• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewajiban Dan Kewenangan Organ Yayasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

F. Yayasan

3. Kewajiban Dan Kewenangan Organ Yayasan

Seperti yang telah dijelaskan di atas, pembina mempunyai kewenangan yang oleh undang-undang atau anggaran dasar tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas. Adapun kewenangan pembina adalah :84

1) Keputusan mengenai perubahan anggaran dasar; pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan anggota pengawas.

2) Penetapan kebijakan umum yayasan berdasarkan anggaran dasar yayasan.

81 Ibid, Hal. 220

82 Ibid, Hal. 222

83 Ibid, Hal. 214

84 Ibid

52 3) Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan

yayasan.

4) Penetapan keputusan menganai penggabungan atau pembubaran yayasan.

5) Mengadakan rapat sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun untuk melaksanakan kewenangannya.

6) Mengevaluasi kekayaan, kewajiban, tanggung jawab dan penghasilan yayasan tahun lalu sebagai dasar pertimbangan bagi pengesahan anggaran belanja tahun yang akan datang.

7) Mensahkan laporan tahunan yang disampaikan oleh pengurus dan pengawas.

b. Pengurus

Pengurus adalah organ yang melaksanakan kepengurusan yayasan. Adapun kewenangan pengurus meliputi :85

1) Melaksanakan kepengurusan yayasan.

2) Mewakili yayasan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

3) Mengangkat dan memberhentikan pelaksanaan kegiatan yayasan.

4) Bersama-sama dengan pengawas mengangkat anggota pembina jika yayasan tidak lagi mempunyai pembina.

5) Mengumumkan akta pendirian yayasan atau perubahannya dalam Tambahan Berita Negara.

85 Ibid, Hal. 222

53 6) Mengajukan perpanjangan jangka waktu pendirian, jika yayasan

didirikan untuk jangka waktu tertentu.

7) Menandatangani laporan tahunan bersama-sama dengan pengawas.

8) Mengusulkan kepada pembina tentang perlunya penggabungan.

9) Bertindak selaku likuidator jika tidak ditunjuk likuidator.

Selain mempunyai kewenangan, pengurus juga mempunyai kewajiban sebagai berikut :86

1) Wajib mengumumkan akta pendirian yayasan atau perubahannya dalam Tambahan Berita Negara, setelah akta pendirian atau perubahannya dilaksanakan.

2) Wajib menjaga kerahasiaan mengenai informasi yang tidak dapat diketahui umum.

3) Wajib bersama-sama dengan pengawas mengangkat pembina jika yayasan tidak lagi mempunyai pembina.

4) Wajib menyampaikan kepada salah satu organ yayasan apabila hendak melakukan perbuatan hukum yang mempunyai perbedaan kepentingan dengan maksud dan tujuan yayasan, jika diduga atau patut diduga perbuatan hukum menimbulkan kerugian bagi yayasan.

86 Ibid

54 5) Wajib membuat dan menyimpan catatan atau tulisan yang berisi keterangan mengenai hak dan kewajiban serta hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha yayasan.

6) Wajib membuat dan menyimpan dokumen keuangan yayasan berupa bukti pembukuan dan data pendukung administrasi keuangan.

7) Wajib menyusun laporan tahunan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) bulan sesudah tahun buku yayasan ditutup.

8) Wajib mengumumkan ikhtisar laporan dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia bagi yayasan yang kekayaannya berasal dari negara atau memeroleh bantuan pemerintah, atau mempunyai kekayaan dalam jumlah tertentu.

9) Wajib memberikan keterangan yang diperlukan untuk pelaksanaan pemeriksaan pengadilan.

c. Pengawas

Di dalam UU Yayasan, pengawasan pelaksanaan tugas pengurus yayasan diserahkan kepada pengawas. Pengawas mempunyai kewenangan sebagai berikut :87

1) Melakukan pengawasan serta memberikan nasihat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan.

2) Memberhentikan sementara anggota pengurus.

87 Ibid, Hal. 226

55 3) Menandatangani laporan tahunan bersama-sama dengan

pengurus.

Bagi seorang pengawas, wajib menjalankan tugas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan yayasan. Selain itu, seorang pengawas wajib memberikan keterangan yang diperlukan untuk pelaksanaan pemeriksaan.88

E. Landasan Teori 1. Teori Badan Hukum

Badan hukum dalam bahasa Belanda disebut “Rechtpersoon”

adalah suatu badan yang mempunyai harta kekayaan, hak serta kewajiban seperti orang pribadi. Berbagai teori maupun definisi telah disampaikan banyak sarjana mengenai apakah badan hukum itu, hal ini disebabkan karena apa sebenarnya hakikat badan hukum itu sehingga sampai disamakan seperti manusia yaitu mempunyai hak dan kewajiban, mengemukakan beberapa teori badan hukum dari beberapa sarjana, yaitu :

a. Teori Fiksi89

Teori ini dipelopori sarjana Jerman, Fridrich Carl Von Savigny (1779-1861), tokoh utama aliran/mahzab sejarah pada permulaan abad ke-19. Teori ini dianut di beberapa negara antara lain di Negara Belanda dianut oleh Opzomer, Diephuis, Land dan Houwing serta Langemeyer.

