• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap

FAKTOR PENYEBAB KONFLIK

2.5 Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap

Ginting (2001) mengatakan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, sering muncul konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya di wilayah pesisir yang pembangunannya pesat. Wilayah pesisir, dimana sumberdaya darat dan laut bertemu, memiliki sumberdaya yang sangat kaya, sehingga banyak pihak yang mempunyai kepentingan untuk memanfaatkannya. Konflik dapat juga muncul karena adanya kesenjangan antara tujuan, sasaran, perencanaan dan funsi antara berbagai pihak terkait. Konflik seperti ini adalah konflik yangg dipicu oleh adanya tumpang tindih perencanaan dan kompetisi pemanfaatan sumberdaya. Akar permasalahan konflik ini sering berasosiasi dengan faktor sosial-ekonomi-budaya dan bio-fisik yang mempengaruhi kondisi lingkungan pesisir. Konflik

tersebut, baik langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan pihak-pihak yang bertikai, terutama mengurangi minat penduduk dan pemerintah daerah setempat untuk melestarikannya, dan membiarkan kerusakan sumberdaya kelautan berlangsung hingga mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, karena tidak ada insentif bagi mereka untuk melestarikannya.

Lebih lanjut Asy’ari (2003) menegaskan bahwa manajemen konflik

berkaitan dengan program rekonsiliasi. Dalam sebuah rekonsiliasi kita harus memperhatikan pihak-pihak yang telah mengalami kehidupan budaya, ekonomi dan sosial trauma dan tertekan. Pengelola pesisir harus yakin bahwa keputusan yang dibuat melalui proses yang transparan dan umum menjadi penekanan pada tahap selanjutnya. Kadang-kadang mediasi di negara maju telah dilakukan melalui negosiasi privat, suatu pendekatan yang mungkin tidak selamanya cocok jika sumberdaya pesisir dan laut yang dipertaruhkan bersifat umum. Selain itu pula, harus juga mempertimbangkan bahwa pengukuran mungkin diperlukan untuk menyelesaikan pengaruh negatif dari satu pengguna pesisir terhadap pengguna pesisir atau sumberdaya lainnya. Sebagai contoh diperlukannya suatu kompensasi untuk membayar suatu kerusakan atau hilangnya sumberdaya akibat adanya pengguna lainnya.

Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam mengumpulkan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai produktivitas sumberdaya hayati dan tujuan yang telah disepakati (UU No 45 Tahun 2009 revisi UU No 31 Tahun 2004). Cochrane (2002) menandaskan bahwa alternatif pendekatan model manajemen perikanan adalah manajemen oleh pemerintah, manajemen berbasis komunitas dan manajemen partisipatori.

(1) Pendekatan partisipatori

Peraturan pemerintah (PP) Nomor 69 tahun 1996 mendefinisikan partisipasi dalam pengelolaan perikanan adalah suatu keterlibatan individu dan masyarakat secara aktif dalam semua tahapan pengelolaan perikanan, dalam arti juga sebagai

suatu kesepakatan diantara pihak yang berkepentingan yakni pemerintah, masyarakat dan swasta untuk membangun hubungan dan proses yang dibutuhkan dalam merencanakan dan melaksanakan pengelolaan perikanan sehingga mempunyai basis serta legitimasi yang kuat.

Mikkelsen (2001) menjelaskan pengertian pendekatan partisipatori bahwa pendekatan partisipatori harus mulai dengan orang-orang yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan mereka sendiri. Pendekatan ini harus menilai dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka, dan memberikan sarana yang perlu bagi mereka dapat mengembangkan diri. Ini memerlukan perombakan dalam seluruh praktek dan pemikiran, disamping bantuan pembangunan.

Partisipasi memerlukan beberapa syarat lain dari stakeholder antara lain adalah perwakilan secara demokratis, keterlibatan, kapasitas, kontribusi sesuai kemampuan dan kebutuhan, tanggung jawab, serta komunikasi dan pertukaran informasi. Terkait dengan hal ini otonomi daerah menjadi penting dalam arti untuk memodifikasi atau mengadopsi nilai kearifan lokal atau kelembagaan tradisional yang ada (Zen dan Nielsen 1999).

