong yang disini ini biasanya jualan daun jati, Bagong yang Klitik dengan Bagong yang Sidowayah itu kalau disuruh mencangkul sungguh mencangkulnya bagus mbak itu dengan orang normal gitu menurut
saya bugus itu...”
(MAD, 2015)
Kenyataan bahwa para penyandang yang keterbelakangannya masih dalam kategori ringan masih dapat bekerja dan mencari nafkah untuk hidupnya, padahal secara ekonomi keluarga para penyandang sangat kekurangan dan tidak sedikit mereka adalah dalam kategori miskin. Namun, banyak para tetangganya yang meragukan hasil kerja para penyandang tersebut, hal tersebut dikarenakan keadaan fisik maupun mentalnya yang berbeda dari kebanyakan masyarakat lainnya. Dari argumen informan tersebut menunjukkan suatu bentuk perlakuaan diskriminatif dalam aspek ekonomi, dalam hal untuk memperoleh pekerjaan antara orang normal dengan orang yang berkebutuhan khusus, terlepas dari penyandang tersebut dapat bekerja dengan baik maupun tidak.
Informan WAR misalnya dia tidak pernah menggunakan tenaga penyandang tersebut untuk membantu pekerjaannya dirumah. Karena dengan kondisi penyandang tersebut yang membuat WAR sendiri ragu untuk memberikan pekerjaan untuknya.
“Belum pernah saya mbak, belum pernah. Karna saya sendiri
melihat kondisinya saya sudah nggak..., istilahnya kasian gitu”.
(WAR, 2015)
“Nek riyen nggeh pernah di kongkon mendhet toyo riyen, nek sak niki mboten, wonten sanyo punan”.
(TIN, 2015)
Artinya:
“Kalau dulu ya pernah disuruh ambil air dulu, kalau sekarang tidak,
ada sudah ada sanyo”.
(TIN, 2015)
Melihat kondisi mereka yang mempunyai keluarga keterbelakangan mental mayoritas kondisinya sangat kekurangan, mereka bekerja sehari untuk biaya hidup sehari, mereka sangat membutuhkan bantuan dari tetangganya. Melihat dari argumen TIN tersebut dapat dikatakan bahwa penyandang keterbelakangan mental menjadi terdiskriminasi dalam aspek ekonominya, dengan kondisi yang serba kekurangan lapangan pekerjaan yang juga semakin sempit membuat mereka semakin termajinilisasi dari aspek ekonominya.
III.2.3. Kondisi Politik
Kondisi lingkungan sosial “Kampunt Idiot” tidak hanya dapat di representasikan melalui kondisi sosial dan ekonomi masyarakat “Kampung Idiot”namun juga harus dilihat dari kondisi politik masyarakatnya. Dengan
melihat kondisi politik masyarakatnya kita dapat melihat sejauh mana pemerintah daerah maupun pemerintah Desa Sidoharjo melaksanakan fungsi politik dalam warga masyarakatnya antara warga masyarakatnya yang berkebutuhan khusus atau penyandang keterbelakangan mental dengan warga masyarakatnya yang normal atau yang tidak berkebutuhan khusus tersebut.
informan MAD tersebut ada sebagian warganya yang penyandang keterbelakangan mental yang ikut memilih dan didampingi oleh keluarganya sendiri. Menurut informan MAD perangkat desa tidak memberikan perlakuan khusus atau pendampingan kepada warganya yang penyandang keterbelakangan mental tersebut.
...”kalau untuk pendampingan dari KPU, pernah enten..pernah
enten menggunakan suarana nggeh wonten sing didampingi keluarganya. Kalau saya mgajak ndampingi mboten nate. Kalau perlakuan khusus untuk mereka ya, nek ngurusi sing berkebutuhan
saja yo ra rampung”.
(MAD, 2015)
Artinya:
...”kalau untuk pendampingan dari KPU, pernah ada...pernah ada
yang menggunakan suaranya ya ada yang didampingi keluarganya. Kalau saya mengajak mendampingi tidak pernah. Kalau perlakuan khusus untuk mereka ya, kalau mengurusi yang berkebutuhan saja
ya tidak selesai”.
(MAD, 2015)
Berdasarkan pernyataan informan MAD “nek ngurusi sing berkebutuhan
saja yo ra rampung”(kalau mengurusi yang berkebutuhan saja ya tidak selesai),
hal tersebut menunjukkan ketidaksiapan sekaligus berupa bentuk perilaku diskriminasi yang diberikan oleh perangkat desa untuk memberikan pendampingan terhadap warganya yang akan melakukan hak politiknya. Padahal mereka-mereka yang penyandang keterbelakangan mental dan sebagai warga Indonesia, sesuai Undang-Undang negara para penyandang cacat tetap mempunyai hak untuk menyalurkan suaranya.
kenyataannya mereka tidak dapat menyalurkan hak suaranya karena keterbatasannya tersebut. Kalau untuk pendampingan dalam PILKADA kepada masyarakatnya yang keterbelakangan mental maupun cacat fisik lainnya sampai saat ini tidak ada.
..”yo tetep ndue hak, tetep ndue hak, tetep ditulis walaupun mengke
nek teko hari H niku saged rawuh nopo mboten. Nek pendampingan yo sosok mbak sosok karek event ne, nek event ne pomo pemilihan
caleg pamane kan yo jauh lah istilah e, kui biasane ora..”
(INU, 2015)
Artinya:
..”ya tetap punya mbak, tetap punya hak, tetap ditulis walaupun
nantinya kalau pas hari H itu bisa datang atau tidak. Kalau pendampingan ya terkadang mbak terkadang tinggal acaranya, kalau acaranya seumpama pemilihan caleg misalnya kan ya jauh lah istilahnya, itu biasanya tidak..”
(INU, 2015)
Namun, menurut informan INU jika pilkades karena ruang lingkupnya kecil diadakan pendampingan oleh salah satu calon tertentu, karena dirasa masih dalam lingkungan salah satu calonnya, sehingga warganya tersebut kesempatan untuk dijadikan tambahan suara dalam pilkades.
...”lha nek pilkades niki termasuk tetep pamamne kulo jagone nggeh
bersaing kalih A nopo B niku ngroso lingkunganku yo tak warahi kalih tim kulo terus mbenjeng nggeh didampingi kaleh, biasane
ngoten”.
