FAKTOR PENYEBAB KONFLIK
2.3 Kerangka Teoritis Konflik
2.3.2 Prinsip dasar konflik
Kebijakan yang Ekstrim di sudut segitiga Kebijakan seimbang
Paradigma (di dalam segitiga) Paradigma Rasionalisasi sosial/komunitas
Gambar 2 Keseimbangan kebijakan terhadap konflik perikanan tidak mengarah secara ekstrim pada salah satu sudut
Sumber : Charles (1992)
2.3.2 Prinsip dasar konflik
Keadaan dimana keseimbangan hidup masyarakat terusik akibat terjadinya perebutan status sumberdaya alam atau perebutan kekuasaan, situasi dimana ada dua kelompok sosial atau lebih memiliki tujuan yang bertentangan, dan dua pihak tersebut juga memiliki sarana yang tidak sejalan, sehingga menyebabkan diantara mereka terjadi ketidaksesuaian, ketidakharmonisan, dan bahkan pertentangan yang menyebabkan pertengkaran. Itulah prinsip dasar konflik (Frank 2003).
Santoso (2002) menyebutkan bahwa konflik dalam pengertian kolektif kadang-kadang didefinisikan sebagai suatu kondisi, kadang-kadang sebagai suatu proses, dan kadang-kadang sebagai suatu peristiwa. Galtung mendefinisikannya sebagai suatu peristiwa: Suatu aksi-sistem dikatakan sedang mengalami konflik
bila sistem memiliki dua atau lebih tujuan yang tidak sama. “Coser mula-mula
mendefinisikannya sebagai suatu proses, “suatu perjuangan terhadap nilai dan
tuntutan akan status, kekuasaan, dan sumberdaya dimana tujuan saingannya
adalah menawarkan, melukai dan menghilangkan rivalnya.” Dalam pemahaman
konvensional, konflik dianggap sebagai suatu peristiwa, pertikaian dengan kekerasan atau tanpa kekerasan antara dua kelompok. Batasan teori konflik lain adalah perbedaan yang umumnya dibuat para teoritikus konflik antara apa yang disebut konflik realistis dan non realistis (Coser), atau konflik rasional dan non rasional (Schelling) atau perilaku destruktif dan perilaku konflik (Galtung). Esensi perbedaan ini terletak antara tindakan yang menjadi alat penanaman nilai yang diperjuangkan dan tindakan destruktif demi kepentingan mereka sendiri.
Malik et al. (2003) mengungkapkan bahwa secara psikologis, konflik merupakan refleksi dari kondisi psikis manusia dalam rangka interaksi manusia, maka manusia pasti berkonflik. Konflik selalu ada di alam maupun dalam kehidupan manusia sebagai individu. Walaupun demikian, konflik tidak selalu berakibat negatif. Secara positif konflik dapat mengubah, jika dikelola justru akan menciptakan perubahan. Konflik dapat pula mendorong manusia melakukan mobilisasi sumberdaya menggunakan cara-cara baru. Konflik juga membawa manusia pada klasifikasi pilihan-pilihan kekuatan untuk mencapai penyelesaian. Dari situ terlihat bahwa konflik selalu menyangkut dua sisi, yakni ancaman atau bahaya dan peluang atau kesempatan.
Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif (Kartikasari et al. 2000). Konflik memiliki pengertian dasar adanya perbedaan persepsi tentang kondisi ideal yang diinginkan oleh lebih dari satu pihak (Golledge dan Stimson 1997) dan konflik sering terjadi ketika tujuan individu, kelompok atau masyarakat tidak sejalan. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap individu memiliki kepentingan melalui persepsi dunia yang diinginkannya, dimana pada saat yang bersamaan individu tadi berusaha memelihara stabilitas, ketahanan dan konsistensi dari gambaran dunia yang didapat dari persepsi tersebut. Kondisi lingkungan yang dibangun (build enviroment) merupakan ekspresi dan interpretasi ruang yang dilakukan oleh manusia. Keputusan tersebut biasanya sangat dipengaruhi oleh cara manusia memandang dan mengevaluasi sistem keruangan tersebut (Gunawan 2000).
Pruit dan Rubin (1986) menyatakan bahwa secara singkat istilah conflict menjadi begitu meluas sehingga berisiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal. Dalam konteks selanjutnya makna konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived deivergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Kepentingan dimaksud adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral, dalam pikiran dan tindakan orang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan niat
(intensi)-nya. Berdasarkan hal ini, maka dapat dikatakan bahwa konflik pemanfaatan sumberdaya alam merupakan refleksi dari perbedaan refleksi ruang yang diharapkan diantara satu pengguna dan pengguna lain. Di wilayah pesisir konflik yang terjadi dua kategori, yaitu : (1) Konflik pemakai dan (2) Konflik yuridiksi pengelolaan.