(2) Co-management

Menurut Imron (2004) pengelolaan sumberdaya laut secara terpadu (cooperative management dan disingkat co-management) adalah suatu model pengelolaan sumberdaya yang melibatkan berbagai stakeholder yang terkait. Tujuannya selain untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan, juga untuk meminimalisasi konflik, melalui proses negosiasi diantara mereka.

Hartono (2004) menyatakan pengelolaan perikanan dengan sistem ko-manajemen adalah suatu sistem pengelolaan perikanan dimana terjadi pembagian tanggung jawab yang bersifat adaptif antara pemerintah dan semua pemangku kepentingan (stakeholders) (Tabel 5). Lenih lanjut Hartono (2004) menyatakan bahwa untuk mengawali rezim ko-manajemen yaitu dengan mengorganisasikan masyarakat. Agar dapat berpartisipasi dalam ko-manajemen, unsur-unsur komunitas terkait dalam pengelolaan perlu membentuk organisasi sehingga dapat dicapai suatu kesepakatan tentang keinginan apa yang akan dilakukan ke depan dalam pengelolaan secara bersama ini. Keterlibatan masyarakat secara efektif di

dalam ko-manajemen memerlukan organisasi anggotanya. Organisasi masyarakat pantai yang kuat merupakan pendorong bagi keberhasilan pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas. Komponen-komponen penting dalam pengorganisasian masyarakat (1) Persiapan, mencakup berbagai kegiatan antara lain; menetapkan kelompok inti pemimpin, menganalisis kondisi area, melakukan diskusi untuk menetapkan visi organisasi, menetapkan misi organisasi. (2) Pengembangan kepemimpinan. Dalam komunitas organisasi, pemimpin biasanya berkembang diantara komunitas, dan umumnya menjadi panutan anggotanya.

Tabel 5 Pembagian peran dalam ko-manajemen antara pemerintah dan semua pemangku kepentingan (Hartono 2004)

Aktivitas pengelolaan

Lembaga Pemerintah (instansi pemerintah yang menangani sektor perikanan)

Merumuskan kebijakan rencana pengelolaan

1 Membuat kebijakan perikanan, kebijakan ko-manajemen dan rencana pengelolaan

2 Menyediakan SDM dan finansial untuk mendukung rencana pengelolaan

3 Membantu memastikan perikanan mendapat pertimbangan yang adil dalam aktivitas perencanaan dan pengambilan keputusan multi sektor

Tabel 5 (lanjutan) Aktivitas

pengelolaan

Lembaga Pemerintah (instansi pemerintah yang menangani sektor perikanan)

Merumuskan dan mengkoordinasi-kan rencana pengelolaan lokal

1 Memastikan aturan, sasaran rencana pengelolaan lokal 2 Mengkoordinasikan rencana pengelolaan lokal dan

menyediakan konsultasi tehnis dan informasi

Menerapkan rencana

pengelolaan lokal

1 Menegakkan peraturan/ketentuan seperti pembatasan akses dan lisensi

2 Mendorong berbagi pengetahuan dan pengalaman 3 Memantau aktivitas pengelolaan lokal

4 Memperhatikan dan menyelesaikan konflik Mengevaluasi

rencana

pengelolaan lokal

1 Mengevaluasi pelaksanaan rencana pengelolaan lokal apakah sesuai tujuan

2 Mendorong proses berbagi pengetahuan dan informasi Mengevaluasi

kebijakan pengembangan nasional

1 Mengevaluasi penerapan kebijakan dan rencana pengelolaan lokal

Tabel 5 (lanjutan) Aktivitas

pengelolaan

Lembaga Pengelola Lokal (kelompok nelayan)