(INU, 2015)
Artinya:
...”lha kalau pilkades itu termasuk tetap semisal saya calonnya ya
bersaing dengan A atau B itu merasa lingkunganku ya tak bimbing dengan TIM saya terus besok ya didampingi juga, biasanya seperti
itu”.
Berdasarkan argumen dari informan INU tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat diskriminasi dari penyaluran hak suara dalam pemilu. Bentuk diskriminasi tersebut dapat kita lihat dalam penyaluran hak suara dari masyarakatnya yang penyandang keterbelakangan mental. Tidak ada pendampingan dalam proses penyaluran hak suara mereka dalam pemilihan kepala daerah atau calon legislatif. Namun, hal tersebut berbeda jika pemilihan kepala desa, demi untuk menjomplang jumlah suara ada pendekatan khusus dari beberapa calan kandidat kepla desa. Pendekatan tersebut dapat dilihat adanya pendampingan khusus dari salah satu calon kandidat tertentu.
III.3. Stigma Negatif “Kampung Idiot”
Konsep “stigma” dalam pemikiran Erving Goffman(dalam Damaiyanti,
2009) yaitu suatu atribut yang mendiskreditkan seseorang secara mendalam, yang bisa terlihat pada bahasa (baik itu verbal ataupun non-verbal) dalam hubungan sehari-hari. Menurut Goffman, stigma diskredit adalah stigma yang dapat dimiliki seseorang, dimana aktor menganggap perbedaan yang nampak pada seseorang atau individu tersebut terlihat jelas bagi seseorang atau individu lain yang melihatnya, misalnya cacat fisik yang nampak pada diri seseorang atau individu.
tersebut yang dianggap memiliki kriteria khusus sehingga hal tersebut dianggap sebagai salah satu yang menjadi syarat siapa-siapa yang pantas dan tidak pantas diterima oleh masyarakat, walaupun tidak secara tertulis syarakat-syarat tersebut secara langsung akan disetujui oleh masyarakat.
Tabel 3.1
Bentuk-Bentuk Stigma yang Diterima
NO. INFORMAN STIGMA VERBAL STIGMA NON-VERBAL
“Nggeh, kasiann ngoten mbak dilok e. Kados budhe ne niki(sambil mengelus rambut putrinya).Kadang-kadang nggeh, dijuluki peko‟,
bude‟ngoten...”
(TIN, 2015) Artinya:
“Ya, kasian gitu mbak lihatnya. Seperti tantenya ini (sambil
mengelus rambut putrinya). Kadang-kadang ya, dipanggil bodoh,
tuli seperti itu...”
(TIN, 2015)
Menurut pendapat TIN tersebut anggota keluarganya yang keterbelakangan mental mendapat dua sebutan dari orang lain yaitu sebutan peko‟
dan bude‟. Kedua sebutan tersebut disematkan sebagai bentuk representatif dari
keadaan penyandang keterbelakangan mental tersebut, yang memang penyandang mengalami tingkat penurunan ingat otak dan penurunan pendengarannya.
Berbeda dengan informan IIM yang pernah melihat dan mendengar sendiri Painah salah satu penyandang keterbelakangan mental yang sering datang ke rumahnya untuk meminta tepung gaplek (tepung ketela) menerima stigma dari tetangga dan saudara-saudaranya berupa sebutan atau panggilan „goblok‟.
…”pamane mriki wonten tiyang mriki ngoten, ngeten mbak wong goblok bolak-balik njaluk ae diweh i ora ngaleh ngoten. Kan Painah niku lo mbak Sidowayah, niku mbendinten mriki mawon nyuwun, pun disukani nopo nek dereng disukani glepung gaplek lebut niku
tasek nyuwun mawon”.
(IIM, 2015)
Artinya:
...”semisal disini ada orang yang datang gitu, gini mbak orang
bodoh itu sering sekali minta tapi sudah dikasih tidak mau pergi. Kan Painah (salah satu nama penyandang) Sidowayah dikasih itu setiap hari kesini terus minta, sudah dikasi apapun kalau belum
dikasih tepung singkong lembut itu masih saja minta terus”.
Menurut pengalaman IIM tersebut, tetanganya yang bernama Painah mendapat sebutan goblok dalam bahasa Indonesia yaitu bodoh yang artinya seseorang yang tidak banyak mempunyai pengetahuan dan sulit untuk memahami dan mengerjakan sesuatu. Painah dianggap orang yang bodoh dan tidak memahami apa yang dia lakukan, karena setiap hari hanya meminta tepung ketela yang dimiliki IIM, serta tidak mau pergi sebelum mendapatkannya.
Penerimaan stigma tidak hanya dialami oleh mereka yang mempunyai keterbelakangan mental saja. Namun, stigma juga dialami mereka yang bukan penyandang keterbelakangan mental. Informan MAD yang dulunya pernah sekolah di salah satu SMK Negeri di Kota Ponorogo, juga pernah menerima perlakuan yang kurang menyenangkan dari teman-temannya berupa sebutan
mendhodi sekolahnya.
...”ngerti omahku krebet ngono, layak mendho(sambil ketawa) ngonten niku. Jane nggeh mboten mendho. Terus pomo aku rodok ngantuk ngono ke, nek nggojloki emm besok sarapan yang agak bergizi ya..(sambil ketawa)”.
(MAD, 2015)
Artinya:
...”tahu rumahku Krebet gitu, makanya bodoh (sambil ketawa) seperti itu. Tapi ya tidak bodoh. Terus kalau saya sedikit mengantuk gitu, kalau menertawain emm besok sarapan yang lebih bergizi
ya..(sambil tertawa)”.
(MAD, 2015)
masyarakatnya banyak yang mengalami keterbelakangan mental atau orang memahaminya sebagai „tempat para orang bodoh‟ tinggal sehingga orang
normalpun mendapat stigma yang sama.
Selain itu juga dikarenakan MAD berasal dari Desa Krebet, informan MADmengaku pernah mendapatkan perkataan-perkataan yang kurang menyenangkan, seperti sebutan Robet yang artinya orang Krebet saat masa-masa sekolah SMA dulu.
...”sampek dijuluki Robet, Orang Krebet, semua temen-temen saya yang sekolah disitu, temen-temen disitu manggile Robet. Itu sebagai beban tersendiri Robet ini wes sak elek-elek e wong. Jane Orbet asline orang Krebet, orang-orang Krebet lo ya orang medho lah. Nyek-nyek an, kesakitan nek nyang komunitas nongkronge cah-cah”.