Selanjutnya Gunawan (2000) menyatakan bahwa konflik-konflik tersebut dapat terjadi dalam tingkat yang berlainan, yaitu : (1) Konflik dalam tahap laten, dicirikan oleh adanya ketegangan dan ketidak sepahaman antara pengguna pada tingkat awal sehingga belum terjadi perselisihan pendapat, atau bahkan pengguna yang belum menyadari adanya perbedaan pemahaman tersebut. Konflik laten ini sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif; (2) Konflik dalam tahap yang berkembang, dicirikan oleh adanya pengakuan atau pengertian akan adanya perbedaan kepentingan dimana jalan keluarnya belum diperoleh. Konflik ini mempunyai akar masalah yang dangkal dan muncul hanya karena kesalah pahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi; (3) Konflik terbuka, dimana dalam tahap ini perselisihan sedang dalam proses pencarian jalan keluar, baik dalam bentuk negosiasi ataupun dalam bentuk perselisihan fisik nyata. Konflik ini akar masalahnya sangat dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi berbagai penyebab serta efeknya.
Konflik pada dasarnya merupakan fungsi dari struktur sosial, hubungan antar kelas, atau perilaku individu dalam masyarakat. Konflik dapat terjadi dimana individu berupaya memperoleh hasil maksimal dengan pengorbanan sekecil mungkin, yang dalam prakteknya perilaku ini sering kali mengorbankan kepentingan pihak lain yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya konflik. Konflik dapat diartikan dari sudut pandang positif atau negatif, serta dari perspektif konstruktif maupun destruktif (Powelson 1972) atau pelanggaran, pengasingan maupun bukan pelanggaran (Wallace 1993).
Definisi konflik berkembang dan tidak hanya berfokus pada tindakan antagonistik (antagonistic action) tetapi juga memasukan istilah ketidak setujuan yang tajam atau pertentangan atas kepentingan, ide dan lain-lain. Menurut Pruit dan Rubin (1986), konflik dapat diartikan sebagai kepentingan yang dirasakan
sangat berbeda sehingga keinginan para pihak yang tidak dapat dicapai secara bersamaan. Pengertian lain menurut (Hocker 1985) adalah interaksi antara orang-orang yang saling bergantung satu sama lain yang memiliki tujuan berbeda dimana mereka saling mengintervensi untuk mencapai tujuan masing-masing.
Powelson (1972) berpendapat bahwa konflik dapat diartikan negatif jika secara agregasi kelompok tidak memperoleh manfaat dari adanya konflik ( zero-sumgame) atau dimana terjadi deadweight loss sumberdaya sosial sebagai akibat
dari argumen “guns vs butter”. (Neary 1997) konflik dapat dipandang sebagai hal
positif. Dalam hal ini konflik yang muncul jangan diredam atau dihilangkan sama sekali.
Edwar De Bono (1985) diacu dalam Firdaus (2005), bahwa konflik adalah suatu hal yang terjadi saat dua orang atau lebih berinteraksi dalam suatu peristiwa atau keadaan yang sama namun mereka melihat peristiwa/keadaan ini secara berbeda. Fisher et al. (2000), menyatakan bahwa konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan, antar pribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat dan negara. Konflik dapat terjadi pada semua bentuk hubungan manusia (sosial, ekonomi dan kekuasaan) dan mengalami pertumbuhan dan perubahan. Konflik dapat timbul berdasarkan perikatan ataupun di luar perikatan. Konfik yang berasal dari perikatan timbul apabila salah satu pihak dalam perjanjian melakukan wanprestasi/mengingkari isi perjanjian.
Menurut Lewicky et al. (2001) manfaat positif konflik antara lain:
(1) Konflik membuat anggota organisasi lebih menyadari adanya persoalan dan mampu menanganinya
(2) Konflik menjanjikan perubahan dan adaptasi
(3) Konflik memperkuat hubungan dan meningkatkan moral
(4) Konflik meningkatkan kesadaran diri sendiri dan orang lain, artinya melalui konflik orang belajar tentang apa yang membuat mereka marah, frustasi dan takut
(6) Konflik mendorong perkembangan psikologis, dalam hal ini orang menjadi realistis dan akurat dalam mengukur dirinya
(7) Konflik dapat memberikan rangsangan dan kesenangan karena orang merasa terpuji, terlibat dan hidup di dalam konflik menjadi istirahat dari hal-hal yang rutin dan mudah.