Merumuskan kebijakan rencana pengelolaan

1 Membantu memastikan diketahuinya nilai perikanan sebagai mata pencaharian

2 Membantu mengarahkan kebijakan dan rencana pengelolaan

Merumuskan dan mengkoordinasi- kan rencana pengelolaan lokal

1 Menetapkan sasaran dan aturan rencana pengelolaan lokal 2 Berbagi pengetahuan lokal dan saran-saran

Menerapkan rencana

pengelolaan lokal

1 Menegakkan peraturan /ketentuan seperti pembatasan akses dan lisensi

2 Mengelola rencana pengelolaan 3 Membantu menyelesaikan konflik Mengevaluasi

rencana

pengelolaan lokal

1 Mengevaluasi rencana pengelolaan lokal agar memenuhi standard

2 Berbagi informasi dengan unit pengelolaan lainnya Aktivitas

pengelolaan

Lembaga Perantara misalnya (LIPI, LSM, Universitas)

Merumuskan kebijakan rencana pengelolaan

1 Membantu sektor perikanan agar mendapat pertimbangan yang adil dalam perencanaan dan pengambilan keputusan multi sektor

2 Membantu mengarahkan kebijakan rencana pengelolaan Merumuskan dan

mengkoordinasi-kan rencana pengelolaan lokal

1 Membantu mendapatkan sasaran dan aturan rencana pengelolaan lokal

2 Mengkoordinasikan rencana pengelolaan lokal 3 Menyediakan konsultasi teknis dan informasi Aktivitas

pengelolaan

Lembaga Perantara misalnya (LIPI, LSM, Universitas)

Menerapkan rencana

pengelolaan lokal

1 Mendorong berbagi pengalaman dan pengetahuan lokal 2 Membantu memantau penerapan rencana dan aktivitas

pengelolaan lokal

3 Memastikan partisipasi dalam pemantauan memenuhi standard

4 Membantu menyelesaikan konflik Mengevaluasi

rencana

pengelolaan lokal

1 Mengevaluasi pelaksanaan rencana pengelolaan lokal apakah mencapai sasaran

2 Mendukung berbagi informasi dan pengetahuan Mengevaluasi

kebijakan pengembangan nasional

1 Mengevaluasi kebijakan dan rencana pengelolaan lokal 2 Mengevaluasi penerapan kebijakan ko-manajemen

Baland dan Platteau (1996) diacu dalam Imron (2004) menandaskan bahwa pengelolaan sumberdaya laut dengan pendekatan co-management itu penting dilakukan, mengingat kegagalan praktik pengelolaan yang ada, baik yang bertumpu pada kebijakan pemerintah, maupun yang bertumpu pada masyarakat, karena masing-masing memiliki kelemahan yang mendasar. Pada pengelolaan yang bertumpu pada pemerintah, kelemahannya antara lain adalah kurangnya aparat yang mengawasi pelaksanaan kebijakan yang digariskan, sehingga banyak pelanggaran yang tidak terdeteksi. Apalagi jika negara memiliki wilayah laut yang luas. Selain itu biaya yang dibutuhkan untuk mendukung kebijakan juga sangat besar, terutama untuk mengumpulkan data yang akurat tentang kondisi sumberdaya. Adapun pada kebijakan yang bertumpu pada masyarakat, kelemahannya antara lain adalah mudah berubahnya sistem pengelolaan, baik karena perubahan jumlah penduduk, maupun karena permintaan pasar yang tinggi terhadap sumberdaya. Perubahan-perubahan tersebut dapat mendorong masyarakat untuk mengeksploitasi sumberdaya secara besar, sehingga aspek kelestarian menjadi terabaikan.

Menurut Pomeroy dan Berkes (1977) terdapat sepuluh tingkatan atau bentuk co-management yang dapat disusun dari bentuk yang paling sedikit partsipasi masayarakat hingga yang paling tinggi partisipasi masyarakat. Bila suatu tanggung jawab dan wewenang masyarakat rendah pada suatu bentuk co-management maka tanggung jawab pemerintah akan tinggi. Sebaliknya bila tanggung jawab dan wewenang masyarakat tinggi, maka tanggung jawab dan wewenang pemerintah rendah. Kesepuluh bentuk co-management tersebut adalah: (1) Masyarakat hanya memberikan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan rumusan kebijakan; (2) Masyarakat dikonsultasikan oleh pemerintah; (3) Masyarakat dan pemerintah saling bekerjasama; (4) Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi; (5) Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi; (6) Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasehat dan saran; (7) Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama; (8) Masyarakat dan pemerintah bermitra; (9) Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh

pemerintah; (10) Masyarakat berperan dalam melakukan koordinasi antar lokasi atau antar daerah dan hal tersebut didukunng oleh pemerintah.