(MAD, 2015)
Artinya:
...”sampai dipanggil Robet, Orang Krebet, semua teman-teman saya yang sekolah disitu, teman-teman disitu memanggil Robet. Itu sebagai beban tersendiri Robet itu sudah sejelek-jeleknya orang. Aslinya Orber Orang Krebet, orang-orang Krebet ya orang Bodoh lah. Ejek-ejekan, kesakitan kalau di komunitas nongkrong
anak-anak”.
(MAD, 2015)
Melihat pengalaman MAD terkait stigma-stigma yang pernah MAD terima dari teman-temannya tersebut, sebutan „Robet‟ yang artinya orang Krebet sebagai bentuk representasi bahwa tempat tinggal membawa dan mempengaruhi stigma yang disematkan kepada orang lain. Sehingga stigma tidak hanya diberikan kepada mereka-mereka yang penyandang keterbelakangan saja, namun juga kepada mereka yang tinggal dalam satu desa dengan para penyandang keterbelakangan mental.
mempunyai julukan tersendiri kepada tiga orang penyandang keterbelakangan mental yang ada di Desa tersebut. Julukan tersebut adalah julukan „Bagong‟ kepada ketiga orang laki-laki penyandang keterbelakangan mental. Namun ketiga orang tersebut masih dapat bekerja walaupun hanya dalam satu perintah pekerjaan, karena masih dalam tinggal keterbelakangan mental sedang.
“Ya seperti umpamanya namanya Nardi tapi dipanggil Bagong
karna memang panggilannya tiap hari ya gitu.Tapi kalau nama di
identitas sebenarnya kan bukan itu”.
(WAR, 2015)
Artinya:
“Ya seperti semisal namanya Nardi tapi dipanggil Bagong karena
memang panggilannya tiap hari ya seperti itu. Tapi kalau nama di
identitas sebenarnya kan bukan itu”.
(WAR, 2015)
Pernyataan WAR bahwa ketiga Bagong tersebut dapat bekerja, diperkuat oleh informan MAD, memang di desa ini ada tiga orang Bagong. Saat peneliti mengadakan wawancara dengan informan MAD, dia pernah menyebut tiga orang penyandang yang namanya Bagong yang ketiganya masih bisa bekerja, untuk memenuhi kehidupannya sendiri. Ternyata ketiga nama Bagong tersebut hanya sebuah sebutan nama untuk ketiga penyandang keterbelakangan mental tersebut.
...”Niku Bagong (salah satu nama penyandang retardasi mental),
ada tiga bagong sing semuanya pekerja teng mriki. Bagong sing mriki niku biasane sadean godong jat. Nek Bagong sing Klitik kaleh Bagong sing Sidowayah niku nek dikongkon macul jan macule sae mbak niku karo wong biasa ngono menurut kulo apik niku”.
(MAD, 2015)
Artinya:
...”itu Bagong (salah satu nama penyandang retardasi mental), ada
tiga Bagong yang semuanya bekerja disini. Bagong yang disini itu biasanya jualan daun jati. Kalau Bagong yang Klitik dengan Bagong yang Sidowayah itu kalau disuruh mencangkul hasil mencangkulnya bagus itu dengan orang biasa/normal gitu menurut
saya bagus itu”.
Sehingga dari pernyataan kedua informan WAR dan MAD, dapat disimpulkan bahwa stigma juga dapat berupa penggantian nama asli menjadi nama panggilan yang disematkan kepada mereka-mereka yang mempunyain karakteristik fisik maupun mental secara khusus.
Berbeda dengan argumen yang diberikan oleh salah satu informan ARI. Pada waktu peneliti menanyakan kepada salah satu informan ARI, apakah beliau mempunyai sebutan khusus atau panggilan khusus kepada warga masyarakatnya yang mengalami keterbelakangan mental, ARI mengatakan bahwa sebutannya „Idiot‟, adalah mayoritas sebutan yang sering digunakan masyarakat di desanya
tersebut.
“Ohh, kalau disini sebutanne ya idiot ngono mbak.”
(ARI, 2015)
Artinya:
“Ohh, kalau disini sebutannya atau panggilannya ya idiot gitu mbak”.
(ARI, 2015)
Menurut argumen dari informan ARI tersebut, sebutan „idiot‟ bagi waganya yang mengalami keterbelakangan mental adalah sebagai bentu representasi dari keadaan yang dialami oleh sebagian masyarakatnya tersebut. Namun, sebutan idiot sesungguhnya adalah istilah yang diberikan kepada mereka-mereka yang mengalami keterbelakangan mental dalam kategori berat saja, atau dalam istilahnya mereka-mereka yang masuk dalam severe retardation (retardasi mental berat) dengan IQ 20-34, anak dalam kategori retardasi mental berat, bisa disebut dengan„idiot‟, karena kebanyakan IQ mereka dibawah 30. Dalam kategori
orang-orang didekat mereka.Sehingga sangat membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan kegiatan sehari-harinya, seperti: makan, mandi dan lain sebagainya.Ditambah lagi mereka sudah tidak bisa mengontrol dirinya sendiri, sehingga membutuhkan banyak pengawasan dari orang disekitarnya. Padahal, pada kenyataannya masyarakat yang mengalami keterbelakangan mental di Desa Sidoharjo tersebut ada yang dalam kategori ringan dan sedang. Sehingga tidak semuanya dapat dikatan „idiot‟ maupun dalam kagori „idiot‟.
Stigma yang pernah didapatkan oleh masyarakat yang mengalami keterbelakangan mental tidak hanya berupa stigma verbal saja, namun stigma non-verbal pernah mereka dapatkan. Informan ARI pernah melihat tetangganya penyandang keterbelakangan mental pernah mendapatkan penolakan dari kelompok masyarakat tertentu, hanya karena dia dianggap tidak normal seperti kebanyakan masyarakat lainnya.
“Yowes ngelok-ngelokne mandak koyo ngono wes neng kono ae wes
ra sah amor wong-wong ngene iki. Mayoritas mbak. Mandak koyo
ngono ae kerjone piye…kadang kan ngenyek ngoten niku lo. Mboten
nek koyo njuluki iki ke wong ngene ngoten niku mboten. Kula dereng
miring”.
(ARI,2015) Artinya:
“Ya sudah menyebut-nyebut keadaan yang seperti itu sudah disitu
saja tidak uasah bergabung dengan orang-orang seperti ini. Mayoritas mbak. Dengan keadaan seperti itu kerjanya
gimna…kadang kan mengejek seperti itu. Tidak kalau memberi julukan ini orang seperti ini itu tidak. Saya belum pernah dengar”.
(ARI, 2015)
masyarakatnya.MAD juga pernah melihat penyandang keterbelakanganmental mendapatkan perilaku yang kurang menyenangkan dalam suatu acara hajatan.
“Sing kerep kulo eroh i nggeh diusir niku wau umpamane, neng rejan-rejan ngono kae nyedek ngono kui dikon ngaleh”.
(MAD, 2015)
Artinya:
“Yang sering saya tahu ya diusir itu tadi misalnya, dalam acara pesta rakyat seperti itu mendekat gitu disuruh pergi”.
(MAD, 2015)
Menurut pernyataan ARI dan MAD tersebut, dapat disimpulkan bahwa, mereka-mereka yang berkebutuhan khusus seperti penyandang keterbelakangan mental tersebut sulit untuk mendapatkan penerimaan dari lingkungan sosial mereka.Penyandang keterbelakangan mental yang ada di desa tersebut mendapat penolakan dari lingkungan sosial mereka sendiri. Padahal mereka sesungguhnya sangat membutuhkan bantuan dari orang lain dalam kehidupannya, selain itu juga mereka berhak untuk bersosialisasi dan berhubungan dengan orang lain.
Pemaparan diatas menunjukkan stigmatisasi yang pernah dialami dan diterima oleh beberapa masyarakat yang mengalamai keterbelakangan mental yang ada di Desa Sidoharjo yang dikenal dengan “Kampung Idiot”.Stigma-stigma
tersebut tidak hanya berbentuk stigma verbal, namun juga stigma non-verbal juga mereka terima. Stigma yang diberikan oleh mereka yang mengalami keterbelakangan mental kemudian akan menciptakan perilaku diskriminatif. Stigma yang diberikan masyarakat kepada mereka-mereka yang menurut masyarakat tidak sesuai kriteria yang ada dimasyarakat.
berbeda dari mereka akan mengalami penolakan sosial dari lingkungannya akibat atribut yang melekat pada mereka-mereka yang dianggap berbeda tersebut. Masyarakat yang mengalami keterbelakangan mental yang ada di Desa Sidoharjo yang dikenal sebagai “Kampung Idiot” tersebut adalah salah satunya.
II.3.1. Identitas “Kampung Idiot” Berawal dari Jumlah Penyandang Keterbelakangan Mental yang Ada di Desa Sidoharjo
Isu Desa Sidoharjo mendapatkan label sebagai “Kampung Idiot” awal mulanya tidak lepas dari data banyaknya jumlah masyarakat yang menderita cacat fisik dan mental.
Berikut tabel kategori jumlah penduduk Desa Sidoharjo menurut penderita Cacat Fisik dan Mental tahun 2013 (dalam, Jambon dalam Angka 2014).
Tabel 3.1
Kategori Jumlah Penduduk Menurut Penderita Cacat Fisik dan Mental
NO. URAIAN JUMLAH
1. Tuna Netra 11 orang
2. Tuna Rungu 32 orang
3. Tuna Wicara 13 orang
4. Tuna Rungu Wicara 7 orang
5. Tuna Daksa 14 orang
6. Tuna Grahita 8 orang
7. Cacat Mental 111 orang
8. Cacat Ganda 43 orang
Jumlah 239 orang
Sumber: Jambon dalam Angka 2014
III.3.2. Status “Kampung Idiot” Diperkuat dengan Masuknya Media Massa
Media massa merupakan salah satu institusi sosial yang penting dalam kehidupan masyarakat. Media massa mampu membentuk suatu organisasi yang hidup di tengah masyarakat. Salah satu fungsi media massa selain fungsi informasi, fungsi hiburan dan fungsi penyebaran nilai, media massa juga mempunyai fungsi penafsiran dengan memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting yang ada di masyarakat. Ada keterkaitan antara fungsi informasi media dengan fungsi penafsiran, bahwa melalui informasi banyaknya masyarakat penderita cacat fisik terutama cacat mental yang ada di Ponorogo khususnya di Desa Sidoharjo tersebut, akhirnya media massa mempublikasikannya diberbagai media cetak maupun elektronik dengan berbagai penafsiran yang dibuat media tersebut.
Berdasarkan dari pernyataan dari salah satu informan MAD, bahwa isu label atau sebutan “Kampung Idiot” tersebut pertama kali digulirkan oleh media.
Menurut MAD media menyebutnya bahwa ini adalah bentuk dendam dari Undang-Undang pers pada era orde baru bahwa Undang-Undang media dibuat sedemikian ketat sehingga membuat media semakin terbumkam dengan informasi-informasi yang ada di masyarakatnya.
“Sejarah penyebutan kampong idiot niku..temen-temen media yang
menggulirkan, dulu sebelum ada keterbukaan informasi temen-temen media merasa mereka dibungkam untuk menyuarakan keadaan
disini,...”
Artinya:
“Sejarah penyebutan Kampung Idiot itu.. teman-teman media yang
menggulirkan, dahulu sebelum ada keterbukaan informasi teman-teman media merasa mereka dibungkam untuk menyuarakan
keadaan disini,..”
(MAD, 2015)
Akhirnya dengan perubahan masa dan perubahan mengenai Undang-Undang kebebasan pers, media pada akhirnya dapat mengpublikasikan informasi-informasi yang dulunya tidak sempat dipublikasikan yang menurut mereka penting diketahui oleh masyarakat umum misalnya mengenai keadaan masyarakat yang ada di Desa Sidoharjo tersebut.
...”akhirnya secara informasi kebebasan pers dijamin, mereka
merasa bahwa dunia berhutang kepada sidoharjo, mereka hutang. Hutang atas informasi yang dulunya terbungkam, sehingga ada sedikit dendam di hati temen-temen media itu untuk menyuarakan desa sidoharjo, sesuatu sing ini nanti harus mendapat perhatian,
akhirnya muncul penyebutan kampong idiot...”
(MAD, 2015) Artinya:
...”akhirnya secara informasi kebebasan pers dijamin, mereka
merasa bahwa dunia berhutang kepada sidoharjo, mereka hutang. Hutang atas informasi yang dulunya terbungkam, sehingga ada sedikit dendam di hati temen-temen media itu untuk menyuarakan desa sidoharjo, sesuatu yang ini nanti harus mendapat perhatian,
akhirnya muncul penyebutan kampong idiot...”
(MAD, 2015)
Menurut informan MAD tersebut dapat dilihat bahwa penyebutan “Kampung Idiot” itu sendiri adalah permainan media massa untuk mendapat
beranggapan bahwa “Kampung Idiot” adalah suatu kampung yang masyarakatnya „idiot‟ semua. Itulah stigma yang masih melekat hingga sekarang ini.
III.3.3. Didukung oleh Pemerintah Desa Sidoharjo
Studi ini menemukan bahwa, stigma negatif “Kampng Idiot” tidak hanya
didukung oleh jumlah penderita cacat mental dan cacat fisik yang ada di Desa Sidoharjo dan masyarakat luar seperti media massa, namun juga didukung oleh pemerintah Desa Sidoharjo itu sendiri. Pemerintah Desa Sidoharjo tidak mengganggap kondisi yang dialami masyarakatnya bukan sebagai aib yang harus mereka tutup-tutupi, namun sebaliknya kondisi ini harus disebar-luaskan ke masyarakat luar maupun ke pemerintah daerah. Seperti apa yang dipaparkan oleh salah satu informan INU, bahwa sebutan “Kampung Idiot” tersebut adalah
permintaan dari pemerintah desa itu sendiri.
“Yo pada dasarnya wong sak kecamatan ki ngerti mbak, kampong
idiot kan yo jenenge deso ke yo ndue karep, memang seng njuluk ne kampong idiot deso iki dewe pemerintah desa dewe, supaya bab-bab iku ben tersebar luas, disebar luasne malahan, ora kok justru ditutup-tutupi...”
(INU, 2015) Artinya:
“Ya pada dasarnya orang sekecamatan ini mengetahuinya mbak.
Kampung Idiot kan ya namanya desa itu ya mempunyai keinginan, memang yang memberikan sebutan Kampung Idiot desa ini sendiri pemerintah desa sendiri, supaya bab-bab itu biar tersebar luas, disebar luaskan malahan, tidak malah justru ditutup-tutupi...”
(INU, 2015)
publik dikarenakan menurut informan INU bahwa agar persoalan tersebut dapat segera diatasi dan mendapat kepedulian dari pemerintah.
“Nek wes disebar luasne kan yo akhir e enek wong-wong sing
peduli, terutama pemerintah. Niku kan yo mesti enek kepedulian. Nek malah tak tutuptutupi yo malah…diarani kampong idiot yo selama onok deso iki, mau-maune nggeh mboten...”
(INU, 2015)
Artinya:
“Kalau sudah disebar luaskan ya akhirnya ada orang-orang yang
peduli, terutama pemerintah. Itu kan pasti ada kepedulian. Kalau malah saya tutup-tutupi yo malah...dikatakan Kampung Idiot ya
selama ada desa ini, awalnya ya tidak...”
(INU, 2015)
Stigma “Kampung Idiot” identik dengan stigma kurang menyenangkan
dan membawa dampak buruk bagi masyarakatnya, hal tersebut akan berbeda dari pandangan dari salah satu informan INU tersebut, bawasannya tidak semua stigma dianggap buruk dan membawa dampak buruk bagi semua orang yang ada di Desa Sidoharjo tersebut. Berdasarkan argumen INU sebagai salah satu tokoh masyarakat di desa tersebut, dengan stigma “Kampung Idiot” membawa dampak positif bagi desanya. Hal tersebut terbukti bahwa Desa Sidoharjo semakin banyak mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun LSM dan para donatur-donatur lainnya. Sehingga hal tersebut membawa keuntungan tersendiri bagi Desa Sidoharjo tersebut.
III.4. Respon Masyarakat Lokal Atas Stigma “Kampung Idiot”
Terdapat bentuk-bentuk stigma yang disematkan kepada mereka-mereka yang tergolong berkebutuhan khusus atau mereka yang keterbelakangan mental. Bentuk-bentuk stigma tersebut ada yang berupa verbal dan non-verbal. Bentuk penolakan verbal tersebut berupa kata-kata misalnya dengan mengatakan bahwa orang tersebut idiot, goblok (bodoh), peko‟ (bodoh), mendho (bodoh),
Robet(Orang Krebet), bisu sampai dengan memberikan panggilan yang bukan nama aslinya misalnya panggilan „Bagong‟. Sedangkan bentuk penolakan non-verbal yang tercermin dari bentuk gestur tubuh seperti pandangan yang kurang menyenangkan dari orang lain sampai bentuk perlakuan yang kurang menyenangkan misalnya penolakan terhadap penyandang dari kelompok masyarakat tertentu sampai pada pengusiran secara langsung dari suatu kelompok tertentu.
Tabel 3.2
Respon yang Ditunjukkan Masyarakat Terhadap Stigma dan Perilaku Diskriminatif Masyarakat “Kampung Idiot”
NO. INFORMAN RESPON YANG DITUNJUKKAN
1. MAD
- Percaya diri dibilang dari “Kampung Idiot
- Langsung diajak bicara jika ada orang yang memberikan perlakuan yang kurang menyenangkan kepada salah seorang penyandang
2. INU
- Tidak masalah Desa Sidoharjo disebut “Kampung Idiot”, karena jika tidak disebut “Kampung Idiot” malah tidak akan menyelesaikan masalah.
- Dianggap biasa aja jika orang banyak menyebut penyandang orang pingiran atau “ndeso”
3. DEV
- Menjelaskan keadaan Desa Sidoharjo bawasannya yang mengalami keterbelakangan mental tersebut tidak semua masyarakatnya.
- Berbicara secara langsung kepada orang yang mengatakan atau memanggil dengan panggilan yang kasar kepada salah seorang penyandang
4. ARI - Menunjukkan respon yang kurang senang 5.
TIN
- Biasa saja disaat anggota keluarganya dijuluki dengan panggilan-panggilan yang bukan namanya
6. IIM
- Malu jika tempat tinggalnya dijuluki “Kampung Idiot”
- Langsung menangepi bahwa itu sudah menjadi takdir dari yang Maha Kuasa
7. WAR - Biasa saja jika Desa Sidoharjo di sebut sebagai “Kampung Idiot”, tidak ada rasa malu
Sumber: Data Primer
Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa respon yang ditunjukkan masyarakatterhadap stigma dan perilaku diskriminatif masyarakat “Kampung Idiot” sangat bervariatif. Respon tersebut ditunjukkan oleh keluarga yang
III.4.1. Respon Keluarga yang Memiliki Anggota yang Keterbelakangan Mental
TIN adalah salah satu informan yang mempunyai dua anggota keluarga yang keterbelakangan mental yang masih dalam kategori ringan, disaat keluarganya yang keterbelakangan mental tersebut mendapat perkataan-perkataan yang kurang baik dari tetangganya mulai dari mendapatkan julukan
peko‟(Bodoh),goblok(bodoh). Anggota keluarganya yang keterbelakangan
tersebut jika mendengarnya akan sedikit marah dan bergumam dengan bahasanya sendiri.
…“kadang nek tiyangge mireng ngoten kadang nggeh nesu, ngamuk
biasane, nguuumengg mawon, ngremeng ngoten”.
(TIN, 2015)
Artinya:
...”kadang kalau orangnya dengar gitu kadang ya marah, marah
(tersinggung) biasanya, berbicara sendiri (namun tidak jelas
bahasanya), menunjukkan ketidaksenangan seperti itu”.
(TIN, 2015)
Sedangkan TIN sendiri jika keluarganya mendapatkan julukan peko‟,
goblok dari tetangganya menanggapinya seperti kebanyakan informan lainnya, TIN meresponnya dengan biasa saja, TIN tidak pernah memberikan respon atau reaksi apapun kepada orang atau tetangganya tersebut, mengingat memang keadaan anggota keluarganya tersebut yang memang terbatas yaitu sebagai penyandang keterbelakangan mental yang berbeda dengan masyarakat normal lainnya.
“Pripun nggeh emang keadaane ngoten niku, terbatas yowess mbak,
biasaae”.
(TIN, 2015)
Artinya:
“Seperti apa ya memang keadaannya seperti itu, terbatas ya sudah mbak, biasa saja”.
(TIN, 2015)
Berdasarkan informan TIN tersebut respon biasa saja yang TIN berikan kepada seseorang atau tetanganya yang memberikan perlakuan atau perkataan yang kurang menyenangkan anggota keluarganya yang keterbelakangan mental menurut TIN dikarenakan keadaan anggota keluarganya tersebut yang memang terbatas, sehingga ada sikap pasrah terhadap diri TIN mengenai sikap orang lain terhadap anggota keluarganya tersebut.
III.4.2. Respon Lingkungan Sekitar
sendiri pada waku itu, yaitu kepada salah satu warganya yang memberikan julukan bisu kepada salah satu penyandang keterbelakangan mental tersebut.
“Hee. . . kowe opo seneng nek koyo ngono kui, ora iso omong iku yo
pawaue sing kuoso kok, kula nggeh ngoten. Kan leres ta mbak,
tiyang ngoten niku nek. . . prayo isin to mbak”.
(IIM, 2015)
Artinya:
“Hee...kamu apa senang kalau seperti itu, tidak bisa bicara itu ya
pemberian dari Yang Maha Kuasa, saya ya gitu. Kan benar kan mbak, orang seperti itu...kan ya malu mbak”.
(IIM, 2015)
Berdasarkan pernyataan informan IIM bahwa apa yang dialami salah satu penyandang keterbelakangan mental dengan kondisi „bisu‟ adalah sudah menjadi
pemberian dari Yang Maha Kuasa. Berdasarkan argumen tersebut IIM mengumpamakan kepada orang yang memberikan stigma „bisu‟ kepada salah satu
penyandang tersebut agar orang tersebut bisa lebih bersimpati dengan kondisi atau keadaan yang dialami oleh penyandang keterbelakangan tersebut. Sehingga IIM berharap orang yang memandang rendah mereka-mereka yang penyandang keterbelakangan mental tersebut, dapat lebih bersyukur dengan kondisinya yang normal sekarang ini.
Respon berbeda diberikan salah satu informan ARI, menurut pernyataan ARI, pihaknya kurang senang dengan sebutan “Kampng Idiot” yang diberikan kepada desanya tersebut. Dengan alasan hanya sebagian kecil dari warga masyarakat Desa Sidoharjo yang mengalami keterbelakangan mental. Sehingga menurut ARI sebutan atau julukan tersebut tidak tepat diberikan kepada Desa Sidoharjo.
(ARI, 2015) Artinya:
“Ya Cuma ya kurang senang lah. Lha kenapa kok dikasih nama
Kampung Idiot segala kan ya sebagian gak semuanya gitu lo
maksudnya kan cuma sedikit kok dijuluki Kampung Idiot...”
(ARI, 2015)
Berdasarkan pernyataan ARI, dapat dilihat bahwa „kurang marem‟ atau dalam bahasa Indonesinya „kurang senang‟ menunjukkan ketidak senangan
sekaligus penolakan dengan sebutan “Kampung Idiot” tersebut. Mengingat antara kenyataan atau kondisi yang sebenarnya dengan apa yang dipahami masyarakat luar sangat jauh berbeda. Antara masyarakat yang penyandang keterbelakangan mental dengan masyarakat normal jumlahnya jauh lebih banyak masyarakat normalnya, sehingga informan ARI menunjukkan respon ketidaksenangan dan ketidak setujuan dengan sebutan “Kampung Idiot” yang melekat di desanya
tersebut.
III.4.3. Respon Perangkat Desa
Respon terhadap stigma dan perilaku diskriminatif masyarakat “Kampung Idiot”tidak hanya ditunjukkan oleh penyandang keterbelakangan mental, pihak
keluarga penyandang keterbelakangan mental maupun dari lingkungan masyarakat sekitar, namun juga ditunjukkan oleh tokoh masyarakat yang ada di Desa Sidoharjo tersebut.
Salah satun informan WAR mengganggap dengan sebutan “Kampung Idiot” yang disemangatkan kepada desanya tersebut WAR tidak merasa malu
menyembunyikan keadaan yang sebenarnya tersebut, bahwa memang ada sebagian dari jumlah masyarakatnya yang mengalami keterbelakangan mental.
“Ya kalau saya sendiri yo nggak istilahnya malu atau apa enggak,
terah memang keadaannya yo seperti itu apa boleh buat gitu kan”.
(WAR, 2015)
Artinya:
“Ya kalau saya sendiri ya tidak istilahnya malu atau apa tidak,
memang keadaannya ya seperti itu apa boleh buat gitu kan”.
(WAR, 2015)
Berdasarkan pernyataan WAR tersebut bahwa respon yang ditunjukkan WAR mengenai stigma “Kampung Idiot” tersebut tidak ada rasa malu. WAR merasa stigma tersebut telah menunjukkan keadaan dan kondisi sebenarnya yang dialami masyarakatnya. Menurut WAR, tidak ada masalah jika orang luar memberikan sebutan Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot”.
Respon yang diberikan WAR sebagai salah satu tokoh masyarakat yang ada di desa tersebut, berbeda dengan respon yang ditunjukkan oleh Informan DEV. Respon yang diberikan DEV kepada orang yang memberikan sebutan Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot” maupun kepada orang yang menanyakan
apakah satu kampung tersebut masyarakatnya „idiot‟ semua, respon yang
diberikan dan ditunjukkan DEV adalah DEV berusaha menjelaskan keadaan kampungnya yang sebenarnya. Bahwa, tidak semua masyarakat yang tinggal di Desa Sidoharjo tersebut masyarakatnya mengalami keterbelakangan mental atau sebutan mereka „idiot‟.
…”memberikan pemahaman kepada mereka bawasannya anggapan
seharusnya mereka bisa menjawab menjelaskan sesuai dengan kenyataan yang ada di Desa Sidoharjo.”
(DEV, 2015)
Selain itu juga DEV tidak menutup-nutupi maupun sengaja menghilangkan keadaan atau kondisi sebagian warga masyarakatnya yang mengalami keterbelakangan tersebut.Bahwa jumlah populasi warga masyarakat Desa Sidoharjo tersebut sangat banyak, namun yang mengalami keterbelakangan mental tersebut hanya sebagian kecil saja dari jumlah penduduk Desa Sidoharjo tersebut.
“Desa Sidoharjo ini jumlahnya sangat banyak dari jumlah itu ada jumlah itu ada warga kami yang mengalami keterbelakangan mental, namun jumlah mereka sangat kecil kecil ini yang tidak kami tutup-tutupi, artinya tidak berusaha untuk menghilangkan warga kami yang mengalami keterbelakangan itu”.
(DEV, 2015)
Seperti halnya DEV informan INU sebagai mantan kepada desa pertama di Desa Sidoharjo tersebut juga menanggapi secara positif mengenai stigma atau sebutan Desa Sidoharjo sebagai “Kampung Idiot”, banyak orang luar sana yang menjuluki desanya dengan sebutan “Kampung Idiot”, karena jika ditutup-tutupi
masalah tersebut tidak akan dapat terselesaikan.
“Yo ra masalah, nek coro kula yo ra masalah, nyapo kok ditutap
-tutupi. Justru barang-barang sing ditutupi ngono kui ora iso anu ora iso nylesekne masalah. Nek ditutupi niku barang koyo ngono kok ditutup, terus akhire piye nek arep nylesaikan”.
(INU, 2015)
Artinya:
“Ya tidak masalah, kalau menurut saya ya tidak masalah, kenapa
kok ditutup-tutupi. Justru sesuatu apapun yang ditutupi itu tidak bisa apa tidak bisa menyelesaikan masalah. Kalau ditutupi itu sesuatu seperti itu kokditutupi, terus akhirnya bagaimana kalau
Berdasarkan argument INU tersebut dapat diketahui bahwa INU tidak akan menutupi keadaan atau kondisi di desanya tersebut. INU akan membenarkan bahwa memang masyarakatnya banyak yang mengalami keterbelakangan mental. Sehingga dari pernyataan INU tersebut tidak ada masalah jika masyarakat luar menyebut desanya sebagai “Kampung Idiot” karena jika kondisi masyarakatnya
ini ditutupi malah tidak akan memberikan penyelesaian terkait kondisi warga masyarakat Desa Sidoharjo.
DEV juga memberikan pernyataan bahwa, berdasarkan pengalamannya sendiri DEV pernah melihat dan mendengar warganya yang menerima perkataan atau sebutan yang kurang menyenangkan, DEV langsung memberikan teguran secara langsung kepada orang yang memberikan sebutan yang kurang baik kepada orang tersebut.
..”ngomong baik-baik dengan remajanya itu sendiri bawasannya perbuatan itu sendiri tidak baik, memberikan sebutan kepada orang lain, memberikan apa panggilan kepada orang lain yang mana itu bukan namanya sendiri kan itu sendiri tidak baik, apalagi ini sebutan yang buruk seperti kata-kata kasar itu tadi..”.
(DEV, 2015)
terkait kondisi yang sebenarnya Desa Sidoharjo tersebut. Mengingat warga masyarakat di Desa Sidoharjo mayoritas pendidikannya rendah, sehingga perlu memberikan pemahaman kepada warga masyarakatnya dalam memberikan sikap maupun perlakuan terhadap sebagaian warga masyarakatnya yang penyandang keterbelakangan mental. Sehingga akan menunbuhkan sikap saling menghargai antar sesama masyarakat lainnya.
Dari temuan data yang diperoleh, tidak semua informan menunjukkan respon secara langsung terhadap stigmatisasi dan perilaku diskriminatif yang dialami oleh masyarakat “kampung idiot” tersebut. Maupun memberikan respon yang keras terhadap stigmatisasi yang diberikan kepada masyarakat Desa Sidoharjo kepada sebagian warga masyarakat penyandang keterbelakangan mental tersebut. Ada beberapa masyarakat yang biasa saja jika Desa Sidoharjo mendapat sebutan “Kampung Idiot”, namun ada juga sebagian warga masyarakatnya yang
berusaha menjelaskan keadaan atau kondisi yang sebenarnya di Desa Sidoharjo tersebut.
III.5. Keuntungan Atas Stigma “Kampung Idiot”
Konsep stigma yang identik dengan suatu atribut yang mendiskreditkan seseorang secara mendalam, yang bisa terlihat pada bahasa dan gestur tubuh (baik itu verbal ataupun non-verbal) dalam hubungan sehari-hari.Sehingga stigma juga identitik dengan suatu perbuatan maupun perkataan yang buruk terhadap individu maupun kelompok serta akan membawa pengaruh buruk pada individu atau kelompok yang menerimanya tersebut. Namun demikian, hal tersebut akan berbeda dengan apa yang dialami oleh masyarakat “Kampung Idiot” Desa
terhadap desa tersebut disisi lain ternyata membawa dampak atau pengaruh baik bahkan membawa keuntungan terhadap masyarakat yang tinggal di Desa Sidoharjo tersebut.
III.5.1. Keuntungan dari Pihak Keluarga
Stigma yang diterima oleh anggota keluarganya maupun pihak penyandang keterbelakangan itu sendiri bukan selamanya berpengaruh buruk maupun negatif kepada mereka. Namun, stigma tersebut ternyata berpengaruh baik atau positif bagi keluarga maupun bagi penyandang keterbelakangan itu sendiri.
Hal tersebut dibuktikan melalui salah satu pernyataan informan SOI, yang mempunyai dua anggota keluarga penyandang keterbelakangan mental.SOI menyadari dengan stigma atau sebutan Desa Sidoharjo ini sebagai “Kampung Idiot” disatu sisi memberikan dapak positif kepada desanya, karena akhirnya
setelah terkenal sebagai desa miskin yang masyarakatnya banyak yang berkebutuhan khusus yang akhirnya banyak bantuan yang datang ke desanya. Misalnya saja, dengan melihat kondisi keluaraga SOI pemerintah tidak hanya tinggal diam, SOI mengaku anaknya masih mendapat bantuan rutin dari pemerintah sebesar Rp.300.000,00 setiap bulannya.
“Kan iki wes terkenal mbak kampong miskin mangan karat ngono, tapi yo akhirre akeh sumbangan-sumbangan, bantuan-bantuan ngoten niku, koyo niku(menunjuk anaknya yang sedang tidur) per
bulan nggeh tasek bayaran 300 rutin per bulan”.
(SOI, 2015)
Artinya:
sedang tidur)per bulan masih dapat bayaran 300 (tiga ratus) rutin setiap bulan”.
(SOI, 2015)
Menurut argumen SOI tersebut dapat disimpulkan bahwa, dengan stigma dan sebutan desa mereka sebagai “Kampung Idiot”, yang banyak orang diluar
sana memberikan pandangan dan penafsiran bahwa masyarakatnya semua mengalami keterbelakangan mental. Padahal yang termasuk penyandang keterbelakangan mental tersebut hanya sebagian kecil saja dari sekian populasi penduduk yang ada di Desa Sidoharjo. Pada akhirnya stigma tersebut tidak hanya memberikan dampak buruk pada keluarganya namun juga memberikan dampak positif tersendiri, berupa bantuan tunjangan hidup untuk penyandangnya sendiri.
Selain informan SOI, salah satu tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama yaitu informan DEV juga memberikan pernyataan bahwa, para keluarga penyandang keterbelakangan mental yang ada di desa tersebut mendapatkan bantuan berupa ternak kambing maupun ayam dari pemerintah daerah, sebagai bentuk program pemberdayaan ekonomi bagi keluarga penyandang keterbelakangan mental.
...”kita berikan bantuan dari pemerintah kita salurkan yakni berupa
ternak kambing, ada yang ternak ayam, dan yang lainnya ini sudah berjalan ada yang bagus ada yang kurang bagus ada yang sama sekali tidak ada perubahanya, ya tadi kendalanya banyak sekali karna harus senantiasa dipantau...”
(DEV, 2015)
mendapatkan bantuan program pemberdayaan ekonomi berupa hewan ternak seperti kambing dan ayam. Sehingga stigma atau label tidak hanya memberikan dampak negatif maupun pengaruh buruk kepada individu atau kelompok yang menerimanya, namun juga memberikan banyak pengaruh positif bahkan menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi penerimanya. Seperti halnya yang dialami oleh Desa Sidoharjo yang mendapat stigma sebagai “Kampung Idiot” memberikan pengaruh besar dan berdampak positif bagi keluarga penyandang itu sendiri. III.5.2. Keuntungan dari Lingkungan Sekitar
Keuntungan atas stigma “Kampung Idiot” tidak hanya dirasakan oleh
pihak keluarga saja namun juga dari lingkungann sekitarnyanya, dalam kata lain keuntungan atau dampak positif tersebut tidak hanya dirasakan oleh pihak keluarga penyandang kerbelakangan saja, namun juga mereka-mereka yang tidak mempunyai keluarga penyandang keterbelakangan mental.
Informan ARI salah satunya yang merasakan keuntungan dari label desa sebagai “Kampung Idiot” ini. Menurut ARI semua warga masyarakat Desa
“Garam niku ta? Nggeh niku rutin niku satu tahun sekali niku mbak, nek dulu itu satu bulan sekali itu kayak susu, roti, biscuit kayak gitu lo. Tapi sekarang nggak ada”.
(ARI, 2015)
Artinya:
“Garam itu ya? Ya itu rutin itu satu tahun sekali itu mbak, kalau
dulu itu satu bulan sekali itu seperti susu, roti, biskuit seperti itu.
Tapi sekarang tidak ada”.
(ARI, 2015)
Bukan hanya dari pernyataan informan ARI, salah satu informan DEV yang menjadi salah anggota relawan BASNAS Jawa Timur mengungkapkan bahwa pihaknya telah banyak menyalurkan bantuan dari BASNAS Jawa timur kepada masyarakat yang ada di Desa Sidoharjo tersebut. Bantuan tersebut tidak hanya dirasakan dan diberikan kepada keluarga penyandang saja, namun juga seluruh warga masyarakat Desa Sidoharjo dapat merasannya. Menurut pernyataan DEV bantuan tersebut berupa perbaikan rumah warga yang rusak, pembuatan beberapa sumur sebagai penampuan air bersih sehingga kebutuhan air bersih warga masyarakatnya tercukupi.
...”progam perbaikan rumah tinggal atau yang disingkat property
dari BASNAS dengan struktur dan bentuk yang sama itu bisa kita lihat sebanyak 62 rumah, diseluruh Desa Sidoharjo ini, serta pembuatan sumur yang mana sumur itu nanti dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan air dimasyarakat, artinya kebutuhan sehari-hari untuk mandi, masak dan mencuci...”
(DEV, 2015)