• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Sewa Menyewa

BAB II SAHNYA PERJANJIAN SEWA MENYEWA VILLA OLEH

2.3 Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Sewa Menyewa

2.3.1 Kewajiban Pihak yang Menyewakan

Kewajiban-kewajiban pihak yang menyewakan untuk pertama kalinya disebutkan dalam Pasal 1550 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut :

a. Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa,

b. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa hingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud,

c. Memberikan si penyewa kenikmatan yang tentram daripada barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa,

Selanjutnya pihak yang menyewakan villa juga wajib memberikan keamanan hukum kepada penyewa villa dalam hal ini orang asing, maksudnya adalah untuk menanggulangi atau menangkis tuntutan hukum dari pihak ketiga, misalnya membantah hak si penyewa villa untuk memakai barang yang disewanya dalam hal ini villa sebagai objek perjanjian yang disewakan, dan termasuk memberikan pengamanan

41

gangguan fisik, misalnya villa yang disewa itu dilempari batu atau tetangga membuang sampah di halaman villa dan lainnya. Jika dalam pemakaian barang yang disewakan dalam hal ini yaitu villa terdapat adanya gangguan dari pihak ketiga berdasarkan atas suatu hak, maka dapatlah si penyewa menuntut dari pihak yang menyewakan supaya uang sewa dikurangi sepadan dengan gangguan itu. Apabila pihak ketiga itu sampai menggugat di pengadilan, si penyewa dapat menuntut supaya pihak yang menyewakan ditarik sebagai pihak dalam perkara itu. Sebaliknya bila gangguan itu berupa fisik tanpa mengemukakan hak maka di luar tanggungan yang menyewakan dan harus ditanggulangin sendiri oleh si penyewa.

2.3.2 Kewajiban Pihak yang Menyewa (Si Penyewa)

Kewajiban utama dari pihak yang menyewa atau si penyewa adalah pertama, memakai barang yang disewakan sebagai seorang bapak rumah yang baik sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut perjanjian sewa. Kedua, membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan menurut perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan memakai barang sewaan sebagai “bapak rumah yang baik”, adalah kewajiban untuk memakainya seakan-akan itu barang miliknya sendiri. Apabila si penyewa memakai barang yang disewakan untuk suatu keperluan yang lain dari tujuan pemakaiannya, hingga dapat menimbulkan kerugian kepada pihak yang menyewakan maka pihak ini menurut keadaan dapat memintakan pembatalan (Pasal 1561

42

KUHPerdata). Misalnya penyewaan villa oleh orang asing kemudian dia mengaku sebagai pemilik villa yang sebenarnya dan kemudian menjual villa tersebut kepada orang lain guna memperkaya diri sendiri, maka itu tidaklah dibenarkan. Sehingga pemilik villa dapat mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menghentikan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan atau hal-hal yang tidak dikehendaki pada villa miliknya. Selain kewajiban tersebut undang-undang juga mengatur larangan bagi penyewa yang disebutkan dalam Pasal 1559 KUHPerdata yang berbunyi :

“Si penyewa, jika kepadanya telah tidak diperizinkan, tidak diperbolehkan mengulangsewakan barang, yang disewanya, maupun melepaskan sewanya kepada orang lain, atas ancaman pembatalan perjanjian sewa dan penggantian biaya, rugi dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan, setelah pembatalan itu, tidak diwajibkan menaati perjanjian ulang sewa. Jika yang disewakan itu berupa sebuah rumah yang didiami sendiri oleh si penyewa, maka dapatlah ia atas tanggungan sendiri, menyewakan sebagian kepada orang lain, jika kekuasaan itu tidak telah dilarang dalam perjanjian”.

Dalam hal mengulang sewa, dimaksudkan jika si penyewa bertindak sendiri sebagai pihak dalam suatu perjanjian sewa-menyewa kedua yang diadakan olehnya dengan diri sendiri sebagai penyewa dan menyuruh pihak ketiga untuk menggantikan dirinya sebagai penyewa. Apabila penyewa mengabaikan larangan tersebut maka pihak yang menyewakan dapat meminta pembatalan perjanjian sewanya disertai pembayaran kerugian, sedangkan bagi yang menyewakan (setelah dilakukan pembatalan) tidak diwajibkan menaati perjanjian ulang sewa dengan pihak ketiga itu. Jika yang disewakan itu sebuah rumah tempat

43

tinggal yang didiami sendiri oleh penyewa maka dapatlah ia atas tanggung jawabnya sendiri, menyewakan sebagian kepada orang lain, kecuali hak itu tidak dilarang dalam perjanjian sewanya (Pasal 1559 KUHPerdata).

Jadi, kesimpulannya bahwa mengulang sewakan dan melepaskan sewanya kepada orang lain adalah dilarang, kecuali hal itu diperjanjikan, tetapi kalau menyewakan sebagian dari sebuah villa yang disewa, diperbolehkan kecuali hal itu dilarang dalam perjanjian sewanya.

44 BAB III

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA VILLA OLEH ORANG ASING DAN CARA PENYELESAIANNYA

3.1 Wanprestasi di Dalam Perjanjian

Wanprestasi atau dikenal dengan istilah ingkar janji, yaitu kewajiban dari debitur untuk memenuhi suatu prestasi, jika dalam melaksanakan kewajiban bukan terpengaruh karena keadaan, maka debitur dianggap telah melakukan ingkar janji25. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu berarti prestasi buruk (Bandingkan:wanbeheer yang berarti pengurusan buruk, wanddad

perbuatan buruk). Pelanggaran hak-hak kontraktual menimbulkan kewajiban ganti rugi berdasarkan wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 BW (untuk prestasi memberikan sesuatu) dan Pasal 1239 BW (untuk prestasi berbuat sesuatu). Kemudian berkenaan dengan wanprestasi dalam Pasal 1243 BW menyatakan bahwa Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila si berutang setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu

25

Yahman,2014, Karakteristik Wanprestasi & Tindak Pidana Penipuan, Prenadamedia Group, Jakarta, hal.81

45

yang telah dilampauinya26. Kreditur berhak atas sesuatu yang wajib diberikan oleh debitur disebut “Prestasi”. Sesuatu itu terdiri atas memberikan, melakukan, atau tidak melakukan. Hal ini diatur dalam Pasal 1234 KUHPerdata yang menyatakan bahwa

“tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

Jadi berdasarkan ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata maka prestasi itu dapat dibagi enjadi 3 macam yaitu, memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Adanya perikatan untuk memberikan sesuatu dimaksudkan kewajiban dari debitur untuk menyerahkan kepemilikan, penguasaan atau kenikmatan dari suatu benda. Misalnya penyerahan hak milik atas benda tetap dan gerak, pemberian sejumlah uang, memberikan benda untuk dipakai (menyewa). Untuk keabsahan dari suatu perikatan yang kaitannya dengan prestasi harus memenuhi syarat sebagai berikut yaitu, prestasi itu harus dapat ditentukan, prestasi itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum serta kesusilaan yang baik, kemudian tidak dapat disyaratkan bahwa prestasi dapat dijalankan atau dipenuhi, dan tidak dapat disyaratkan bahwa prestasi harus dapat dinilai dengan uang.

Pada umumnya hak dan kewajiban yang lahir dari perikatan dipenuhi oleh pihak-pihak baik debitur maupun kreditur. Akan tetapi dalam praktiknya kadang-kadang debitur tidak mematuhi apa yang

26

46

menjadi kewajibannya dan inilah yang disebut dengan “wanprestasi”. Kemudian dikenal beberapa bentuk wanprestasi yakni :

a. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya

Dengan kata lain, terlambat melakukan prestasi artinya meskipun prestasi itu dilaksanakan atau diberikan tetapi tidak sesuai dengan waktu penyerahan dalam perikatan. Prestasi yang demikian itu disebut juga kelalaian.

b. Tidak memenuhi prestasi artinya prestasi itu tidak hanya terlambat tetapi juga tidak bisa lagi dijalankan.

c. Memenuhi prestasi tidak sempurna artinya prestasi diberikan tetapi tidak sebagaimana mestinya.

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Perlu ditekankan disini bahwa “tidak dapat atau tidak sempurna memenuhi suatu perikatan tidak selamanya merupakan suatu wanprestasi” kecuali memenuhi unsur jika prestasi tidak dapat dilaksanakan karena adanya overmacht.

Akibat Wanprestasi apabila seorang debitur wanprestasi yakni :

a. Kreditur tetap berhak atas pemenuhan perikatan, jika hal itu masih dimungkinkan.

b. Kreditur juga mempunyai hak atas ganti kerugian baik bersamaan dengan pemenuhan prestasi maupun sebagai gantinya pemenuhan prestasi. c. Sesudah adanya wanprestasi, maka overmacht tidak mempunyai

47

d. Pada perikatan yang lahir dari kontrak timbal balik, maka wanprestasi dari pihak pertama memberi hak kepada pihak lain untuk minta pembatalan kontrak oleh Hakim, sehingga penggugat dibebaskan dari kewajibannya. Dalam gugatan pembatalan kontrak ini dapat juga dimintakan ganti kerugian.

3.2 Faktor-Faktor Penyebab Wanprestasi dalam Perjanjian Sewa Menyewa Villa oleh Orang Asing

Berikut adalah beberapa faktor-faktor penyebab terjadinya wanprestasi berkaitan dengan perjanjian sewa menyewa villa yang dilakukan oleh orang asing di Kabupaten Gianyar yaitu :

1. Kelalaian atau Kealpaan

Seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi dalam perjanjian telah lalai, sehingga “terlambat” dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan suatu prestasi tidak menurut “sepatutnya atau selayaknya”. Dalam membicarakan wanprestasi kita tidak bisa terlepas dari masalah “pernyataan kata lalai” (ingebrekke stelling) dan “kelalaian” (verzuim). Akibat yang timbul dari wanprestasi ialah keharusan bagi debitur membayar ganti rugi atau dengan adanya wanprestasi salah satu pihak, maka pihak yang lainnya dapat menuntut “pembatalan perjanjian/kontrak27. Untuk menentukan unsur kelalaian

27

48

atau kealpaan tidaklah mudah perlu dilakukan pembuktian karena seringkali tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang dijanjikan. Seperti beberapa kasus yang terjadi dalam perjanjian sewa menyewa beberapa villa di kawasan Ubud kabupaten Gianyar yakni terlambat membayar uang sewa dikarenakan beberapa wisatawan yang kebanyakan orang asing lupa terhadap tenggang waktu perjanjiannya. Beberapa informasi yang didapatkan hal itu terjadi saat orang asing dalam hal ini si penyewa hendak memperpanjang masa sewanya namun belum melakukan pembayaran secara penuh dan saat tenggang waktu yang ditentukan oleh pemilik sewa dalam perjanjian harus dibayarkan kemudian si penyewa lupa untuk memenuhi kewajibannya membayar sewa. Inilah faktor dan alasan yang paling sering dijumpai di beberapa villa yang sempat terjadi kasus wanprestasi di kawasan Ubud.

Akibat hukum terhadap kelalaian atau kealpaan oleh debitur diancam beberapa sanksi atau hukuman yakni :

a) membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dinamakan ganti rugi,

b) pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian,

c) peralihan resiko,

d) membayar biaya perkara kalau sampai diperkarakan didepan hakim.

49

Kesengajaan adalah suatu hal yang dilakukan seseorang dengan dikehendaki dan diketahui serta disadari oleh pelaku sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain. Kesengajaan dengan kata lain merupakan perbuatan yang dilakukan dengan diketahui dan dikehendaki. Oleh karena itu, saat terjadinya kesengajaan tidak diperlukan adanya maksud untuk menimbulkan kerugian kepada orang lain, cukup diketahui dan si pelaku tetap melakukan perbuatan tersebut, dimana pelaku mengetahui akan kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang lain28. Unsur kesengajaan ini timbul dari pihak itu sendiri. Jika ditinjau dari fakta-fakta yang terjadi di beberapa villa dikawasan Ubud yakni penyebabnya karena tidak memiliki itikad baik sehingga prestasi itu tidak dilakukan sama sekali jadi ada unsur kesengajaan dimana orang asing yang pernah menyewa villa di kawasan ubud tersebut memang berniat tidak melakukan pembayaran secara penuh yang salah satunya karena kehabisan dana sebab si penyewa tidak bisa mengskala prioritaskan kuangannya selama berlibur. Kemudian ada pula faktor keadaan yang bersifak general, tidak disiplin sehingga melakukan prestasi tersebut ketika sudah kadaluarsa dalam hal ini si penyewa yakni orang asing menunda-nunda pembayaran dikarenakan kurang disiplinnya sampai pada akhinya sudah lewat masa tenggang, dan beberapa informasi yang didapat di villa kawasan Ubud menyebutkan bahwa terkadang orang asing dalam hal ini terlalu menyepelekan perjanjian sehingga pada akhirnya berujung pada terjadinya wanprestasi.

28

50

3. Overmacht

Overmacht yaitu keadaan memaksa salah satu pihak di luar kesalahannya. Pasal 1245 KUHPerdata memberikan ketentuan bahwa debitur dibebaskan dari penggantian kerugian, bila mana ia karena

overmacht atau keadaan yang tidak terduga berhalangan untuk memberikan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang ia wajib melakukannya atau membuat sesuatu terlarang. Istilah dalam Pasal 1244 KUHPerdata karena suatu hal yang tidak terduga pun tidak dapat dipertanggungjawabkan dan istilah dalam Pasal 1245 KUHPerdata yakni alasan keadaan memaksa atau alasan suatu kejadian tidak disengaja, mempunyai pengertian yang sama. Dalam hal ini diperlukan Undang-Undang sebagai asas perlindungan yang maksudnya antara debitur dan kreditur harus dilindungi hukum29. Overmacht atau keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak apabila sama sekalin tidak mungkin lagi melaksanakan perikatan dan yang bersifat tidak mutlak yakni suatu keadaan dimana perikatan masih dapat dilaksanakan namun dengan pengorbanan yang sangat besar dari hak si berhutang. Ketentuan yang mengatur akibat dari adanya overmacht dapat dilihat dalam Pasal 1244 dan 1245KUHPerdata. Contoh suatu keadaan dikategorikan overmacht

yakni selama masa perjanjian sewa menyewa villa misalkan terjadi bencana alam, dimana bencana alam itu tentu terjadi diluar kendali kedua belah pihak yang melakukan perjanjian serta kondisi dimana apabila terjadi kebakaran terhadap benda sewaan yakni villa sebagai objek

29

Salim H, 2003, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika. hal.13

51

perjanjian maka tentu hal-hal tersebut adalah hal-hal diluar dugaan kedua belah pihak yang melakukan perjanjian.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan seperti dengan Bapak I Wayan Sutarja selaku kepala pengelola operasional Villa Mambo dan Ibu Wayan Eka Yani selaku staff operasional Villa De Bourbo, mengatakan bahwa faktor penyebab paling banyak terjadinya wanprestasi adalah karena kelalaian/kealpaan.

3.3 Cara Penyelesaian Sengketa Wanprestasi dalam Perjanjian Sewa Menyewa Villa oleh Orang Asing

Keinginan dalam penyelesaian sengketa wanprestasi sangat berpengaruh terhadap upaya-upaya yang akan dilakukan untuk menentukan cara-cara penyelesaian sengketa. Hal ini berkaitan dengan hasil putusan yang dapat dihasilkan dari masing-masing cara penyelesaian yang berbeda satu sama lain30. Kekeliruan terhadap pilihan cara penyelesaian bukan hanya dapat menyebabkan ketidakpuasan melainkan kegagalan. Penyelesaian perbuatan melawan hukum dapat diselesaikan melalui pengadilan negeri, arbitrase dan cara-cara lain. Berikut adalah cara-cara penyelesaian sengketa wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa villa oleh orang asing di Kabupaten Gianyar : 1. Penyelesaian Sengketa Wanprestasi dalam Perjanjian Sewa Menyewa

Villa oleh Orang Asing melalui Pengadilan

30

Sinaga Budiman, 2005, Hukum Kontrak & Penyelesaian Sengketa dari Perspektif Sekertaris, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.38

52

Karena wanprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si berhutang melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya maka harus dibuktikan di muka Hakim. Karena nantinya Hakim akan memberi putusan dimana putusan-putusan pengadilan merupakan bahan hukum yang bersifat otoritatif dianalisis dan dikaji secara mendalam guna untuk mengetahui apa yang mendasari pertimbangan hukum hakim yang digunakan sebagai dasar putusan31. Pengajuan ke pengadillan tentang wanprestasi dimulai dengan adanya somasi yang dilakukan oleh juru sita dari pengadilan yang membuat verbal tentang pekerjaannya itu, atau juga cukup dengan surat tercatat atau surat kawat, asal saja jangan sampai dengan mudah dimungkiri oleh si berutang. Terkadang juga tidak mudah mengatakan seseorang lalai atau lupa, karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan wanprestasi yang dijanjikan. Di dalam pengadilan kreditur harus sebisa mungkin membuktikan bahwa lawannya (debitur) tersebut telah melakukan wanprestasi bukan

overmacht, begitupula dengan debitur karena debitur harus meyakinkan hakim jika kesalahan bukan terletak padanya dengan pembelaan seperti berikut :

a. Overmacht,

b. Menyatakan bahwa kreditur telah melepaskan haknya, c. Kelalaian kreditur.

31

Basuki Rekso Wibowo,2004,Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan di Indonesia, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, hal.44

53

Jika debitur tidak terbukti melakukan wanprestasi maka kreditur tidak bisa menuntut apa-apa dari pihak debitur tersebut. Tetapi jika yang diucapkan kreditur di muka pengadilan terbukti maka kreditur dapat menuntut :

a) Menuntut hak pemenuhan perjanjian.

b) Menuntut hak pemenuhan perjanjian berikut dengan ganti ruginya sesuai Pasal 1246 KUHPerdata yang menyatakan “biaya, ganti rugi dan bunga yang boleh dituntut kreditur terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tersebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interest)”.

Ganti biaya yang dimaksud adalah mengganti pengeluaran yang dikeluarkan, sedangkan ganti rugi yakni mengganti barang-barang rusak dan ganti bunga adalah mengganti keuntungan yang seharusnya didapat.

c) Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi. d) Meminta/menuntut ganti rugi saja.

Dan hak-hak yang dituntut oleh kreditur dicantumkan pada bagian petitum dalam surat gugatan. Jika debitur tidak bisa membuktikan bahwa ia tidak melakukan wanprestasi tersebut, maka biaya perkara seluruhnya dibayar oleh debitur karena hal ini menyangkut tentang pertanggung jawaban.32

Secara konvensional penyelesaian sengketa biasanya dilakukan secara litigasi atau penyelesaian di muka pengadilan. Dalam keadaan demikian posisi para pihak yang bersengketa sangat