Penerapan ko-manajemen akan berbeda-beda pada setiap daerah karena sangat bergantung pada kondisi lokasi yang spesifik (Pomeroy dan Williams 1994) dan sosial budaya masyarakatnya, oleh karena itu ko-manajemen harus lebih dipandang sebagai suatu alternatif pengelolaan yang sesuai untuk kondisi lokasi tertentu. Namun, bagaimanapun bentuk ko-manajemen akan selalu mengacu pada kelima hirarki ko-manajemen sederhana seperti yang diusulkan oleh Zen dan Nielsen (1966) yaitu mulai dari instructive, consultative, cooperative, advisory hingga informatif.

Lebih lanjut Zen and Nielsen (1966) menjelaskan bahwa proses ko-manajemen instruktif adalah pertukaran informasi antara pemerintah dan pengguna sumberdaya sangat minim kemudian meningkat menjadi konsultasi namun keputusan tetap pada pemerintah yakni ko-manajemen konsultatif. Posisi setara ada pada ko-manajemen koperatif yakni pemerintah dan stakeholder dengan mitra dalam pengambilan keputusan. Stakeholder memberi advis pada pemerintah mengenai keputusan yang diambil dan pemerintah menyokongnya merupakan ko-manajemen advisori. Pemerintah mendelegasikan keputusan kepada stakeholder pada ko-manajemen informatif. Proses ko-manajemen merupakan proses dinamis sehingga tidak ada ketentuan untuk mulai dari ko-manajemen instruktif misalnya harus berakhir dengan ko-ko-manajemen informatif.

Sebagai salah satu elemen sentral dari ko-manajemen adalah pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis kemasyarakatan (PSPBM). PSPBM digunakan sebagai langkah awal pemberdayaan masyarakat sesuai dengan isu lokal (Pomeroy 1988). PSPBM adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang terpusat pada masyarakat, berdasarkan budaya dan tradisinya (Jenifer 1995). Basis pengambilan keputusan dalam rangka memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan ada pada masyarakat setempat. Kepada masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab untuk mengelola sumberdaya sendiri, menentukan kebutuhannya, sasaran aspirasi, serta membuat keputusan-keputusan yang menyangkut kesejahteraannya. Penduduk setempat memiliki akses dan mengendalikan sumberdaya termasuk pegetahuan, keahlian serta jenis teknologi

yang dibutuhkan dalam rangka mengelola secara produktif dan berkelanjutan (Kartikasari 1995).

Penelitian Budiono (2005) menyatakan bahwa pada umumnya model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap dirancang dengan menggunakan empat komponen dasar, yaitu: (1) perundangan dan regulasi; (2) peran serta organisasi masyarakat pantai; (3) infrastruktur dasar dan; (4) kondisi sosial ekonomi.

Agar pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis komunitas dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan perangkat hukum yang mampu memayungi pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Kesuksesan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Jepang disebabkan adanya perangkat hukum. Kerangka hukum yang memadai merupakan payung bagi pengelolaan dan rehabilitasi sumberdaya perikanan serta sekaligus mampu memberdayakan kapabilitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan begitu masyarakat diberi jaminan atas hak pengelolaannya (Uchida et al. 2004)

Pemimpin yang efektif menurut Pomeroy (2005) antara lain; (1) memiliki jiwa pionir, mencari kesempatan, melakukan percobaan dan mengambil resiko; (2) mengilhami visi organisasi dan memimpikan masa depan; (3) mempraktekkan pengetahuan yang dimiliki dan memberikan contoh apa yang diajarkan; (4) melatih dan dapat menghargai prestasi anggota organisasi; (5) terbuka untuk memerima kritikan; (6) memobilisasi kelompok-kelompok organisasi mencakup kegiatan misalnya mencari dukungan masyarakat, membangun perhimpunan dan jaringan kerjasama; (7) evaluasi digunakan untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan yakni suatu proses pengumpulan informasi tentang organisasi dan pengelolaannya. Keanggotaan organisasi sebaiknya dilibatkan dalam melakukan evaluasi dan monitoring.