88 Ibid, Hal. 226

89 Chidir Ali, Op.Cit, Hal.31

56 Menurut Von Savigny bahwa hanya manusia saja yang mempunyai kehendak. Selanjutnya dikemukakan bahwa badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang konkrit. Oleh karena itu, suatu abstraksi, maka menjadi suatu subjek dari hubungan hukum, sebab hukum memberi hak-hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa (wilsmacht).

Badan hukum semata-mata adalah buatan pemerintah atau negara.

Terkecuali negara, badan hukum itu suatu fiksi yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal. Dengan kata lain sebenarnya menurut alam hanya manusia selaku subjek hukum, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya, badan hukum selaku subjek hukum diperhitungkan sama dengan manusia. Jadi orang bersikap seolah-olah ada subjek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak riil atau tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan, sehingga yang melakukan ialah manusia sebagai wakil-wakilnya.

b. Teori Organ90

Teori ini dikemukakan oleh sarjana Jerman, Otto von Gieke ( 1841 – 1921) pengikut aliran sejarah dan di Negara Belanda dianut oleh L.G.

Polano. Ajarannya disebut leer der volledige realiteit, ajaran realitas sempurna.

Menurut von Gieke, badan hukum itu seperti manusia, menjadi

90 Ibid, Hal.32

57 penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum yaitu “eine leiblichgeistige lebensein heit”. Badan hukum itu menjadi suatu

“verbendpersoblich keit” yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan perantaraan seperti mulutnya atau perantaraan tangannya jika kehendak itu ditulis di atas kertas. Apa yang mereka (organen) putuskan adalah kehendak dari badan hukum. Dengan demikian menurut teori organ, badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, tetapi benar-benar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum itu suatu organismen yang riil, yang hidup dan bekerja seperti manusia biasa.

c. Teori Kekayaan Bertujuan91

Teori ini timbul dari collectiviteitstheorie. Teori kekayaan bertujuan dikemukakan oleh sarjana Jerman, A. Brinz dan dibela oleh Van derr Heijden. Menurut Brinz hanya manusia yang dapat menjadi subjek hukum, karena badan hukum bukan subjek hukum dan hak-hak yang diberi kepada suatu badan hukum pada hakikatnya hak-hak dengan tiada subjek hukum.

Teori ini mengemukakan bahwa kekayaan badan hukum itu tidak terdiri dari hak-hak sebagaimana lazimnya (ada yang menjadi pendukung hak-hak tersebut, manusia). Kekayaan badan hukum dipandang terlepas

91 Ibid, Hal.34-35

58 dari yang memegang (onpersoonlijk/subjectloos). Disini yang penting bukan siapakah badan hukum itu, tetapi kekayaan tersebut diurus dengan tujuan tertentu.

d. Teori Kenyataan Yuridis92

Dari teori organ timbullah suatu teori yang merupakan penghalusan (verfijning) dari teori organ tersebut ialah teori kenyataan yuridis. Teori ini dikemukakan oleh sarjana Belanda E.M. Meijers dan dianut oleh Paul Scholten.

Menurut Meijers, badan hukum itu merupakan suatu realitas, konkrit, riil, walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Menurut teori kenyataan yuridis, badan hukum adalah wujud yang riil, sama riilnya dengan manusia dan lain-lain perikatan (verbintenis), ini semua riil untuk hukum.

Sebenarnya teori-teori badan hukum tersebut yang pokoknya atau berpusat pada dua pandangan yaitu :93

a. Yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud yang nyata,artinya nyata dengan pancaindera manusia sendiri akibatnya badan hukum tersebut disamakan atau identik dengan manusia.

Badan hukum dianggap identik dengan organ-organ yang mengurus ialah para pengurusnya dan mereka inilah oleh hukum dianggap sebagai persoon.

b. Yang menganggap bahwa badan hukum itu tidak sebagai wujud

92 Ibid, Hal.35

93 Ibid, Hal.42

59 yang nyata, tetapi badan hukum itu hanya merupakan manusia yang berdiri dibelakang badan hukum tersebut, badan hukum tersebut melakukan/membuat kesalahan itu adalah kesalahan manusia-manusia yang berdiri dibelakang badan hukum tersebut secara bersama-sama.

2. Teori Tanggung Jawab

Satu satu konsep yang tekait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum (libility). Seseorang yang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa seseorang dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatannya bertentangan/berlawanan dengan hukum. Sanksi dikenakan, karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggung jawab.

Subjek responsibility dan subjek kewajiban hukum adalah sama.