32

54

antagonis (saling berlawanan satu sama lain). Penyelesaian sengketa model ini tidak direkomendasikan, kalaupun akhirnya ditempuh penyelesaian ini semata-mata hanya sebagai jalan yang terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif lain yang dinilai tidak membuahkan hasil. Melalui upaya hukum inilah nantinya akan dihasilkan sebuah putusan oleh pengadilan. Setelah pembacaan putusan oleh majelis hakim biasanya pihak lawan yang dinyatakan kalah dan tidak puas dengan putusan pengadilan dapat mengajukan upaya hukum. Upaya hukum adalah suatu upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada semua pihak yang sedang berperkara di pengadilan untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan hakim jika salah satu pihak merasa bahwa keputusan pengadilan tidak mencerminkan keadilan, maka pihak yang dikalahkan dalam persidangan dapat mengajukan perlawanan terhadap pengadilan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak dikeluarkan putusan. Upaya hukum yang dapat ditempuh antara lain upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali. Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan kecuali undang-undang menentukan lain, dasar hukum kewenangan pengadilan tinggi melakukan pemeriksaan tingkat banding yaitu berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan jika pihak yang mengajukan banding masih belum merasa adil dengan keputusan banding yang telah diberikan oleh

55

pengadilan tinggi maka pihak pemohon tersebut dapat mengajukan upaya hukum kasasi. Mahkamah Agung kemudian memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan. Dasar hukum pengajuan kasasi adalah Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Akibat perkara tersebut akan dianggap tuntas dengan ditandai proses eksekusi, namun dengan berakhirnya proses litigasi bukan berarti sengketa diantara para pihak telah benar-benar selesai karena dengan adanya pihak yang kalah justru akan menimbulkan dendam yang berkepanjangan. Penyelesaian sengketa secara litigasi pada wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa villa oleh orang asing di Kabupaten Gianyar jarang digunakan, menurut informasi yang didapat dari penelitian hal ini dikarenakan proses yang cukup memakan waktu yang lama dan proses administrasi yang harus dilalui sehingga para pihak yang bersengketa cenderung tidak menggunakan jalur pengadilan.

2. Penyelesaian Sengketa Wanprestrasi dalam Perjanjian Sewa Menyewa Villa oleh Orang Asing di Luar Pengadilan

Perselisihan dan sengketa antara dua pihak yang melakukan perjanjian sewa menyewa memang kerap terjadi dan penyelesaian sengketa tersebut bisa diselesaikan tidak hanya melalui jalan pengadilan namun lebih didahulukan melalui luar pengadilan (ordinary court). Dalam penyelesaian sengketa diluar pengadilan

56

dikenal dengan istilah ADR (alternatif dispute resolution ). Dalam hal ini mekanisme penyelesaian sengketa dapat berupa penyelesaian sengketa melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Hal ini dimungkinkan terjadi mengingat ada cara-cara yang lebih mudah dan lebih baik dibanding berperkara ke pengadilan seperti misalnya musyawarah dan mufakat dalam proses negosisi, atau melalui mediasi antar dua belah pihak yang didampingi oleh mediator, selain itu juga dapat menempuh melalui konsiliasi ataupun melalui jalur arbitrase. Konflik bisa saja terjadi antara pengadilan dan arbitrase dalam penentuan kewenangan mutlak untuk menyelesaikan perkara. Kewenangan mutlak arbitrase tercipta melalui klausul arbitrase yang terdapat pada suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebelum terjadinya sengketa atau berdasarkan kesepakatan para pihak setelah timbul perselisihan atau sengketa. Lebih jelas pengertian arbitrase termuat pada Pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menyatakan

“Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa”. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasi sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat

57

hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (wanprestasi) oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan hukum dalam bentuk apapun. Arbitrase terwujud dalam dua bentuk yakni :

a) klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, b) suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak

setelah timbul sengketa (akta kompromis).

Hal ini diperkuat dengan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No 14

Dokumen terkait