Dalam kaitannya dengan penyediaan infrastruktur dasar maka dibutuhkan pula penguatan kapabilitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, serta penguatan organisasi masyarakat desa. Masyarakat dan kolaborasinya adalah faktor kunci ke arah suksesnya implementasi CBFM.

Tokrisna et al. (2002) menyebutkan bahwa kolaborasi dapat ditingkatkan jika masyarakat merasakan adanya manfaat (benefit) dari partisipasi mereka dalam CBFM/CM. Manfaat tersebut seyogyanya harus dapat dilihat (visible), cepat dan proporsional sehingga tertarik untuk berkolaborasi. Pada level yang paling sederhana perencanaan partisipatif menciptakan kesempatan kepada stakeholder yang memiliki kepentingan langsung pada suatu wilayah perencanaan untuk memberikan kontribusi informasi kepada perencana. Pada level yang lebih tinggi perencanaan partisipatif menekankan kekuatan pada stakeholder untuk mengendalikan proses perencanaan dan membuat keputusan kebijakan penting. Dalam pendekatan ini sekelompok stakeholder (mewakili seluruh kepentingan diwilayah perencanaan) telah dibentuk melalui dialog yang teratur, pertemuan-pertemuan dimana anggota dapat saling berbagi pengalaman, diskusi, mengajukan keberatan dan lain sebagainya (Soetrisno 1995). Perencanaan partisipatif dapat melibatkan setiap stakeholder yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung (Takeda 2001).

Community Based Fisheries Management/Comunity Management (CBFM/CM) cenderung dapat berhasil di kalangan masyarakat nelayan kecil (artisanal fisheries) dari pada di daerah yang sumberdaya perikanannya dikelola dengan skala komersial. Nelayan kecil adalah nelayan yang sumber pendapatannya sebagian besar dari perikanan. Jika ketersediaan sumberdaya perikanan semakin terbatas maka pendapatan mereka juga akan terganggu (Tokrisna et al. 2002 diacu dalam Budiono 2005).

Prekondisi yang mendukung pengelolaan konflik dan merupakan landasan pijakan untuk bersikap dan berperilaku secara bertanggung jawab terhadap operasi penangkapan ikan yang dijalankan meliputi landasan moral, landasan normatif dan landasan konstitusional

1 Landasan moral

Landasan moral ini merupakan landasan hakiki yang harus dimiliki oleh setiap perilaku perikanan tangkap. Landasan moral bersumber pada rasio (pemikiran), perasaan, keyakinan (agama) dan kepercayaan secara umum. Misalnya setiap orang percaya pencurian terumbu karang yang akan melenyapkan sumberdaya ikan karang perbuatan yang salah. Penangkapan

ikan yang melebihi JTB dan potensi lestarinya juga merupakan perbuatan (sikap dan perilaku) yang tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya ikan terhadap generasi yang akan datang.

2 Landasan normatif

Landasan normatif ini didasarkan pada aturan adat istiadat atau konsensus masyarakat setempat yang pada umumnya tidak tertulis dan berbeda-beda aturannya antara satu tempat dan tempat yang lainnya.