Tanggung jawab (responsibility) merupakan suatu refleksi tingkah laku manusia.

Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya, merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya. Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian dari tanggung jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh kesadaran intelektualnya.94 Tanggung jawab dalam arti hukum adalah tanggung jawab yang

94 Masyur Efendi, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan intenasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, Hal. 121

60 benar terkait dengan hak dan kewajiban, bukan dalam arti tanggung jawab yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak disadari akibatnya.

Dalam teori tradisional, ada dua jenis tanggung jawab, yakni tanggung jawaban berdasarkan kesalahan (based in fault) dan tanggung jawaban mutlak (absolut responsibility).95 Tanggung jawab mutlak yaitu suatu perbuatan menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang dan ada suatu hubungan antara perbuatan denga n akibatnya. Tiada hubungan antara keadaan jiwa si pelaku dengan akibat dari perbuatannya.

Salah satu prinsip negara hukum adalah asas legalitas, yang mengandung makna bahwa setiap tindakan hukum pemerintah harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan yurispudensi Conseil d’Etat, pemerintah atau negara dibebani membayar ganti rugi kepada seseorang rakyat atau warga negara yang menjadi korban pelaksanaan tugas administratif. Dalam perspektif hukum publik, tindakan hukum pemerintahan itu selanjutnya dituangkan dalam dan dipergunakan beberapa instrumen hukum dan kebijakan seperti peraturan, keputusan,peraturan kebijaksanaan, dan ketetapan. Bothlingk memberikan tiga contoh onbevoegd (pejabat tidak berwenang) yaitu:

95 Jimli Asshiddiqie, Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, Hal. 61

61 a. Ia menggunakan cara yang tidak sejalan dengan kewenangan yang

diberikan kepadanya.

b. Ia melakukan tindakan dengan cara kewenangan yang diberikan kepadanya, tetapi diluar pelaksanaan tugas.

c. Ia melakukan tindakan dengan cara kewenangan yang diberikan kepadanya di dalam pelaksanaan tugasnya, tetapi tidak sesuai dengan keadaan yang diwajibkan untuk pelaksanaan selanjutnya.

Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tampak bahwa tindakan hukum yang dijalankan oleh pejabat dalam rangka menjalankan kewenangan jabatan atau untuk dan atas nama jabatan, maka tindakannya itu dikategorikan sebagai tindakan hukum jabatan. Dalam tulisan Kranenburg dan Vegting, terhadap persoalan pertanggungjawaban pejabat tersebut ada dua teori. Pertama, fautes personalles yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian.

Kedua, fautes de services yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan pada instansi pejabat yang bersangkutan.

Berkenaan dengan persoalan-persoalan yang disebutkan di atas, yakni tentang pertanggungjawaban dan penerapan sanksi terhadap pejabat. Dalam hal ini teori hukum administrasi tidak dapat dijadikan jalan keluar, yang dapat dijadikan jalan keluar adalah pembuat peraturan pelaksanaan atau penentuan dlam hukum positif. Teori hukum administrasi

62 hanya dapat menjadi kerangka acuan dalam pembuatan peraturan pelaksanaan dan menjadi pedoman untuk penentuan isi dari hukum positif.

Pertanggungjawaban pemerintah dalam hukum pidana hukum administrasi Negara dengan hukum pidana, Romeyn berpendapat bahwa hukum Pidana dapat dipandang sebagai bahan pembantu atau “hulprecht”

bagi hukum administrasi negara, karena penetapan sanksi pidana merupakan satu sarana untuk menegakkan hukum tata pemerintahan, dan sebaliknya peraturan-peraturan hukum di dalam perundang-undangan administratif dapat dimasukkan dalam lingkungan hukum Pidana.

Sedangkan E. Utrecht berpendapat bahwa hukum pidana memberi sanksi istimewa baik atas pelanggaran kaidah hukum privat, maupun atas pelanggaran kaidah hukum publik yang telah ada. Pendapat lain dikemukakan oleh Victor Situmorang bahwa apabila ada kaidah hukum administrasi negara yang diulang kembali menjadi kaidah hukum pidana, atau dengan perkataan lain apabila ada pelanggaran kaidah hukum administrasi negara, maka sanksinya terdapat dalam hukum pidana.

Pengedepanan aturan hukum adalah pilihan yang paling rasional guna mencegah terjadinya berbagai penyimpangan tersebut. Secara singkat dapat dikatakan bahwa segala aktivitas pemerintah harus tetap dalam kendali pengawasan yang memadai (adeguate).96 Keberadaan pemerintah yang selalu dalam pengawasan mengandung makna bahwa

96 Winahyu Erwiningsih, Peranan Hukum Dalam Pertanggung-Jawaban Perbuatan Pemerintahan (Bestuurshandeling) Suatu kajian dalam Kebijakan Pembangunan Hukum, Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2004, Hal. 139

Dokumen terkait