• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 18 ayat 1 berbunyi: “Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan

untuk mengelola sumberdaya wilayah laut”. Pasal 18 ayat 3 berbunyi: ”Kewenangan Daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut meliputi: (1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. (2) Pengaturan administratif (3) Pengaturan tata ruang (4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah (5) Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan (6) ikut serta dalam pertahanan kalautan negara. Pasal 18 ayat 4 berbunyi: ”Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut untuk provinsi dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota (4 mil).

6) Perda provinsi Kalimantan Selatan No 24 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Perlindungan Sumberdaya Ikan di Kalimantan Selatan 7) Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan No 53 Tahun 2007 tentang pembentukan Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di bidang Perikanan tingkat Provinsi di Kalimantan Selatan.

2.6 Kelembagaan Perikanan Tangkap

Kelembagaan mempunyai dua pengertian yaitu: kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi inter personal. Dalam hal ini

kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya menyangkut hak-hak serta tanggung jawabnya dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hirarki. Kelembagaan mengatur 3 (tiga) hal pokok dalam konteks eksploitasi sumberdaya yaitu: (1) pengaturan, (2) pemanfaatan, (3) transfer serta distribusi sumberdaya. Agar dapat berfungsi dengan baik kelembagaan haruslah mapan (solid dan survive) selama periode waktu tertentu yang ditujukan oleh dinamikanya yang terus berlangsung berdampingan dengan teknologi dan pola kehidupan masyarakat, sehingga interaksi kedua komponen tersebut mampu menciptakan kelembagaan dengan kedua komponen tersebut mampu menciptakan teknologi baru yang sustainable terhadap sumberdaya (Anwar 2000).

Menurut Purwaka (2003) lembaga adalah lembaga-lembaga, lembaga pemerintah maupun non pemerintah, baik lembaga departemen maupun non departemen, baik lembaga di pusat maupun di daerah, yang memperoleh mandat dari hukum untuk memanfaatkan dan atau mengelola sumber daya perikanan laut secara terpadu. Keterpaduan ini mensyaratkan bahwa setiap lembaga menyadari batas-batas mandatnya dan memahami kebijaksanaan dan peraturan dari lembaga-lembaga terkait lainnya. Persyaratan keterpaduan ini memudahkan setiap lembaga saling mengkoordinasi dan kerjasama satu sama lain untuk meminimalkan konflik kepentingan antar lembaga. Kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, hukum pengelolaannya meliputi semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk mengatur hubungan antara manusia dengan sumberdaya wilayah pesisir dan laut.

Kelembagaan kelautan dan perikanan di Indonesia meliputi kelembagaan pemerintah, swasta dan masyarakat, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten maupun kota. Kelembagaan pemerintah berfungsi sebagai fasilitator, regulator dan dinamisator dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Fungsi-fungsi tersebut dijalankan dalam rangka implementasi pasal 33 ayat 3 UUD 1945 di bidang kelakutan dan perikanan. Lembaga yang bertanggungjawab atas pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah Departemen Kelautan dengan

seluruh jajarannya sampai ketingkat pemerintah terendah. Namun keberadaannya, juga memerlukan dukungan yang kuat dan baik dari semua lembaga pemerintah yang terkait, seperti: Departemen Perhubungan, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan keamanan, Departemmen Koperasi dan pengusaha kecil serta Depatemen Departemen lain yang terkait. Selain lembaga formal di pemerintahan, juga terdapat beberapa lembaga formal seperti perkoperasian nelayan, nelayan dan pengusaha perikanan seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), juga memiliki peranan penting terhadap pembangunan perikanan laut secara menyeluruh

Purwaka (2003) menyatakan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap terdapat berbagai kelembagaan pemerintah yang terlibat, karena sifatnya yang multi sektoral dan multi dimensional. Kelembagaan-kelembagaan tersebut melakukan kegiatan sesuai dengan mandat hukum masing-masing tetapi belum terkoordinasi dengan baik, sehingga pembangunan yang dilaksanakan bersifat parsial dan seringkali menimbulkan eksternalitas negatif antara satu dengan lainnya. Kelembagaan kelautan dan perikaan akan kuat dan tangguh, mantap dan tidak goyah apabila dalam pembangunan ada kejelasan tujuan yang ingin dicapai, hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja pembangunan kelautan dan perikanan, yang tercermin dalam tata kelembagaan (institutional arrangement) dan kerangka kerja/mekanisme kelembagaannya (institutional framework). Disisi lain kelembagaan kelautan dan perikanan harus fleksibel dalam mengikuti dinamika pembangunan kelautan dan perikanan yang saat ini dapat dikembangkan berdasarkan suatu disain kelembagaan yang mampu mengoptimalkan peran sektor kelautan dan perikanan. Suatu bentuk kelembagaan yang efektif dan efisien akan mendatangkan suatu keberhasilan dalam industri penangkapan ikan. Bentuk kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta akan mampu mengoperasikan kegiatan penangkapan dengan optimal.

Koentjaranigrat (1974) menandaskan bahwa kelembagaan masyarakat atau lembaga sosial disebut sebagai pranata sosial yang meliputi serangkaian kegiatan tertentu, berpusat pada suatu kelakuan berpola yang mantap, bersama-sama dengan sistem norma dan tata kelakuan serta peralatan fisiknya yang dipakai dan juga partisipan (orang-orang yang mendukungnya). Lebih lanjut Koentjaranigrat

(1979) membagi kelembagaan kedalam 8 (delapan) golongan sebagai berikut: (1)

Kinship/Domestic institutions: memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan; (2) Economic institution: memenuhi pencarian hidup, memproduksi, menimbun,

mendistribusi harta benda; (3) Educational institution: memenuhi kebutuhan penerangan dari pendidikan manusia agar menjadi anggota masyarakat yang berguna; (4) Scientific institutions: memenuhi kebutuhan ilmiah manusia dan menyelami alam semesta; (5) Estetic dan rekreational: memenuhi kebutuhan manusia menyatakan keindahan dan rekreasi; (6) Religious institution: memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan dengan Tuhan dan alam gaib; (7)

Political institution: memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan

berkelompok secara besar-besaaran atau kehidupan bernegara; (8) Somatic

institution: memenuhi jasmaniah manusia.

Menurut Uphoff (1986) kelembagaan/organisasi terdiri atas dua aspek, yakni: “aspek kelembagaan” (aspek kultural) dan “aspek keorganisasian” (aspek struktural). Aspek kultural merupakan aspek yang dinamis yang berisikan hal-hal yang abstrak, dan merupakan jiwa kelembagaan; yang berupa nilai, aturan, norma, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain. Sementara aspek struktural merupakan aspek yang statis namun lebih visual yaitu berupa struktur, peran, keanggotaan, hubungan antar peran, integrasi antar bagian, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek solidaritas, klik, profil, pola kekuasaan, dan lain-lain. Gabungan antara keduanya akan membentuk “perilaku kelembagaan” atau “kinerja kelembagaan”.

Lebih lanjut Uphoff (1986) menandaskan bahwa analisis kelembagaan pada sebuah di desa dilakukan pada tiga level, yaitu: (1) level superstruktur, yaitu mempelajari berbagai aturan dan kebijakan yang diciptakan pemerintah serta kondisi sosial, ekonomi, politik dan lingkungan alam yang memiliki pengaruh kepada bagaimana berjalannya sebuah kelembagaan/organisasi; (2) level desa, yaitu mempelajari karakteristik sosial ekonomi masyarakat dimana kelembagaan tersebut hidup; (3) level internal kelembagaan, yaitu mempelajari secara mendalam kondisi dan keberadaan kelembagaan yang ada di desa satu per satu.

Colleta et al. (2000) menyatakan pengembangan kelembagaan tidak dapat dilepaskan dari kapital sosial yang ada. Kepercayaan, hubungan sosial dan norma

merupakan tiga komponen penting yang mampu menjadi perekat elemen masyarakat. Apabila semuanya dapat berjalan dengan baik maka kapital sosial akan mampu menggerakkan sebuah lembaga yang efektif dan efisien dalam melaksanakan pembangunan.

Pendekatan resolusi konflik alternatif atau yang dikenal dengan ADR menurut Hadikusuma (1992) telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia. Proses resolusi konflik secara tradisional dianggap efektif dan merupakan tradisi yang masih hidup dalam mayarakat. Konsensus dan kompromi yang menjadi inti dari ADR sesuai dengan pendekatan musyawarah dan mufakat yang dipandang sebagai mekanisme pengambilan keputusan resolusi konflik dari masyarakat Indonesia sendiri.

Menurut Santoso dan Hutapea (1992), terdapat beberapa alasan yang dapat dilihat sebagai peluang pengembangan ADR di Indonesia, yaitu: (1) faktor ekonomis. ADR memiliki potensi sarana resolusi yang lebih ekonomis, baik ditinjau dari aspek biaya dan waktu; (2) faktor ruang lingkup yang dibahas. Adar memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel. Hal ini dapat terjadi karena aturan main dapat dikembangkan dan ditentukan oleh para pihak yang berkonflik sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya; (3) faktor keahlian. ADR memiliki potensi untuk menyelesaikan konflik-konflik yang sangat rumit yang disebabkan oleh substansi kasus yang penuh dengan persoalan-persoalan ilmiah karena dapat diharapkan adanya pihak ketiga yang ahli di bidangnya sebagai penengah langsung; (4) faktor membina hubungan baik. ADR mengandalkan cara-cara resolusi koperatif sehingga sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya pembinaan hubungan baik para pihak yang telah berlangsung maupun yang akan datang.

Hadikusuma (1992) menandaskan bahwa jika dibandingkan proses resolusi konflik melalui ADR sebagai model resolusi konflik antara Indonesia dan Amerika, keduanya mempunyai latar belakang historis yang berbeda. ADR di Indonesia merupakan bagian dari tradisi masyarakat yang diikuti secara turun temurun dan bagian dari budaya lokal, sedangkan di Amerika merupakan bentuk baru dari strategi konflik yang sengaja diciptakan untuk menghindari resolusi konflik melalui pengadilian/litigasi yang dinilai banyak kelemahannya.

Dokumen terkait