3 Landasan konstitusional

Landasan konstitusional merupakan landasan resmi (legal) yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik bersifat lokal, nasional, regional maupun institusional

Landasan konstitusional berupa peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, yang mengikat setiap pelaku perikanan tangkap (Pengusaha, ABK dan Nelayan). Landasan ini berisi perintah, larangan dan sangsi-sangsi bagi para pelanggarnya. Intensitas pengaturan di bidang perikanan merupakan wujud dinamika pembentukan regulasi terhadap kegiatan perikanan. Intervensi regulasi di bidang perikanan pada umumnya meliputi perlindungan terhadap nelayan kecil guna mencegah terjadinya konflik dengan nelayan komersial. Selain dari itu telah pula dikeluarkan regulasi tentang pembatasan ukuran mata jaring sebagai upaya untuk menjamin terpeliharanya kemampuan reproduksi jenis-jenis ikan tertentu. Landasan Konstitusional yang berlaku di Indonesia antara lain meliputi:

(1) Desentralisasi wewenang pengelolaan sumberdaya kelautan dan Perikanan. Undang-undang No. 22 Th 1999 tentang Pemerintahan Daerah

memberikan keweanangan kepada daerah untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan di perairan pantai sampai sejauh 1 dari 2 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut teritorial dan perairan kepulauan.

Dalam bidang perizinan, kewenangan Pemerintah Daerah untuk perizinan diberikan kepada provinsi untuk kapal 10-30 GT dan daya mesin 30-90 PK sedangkan Kabupaten/Kota untuk kapal < 10 GT dan daya mesin < 30 PK. Juga telah dilaksanakan perbantuan proses pelayanan perizinan pusat oleh Pemerintah Daerah dalam hal perpanjangan izin.

(2) Larangan penggunaan alat penangkap jenis trawl

1) Kepres Nomor 39 tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl, bertujuanuntuk melindungi kelestarian sumberdaya selain untuk melindungi kepentingan nelayan kecil;

2) Keppres Nomor 85 tahun 1982 tentang penggunaan pukat udang;

3) SK. Mentan Nomor 503 tahun 1980 mengenai langkah-langkah penghapusan jaring trawl tahap I

4) SK. Dirjen Perikanan Nomor 340 tahun 1997 mengenai penjabaran Teknis dari SK Mentri Pertanian No. 503 tahun 1980, khususnya mengenai petunjuk teknis penggunaan alat-alat penangkap ikan menyerupai trawl.

(3) Ketentuan tentang ukuran mata jaring

1) SK Mentan No. 123/1975 mengatur ukuran mata jaring purse seine yang digunakan dalam penangkapan jenis ikan pelagis adalah 60 mm;

2) SK Mentan No. 197 tahun 1996 mengatur ukuran panjang maksimum jaring jenis gill net yaitu 5 km;

3) SK Mentri Pertanian RI No. 123/Kpts/Um3/1975 mengatur lembar mata jaring jenis purse seine untuk penangkapan ikan kembung, layang, selar, lemuru dan ikan-ikan pelagis sejenisnya, melarang purse seine yang menggunakan ukuran mata jaring lebih kecil dari 2 inchi pada bagian sayap dan kurang dari 1 inchi pada bagian kantong.

(4) Pengaturan jalur penangkapan ikan

1) SK Mentan No. 607/1976 pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi nelayan kecil sehingga kapal-kapal ukuran menengah keatas harus beroperasi lebih jauh sehingga tidak mengganggu nelayan kecil dan tidak menimbulkan tekanan pemanfaatan sumberdaya ikan.

2) SK. Mentan Pertanian RI No. 392/Kpts/IK. 120/4/99 mengatur jalur-jalur penangkapan ikan dan melarang alat-alat tangkap dan kapal-kapal perikanan dari jalur penangkapan ikan lebih rendah, tetapi sebaiknya dari jalur penangkapan ikan yang lebih rendah boleh memasuki jalur penangkapan ikan yang lebih tinggi (lebih jauh lagi dari garis pantai). Yang dimaksud dengan jalur penangkapan ikan adalah (1) Jalur

Penangkapan Ikan I (a) : 0-3 mil laut (2) Jalur Penangkapan Ikan I (b) : 3-6 mil laut (3) Jalur Penangkapan Ikan II : > 6-12 mil laut (4)Jalur Penangkapan Ikan III : > 12-200 mil laut atau batas terluar dari ZEE

