Bab V Penutup, bab ini berisi tentang kesimpulan, saran dan rekomendasi
METODE PENELITIAN
A. INTERPRETASI GRAMATIKAL
3. Keutamaan ilmu
Gambar 4.11
Bait Ru>mi> tentang Keutamaan Ilmu
“Rasulullah Saw bersabda: “Seburuk-buruknya ulama adalah mereka yang mengunjungi para pemimpin dan sebaik-baiknya para pemimpin adalah mereka yang mengunjungi ulama. Sebaik-baik pemimpin ialah ia yang berada di depan pintu rumah orang fakir dan seburuk-buruk orang fakir ialah ia yang berada di depan pintu rumah pemimpin”.142َ
Dalam hadist diatas, Nabi menggunakan istilah Umara, yakni
bentuk jama‟ dari kata Amir yang artinya seorang penguasa yang memiliki legalitas kekuasaan bahkan diberi amanah untuk mengatur
serta memimpin masyarakat dan „Ulama, menurut bahasa yakni bentuk jama‟ dari kata „alim artinya orang yang berpengetahuan, orang pandai atau orang yang ahli dalam bidang ilmu. Dalam
pemahaman bahasa Indonesia menjadi bentuk tunggal yakni, orang
yang ahli ilmu agama Islam.
Ru>mi> menggunakan dalam bentuk jama‟ karena bukan sekedar satu atau dua ulama atau umara saja yang melakukan hal
seperti hadis di atas, melainkan banyak bahkan kebanyakan dari
mereka yang memanfa‟at kan kedudukan mereka sebagai ulama dan umara. Jika dilihat dari hadits di atas, banyak orang sudah merasa
puas dengan memahami makna tekstualnya saja, namun
sebagaimana yang telah dituturkan oleh Ru>mi>, makna substansial
dari hadits tersebut yakni seburuk-buruk ulama ialah mereka yang
bergantung kepada para pemimpin, semua yang mereka lakukan
demi mendapatkan simpati di hadapan pemimpin. Sementara ilmu
yang telah mereka miliki sejak awal diniatkan hanya sebagai media
untuk dapat bercengkrama dengan para pemimpin. Hal tersebut
dilakukan semata-mata hanya ingin diberikan penghormatan dan
jabatan yang tinggi, sehingga mereka dibutakan dan mengubah
dirinya dari bodoh menjadi berilmu.143
Dan sebaliknya sebaik-baik ulama mereka yang menuntut
ilmu semata-mata karena Allah, sehingga tingkah laku dan
kebiasaannya sesuai dengan jalan yang benar. Maka ulama semacam
inilah yang memiliki akal yang dapat mengontrol dan mencegah
dirinya dari perbuatan buruk. Demikian ulama bertugas untuk
memberi manfaat bagi masyarakat bukan menerima manfaat dari
orang lain (dimanfaatkan).144 Sejatinya, ulama seperti inilah yang
sangat dibutuhkan dan bahkan dialah yang akan di kunjungi oleh
pemimpin. Karena dalam segala kondisi, pemimpin itulah yang
banyak memperoleh pertolongan, nasehat bahkan manfaat darinya.
Sejatinya maksud daripada diatas berkaitan dengan
keutamaan menuntut ilmu, yang secara tidak langsung niat sebagai
tolak ukur dalam melakukan suatu pekerjaan. Sebab jika niatnya
rusak maka rusak pula amalannya. Demikian dalam menuntut ilmu
diniatkan untuk mensyukuri nikmat akal, kesehatan badan dan tidak
diniatkan untuk mencari muka dihadapan manusia serta mencari
kenikmatan dunia ataupun untuk mencari kedudukan dihadapan
143 Isa< ‘ali< al-‘aku<b, “Kita<b Fi<hi Ma< Fi<hi: Aha<dis|i..., hlm. 27.
penguasa, melainkan niatkan lah semua karena Allah semata. Seperti
dalam firman Allah yang berbunyi:
“Wahai Nabi, katakanlah kepada para tawanan-tawanan yang
berada di tanganmu: “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu”, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.145
Seperti yang diketahui bahwa ayat ini turun ketika Nabi
Muhammad telah berhasil mengalahkan orang-orang kafir, bahkan
mereka juga menawan banyak orang kafir dan mereka membelenggu
tangan dan kaki mereka. Dan pada akhirnya tawanan itu menangis
dan meraung-raung sepanjang malam dalam belenggu dan tidak
mampu berbuat apa-apa.
Dalam menafsirkan segala cerita yang ada, Ru>mi> berkata:
Aku menceritakan kisah ini kepada Amir Barwanah yang mana Amir
pertama kali nya menjadi prajurit tentara Islam, adapun ia berkata
“aku akan menjadi diriku sebagai tebusan, akan aku korbankan akal
dan pikiranku demi berdirinya agama Islam dan langgengnya banyak orang Islam, supaya agama ini terus menjadi aman dan kuat”. Demikian perkataan Amir yang salah, bahwasannya manusia
itu selain bergantung pada akal dan pikirannya ia juga harus
145
melibatkan Allah. Sejatinya Allah justru telah menjadikan akal dan
usaha yang kamu banggakan dan kamu harapkan sebagai jalan untuk
melanggengkan Islam itu menjadi sebuah penghancur yang begitu
membutakan jiwa dan hatinya. Demikian, tengadahkan wajahmu
kehadapan Allah dalam khauf dan percayalah bahwa Allah akan
segera melepaskanmu dari belenggu rasa ketakutan.
Makna khauf disini bukan sekedar kegalauan hati yang
sedang membayangkan sesuatu yang menakutkan akan menimpanya,
atau sedang membayangkan hilangnya sesuatu yang telah lama
disukainya. Melainkan khauf disini ialah karena dirinya telah keluar
dari ketaatan kepada Allah sehingga dirinya dilumuri dengan dosa.
Sehingga Rumi mengatakan kepadanya, agar dia mengemis kepada
Allah dan mengakui kesalahannya dan penyesalan yang mendalam
karena dosa yang telah dia perbuatan. Adapun tujuan Rumi
memberikan pemahaman seperti halnya diatas supaya diri Amir
percaya dan mengemis di hadapan Allah. Pemahaman ini tidak
hanya berhenti kepada Amir saja, melainkan kepada semua manusia
supaya manusia tidak mudah tertipu dan akhirnya merasa besar diri
dan melupakan kekuasaan Allah. Sesungguhnya Allah Maha Cerdas
dan mengetahui apa saja yang terdapat di dalam hati manusia.
Dari tujuan dalam menuntut ilmu, sehingga dapat dikatakan
bahwa ulama lah orang yang mengembara di ranah ilmu, kecerdasan,
sosok dokter rohani yang menunjukkan kepada manusia jalan
menuju kejernihan hati serta mengidupkan hati yang telah mati.
Sehingga mereka diktakan sebagai orang-orang yang berkhitmad
demi seluruh umat. Ulama juga banyak membekali manusia dengan
berbagai manfaat serta keterampilan hidup. Hal tersebuut bertujuan
untuk mengangkat martabat manusia menuju kesempurnaan.
Dalam hal ini, ulama bagaikan matahari yang banyak
memberi kepada semua makhluk, serta dapat menyulap gunung
menjadi tambang-tambang, emas, perak dan besi serta menjadikan
bumi hijau bersemi dan memberkati pepohonan dengan buah-buahan
yang berlimpah.146 Demikian pekerjaan ulama seperti diungkapkan
dalam peribahasa Arab yang berbunyi:
ذخنأَفأَانمّلعتَامَ،يطعنَفأَانمّلعتَننح
Maksud dari ungkapan diatas yakni Kami telah belajar untukmemberi, tidak untuk menerima, sehingga ulama yang seperti inilah
yang dikunjungi pemimpin dan bukan sebaliknya. Sementara itu,
pemimpin memiliki kewajiban untuk mengayomi para ulama. Bukan
sekedar sebagai media untuk mendongkrak popularitas di mata
masyarakat atau bahkan dijadikan sebagai alat untuk menarik
masyarakat supaya berpihak kepadanya. Dari sinilah dapat di tarik
garis tengah bahwa ulama dan umara merupakan dua unsur sosial
046 اك َؿابجكَ،توقياكَقيقعَلىإَةراجلحاَؿّوتحَيىكَ،ـومعلاَةهجَىلعَحنلداكَءاطعلاَفيَةيّلكلاَاهتفيظكَلثمتتَتيلاَ،رونللَةبىاولاَسمشل َراجشلأاَبتهكَ،ةرضنَةرضخَضرلأاَلعتجكَ،ديدلحاكَةّضفلاكَبىذلاكَساحنللَمجانمَلىإَضرلأا َ.عاونلأاَةفلتلسَوكاوف
Lihat di ‘Isa< ‘ali<
al-‘aku<b, Kita<b Fi<hi Ma< Fi<hi: Aha<dis|i Maula<na< jala>l Ad-di<n Al-Aru<mi< (t.t: Da<rul Fikr, 1421 M), hlm. 28.
yang sangat dekat dengan masyarakat dalam tujuan memperjuangkan
kepentingan masyarakat.
Dalam hal ini Ru>mi> ingin mengungkapkan tentang Hadits
Rasulullah dan firman Allah yang selalu dikutip oleh tokoh sufi. Dan
juga terdapat suatu sindiran bagi para penuntut ilmu yang salah
dalam menanamkan niat dalam menuntut ilmu. Adapun tujuan lain
Ru>mi> dalam melakukan pembahasan ini semua yakni memberikan pemahaman terhadap Amir Barunah147 supaya ia percaya serta
mengemis di hadapan Sang Kuasa. Hal tersebut di lakukan karena ia
telah lama mengalami degradasi dari puncak kejayaan ke dalam
lembah yang curam, serta memberikan pelajaran bagi manusia yang
lainnya agar tidak mudah tertipu oleh muslihat kenikmatan dunia.
Dan pada akhirnya menjadikan mereka jauh dari Allah dan berhenti
meminta pengharapan kepada Sang Kuasa. Demikian dalam
pembahasan ini, membahas tentang Akhlaq dalam Menuntut Ilmu
Pengetahuan dan hubungan antara Tuhan dan Manusia.
147
Amir Barunah ialah Mu‟inuddin Sulaiman bin Muhaddzab al-Din „Ali al-Dailami. Ia merupakan salah seorang pemuka dan menteri Saljuk Romawi, terbunuh pada tahun 675 H di tangan tentara Mongol. Lihat di ‘Isa< ‘ali< al-‘aku<b, Kita<b Fi<hi Ma< Fi<hi: Aha<dis|i Maula<na< jala>l Ad-di<n Al-Aru<mi< (t.t: Da<rul Fikr, 1421 M), hlm. 32.