Selanjutnya peraturan ini melarang penggunaan jaring jenis gillnet dengan ukuran mata jaring kurang dari 25 mm dan pukat cincin (purse seine) untuk penangkapan tuna/cakalang yang berukuran mata jaring kurang dari 75 mm, kecuali untuk pukat teri dan jaring angkat (lift net). Selain itu juga melarang panjang total rangkaian gillnet lebih dari 1.000 meter beroperasi di jalur penangkapn ikan I (b) (3-6 mil laut) dan lebih dari 2.500 meter beroperasi di jalur penangkapan Ikan II (6-12 mil laut)

(5) Pengawasan Penangkapan Ikan

1) Kep. Menteri KP No. Kep. 02/MEN/2002 menetapkan pedoman pelaksanaan pengawasan penangkapan ikan. Pengawasan perikanan bidang penangkapan meliputi pengawasan terhadap penangkapan ikan dan atau pengangkutan ikan. Prinsip pengawasan bidang penangkapan terdiri atas pemantauan, pemeriksaan, pengamatan dan atau penyidikan.

2) Keputusan Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Nomor 14/DJ-PSDKP/2002 perihal tata cara pengawasan penangkapan dan atau pengangkutan ikan adalah:

1 Pelaksanaan pemeriksaan dokumen perizinan usaha perikanan; 2 Pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal perikanan;

3 Pelaksanaan pemeriksaan alat penangkapan ikan; 4 Pelaksanaan pemeriksaan alat bantu penangkapan ikan; 5 Pelaksanaan pemeriksaan daerah operasi penangkapan ikan; 6 Pelaksanaan pemeriksaan nakhoda dan anak buah kapal;

7 Pelaksanaan pemeriksaan suaka perikanan, jenis-jenis ikan yang dilindungi dan lingkungan sumberdaya ikan yang sedang

direhabilitasi;

8 Pelaksanaan pemeriksaan penerapan log book perikanan (LBP) dan Lembar Laik Operasional (LLO) kapal perkanan; dan

9 Hasil pemeriksaan dan pengambilan keputusan.

(6) UU No 45 Tahun 2009, revisi UU No 31 Tahun 2004 tentang perikanan 1) Pasal 3 huruf i, tujuan pelaksanaan pengawasan perikanan adalah untuk

menjamin kelestariansumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus dilakukan secara lestari dan berkesinambungan.

2) pasal 67, masyarakat dapat diikutsertakan dalam pengawasan perikanan. Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokwasmas).

(7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan. Pokok-pokok isinya antara lain:

1) Larangan melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan dan alat yang membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya

2) Usaha perikanan di wilayah perikanan Republik Indonesia atau badan Hukum Indonesia, kecuali dalam bidang penangkapan sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan Internasioanal atau hukum internasional yang berlaku.

3) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan diwajibkan memiliki Ijin Usaha Perikanan (IUP), kecuali nelayan atau perorangan lainnya yang sifatnya merupakan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

4) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan atau pembudidayaan ikan di laut atau di perairan lainnya di wilayah perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan, kecuali nelayan yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

(8) Pengaturan Usaha Perikanan

1) PP No. 15 tahun 1990 junct. PP No. 46 tahun 1993 junct. PP 141/2000 junct. PP No. 54/2000 tentang usaha perikanan dan SK Mentan No. 428 tahun 1999 tentang perubahan SK Mentan No. 815 tahun 1990 yang

mengatur langkah-langkah pengendalian pemangfaatan sumberdaya ikan.

2) SK Mentan No. 561 tahun 1973 dan No. 40 tahun 1974 mengenai kewajiban pengusaha penangkapan udang untuk memanfaatkan hasil sampingan secara optimal.

3) PP No. 54 Tahun 2002 dan Kep. Menteri Kalautan dan Perikanan No. 10/MEN/2003 tentang usaha perikanan. Menetapkan kewajiban bagi setiap kapal-kapal yang melakukan kegiatan penangkapan ikan baik kapal berbendera asing maupun Indonesia, harus dilengkapi dengan surat penangkapan ikan (SPI) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan IUP.

4) Kepmen No. 10 Tahun 2004 Tentang Perizinan Usaha Perikanan 5) Permen No. 17 Tahun 2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap